Gejala dan Agenda Perfilman untuk Pemilu 2024

Simulasi Pemilu 2024 di Kabupaten Bangka Barat. (Sumber: KPU Bangka Barat)

Sinema selalu politis. Dari proses pembuatannya hingga penayangannya, sinema selalu beririsan dengan sektor-sektor strategis kehidupan publik, dari kebebasan berekspresi, pemanfaatan sumber daya, hingga pemenuhan hajat hidup. Dalam dunia ideal, sinema adalah segala bentuk olahan dan ungkapan dari imajinasi yang dimungkinkan teknologi. Pada praktiknya, sinema tidak sepolos itu. Ia selalu dibentuk oleh regulasi, yang memengaruhi bagaimana sinema mewujud sebagai gagasan, praktik, dan bentuk karya di masyarakat. Ada hal-hal yang diupayakan rekat, ada pula yang sengaja diberi sekat.

Dalam konteks inilah, politik sinema jadi penting untuk dibahas menjelang Pemilihan Umum 2024. Meski sering tidak disebutkan sebagai isu prioritas, kebudayaan dan ekonomi kreatif tidak pernah absen dalam agenda calon presiden sejak Pemilu 2014. Untuk edisi mendatang, Komisi Pemilihan Umum memperkirakan 107 juta orang atau sekitar 55% total pemilih berasal dari kategori umur 17-40 tahun. Kategori yang sama turut mendominasi sektor industri kreatif, baik sebagai produsen maupun konsumen, dan perfilman menempati banyak irisan dalam pusaran kepentingan itu.

Tulisan ini mencoba melihat gejala, kebutuhan, dan arah kebijakan perfilman, kebudayaan, dan ekonomi kreatif dalam sepuluh tahun terakhir. Selama itu, banyak produk kebijakan dan praktik perfilman yang tumbuh, bercabang, atau bahkan berubah sepenuhnya—salah satu di antaranya: pertumbuhan masif layanan streaming. Pada saat yang sama, banyak pula yang statis atau malah terus menerus kembali ke pangkal masalah yang sama. Berbagai amatan ini menjadi landasan untuk menelaah agenda ketiga pasangan calon untuk sektor-sektor terkait. Agenda kampanye perlu dilihat dengan kritis, sebab banyak bagian dari ekosistem kebudayaan dan industri kreatif yang masih mencari praktik terbaik. 

Tulisan ini netral, disusun dari berbagai sumber informasi publik dan amatan penulis yang merupakan peneliti Apresiasi Film Indonesia (program riset komunitas film dari Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek) dan analis di Rangkai (platform video-on-demand Indonesia). Harapannya, tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pemilih yang berkepentingan dengan perfilman, kebudayaan, dan ekonomi kreatif.

Suasana produksi film Story of Kale pada 2020. (Sumber: Visinema)

Kesejahteraan Pekerja Film

Pelaku film bekerja dalam kerentanan. Dalam hal ini, perlu ditekankan bahwa pekerja film yang dimaksud adalah pekerja di sektor produksi, yang pada praktiknya didominasi oleh pekerja informal. Situasi ini terbilang pelik mengingat skema kontrak kerja, durasi kerja, pengupahan, dan jaminan sosial belum berpihak pada pekerja film. Durasi kerja, misalnya, menjadi keresahan banyak pekerja film dan menjadi perbincangan di sejumlah forum. Kampanye Mari Syuting Sehat mensyaratkan sebuah produksi memiliki durasi kerja 14 jam, dengan rincian 13 jam untuk pelaksanaan syuting dan 1 jam toleransi untuk membersihkan set . Keterbatasan biaya produksi film menjadi alasan utama lamanya jam kerja dalam satu hari.

Bila dibandingkan dengan batas jam kerja purna waktu yang diatur UU Ketenagakerjaan, yakni 7-8 jam sehari atau 40 jam sepekan, fenomena jam kerja di produksi film jauh dari kata ‘sehat’. Durasi lebih dari 8 jam ini dimungkinkan oleh UU Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021, dengan syarat surat perintah secara tertulis dari perusahaan dan persetujuan dari pekerja yang bersangkutan, baik secara tertulis maupun digital, dan dapat diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur, di mana pengusaha wajib membayar upah kerja lembur. Hal ini perlu diperhatikan oleh para pekerja serta pemberi kerja untuk memunculkan kesejahteraan bagi pekerja. 

