Bersinema Bersama di Temu Komunitas Film Indonesia 2018

Suasana malam pembukaan Temu Komunitas Film Indonesia 2018 di Gedung Seribu Cahaya, Sukabumi, Jawa Barat (foto: Spektakel.id)

Sudah jadi rahasia umum, mayoritas kegiatan perfilman di Indonesia berlangsung di tingkat akar rumput. Pelakunya: komunitas film.

Tentunya, kata “komunitas” rentan multitafsir. Dalam kerangka legal-formal negara, tepatnya dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, komunitas film dikotakkan sebagai pelaku “kegiatan perfilman” alias “penyelenggaraan perfilman yang berlangsung berhubungan dengan film dan bersifat nonkomersial”. Pada praktiknya kegiatan-kegiatan komunitas film tidak saja berlipat ganda, tapi juga terus berkembang. Semakin lumrah komunitas film mengadakan pemutaran berbayar, dengan pembagian hasil yang terukur antara pemilik film dan penyelenggara layar. Kerja-kerja produksi film di tingkat komunitas juga semakin profesional. Tidak sedikit film-film produksi komunitas yang turut beredar di jaringan-jaringan komersial, bahkan mewakili Indonesia di festival-festival internasional.

Alih-alih sebagai bentuk legal-formal, “komunitas” lebih strategis dipahami sebagai sebuah sikap atau perspektif yang terwujud melalui kerja-kerja kolaborasi untuk mewujudkan suatu tujuan bersama, khususnya di tengah infrastruktur dan ekosistem perfilman nasional yang belum mapan. Abstrak memang, tapi lebih terbuka bagi perkembangan yang konstan terjadi dalam jaringan komunitas film di Indonesia.

Perkembangan itulah yang coba direkam, direnungkan, dan didiskusikan melalui perhelatan Temu Komunitas Film Indonesia (TKFI). Pertama kali diadakan pada 2010, TKFI berfungsi sebagai ruang temu dan forum berbagi bagi pegiat komunitas film seantero nusantara. Pertemuan perdana itu sukses mengumpulkan 170 orang dari 93 komunitas film dari Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo.  Panitia, yang terbentuk dari gabungan pegiat film setempat dan pegiat dari kota lain, menyiapkan akomodasi dan sejumlah forum diskusi. Peserta datang dengan ongkos dan transportasi sendiri.

Format serupa diulang kembali pada TKFI 2016 di Baturaden, dengan CLC Purbalingga sebagai tuan rumah. Perumusan dan pelaksanaan program diupayakan melalui konsorsium yang terdiri dari CLC Purbalingga, Jaringan Kerja Film Banyumas, Cinema Poetica, Boemboe, Serunya, dan Viddsee. Kebanyakan dari kelompok ini, atau setidaknya pribadi-pribadi yang berkegiatan di dalamnya, berkembang menjadi semacam ‘panitia tetap’ bagi perumusan program TKFI. Lokasi acara dibebaskan kepada komunitas, kelompok, atau lembaga manapun yang ingin dan sanggup menjadi penyelenggara.

Para peserta berdatangan (foto: Spektakel.id)

Tahun ini Sukabumi Sinema Indie Forum berinisiatif menjadi tuan rumah. Berkolaborasi dengan Spektakel, komunitas yang berisikan pegiat-pegiat muda di perfilman Sukabumi tersebut menyiapkan Gedung Seribu Cahaya, Jalan Limus Nunggal Cibereum, sebagai lokasi kegiatan TKFI selama 23-25 Maret 2018.

Rendy Irlian Kamase, Ketua Pelaksana TKFI 2018, melihat penyelenggaraan TKFI sebagai upaya menggariskan posisi Sukabumi dalam peta perfilman nasional. “Sukabumi memang belum terlihat di peta perfilman nasional, begitu juga di peta komunitas film. Itulah yang mendorong kami untuk menghadirkan TKFI di sini,” jelasnya. “Kami ingin menunjukkan Sukabumi juga bisa lho berkontribusi bagi jaringan komunitas film, bisa bikin kegiatan skala nasional.”

