Jika kita berpikir bahwa Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak menganjurkan jawaban dari persoalan perempuan adalah dengan menumpas habis laki-laki dari muka bumi, maka kita telah menonton film karya Mouly Surya itu dengan keliru. Tindak Marlina melibas mampus si Markus lalu menenteng kepala si jahat sepanjang film mungkin nampak tendensius. Begitu pula dengan pendekatan sinematik ala-ala film koboi yang ditempuh si pembuat film. Tapi, Marlina bukan sedang berlagak jadi jagoan, apalagi sok gagah memberi jawaban. Ia hanya mencuri opsi untuk melanjutkan hidup.
Marlina mempertontonkan: untuk menjadi perempuan, meneruskan hidup dengan cara-cara sewajarnya saja memang tidak akan pernah cukup.
Saya, Marlina
Lewat premis seorang janda yang berani mencari keadilan atas dirinya sendiri dengan melawan para perampok sekaligus pemerkosanya, Marlina Si Pembunuh telah mengantongi poin apresiasi yang sulit ditampik—ia hadir sebagai film yang sudah semestinya heroik.
Semeninggal suaminya—yang bahkan tak mampu ia makamkan—Marlina hidup sendirian. Anak laki-lakinya juga keburu mati duluan. Sepanjang empat babak, kita dipertontonkan pada fakta-fakta yang sebetulnya tidak benar-benar baru: hilangnya otonomi atas tubuh, abstainnya hukum dan aparatur penegak keadilan sejenis, konstruksi gender sarat diskriminasi, serta pengasingan yang harus dikompromi sebagai realitas keseharian. Kesemuanya adalah persoalan klasik dalam narasi perjuangan perempuan.
Realitas Marlina adalah sedekat-dekatnya realitas yang harus dihadapi segenap perempuan: bahwa tanpa kemelekatannya terhadap laki-laki, perempuan adalah objek teritorial tanpa otonomi—fait accompli. Setidaknya demikian yang diyakini oleh Markus beserta enam orang kawan perampoknya yang menyambangi rumah dan hendak ramai-ramai memperkosa Marlina. Dengan keangkuhan khas machoisme, Markus berujar, “Kau akan jadi perempuan paling beruntung malam ini.”
Akhir babak pertama yang mengawali kisah Marlina sekiranya menjadi pertanyaan sekaligus puncak kelelahan terhadap dominasi patriarki yang menahun: maskulinitas beracun hanyalah konsekuensi dari kerapuhan laki-laki, yang jaraknya dengan impotensi hanya dibatasi satu kali tebasan di leher. Jika tak ada lagi opsi yang memungkinkan solusi yang politically correct, bukankah jalan yang segera dan ekstrem menjadi satu-satunya cara untuk membela diri?
Ketika si ibu tua yang hendak naik bus hanya bersikap masa bodo melihat Marlina menenteng kepala orang, kita tahu: semakin lama kita hidup sebagai perempuan, semakin kebal pula kita terhadap konstruksi kekerasan dan jalan pintas. Marlina, walau terus dihantui dengan kemunculan beruntun hantu Markus tanpa kepala, telah memulai kekebalan itu dengan berkeras, “Saya tidak merasa berdosa.”
Orasi visual, gramatika yang vokal
Marlina dan Novi adalah sosok jagoan. Ini sulit dibantah. Namun, perbincangan yang sudah-sudah tentang Marlina Si Pembunuh seringkali kali luput membicarakan peran satu lagi jagoan: Mouly Surya.
Sang sutradara berhasil menyeimbangkan secara halus antara cerita yang heroik dengan eksekusi nan estetik, tanpa harus berakhir menjadi orasi pembebasan yang tendensius. Gramatika visual Mouly Surya justru bicara dengan begitu vokal. Teknik pengambilan gambar dan tata musik saling melengkapi, menguatkan Marlina Si Pembunuh sebagai sebuah karya film.
Keindahan lanskap alam Sumba yang menghipnotis tentu saja tidak akan luput dari tuduhan-tuduhan eksotisme dan kemalasan (“effortless background”). Namun, saya yakini, selain sebagai penggarap yang cerdik, Mouly Surya memiliki kepekaan bercerita yang tinggi. Dominasi long-shot eksotisme Sumba adalah wajah dari male-gaze kita bersama. Walau perjalanan Marlina sepanjang sembilan puluh menit film adalah perjalanan yang menguras emosi, tangkapan-tangkapan kamera yang panjang terus mendominasi.
Alih-alih menghadirkan parade luapan ekspresi para karakternya dari jarak dekat, Marlina Si Pembunuh justru mempertontonkan realitas perempuan dari jarak jauh. Narasi perempuan yang dihadapi oleh Novi apalagi Marlina dipertontonkan hampir akurat dengan bagaimana narasi perempuan di kehidupan nyata diperlihatkan dalam kultur patriarki: perempuan adalah makhluk yang indah, tapi kenyataan otentik kehidupannya harus tetap kita asingkan. Perempuan menjadi liyan.