Alur kerja produksi film yang belum terstandarisasi juga dapat meningkatkan kerentanan. Produksi film dapat beroperasi sesuai dengan ‘kebiasaan’ masing-masing pelaku usaha dan kegiatan. Belum ada standard operating procedure yang dipraktikkan seluruh asosiasi profesi perfilman terkait etika kerja, alur produksi, keselamatan dan kesehatan kerja, pencegahan kekerasan seksual, dan seterusnya. UU Cipta Kerja lantas menjadikan kondisi ini lebih rentan, seperti mempermudah pemutusan tenaga kerja secara sepihak dari pekerja. Ketiadaan standar dan kerentanan pekerja turut tercermin di gejala lain, yakni tingginya turnover pekerja film alias 64% menurut data Badan Perfilman Indonesia . Sebagian pekerja baru memutuskan untuk tidak meneruskan karier di di produksi film atau beralih ke bidang pekerjaan lain. Konsekuensinya terasa di minimnya jumlah pekerja berpengalaman yang memiliki keahlian tinggi.

Pekerja film di luar ranah produksi tak kalah rentan karena ketersediaan peluang kerja lebih sedikit dan tidak muncul sepanjang tahun. Tak jarang pekerja film non-produksi bekerja serabutan atau tidak memiliki spesifikasi kerja dan jenjang karir yang jelas. Misalnya, juru program atau kurator film sering merangkap sebagai penulis, publisis, kritikus, distributor, atau peneliti. Beberapa pelaku non-produksi memilih menjadi pengajar untuk mendapatkan kepastian kerja (meski akademisi juga menghadapi kerentanan yang berbeda). Kurator film umumnya mendapat pekerjaan dan pendapatan ketika sedang ‘musim’ festival, yaitu semester kedua tiap tahun. Di bulan-bulan lainnya, mereka akan beralih profesi ke pekerjaan lainnya atau, bila beruntung, kembali ke pekerjaan utamanya—yang tak jarang berurusan dengan produksi film. 

Selain mendorong kesejahteraan pekerja film, kebijakan negara juga harus memproteksi pelaku usaha film—di bidang produksi, ekshibisi dan distribusi—yang masuk ke dalam kategori Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Di luar hiruk pikuk wacana industri skala nasional, ekosistem perfilman mayoritas dihidupi oleh rumah produksi dan jasa ekshibisi non-bioskop yang dihidupi kurang dari sepuluh orang. Berdasarkan data Apresiasi Film Indonesia, 47% dari total komunitas produksi dan ekshibisi berjumlah kurang dari sepuluh orang. Oleh karenanya, negara perlu hadir untuk menyediakan komitmen fiskal, serta akses dan dukungan yang setara antara konglomerat dan pelaku UMKM. Sebab, pelaku UMKM sangat bergantung pada perputaran kas (cashflow). Berbeda dengan bisnis skala besar yang padat modal dan lebih mudah mendapatkan injeksi investasi dari investor, kemampuan finansial UMKM bertahan dari omzet yang berputar tiap harinya.

Salah satu isu penting dari komitmen fiskal ini adalah kebijakan pajak. Dengan pengurangan beban pajak yang disetorkan ke negara, usaha UMKM perfilman dapat bertahan lebih lama. Dari sini perlu ada jaminan dari negara bahwa pungutan pajak yang dibayarkan oleh pekerja, badan usaha, dan pelaku kreatif lainnya turut disalurkan kembali, baik sebagian maupun sepenuhnya, untuk penguatan ekosistem yang memproteksi kelangsungan hidup pekerja film dalam jangka panjang. Sederhananya, dukungan negara bagi perfilman tidak hanya habis dalam proyek jangka pendek yang minim dampak.

Bioskop Kineforum di Taman Ismail Marzuki setelah revitalisasi. (Sumber: Kompas)

Integrasi Regulasi dan Kolaborasi Lintas Sektor

Dinamika perfilman bergerak lebih cepat dibandingkan pembuatan regulasi. UU Perfilman yang berlaku saat ini diresmikan pada 2009, sementara praktik dan teknologi perfilman sudah banyak berubah selama lebih dari satu dekade ini. Dalam UU Perfilman, film berfungsi sebagai “budaya, pendidikan, hiburan, informasi, pendorong karya kreatif, ekonomi”, yang notabene perlu diperbaharui dengan situasi dalam lanskap perfilman kontemporer. Kini film turut berperan sebagai komoditas perdagangan, industri, investasi, dan alat diplomasi. 