Pernyataan tersebut tidaklah berlebihan. Nyatanya, penyelenggaraan TKFI 2018 sukses menghadirkan 277 orang dari 84 komunitas film yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jumlah peserta seharusnya bisa lebih tinggi lagi. Menurut laporan Andi Budrah, koordinator akomodasi peserta, ada sekitar 80 peserta yang membatalkan kedatangannya karena lalu lintas yang begitu padat antara Bogor dan Sukabumi. Dalam rekap akhir oleh panitia, terdaftar 335 peserta dari 98 komunitas yang tersebar di 41 kota/kabupaten. Mayoritas berasal dari Pulau Jawa, dengan tiga komunitas dari Sumatera, dua dari Kalimantan, dua dari Sulawesi, dan satu dari Maluku.

“Pertama-tama, saya ucapkan selamat datang di kota Sukabumi, terima kasih atas kehadirannya,” demikian Mohamad Muraz, Walikota Sukabumi, mengawali seremoni malam pembukaan TKFI 2018. “Tahun 90an di Sukabumi masih ada sebelas gedung bioskop. Tapi karena perkembangan teknologi, sekarang habis. Konon teman-teman ingin mendirikan bioskop; saya izinkan, saya permudah izinnya. Tapi [akses mendapatkan] filmnya agak susah, jadi belum bisa dijangkau.” Menurut Muraz, saking tingginya antusiasme warga Sukabumi terhadap film, tidak sedikit orang yang rela pergi ke luar kota untuk sekadar menonton di bioskop.

Diskusi dalam kelas kuratorial film yang dipandu oleh tim Cinema Poetica (foto: Rosalia Engchuan)

Kerja-kerja pemetaan sebelum penyelenggaraan

TKFI 2018 menghadirkan bahasan tentang dua perkembangan teranyar perfilman nasional, yakni sertifikasi profesi dan komisi film daerah—keduanya dipresentasikan oleh perwakilan Badan Perfilman Indonesia (BPI). Pembahasan di TKFI lebih berorientasi pada kontekstualisasi sertifikasi profesi dan komisi film daerah dalam jaringan dan lingkup kegiatan komunitas film. Apakah dampaknya, baik dalam wujud peluang maupun tantangan, bagi komunitas film? Penyelenggaraan TKFI kali ini mencoba lebih gamblang dalam mendiskusikan posisi komunitas film sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar, baik ekosistem perfilman secara khusus maupun ekosistem sosial-budaya secara umum.

Isu-isu internal lingkar komunitas film tetap terwadahi. Ada empat topik yang ditawarkan melalui kelas-kelas tematik, yakni pengelolaan festival film, pengelolaan produksi film, promosi dan publikasi kegiatan komunitas, serta kuratorial film. Dipandu oleh berbagai narasumber dari perfilman nasional, setiap kelas tematik diharapkan bisa menjadi ruang berbagi pengetahuan untuk para pegiat komunitas film.

Pilihan topik bahasan dalam TKFI 2018 berakar pada skema besar yang dibangun pada TKFI edisi-edisi terdahulu, tentunya dengan sejumlah pengembangan. “Dari penyelenggaraan terakhir pada 2016, kami melakukan assessment. Juga observasi terhadap segala yang terjadi selama selang dua tahun antara TKFI,” jelas Dimas Jayasrana, direktur program sekaligus koordinator tim konten TKFI 2018. “Isu-isu yang kami hadirkan pada TKFI kali ini bisa jadi akan berbeda dengan TKFI dua tahun lagi, karena menyesuaikan dinamika yang terjadi. Dinamika di lingkar komunitas film secara khusus, juga dinamika di perfilman secara umum.”

