Usmar Ismail: Orang-orang Hollywood, Hanya dengan Optimisme Bisa Bangun Studio Film

Usmar Ismail dengan Rock Hudson di Hollywood [Aneka, No. 35, VIII, 10 Februari 1958]

Tulisan Usmar Ismail ini kali pertama terbit di Star News, no. IV, hal. 13-16, 1953, dengan judul “Orang2 Hollywood: Hanja dengan Optimisme Studio Film Dapat Dibangun”. Disalin oleh redaksi Cinema Poetica dengan sejumlah penyesuaian bahasa.

Tiga puluh ribu orang bekerja di industri film di Hollywood. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja-pekerja biasa: tukang listrik, tukang kayu, penggambar, perias, penjahit, tukang potret—pendek kata seluruh kepegawaian yang diperlukan untuk memungkinkan terciptanya sebuah film. Meskipun golongan buruh tangan ini yang terbanyak, tetapi mereka bukanlah merupakan penduduk Hollywood. Mereka cuma kaki-tangan dari “orang-orang Hollywood” yang sebenarnya: para produser, regisur [sutradara], pemain, dan pengarang yang memberi bentuk kepada apa yang disebut orang “kehidupan Hollywood”.  Bicara tentang Hollywood adalah bicara tentang orang-orang yang disebut belakangan ini. Meskipun ada lagi satu golongan lain, yang merupakan golongan “elit”, yaitu kaum yang mempunyai kekuasaan dan uang, namun yang merekamkan stempel di atas masyarakat Hollywood ialah orang-orang dari golongan kedua tadi.

Yang Penting: “Movies”

“Orang Hollywood” inilah yang menciptakan Hollywood seperti yang dikenal orang. Merekalah yang tidur, makan, minum dan pembicaraannya tidak lain daripada “movies” (film). Jika sudah agak lama juga tinggal antara mereka, barulah orang sadar, bahwa bagi mereka, yang terpenting di dunia ini ialah movie. Mereka hidup seolah-olah terasing sendiri dari dunia luar. Apa yang terjadi di luar cuma penting bagi mereka jika ada hubungannya dengan mereka sebagai pembuat film. Mungkin mereka belum pernah mendengar nama Indonesia sebelum surat kabar “Los Angeles Times” dimuat sebuah berita, bahwa parlemen sebuah negara yang bernama Indonesia akan menolak pemasukan film-film gangster dan koboi. Pengetahuan mereka hanyalah cukup untuk mengetahui bahwa tiap penolakan dari suatu negara terhadap pemasukan-pemasukan film Amerika akan berakibat jelek kepada kantong mereka.

Demikianlah tipis sekali, bahwa surat-surat kabar Los Angeles hampir tidak ada yang memuat berita-berita internasional selain dari perang Korea. Program radio pun juga tidak menunjukkan perhatian mereka kepada dunia luar.

Demikianlah orang-orang Hollywood ini mengasingkan diri di suatu tempat pengasingan yang mereka dirikan dengan sukarela, dalam satu kota industri tunggal: film. Kadang-kadang kita tak dapat melepaskan kesan bahwa orang-orang Hollywood ini—yang membuat film-film yang memungkinkan berjuta-juta orang di seluruh dunia lari dari kenyataan, mencari hiburan dalam gedung-gedung yang digelapkan sendiri—adalah orang-orang pelarian juga. 

Orang-Orang Muda Saja

“Orang-orang pelarian” ini, yang bertanggung jawab atas pembangunan sebuah industri yang demikian besarnya, dibandingkan dengan pemimpin industri lainnya di Amerika Serikat, amat muda dalam umur. Hollywood adalah tempat di mana sukses dan kekayaan bisa lekas didapat, tetapi bisa juga lenyap dalam sekejap. Kisah orang-orang luar biasa bisa didengar di mana-mana.

Cerita tentang Darryl F Zanuck yang telah menjadi penulis skenario film Rin Tin Tin yang terkenal pada umur 22 tahun, yang naik menjadi produser pada Warner Bros. ketika berumur 26 tahun, dan menjadi vice president 20th Century Fox pada umur 31 tahun. Demikian pula David O Selznick yang menjadi vice president MGM pada umur 31 tahun dan bertanggung jawab atas pembuatan film-film besar seperti Gone with the Wind. Matthew Fox, yang kita kenal juga di Indonesia, menjadi pembantu presiden Universal pada umur 29 tahun. Banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan bahwa Hollywood pada hakikatnya diperintah oleh orang-orang muda, dengan segala akibatnya.

Salah satu yang terpenting ialah optimisme yang pada hakikatnya menjadikan Hollywood sebagai pusat industri film dunia seperti sekarang ini. Memandang kembali kepada pengalaman-pengalaman saya yang belum seberapa dalam lapangan film, saya dapat merasakan dan memahami: bahwa hanyalah dengan optimisme suatu industri seperti industri film dapat dibangunkan. Kalau dipikirkan, bahwa untuk setiap film yang dibuat, yang tidak bisa dengan pasti ditetapkan dari mula sukses-tidaknya, dikeluarkan sejumlah uang yang besarnya bisa mengagetkan orang-orang dagang biasa. Tetapi, dalam hal Hollywood, ternyata optimisme dan antusiasme telah mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda.