Sempitnya visi regulasi negara terhadap medium film dapat dilihat dari sedikitnya kementerian yang programnya beririsan dengan sektor-sektor dalam ekosistem perfilman. Sedikit yang ada itu juga seringnya tidak bekerja padu dalam satu irama. Dalam sepuluh tahun terakhir, ada dua kementerian yang konsisten punya program terkait perfilman, yakni Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). 

Kemendikbudristek melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media berfokus pada pengembangan SDM, memfasilitasi pendidikan dan apresiasi film, serta diplomasi budaya. Selama satu dekade terakhir, Kemendikbudristek punya rekam jejak mendukung pendanaan dan fasilitasi festival film di tingkat internasional, regional, dan kota. Pada 2020, Kemendikbudristek merintis Dana Indonesiana, sebagai salah satu perwujudan Dana Abadi Kebudayaan, untuk menyediakan ruang keragaman dan mendorong interaksi budaya guna pemajuan kebudayaan Indonesia sesuai UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Melalui program Layar Indonesiana, Kemendikbudristek melakukan pendampingan, pembiayaan penulisan skenario hingga pembiayaan produksi untuk sejumlah film pendek terpilih. Terdapat pula laboratorium penulisan skenario film cerita panjang (bernama Indonesiana Film). 

Sementara itu, Kemenparekraf melalui Direktorat Musik, Film, dan Animasi berfokus pada akses pendanaan untuk produksi film dan memfasilitasi promosi film. Kemenparekraf memiliki beberapa program pendanaan, seperti Akatara (sejak 2017) dan Pemulihan Ekonomi Nasional Subsektor Film (selama pandemi). Kementerian ini menyiapkan skema insentif produksi film bagi pihak asing dan memastikan bagaimana skema ini memiliki kesetaraan dengan pelaku lokal. Selain itu, Kemenparekraf juga sedang menyiapkan implementasi PP Ekonomi Kreatif No. 24 Tahun 2022 terkait pembiayaan film, terutama kekayaan intelektual sebagai jaminan pembiayaan film berdasarkan hak intelektual. Permasalahan utama aturan film pengimplementasian film ini adalah pemahaman sektor lain, seperti sektor perbankan.

Dua kementerian ini bergerak ke arah berbeda, yang sebenarnya dapat dipahami karena spesifiknya tugas dan fungsi (tusi) masing-masing. Meski begitu, keduanya—serta berbagai lembaga negara lain yang relevan—perlu bersinergi dalam merancang program supaya berdampak konkret terhadap isu-isu menahun dalam ekosistem perfilman. Salah satunya serapan pekerja film terdidik dalam lapangan kerja.

Pada akhir 2020, terdapat setidaknya 21 perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki program studi film (atau berorientasi produksi film) dan 63 sekolah menengah kejuruan (SMK) yang berfokus pada kompetensi keahlian produksi film (. Meski begitu, banyak lulusan sekolah film yang tidak langsung terserap di industri film. Dari fenomena ini, tersingkap sejumlah gejala, dari ketidaksesuaian kurikulum dengan praktik lapangan, keterhubungan antara lembaga pendidikan dengan sektor profesional, hingga kurangnya tenaga pengajar yang kompeten di bidang perfilman. Dalam jangka panjang, situasi ini hanya akan menghasilkan kelompok pengangguran baru. Perlu ada kesinambungan regulasi dan program antara bidang kebudayaan dan industri kreatif.

Selain sektor pendidikan formal, pelaku perfilman juga lahir dari pendidikan informal, seperti pelatihan, festival, dan kompetisi, yang dirintis oleh komunitas film. Komunitas film hadir menghidupi kegiatan produksi dan ekshibisi di tingkat kota dan provinsi. Berdasarkan wawancara riset Apresiasi Film Indonesia, dukungan pemerintah kota dan provinsi masih sedikit. Sejumlah narasumber merasa Pemerintah Kota atau Provinsi tidak paham bagaimana praktik pengembangan ekosistem perfilman di masing-masing wilayah tanggungjawabnya. Masih sedikit pemerintah daerah yang memiliki dana khusus untuk kebudayaan—salah satunya, atau mungkin satu-satunya, adalah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (melalui Dana Keistimewaan).