Setahun sebelumnya, dengan dukungan Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, panitia TKFI mengadakan forum tiga hari bertajuk Identifikasi Potensi Komunitas Film Indonesia. Tujuannya sederhana saja: pemetaan capaian dan kebutuhan komunitas film. Tiga puluh komunitas dari Aceh hingga Papua diundang untuk berbagi data dan informasi tentang kegiatan mereka terkait produksi, ekshibisi, apresiasi, dan kajian. Berkas data yang terkumpul melalui forum ini, beserta obrolan-obrolan informal di berbagai festival dan kegiatan komunitas, yang menjadi acuan pertimbangan program-program di TKFI 2018.

Pada TKFI 2016 sendiri, Cinema Poetica selaku salah satu pengisi program turut mengadakan riset dengan peserta acara sebagai narasumber. Desain riset yang disusun oleh Levriana Yustriani dan Deden Ramadani, pengelola unit riset Cinema Poetica, berfokus pada detail-detail kerja dari komunitas film, dari produksi, ekshibisi, apresiasi, hingga pengarsipan. Tujuannya lagi-lagi sederhana: demistifikasi. Kerja-kerja komunitas film terkadang kadang terlampau diromantisir, sehingga kita lupa ada basis-basis material yang memotivasi (dan kadang membatasi) lingkup kerja dan keberlanjutan komunitas film. Data-data seputar modal, perangkat kerja, sumber pendanaan, ruang kegiatan, demografi anggota komunitas, hingga rentang capaian publik sukses tercatat. Riset ini bisa diduga condong ke komunitas-komunitas di Pulau Jawa, yang mana adalah mayoritas peserta TKFI karena alasan geografis. Meski begitu, riset ini tetap menawarkan sejumlah wawasan berharga bagi landasan program di TKFI.

Forum pengayaan tentang sertifikasi profesi yang dipandu oleh Gunawan Paggaru, Ketua Bidang Jaringan dan Organisasi Badan Perfilman Indonesia (foto: Spektakel.id)

Menakar komunitas film sebagai pekerja

Forum tentang sertifikasi profesi perfilman, yang dilaksanakan di lobi utama Gedung Seribu Cahaya, mengundang perhatian hampir segenap peserta TKFI 2018. Sertifikasi profesi perfilman sendiri merupakan program yang diusung BPI, khususnya bidang Organisasi dan Jaringan yang diketuai oleh Gunawan Paggaru, dalam menanggapi kebutuhan akan perlindungan pelaku-pelaku perfilman sebagai pekerja. Dalam perumusannya, sertifikasi profesi diniatkan untuk berlaku secara menyeluruh, tidak terbatas bagi pelaku di tingkat industri saja, tapi juga di tingkat akar rumput atau komunitas film.

Isu sertifikasi profesi awalnya mengemuka di publik akibat pewacanaan tentang kompetisi kerja global, yang mana menuntut adanya proteksi pekerja serta standarisasi kompetensi. Pariwisata adalah salah satu industri paling awal yang melakoni konsep sertifikasi serta regulasi dan infrastruktur yang dibutuhkan. Sejak tahun lalu, perfilman hendak melakoni hal serupa melalui program yang dikelola BPI. Bagi komunitas film secara khusus, isu sertifikasi profesi merupakan pintu masuk yang baik untuk membicarakan komunitas film sebagai pekerja.

Capaian kultural komunitas film sudah tidak perlu diragukan lagi. Selama ini sudah banyak diberitakan capaiannya, mulai dari pertumbuhan layar-layar mandiri hingga kemenangan di festival-festival internasional. Yang belum banyak dibicarakan adalah dimensi ekonomi dari komunitas film, yang mana terkait erat dengan posisi komunitas film sebagai pekerja. Riset Cinema Poetica di TKFI dua tahun lalu menemukan rentang lima ratus ribu dan satu juta rupiah sebagai rata-rata biaya penyelenggaraan pemutaran film. Untuk produksi film, dua juta sampai lima juta rupiah. Angka-angka ini bisa jadi terdengar rendah, tapi jangan salah sangka. Kerja-kerja komunitas film selama ini lebih mengandalkan ongkos sosial, alias kenalan dan pertemanan. Sudah saatnya komunitas film tidak lagi membahasakan dirinya sebagai pegiat budaya saja, yang mana banyak abstraknya, tapi juga sebagai pekerja.