Adegan bus yang melalui jalan berkelok-kelok, misalnya. Selama bermenit-menit layar hanya menampilkan lanskap Sumba, jalan berliku, bus yang bergerak menyesuaikan diri di tiap tikungan, sementara tiga perempuan (Marlina, Novi, dan si ibu tua yang hendak mengawinkan anaknya) yang membicarakan keperempuanannya hanya hadir sebagai suara. Kita hanya menerka bagaimana masing-masingnya menampilkan emosi lewat raut wajah selagi membicarakan realitasnya sendiri. Realitas perempuan adalah keterasingan yang disengaja. Long-shot yang tiada henti adalah olok-olok terhadap male gaze yang kadung kita kompromi.
Marlina Si Pembunuh tidak menawarkan jawaban atas persoalan perempuan. Ia mempertontonkan dan mengolok-ngolok cara kita memandangnya. Karenanya, saya kira pengidentifikasian Sumba sebagai latar cerita menjadi salah satu kecerobohan fatal dalam film ini. Lekatnya identitas Sumba dalam semesta Marlina sejatinya menuntut ekspresi yang otentik, secara geopolitik maupun sosiopolitik. Lanskap yang antah berantah justru akan lebih kuat menarasikan keterasingan Marlina.
Sejarah ditulis dari dalam rumah
Pengutipan semena-mena akan pernyataan LT Ulrich yang berbunyi “well behaved women seldom make history” seringkali memerangkap perempuan untuk menjadi hebat dengan prasyarat level permukaan: rajin membangkang, nakal dan selalu menentang segala macam status quo, atau jadi pemegang kekuasaan di ranah non-domestik. Patuh sedikit demi negosiasi, langsung ditendang keluar dari kategori “perempuan hebat pencipta sejarah”.
Ini Kisah Tiga Dara, misalnya. Dengan tendensi yang begitu ambisius untuk membicarakan pembebasan diri perempuan (self-liberation) khas feminis urban perkotaan kelas menengah, justru malah terjebak pada syarat-syarat pembebasan yang justru mengekang di masing-masing karakternya itu: punya persoalan di kota, pergi ke Indonesia timur, mengurus resor, dan ketika si bungsu hamil di luar nikah, mereka tetap diterima dengan riang gembira (sebab, tubuhku otoritasku, bukan?). Seakan semua persoalan perempuan hanya tentang tubuhnya, tanpa lapisan tekanan sosial (selain tuntunan menikah), apalagi ekonomi.
Marlina Si Pembunuh justru menawarkan perwujudan otoritas diri yang berbeda. Karakter Marlina, saya yakini, bisa jadi tidak kenal apa itu “feminisme”. Ia tak sedekat itu dengan privilese. Narasi Marlina pun jadi menawarkan alternatif dari peyorasi “pembebasan” tersebut. Marlina Si Pembunuh menawarkan narasi perlawanan yang menarik: ia menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri, di dalam rumahnya sendiri. Rumah, ranah domestik, yang seringkali dilekatkan pada karakter well-behaved women yang tidak mencipta sejarah itu.
Pilihan Marlina untuk meracuni lalu menebas kepala si pemerkosa memang pengecualian. Bisa jadi itu kejahatan berat pertama yang pernah ia lakukan. Pada dasarnya, ia tetap perempuan yang patuh: memasak untuk tamu atau menunggu pak polisi main pingpong sebelum mengadu.
Setelah dianggap telah kehilangan otonomi di rumahnya sendiri sejak ditinggal mati suami, otonomi atas diri juga tak bisa Marlina temukan di luar rumah: hukum dan negara yang alpa hanya menegaskan keberpihakan pada patriarki di segala lini.
Rumah pun menjadi kunci kekuasaan Marlina—di tempat ia dikonstruksikan untuk membatasi diri, justru di sanalah Marlina menyatakan otonominya dengan lantang. Ketika ia didominasi di rumah dengan kesemena-menaan Markus dan teman-teman perampoknya, Marlina merebut kembali ruangnya. Di dapur, ia menebar racun. Di tempat tidur, ia menebas kepala Markus—dalam posisinya yang on top, pula. Dan, sepanjang film, territorial pissing hadir secara berangsur: bermula sebagai kiasan perebutan kekuasaan di rumah, hingga mewujud harafiah dengan pipis di pinggir jalan.
Ketika Novi (Dea Panendra) dengan kesetiakawanan khas sisterhood kembali ke rumah demi membela Marlina, ikut menebas kepala pemerkosa, lantas melahirkan di kamar tidur, kita tahu bahwa perebutan kekuasaan tidak mengenal rehat. Walau sudah enam laki-laki patriarkis dan misoginis berhasil ditumpas, laki-laki akan tetap lahir di muka bumi dan dominasinya tak boleh berhenti diintervensi. Upaya itu, salah satunya, bisa dimulai dari dapur.
Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (Marlina the Murderer in Four Acts) | 2017 | Durasi: 93 menit | Sutradara: Mouly Surya| Penulis: Mouly Surya, Rama Adi | Produksi: Cinesurya Pictures | Negara: Indonesia | Pemeran: Marsha Timothy, Dea Panendra, Egi Fedly, Yoga Pratama, Haydar Salishz