Ketidaksinambungan ini bisa jadi adalah konsekuensi dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang mencabut tugas pembinaan perfilman di tingkat Pemerintah Provinsi dan Kota. Tugas tersebut hanya diampu oleh Pemerintah Pusat. Untuk mendukung ekosistem perfilman di tingkat kota dan provinsi, Pemerintah Pusat perlu berkolaborasi dengan Pemerintah Daerah, terutama pemahaman terkait ekosistem perfilman. Sejauh ini, upaya pemerintah daerah dalam membangun ekosistem di tingkat lokal umumnya baru terwujud melalui pendanaan festival film di tingkat kota atau provinsi, seperti Jakarta Film Week, Balikpapan Film Festival, dan Medan Film Festival. Hal ini baik, namun tidak menafikan fakta bahwa masih banyak kebutuhan struktural di perfilman tingkat lokal yang perlu disikapi.

Suasana menonton di Bioskop XXI. (Sumber: Shutterstock)

Penguatan Pasar Domestik dan Diplomasi Budaya Antarbangsa

Dalam kurun sepuluh tahun terakhir, semakin banyak penguatan di pendanaan produksi film, baik melalui dana negara, investor, pembiayaan produksi dari layanan streaming, hingga hibah. Film yang didanai tak saja film yang lumrah ditargetkan tayang di bioskop, tapi juga film yang sering disebut sebagai ‘film alternatif’, termasuk film pendek dan dokumenter. Meski begitu, hal ini tidak didampingi dengan peningkatan ragam dan jumlah etalase atau ‘toko’ untuk menampilkan film. Hanya tersedia 517 bioskop dan 2.145 layar untuk menjangkau seluruh penonton di 115 kota/kabupaten Indonesia (Badan Perfilman Indonesia, 2023). Mayoritas bioskop masih terkonsentrasi di wilayah Jawa. Bentuk-bentuk eksibitor lainnya, seperti streaming service atau layanan video-on-demand, baru hadir beberapa tahun belakangan, yang itupun masih terkonsentrasi pada film fiksi panjang. 

Konsekuensi dari ketimpangan ini adalah bottleneck. Ibarat pipa, saluran film dari produksi ke ekshibisi menyempit. Dari sekian ragam film yang diproduksi di Indonesia, hanya sebagian kecil yang bisa atau berkesempatan menjangkau publik. Isu ini sudah menahun dan, dengan meningkatnya investasi untuk produksi film, jumlah film siap tayang yang ‘terbengkalai’ akan terus meningkat.

Selama ini, kemacetan distribusi film di Indonesia secara parsial ditangani oleh jaringan informal layar alternatif, yang terdiri dari bioskop lokal, ruang budaya, festival film, dan komunitas ekshibisi. Kehadiran mereka paling terasa vital di wilayah yang tidak terhubung oleh jaringan bioskop nasional atau di kota-kota yang bukan prioritas dalam distribusi film komersial. Inisiatif-inisiatif ini menawarkan keragaman program tontonan, karena tidak terbatas atau terkekang oleh logika profit. Dalam menyikapi ketimpangan distribusi dan kekosongan akses film, para penyelenggara layar alternatif kerap menayangkan film-film daerah mereka dan film-film di luar bioskop jaringan. Terkadang juga mereka berperan semacam second-run theater dengan memberi ‘kehidupan kedua’ bagi film-film Indonesia yang keburu turun dari jaringan bioskop nasional.

Inisiatif-inisiatif ini cenderung tak berumur panjang, karena lebih banyak hidup dari kapital sosial dan ketahanan mental. Berdasarkan riset Apresiasi Film Indonesia, sekitar 70% dari 86 ekshibisi film oleh komunitas ekshibisi terdata tidak memungut harga tiket. Kalaupun ada pendapatan dari komunitas ekshibisi atau bioskop independen, pendapatan belum tercatat dalam sebagai kontribusi perfilman. Rentannya siklus pendapatan ini jadi kian pelik di tengah katalog masalah yang inheren dalam lingkar komunitas film, dari keterbatasan modal, ketimpangan akses, kegagapan manajerial, hingga kemandekan regenerasi. Mayoritas masalahnya tergolong immaterial dan struktural. Sementara itu, dukungan pemerintah untuk penguatan komunitas umumnya masih sebatas dukungan material dan sifatnya insidental—salah satunya adalah Dana Indonesiana yang mencakup fasilitasi sinema mikro, bioskop keliling, hingga pendanaan festival film .