Jason Iskandar, sutradara dan salah satu pendiri Studio Antelope, mengalami perkembangan pola pikir serupa. “Studio Antelope berdiri pada 2011 sebagai komunitas film, yang pada awalnya hanya sebagai sebuah kelompok saja, sebuah nama. Tentunya dengan spirit berkumpul untuk membuat sesuatu. Namun, pada perkembangannya, kami menyadari bahwa bagaimana caranya sebuah kelompok bisa bertahan adalah dengan melakukan perkara-perkara manajerial, termasuk menerapkan beberapa prinsip kewirausahaan,” jelasnya. “Untuk bisa bertahan, kami harus bisa mengatur Studio Antelope seperti sebuah, katakanlah, perusahaan yang professional. Selama di TKFI, kami berdiskusi dengan beberapa teman dari komunitas film dan mengumpulkan masukan tentang persoalan-persoalan yang dihadapi oleh komunitas film. Dan ternyata banyak sekali yang bersinggungan dengan urusan manajerial dan kewirausahaan, karena mereka cenderung abai dengan hal-hal seperti ini.”

Florence Giovani dan Jason Iskandar dari Studio Antelope mengisi forum riungan di TKFI 2018 (foto: Spektakel.id)

Kesadaran diri sebagai pekerja ini vital. Dengan atau tanpa sertifikasi profesi, kerja-kerja komunitas film melibatkan pertimbangan dan perhitungan ekonomi, serta punya dampak terhadap kemaslahatan ekonomi pegiatnya secara khusus serta perfilman secara umum. Sertifikasi profesi semata adalah perlindungan yang dihadirkan negara terhadap hak-hak pelaku perfilman sebagai pekerja, yang mana masih sering disalahpahami oleh publik.

“Tanpa sertifikasi, kita tidak dapat fasilitas kalau ada apa-apa, kalau membutuhkan. Kaitannya erat dengan persoalan asuransi dan jaminan kerja, yang mana selalu jadi permasalahan di film. Tanpa sertifikat, tidak bisa dapat insentif itu,” jelas Gunawan Paggaru. “Melalui sertifikasi profesi, negara mencoba hadir sebagai salah satu penjamin, sebagai pelindung. Ini persoalan sudah dari zaman dulu. Miris lihat kondisi pekerja film, sementara undang-undangnya [terkait perlindungan kerja] ada.”

BPI berperan sebagai fasilitator, sebagai pihak yang menjembatani kebutuhan para pelaku dan pemangku kepentingan perfilman terkait sertifikasi profesi. Inisiatif serta lingkup sertifikasi, khususnya terkait kompetensi yang diakui dan jaminan kerja yang dibutuhkan, ada di tangan pelaku dan pegiat perfilman. “Dalam kasus ini, asosiasi profesi bisa berperan banyak. Melalui asosiasi, para pekerja film bisa mendiskusikan dan menetapkan mana saja yang dibutuhkan dan mana yang tidak. Kami [di BPI] hanya bisa mendorong dan membantu,” tambah Gunawan Paggaru.

Tanggapan sepanjang TKFI beragam. Cindy Wulandari, pegiat Simple Creative Movie Community, mengamini nilai sertifikasi profesi sebagai bentuk profesi. “Ini penting sekali bagi mereka yang ingin menekuni film sebagai profesi,” jawabnya. Dimas Jayasrana melihat ada kemungkinan pengembangan dari sertifikasi profesi ini. “Mungkin nggak, sertifikasi profesi ini menjadi legitimasi bagi para pegiat komunitas untuk menjadi pengajar di SMA/SMK tanpa harus menjadi S1 dulu, tanpa perlu melakoni syarat-syarat akademis?” tanyanya dalam diskusi. Gunawan Paggaru mengiyakan.

