Kamar apartemen di sekitaran Thamrin menjadi pembuka dan penutup Dilan 1990. Di sana, Milea sedang menulis tentang kekasihnya saat sekolah di Bandung dulu. Laptop—bukan bolpen dan secarik kertas—dan pemandangan dari gedung tinggi di tengah kota Jakarta, menunjukkan sudut pandang Milea yang sudah dewasa. Fungsinya persis seperti angka 1990 yang ada dalam judul: menekankan bahwa cerita yang akan disuguhkan adalah kenangan semata.
Sosok yang Milea kenang adalah Dilan, seorang laki-laki yang mengendarai motor secepat langkah kaki. Ia terkenal sebagai murid bengal sekaligus panglima tempur geng motor. Dalam film, pertemuan Dilan dan Milea diceritakan terus terjadi. Bukan karena kebetulan, melainkan karena diniatkan oleh Dilan—yang terus saja menghubungi dan mengikuti Milea. Apakah Milea takut? Tidak. Milea malah jatuh cinta. Jadilah kemudian aksi menempel menggunakan motor, mengirim surat kaleng, menyelidiki latar belakang gebetan, menjadi suatu hal yang romantis.
Terkait hal ini, Windu Jusuf dalam ulasannya di Tirto.id menyebut Dilan 1990 sebagai “film horor”. Kata ‘horor’ boleh jadi agak berlebihan. Namun, kata itu mungkin cukup tepat untuk menyadarkan penonton soal bahaya di balik cara Dilan mendekati Milea. Apalagi, Dilan 1990 juga tidak menunjukkan adanya penolakan yang tegas dari Milea kepada Dilan, sehingga ada kesan bahwa manuver-manuver Dilan saat mendekati Milea adalah kewajaran semata—atau malah layak untuk dicoba.
Selain itu, horor juga ada di dalam kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Dilan. Salah satu yang cukup mengganggu adalah ucapan Dilan yang akan membuat “hilang” orang-orang yang menyakiti Milea. Sementara, kita tahu, “hilang” adalah kata yang punya konotasi politis tertentu di negeri ini, khususnya pada tahun yang menjadi latar cerita Dilan 1990. Mengganggu sekali rasanya memosisikan “penghilangan orang” sebagai kata-kata romantis, sementara di dunia nyata, laku penghilangan orang adalah suatu hal yang amat tragis.
Banyaknya hal yang secara politis tidak tepat mungkin membuat Dilan 1990 tidak semanis kelihatannya. Walaupun begitu, ada baiknya kita juga menilai Dilan 1990 bukan dari ketepatan politisnya saja. Bagaimana pun, film ini berupaya menggambarkan kisah nyata pelajar SMA. Sejauh yang saya tahu, pelajar SMA masih butuh waktu panjang untuk terlibat aktif dalam segala diskursus politis—terlebih pada era ketika Orba masih berjaya.
Mungkin tidak berlebihan bila kita anggap Dilan hanya sekadar membual. Dalam resensi film Posesif (2016), saya sempat menyebutkan bahwa ‘selamanya’ punya dua arti: bualan dan ikrar kesetiaan. Yudhis, kekasih Lala dalam Posesif, menjalani keduanya, sehingga ‘selamanya’ menjelma ikrar kesetiaan yang prematur dan penuh kekerasan. Rasanya, inilah yang tidak terjadi dalam Dilan 1990. Dilan bukan Yudhis. Ia tidak menunaikan kata-kata yang ia ucapkan. Orang-orang yang menyakiti Milea—Anhar, temannya di geng motor, ataupun Beni, mantannya Milea—tidak benar-benar ia buat hilang.
Kata-kata dalam Dilan 1990 hanya menjadi bagian dari sebuah perbuatan berbicara, bukan sebagai sebuah penyampaian pesan atau informasi. Tidak semuanya dijahit menjadi bagian dari rangkaian peristiwa yang utuh. Penonton pun seakan diajak untuk tidak menganggapnya terlalu serius. Mungkin bagi film, kesungguhan dalam kata-kata Dilan adalah nomor kesekian. Yang paling penting: kata-katanya sweet. Kalimat demi kalimat dibuat begitu terukur, bak tweet romantis yang diciptakan agar di-retweet ribuan kali. Sementara soal tepat tidaknya kata-kata itu secara politis, dan bagaimana kata-kata itu tercipta dalam ruang percakapan anak SMA, film tidaklah peduli-peduli amat.
Alhasil, rayuan gombal dalam Dilan 1990 berfungsi layaknya bit-bit di panggung komedi. Obrolan romantis antara Dilan dan Milea tak jauh beda dengan obrolan penuh canda yang terjadi di pertunjukan grup lawak. Dialog berlangsung cepat, dan terasa seperti hafalan—ada pembuka dan kalimat pamungkas (punchline). Bedanya, dalam grup lawak, punchline dari setiap bit dimaksudkan agar kita tertawa. Sementara dalam Dilan 1990, punchline dimaksudkan agar kita tersenyum, merasakan sisi romantis dari ucapannya.
Film mungkin memang lebih berhasrat mengolah kata ketimbang mengolah rasa. Oleh karena itu, bila dibandingkan Posesif atau Ada Apa dengan Cinta?, tutur dan dramatisasi cerita dalam Dilan mungkin terasa lebih lemah. Percakapan romantis dalam Dilan hanya bunyi di level teks. Sementara kita tahu, romansa bukan hanya taman bermain teks, melainkan juga sebuah ruang yang penuh oleh konteks.
Dilan 1990 terlalu berkutat pada tindakan dan celoteh (yang dianggap) romantis. Narasi soal antikekerasan, baik di ranah pacaran, pertemanan, ataupun guru-murid terasa begitu tanggung—atau mungkin memang tidak diniatkan untuk hadir secara utuh. Konsekuensi untuk mantannya Milea—yang menyebutnya pelacur—hanya diputusin; konsekuensi buat Pak Suripto tak terbahas; penangkal tawuran adalah ajakan jalan-jalan dari pacar; dan akhir relasi Dilan dengan temannya yang menampar Milea tak lebih dari sekadar baku hantam. Tidak ada yang melekat, selain kata-kata yang tak pernah beristirahat.
Dilan 1990 | 2018 | Durasi: 110 menit | Sutradara: Fajar Bustomi, Pidi Baiq | Penulis: Pidi Baiq, Titien Wattimena | Produksi: Max Pictures | Negara: Indonesia | Pemeran: Iqbaal Ramadhan, Vanesha Prescilla, Giulio Parengkuan, Omara Esteghal, Yoriko Angeline, Zulfa Maharani, Debo Andrios, Refal Hady, Brandon Salim, Gusti Rayhan, Teuku Rifnu Wikana