Penguatan jaringan pelaku distribusi dan ekshibisi terbilang vital, karena keduanya terhubung erat dengan luas dan volum pasar bagi film Indonesia. Perlu ada insentif pasar guna mendekatkan pasar penonton Indonesia dengan keragaman film Indonesia. Penonton Indonesia belum biasa—atau, lebih tepatnya, belum bisa—menonton film Indonesia. Banyak yang beranggapan penyebab utama dominasi film impor adalah kualitas produksi film Indonesia dianggap belum sebaik film impor. Namun, apabila produksi film nasional secara teknis dan substansi sudah unggul (atau setidaknya konsisten berkembang selama satu dekade ini), apakah penonton umum akan langsung beralih? Kecil kemungkinannya, terutama dengan berbagai tantangan struktural yang membentuk lanskap distribusi dan ekshibisi film di Indonesia. 

Penguatan pasar domestik juga mesti diiringi dengan penguatan diplomasi film Indonesia ke publik Internasional. Kehadiran film Indonesia di luar teritorial Indonesia cukup penting untuk menghadirkan ketertarikan sineas dunia menjalin kerja sama dengan sineas Indonesia. Sehingga, kerja sama ini diharapkan dapat menciptakan alih keahlian teknis dan mendorong ketertarikan investor asing membiayai produksi film atau pembangunan industri film di Indonesia. Dalam jangka panjang, diplomasi budaya ini juga dapat menjadi citra Indonesia di mata dunia.

Film Indonesia sudah hadir di kancah internasional melalui festival film internasional dan penayangan film di layanan streaming multinegara. Sayangnya, kehadiran film Indonesia di kancah internasional terjadi cukup sporadis oleh pelaku domestik yang berangkat ke negara sasaran. Belum ada agenda dari negara terkait ekspor budaya melalui perfilman yang lebih terstruktur yang dapat dilakukan oleh diplomat dan diaspora. Sehingga, perlu ada pemerataan pengetahuan bagaimana menghadirkan perfilman Indonesia baik dari sisi wacana dan teknis oleh pelaku diplomasi di luar negeri untuk publik internasional. 

Mediasi antara panitia penayangan film Kucumbu Tubuh Indahku di Semarang dengan sejulmah ormas pada 2019. (Sumber: Festival Kota Lama)

Kebebasan Berekspresi Melalui Film

Film dapat mewujud sebagai medium pertukaran gagasan, nilai, dan pengalaman penonton. Dalam wujud ini, film mensyaratkan jaminan atas kebebasan dan keamanan berekspresi, baik dalam kegiatan membuat maupun menonton film. Dalam artikel berjudul “Perfilman Indonesia Sebagai Indikator Demokrasi”, Adrian Jonathan Pasaribu menuliskan “semakin beragam film yang beredar di publik, semakin terbuka pula masyarakatnya terhadap segala bentuk perbedaan dan kebaruan”. Dengan masyarakat Indonesia yang majemuk, keragaman berekspresi memberikan ruang untuk kelompok masyarakat, terutama kelompok minoritas, dapat mengemukakan pendapatnya melalui karya film. Negara perlu menjamin ruang-ruang aman ini tersedia. 

Adrian berargumen bahwa tata edar dan regulasi perfilman menjadi faktor utama dalam menentukan keragaman film. Tata edar berkaitan dengan ruang apresiasi saat ini belum cukup luas untuk “mengakomodir keragaman gagasan, nilai, dan pengalaman pembuat film tawarkan”. Terlebih distribusi film masih bertumpu pada jaringan bioskop komersial yang terikat kebutuhan profit serta kewajiban sensor. Salah satu regulasi perfilman berhubungan dengan demokrasi adalah kebijakan sensor film untuk film dan iklan film. Lembaga Sensor Film memiliki sejarah dalam menghambat keragaman berekspresi sineas bila ekspresi tersebut tidak sesuai dengan agenda pemerintah. 