Presentasi tentang komisi film daerah oleh Lalu Roisamri, Ketua Bidang Promosi Lokasi Badan Perfilman Indonesia (foto: Spektakel.id)

Partisipasi komunitas film dalam mengelola potensi lokal

Tak kalah ramai, dan penting, adalah diskusi tentang komisi film daerah di TKFI. Hadir Lalu Roisamri, Ketua Bidang Promosi Lokasi di BPI, yang menggawangi perumusan regulasi serta pembentukan komisi film daerah bersama Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF). Proses ini sudah dirintis sejak tahun lalu dan mulai tahun ini mulai gencar disosialisasikan ke publik, salah satunya melalui TKFI.

Komisi film daerah awalnya diwacanakan untuk mempromosikan daerah-daerah sebagai tempat wisata, selaras dengan kebutuhan Kementerian Pariwisata sebagai perintis wacana, juga sebagai lokasi pembuatan film asing, yang mana menjadi salah satu amanat kerja BPI. Sepanjang presentasi Lalu memberi contoh film Laskar Pelangi (2008) yang membangun kesadaran akan potensi Belitong sebagai daerah wisata, 5 cm (2012) yang membuat orang berbondong-bondong ke puncak Gunung Mahameru, sampai Eat Pray Love (2010) yang semakin mengangkat Bali di mata internasional.

Terkait contoh-contoh tersebut, Lalu menyinggung bahwa kita perlu melihat konteksnya. Undang-undang Perfilman lahir pada 2009, ketika film berada di lingkup kerja Kementerian Pariwisata. Saat ini, film berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang kepentingannya terhadap perfilman tidak sebatas kebutuhan pariwisata—bagaimanapun juga syuting tidak melulu harus dilaksanakan di tempat eksotis, karena tergantung dengan kebutuhan skenario atau cerita film. Belum lagi kehadiran BEKRAF turut mengangkat sejumlah isu tentang pertumbuhan serta ketangguhan ekonomi ekosistem perfilman.

Utamanya, komisi film daerah mewadahi kepentingan serta mendorong perkembangan sumber daya perfilman di lokalnya. “Idealnya, pembuatan film dilaksanakan di suatu daerah melibatkan pelaku perfilman setempat,” ujar Lalu. Komisi film daerah menjadi sentral yang menaungi dan melindungi segala aset serta pegiat perfilman setempat, tidak terkecuali komunitas film.

Terlebih lagi, saat ini sedang disiapkan peraturan terkait kewajiban bagi pelaku produksi film asing untuk menyediakan kuota bagi sumber daya perfilman dalam negeri. “Ketika ada pembuat film asing yang syuting di Indonesia, mereka harus menggunakan sumber daya dalam negeri sejauh kualifikasi yang diperlukan. Di sini pula sertifikat kompetensi itu menjadi penting, karena menjadi standar,” tambah Lalu.

Pada dasarnya, komisi film daerah adalah salah satu kemungkinan yang dapat terjadi dalam kolaborasi komunitas film dengan pemerintah setempat. Regulasi mensyaratkan pembentukan komisi film daerah berdasarkan usulan masyarakat, tak terkecuali komunitas film, kepada pemerintah daerah. Ketika sudah terjadi komunikasi, BPI siap mendampingi hingga garis akhir. Kolaborasi melalui komisi film daerah ini diharapkan dapat menjadi sinergi bagi komunitas film dan pemerintah untuk berjalan seirama dalam memajukan perfilman serta perekonomian daerah.

“Kadang-kadang hubungan komunitas film dan pemerintah saling tidak mesra. Mungkin komisi film daerah bisa jadi momentum, karena komisi ini adalah gabungan Pemerintah dan komunitas film,” jelas Lalu.