Meskipun begitu, optimisme Hollywood tidak terlepas dari perasaan was-was dan ragu-ragu. Selalulah terdengar keluhan-keluhan: ini adalah perusahaan gila yang memulaskan perut dan menghilangkan rasa harga diri, membuat orang bisa edan dalam waktu semalam. Tidaklah mengherankan, jika merajalela perasaan tidak puas. Nafsu dan temperamen menguasai suasana, orang-orang pada senewen. Ada kenalan saja yang tadinya menjadi regisur pada MGM dengan gaji ribuan dolar saban minggu, sekarang sudah bertahun-tahun menunggu kesempatan untuk kerja lagi. Beberapa penulis yang telah mendapatkan Oscar ada yang beberapa minggu kemudian tidak dipakai lagi. Mae West pernah mendapatkan gaji US$ 326.500 buat satu tahun, tetapi beberapa bulan kemudian tak ada lagi yang mau mengontrak dia. Begitu pula halnya dengan John Gilbert, Ramon Navarro, Luise Rainer, dan lain-lain.

Tetapi, kebalikannya, banyak pula cerita-cerita tentang seorang pemain yang dalam tempo dua tahun saja naik gaji dari US$ 100 seminggu ke US$ 3000 seminggu. Bagi penonton yang suka mengikuti riwayat hidup pemain-pemain film, kadang-kadang memang timbul pertanyaan: kenapa sih, peran si Anu yang kemarin baru jadi bintang, sekarang sudah kelihatan jadi ekstra?

Darling and Honey

Semua keadaan yang saya sebut di atas menimbulkan semacam kompleksitas yang lain, yaitu apa yang disebut “bravado”: keinginan untuk lain dari orang lain, baik dalam perbuatan, tingkah laku, maupun pembicaraan. “Kasih lihat mereka!”, itulah yang menjadi semboyannya. Apa yang ditunjukkan itu berbeda-beda pada setiap orang. Ada yang suka punya 70 buah Cadillac dari berbagai warna yang diparadekan kalau pergi ke studio, ada yang suka datang ke pesta-pesta resmi dengan kemejanya saja. Pendek kata, 1001 perangai dan tingkah laku.

Orang-orang Hollywood suka dibicarakan, tetapi lebih suka dipuji. Mereka memerlukan itu untuk mempertahankan diri dari perasaan was-was yang selalu ada. Kebanyakan mereka juga suka bermain jika tidak sedang di depan kamera. Karena itu, bagi orang-orang luar, kelihatannya mereka berlebih-lebihan dalam berlagak dan bicara.

Selama saya mengelilingi studio-studio Hollywood dan berkenalan dengan orang-orangnya, yang menarik perhatian saya ialah cara mereka memanggil yang satu dengan yang lain, baik antara laki-laki dengan perempuan maupun antara sesama perempuan. Si regisur memanggil seorang aktris dengan sebutan “darling”, si aktris memanggil juru kamera “honey”, dan kalau mereka mau agak sopan, dipakai kata “dear”. Kata-kata panggilan kesayangan ini diobral kian kemari, disertai dengan saling memuji setinggi langit. “Oh kemarin malam aku lihat filmmu yang terakhir. Cantikmu seperti bidadari, lebih dari bidadari.” Demikian orang-orang Hollywood bicara dan berpikir serba berlebih-lebihan. Dan dalam keadaan demikian, itulah yang memang mereka perlukan.

Show Them

Tetapi, satu hal tidak dapat disangkal: mereka cinta akan pekerjaannya. Mereka telah jatuh cinta kepada film, seperti mencandu yang tak dapat ditinggalkan lagi. Bagaimanapun juga sukarnya dan beratnya pekerjaan mereka, semua itu mereka rasakan sebagai bermain-main, sebagai liburan, “liburan seniman”. Untuk itu mereka dibayar, dibayar untuk bermimpikan impian masing-masing.

Orson Welles terpesona kagum waktu pertama kali dibawa masuk ke dalam studio, “Ini adalah permainan kereta api-apian yang terbesar yang menjadi impian setiap anak.” Pernah seorang juru kamera bercerita kepada saya: “Saya telah membuat berpuluh-puluh film. Tetapi tiap kali saya lihat nama say amuncul di layar putih, mau tidak mau timbul juga perasaan bangga saya, meskipun saya tak ingin mengakuinya.”

Penutup

Itulah coretan selayang pandang tentang “orang-orang Hollywood”, orang-orang yang dipercayakan membuat film yang rata-rata ongkosnya jarang yang kurang dari US$ 500.000. Memang, banyak di antara mereka adalah orang-orang yang separuh atau seperempat edan, orang-orang yang gila hormat, semi-intelektual, bodoh, dan tak tahu adat. Kebanyakan orang, jika bicara tentang orang-orang Hollywood, akan menyumpahi film-film yang mereka buat. Aneh jika kita omong tentang kesusastraan, misalnya. Kita cuma omong tentang Goethe, Shakespeare, atau Ibsen, dan kita melupakan pengarang-pengarang lain yang beribu-ribu jumlahnya, yang tulisan-tulisannya lebih baik dilemparkan ke keranjang sampah daripada dicetak.

Tetapi tragisnya Hollywood ialah bahwa orang-orang justru melupakan puncak-puncak ciptaannya, yang jumlahnya sedikit, dan cuma membicarakan yang jelek-jelek, yang jumlahnya banyak. Menurut hemat saya, pada hakikatnya sejarah suatu kesenian adalah sejarah puncak-puncak kesenian itu. Citizen Kane, Grapes of Wrath, Gone with the Wind, Wuthering Heights, The Long Voyage Home, The Informer, Intolerance—daftar ini akan menjadi panjang juga, jika orang ingin membuktikan bahwa Hollywood bukan hanya didiami oleh pelawak-pelawak, calon-calon rumah sakit jiwa, dan orang-orang yang buta huruf.