Dalam tulisannya, Adrian mencatat beberapa kasus gunting sensor yang terjadi di dekade awal setelah reformasi. Pada Jakarta International Film Festival 2006, Tales of Crocodile, Timor Loro Sae, dan Passabe tidak mendapat izin tayang dari Lembaga Sensor Film (LSF), karena dianggap dapat menyulut sentimen negatif antara Indonesia dan Timor Leste, yang kala itu tengan mengusahakan rekonsiliasi. Di festival yang sama, Black Road—dokumenter tentang konflik separatis di Aceh—juga bernasib sama dengan alasan serupa. Lima tahun kemudian, panitia Festival Film Indonesia mengeluarkan Prison and Paradise—dokumenter tentang pelaku dan keluarga korban Bom Bali—dari daftar nomine Dokumenter Terbaik, karena LSF menolak memberi izin dengan alasan dapat “memberi pengaruh negatif terhadap generasi muda Islam Indonesia”.

Contoh-contoh ini mengerucut pada satu corak yang sama: sensor vertikal. Pelarangan atau tekanan bersumber dari atas (yang dalam kasus ini adalah regulator) dan bergerak ke bawah (alias pembuat atau penayang film). Dalam sepuluh tahun terakhir, corak ini tak lagi dominan. Di satu sisi, regulasi sensor film relatif ‘melunak’, di mana LSF kini lebih berperan sebagai pemberi catatan atas isi film dan keputusan revisi atau pemotongan karya diserahkan kepada pembuat film. Beberapa tahun ini, LSF juga mempromosikan Budaya Sensor Mandiri, sebuah kampanye agar masyarakat memilih tontonan dan/atau film berdasarkan klasifikasi usia dari LSF. Di sisi lain, kegiatan menonton kian beragam dan makin tidak terikat kepada ruang fisik atau layar konvensional. Penayangan film di ruang virtual (seperti aplikasi instant messaging) atau layar marginal (seperti lingkungan komunitas) praktis nyaris tidak terjangkau oleh amatan LSF.

Corak yang umum saat ini adalah sensor horizontal. Pelarangan atau tekanan bersumber dari elemen sipil ke sesama elemen sipil. Dalam konteks ini, sentimen publik menjadi arena untuk memperebutkan atensi dan pemaknaan terhadap suatu karya atau praktik seni, yang dalam prosesnya bisa melibatkan aktor negara atau otoritas tertentu. Corak macam ini yang lumrah ditemui dalam 27 kasus pelanggaran kebebasan seni yang melibatkan medium film di Indonesia dari 2010 hingga 2022, menurut Southeast Asian Arts Censorship Database yang dihimpun Arts Equator. Pelanggaran atau kekerasan ini mencakup penolakan terhadap pembuat film atau penyelenggara acara, pembatasan akses, pelarangan atau pembubaran penuh, pemberian tekanan, penghapusan atau perubahan karya, dan penarikan sumber daya atau dukungan. 

Salah satu contohnya adalah tekanan terhadap Kucumbu Tubuh Indahku (2018). Filmnya sendiri sudah sudah mendapat surat lulus sensor dan tayang resmi di jaringan bioskop nasional pada April 2019 (CNN Indonesia, 2019; Antara News, 2019). Namun, karena sebuah petisi daring yang menuduh film tersebut sebagai propaganda LGBT, terjadi rentetan aksi penolakan di ruang publik. Pada September 2019, Front Pembela Islam membubarkan penayangan film tersebut yang digelar oleh suatu komunitas di Semarang (Medcom.id, 2019). Dua bulan kemudian, ormas yang sama melakukan hal serupa di Bandar Lampung. Di antara dua peristiwa itu, sejumlah bupati, walikota, dan pejabat negara turut mengecam filmnya melalui pernyataan di kanal media (Gatra, 2019).

Bioskop Misbar di area Usman Janatin City Park, Purbalingga, yang rutin menjadi tempat kegiatan film setempat. (Sumber: CLC Purbalingga)

Benang Merah Agenda Pasangan Calon 2024

Ekosistem perfilman yang kompleks membuat kebutuhan elaborasi dalam pembacaan agenda pasangan calon. Dalam buklet visi dan misi tiap pasangan calon, tidak ada agenda khusus tersendiri terkait perfilman. Agenda pengembangan perfilman dapat dilihat dan dielaborasi dari agenda (1) industri kreatif atau ekonomi kreatif; (2) kebudayaan; dan (3) kegiatan ekonomi (penciptaan lapangan kerja, kemajuan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat). Di sisi lain, pembacaannya pun perlu kewaspadaan, karena produk perfilman memiliki siklus yang berbeda produk kreatif/budaya lainnya, seperti pakaian atau seni pertunjukan. Siklus produk yang dapat konsumen habisi sekali pakai atau gunakan barangnya, seperti kuliner dan pakaian, tentu berbeda dengan film yang dikonsumsi di bioskop, layanan video-on-demand, dan televisi tanpa harus memiliki barangnya.