Kelas promosi dan publikasi kegiatan komunitas yang dipandu oleh Nauval Yazid (foto: Spektakel.id)

Pada praktiknya, komisi film daerah bertanggungjawab atas integrasi perizinan syuting film dan upaya-upaya pengembangan sumber daya perfilman setempat. Lembaga ini memastikan bahwa semua pengurusan perizinan berlangsung dengan efisien, tepat waktu, dan tidak membebani biaya di luar yang seharusnya. Apabila suatu daerah tidak memiliki komisi film daerah, perizinan dan pengembangan sumber daya manusia umumnya dikerjakan oleh swasta, seperti rumah produksi atau usaha sejenisnya, yang lumrah disebut fixer.

“Masalahnya, mereka harus izin satu-satu dan proses itu bisa memakan waktu yang lama,” tegas Lalu. “Belum lagi risiko masalah kepercayaan karena adanya fixer bodong yang sayangnya sudah pernah terjadi. Film itu padat modal. Biayanya besar. Kepastian perizinan, kepastian prosedur, dan kepastian biaya menjadi hal-hal sensitif. Meleset satu hari saja bisa over budget.”

Seorang peserta mewanti-wanti kehadiran komisi film daerah diharapkan tidak saja bisa menjaga ekosistem perfilman dan perekonomian daerah, tapi juga ekosistem lingkungan setempat. “Komisi ini bisa sungguh membantu industri jika ada pengelolaan yang baik dan pembatasan eksploitasi alam. Saya tidak ingin insiden film 5 cm di Mahameru terjadi lagi di daerah-daerah lain. Mahameru rusak gara-gara film. Pada kasus itu, film tidak menawarkan solusi,” ujar Muhammad Farhan Suryo dari Screening Ingredients, Jember.

Sampai dengan tulisan ini dibuat, sudah ada lima daerah yang sudah menjalankan uji coba komisi film daerah, yaitu Bandung Yogyakarta, Banyuwangi, Siak, dan Bojonegoro. Diskusi di TKFI diharapkan bisa memicu pertumbuhan komisi film di daerah-daerah lainnya.

Trofi lomba karaoke TKFI 2018 (foto: Spektakel.id)

Tidak lupa senang-senang

Perbincangan serius hanyalah satu bagian dari TKFI. Unsur-unsur lain yang tak kalah pentingnya adalah momen-momen berbagi, berjejaring, dan tentu saja bersenang-senang. Lomba karaoke dan panggung dangdut pada malam terakhir penyelenggaraan TKFI menjadi puncak kebersamaan selama tiga hari di Sukabumi. Pegiat komunitas film dari berbagai daerah dan latar belakang menyanyi bersama. Sesekali mereka bertukar gelas dan nomor telepon.

Panggung dangdut bisa jadi terdengar ganjil di tengah acara perfilman, yang lebih identik dengan layar sorot dan (di beberapa kalangan) karpet merah. Namun, TKFI memang tidak didesain untuk menjadi kegiatan formal. Target utama TKFI adalah peluruhan sekat-sekat yang lumrah terjadi dalam lingkar-lingkar pergaulan perfilman, tak terkecuali komunitas film, sehingga memungkinkan proses berbagi yang inklusif. Itulah kenapa pembagian akomodasi sengaja tidak menempatkan anggota-anggota dari satu komunitas dalam tenda yang sama. Itulah kenapa masing-masing komunitas hanya diperbolehkan mengirim satu perwakilan ke setiap kelas tematik. Itulah kenapa forum-forum informal dibiarkan, bahkan disarankan, berlangsung sepanjang penyelenggaraan TKFI. Panggung dangdut hanyalah satu dari sekian komponen acara yang dihadirkan untuk menggiatkan pertemuan dan pertukaran.

