Sexy Killers sesungguhnya telah melakukan ikhtiar ‘mengimajinasikan moral’ pada penontonnya. Ia mengajak pentonton untuk berempati pada kondisi korban yang nasibnya sangat berbeda.
Teman Tapi Menikah seperti mengingatkan kembali definisi dari kata romantis, yang bukan jadi manis karena hal-hal artifisial, tetapi karena momen-momen sederhana namun intim yang dialami keduanya. Ia memperlakukan cerita secara layak dengan memerhatikan salah satu aspek paling krusial di dalamnya: keutuhan narasi.
Momentum hubungan Arini dan Richard dalam film Love for Sale tidak dibuka oleh obrolan soal bola atau persoalan paras semata, tapi justru oleh obrolan soal nasib Arini sebagai pekerja. Setelah itu, kehidupan Richard perlahan mulai kembali.
Sekala Niskala, sebagai sebuah film yang membingkai Bali, tidak hanya berhenti pada problem permukaan atau visual eksotis belaka, namun mampu menyelami keseharian tokoh-tokohnya, menyulam konteks-konteks lokal, dan menghadirkannya dengan begitu mengalir.
Dilan 1990 terlalu berkutat pada tindakan dan celoteh (yang dianggap) romantis. Narasi soal antikekerasan, baik di ranah pacaran, pertemanan, ataupun guru-murid terasa begitu tanggung—atau mungkin memang tidak diniatkan untuk hadir secara utuh. Tidak ada yang melekat, selain kata-kata yang tak pernah beristirahat.
Realitas Marlina adalah sedekat-dekatnya realitas yang harus dihadapi segenap perempuan: bahwa tanpa kemelekatannya terhadap laki-laki, perempuan adalah objek teritorial tanpa otonomi.
Dalam Posesif, kata “selamanya” bermakna ganda. Pertama, “selamanya” sebagai sebuah bualan remaja naif; kedua, “selamanya” sebagai ikrar kesetiaan yang tak bisa dan tak boleh ditawar. Sepanjang film, dua makna itu saling tumpang tindih.
Dwilogi Mars Met Venus konon dimaksudkan agar kita mampu memahami perspektif orang lain. Sayangnya, pasangan protagonis kita tidak pernah benar-benar hadir sebagai pribadi yang utuh. Mereka tak lebih dari maskot bagi stereotip gendernya masing-masing.