Banyak momen berkesan selama panggung dangdut digelar. Pada awal gelaran, sejumlah pegiat komunitas berinisiatif membuka bar dadakan dekat panggung, gratis untuk siapapun yang hadir di TKFI dengan syarat minuman langsung dihabiskan di bar. Sontak terbentuk dua baris antrian—setiap peserta, umumnya dengan teman baru mereka, secara tertib bergantian ambil giliran minum. Ketika biduan mulai menyuarakan tembang-tembang andalan, massa mulai tidak beraturan. Kerumunan dansa-dansi mulai terbentuk di depang panggung. Di sela-sela sekian badan yang saling bertubrukan, sejumlah orang berkeliling menyebarkan pesan. Terdengar, “Mas, mbak, datang ya ke acara kami Oktober nanti. Sewon Screening di Jogja.” Terdengar juga, “Main-main ya ke ISBI [Bandung]. Kita bikin beginian lagi.” Setelahnya, mereka rangkulan.

Bebas tapi sopan (foto: Spektakel.id)

“Sesungguhnya apa yang kami saksikan di TKFI ini sangat kontras dengan apa yang kami tahu tentang filmmaker indie,” jelas Puti Ayu Amatullah, perwakilan Popcon Award yang hadir di TKFI untuk mengisi forum riungan. “Kami lebih kaget lagi ketika menyaksikan langsung banyaknya komunitas film di Indonesia. Orang-orang sebanyak itu rela datang dari jauh dan tidur di tenda untuk mengikut TKFI.”

Hal serupa turut disinggung oleh Nikki Loke, kurator konten di Viddsee—sebuah wahana ekshibisi digital khusus film-film pendek Asia. “Sebagai seorang dari Singapura, saya merasakan kehangatan dari para komunitas di sini. Semangatnya yang membuat apinya membara walaupun di luar hujan terus,” kata Nikki sambil tertawa.

Indanavetta Putri, perwakilan lainnya dari Viddsee, menganggap TKFI sejauh ini sebagai ajang berbagi yang paling hakiki untuk komunitas film. “Mungkin ini satu-satunya acara di mana semua komunitas berkumpul dan saling berbagi, tidak berfokus pada satu sosok atau satu komunitas saja. Kami berharap semoga ke depannya Viddsee bisa membantu sesuatu untuk kawan-kawan (komunitas), tidak hanya untuk produksi tapi juga untuk yang lain.”

Tentunya, konsep penyelenggaraan TKFI perlu terus dievaluasi supaya tetap relevan dengan perkembangan-perkembangan masa mendatang. Dua edisi pertama, walau jedanya enam tahun, berfokus pada pemetaan dan pengayaan sejumlah isu internal lingkar komunitas film. Edisi kali ini, walau sifatnya baru sebatas perkenalan, mulai memberi porsi yang lebih besar (juga lebih tegas) untuk perkembangan perfilman secara umum. Ke depannya lantas bagaimana? Apakah TKFI akan terus didesain sebagai forum informal yang penuh improvisasi? Ataukah TKFI mau dikembangkan sebagai basis massa untuk posisi tawar komunitas film dalam, sebutlah, politik perfilman nasional? Atau cukup TKFI sebagai riungan hura-hura? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu direnungkan, tidak saja oleh panitia TKFI, tapi juga oleh segenap komunitas film yang merasa berkepentingan.

Selama tiga hari penyelenggaraan TKFI, hujan hampir tidak pernah absen di Sukabumi. Beberapa sudut lokasi acara bahkan sempat tergenang parah, membanjiri sejumlah tenda peserta, walau tidak butuh lama untuk air surut. Untungnya semangat para peserta tidak ikut-ikutan surut. Semua orang pulang dengan teman barunya.

Artikel ini merupakan versi panjang dari artikel Membangun Pondasi Perfilman Nasional dari Akar Rumput yang terbit di Beritagar.id pada Sabtu, 7 April 2018.