Hingga saat ini, hanya Anies Baswedan yang berkesempatan hadir dalam audiensi agenda perfilman yang bertajuk “Quo Vadis Perfilman Indonesia?” pada 20 Januari 2024 di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (Badan Perfilman Indonesia, 2024; Antara News, 2024). Di kesempatan lainnya, dalam acara “Teman Cerita Ekraf: Berkarya Sampai Kaya”, Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Arsjad Rasjid, menjelaskan potensi dan tantangan industri kreatif, serta menyebutkan agenda Paslon 03 terkait industri kreatif di Little League Kafe Jakarta pada 15 Januari 2024 (Sindonews.com, 2024).

Meskipun dituturkan dalam bahasa yang berbeda-beda, agenda ketiga pasangan calon terhubung oleh satu isu yang sama: pembangunan ruang fisik untuk menampilkan sinema, budaya, atau produk kreatif. Paslon 01 berencana untuk “membangun pusat kebudayaan dan pusat sinema kelas dunia di berbagai kota di Indonesia” dan “menuju rasio satu layar untuk 100.000 populasi”. Pusat kebudayaan akan “dibangun dan dikembangkan di banyak daerah di Indonesia, baik untuk budaya tradisional maupun kontemporer, dihidupkan dengan kolaborasi bersama komunitas”.

Sedikit berbeda, Paslon 02 memiliki agenda untuk “membangun dan revitalisasi sentra kebudayaan termasuk bioskop rakyat dan gedung kesenian rakyat di seluruh Indonesia” dan “membangun kembali taman-taman budaya sebagai wadah perlindungan, pengembangan, dan pemajuan seni-seni tradisional Indonesia”. Sementara itu, Paslon 03 lebih menekankan pada pembangunan simpul ekonomi kreatif atau creative hub dengan “mendukung pengembangan wadah/creative hub untuk memfasilitasi kemajuan ekonomi kreatif dan digital di setiap daerah”, serta “memperbanyak infrastruktur creative hub di setiap daerah”. Di bidang kebudayaan, Paslon 3 memiliki agenda “revitalisasi dan peningkatan pembangunan pusat kebudayaan dan museum, terutama di daerah”. 

Pembangunan dan revitalisasi bioskop rakyat, pusat budaya, dan creative hub memang dibutuhkan dalam jumlah yang besar, namun perlu kecermatan dalam mewujudkannya. Sebab, pembangunan saja tidak cukup. Ada beberapa hal yang perlu dipikirkan. Misalnya, siapakah yang memiliki aset bangungan dan tanah? Diperuntukan untuk komersial atau tidak? siapakah yang mengelola aset dan program untuk bioskop rakyat, pusat budaya, dan creative hub? Lalu, apakah pengelola memiliki pengetahuan terkait tata kelola kebudayaan? Di beberapa kasus, sengketa ketidakjelasan kepemilikan bangunan dan pengelolaan membuat program-program kebudayaan jadi mandek. 

Pembangunan pusat sinema kelas dunia dan layar dengan rasio 1:100.000 populasi juga menarik untuk dibahas. Paslon 01 memasukan agenda tersebut dalam “Agenda Pariwisata Berkelanjutan dan Ekonomi Kreatif”, artinya aktivitasnya dapat menjadi sumber penerimaan negara dengan logika untung-rugi. Lantas, bagaimana negara turut serta dalam menyelenggarakan distribusi komersial? Atau negara akan menunjuk distributor komersial lainnya? Perlu dicatat bioskop jaringan komersial hanya dikuasai oleh segelintir pelaku besar. Logika komersil yang mengabaikan keragaman pula selama ini membuat keragaman berhenti. Lantas, bila agenda ini jalan, negara harus memilih secara bijak pengelola/distributor komersil yang tetap menjaga keragaman perfilman Indonesia. 

Implementasi rasio layar berbanding populasi 1:100.000 harus mempertimbangkan landskap distribusi layar/bioskop. Rasio ini tidak jelas dibahas. Apakah diproyeksikan ke seluruh populasi penduduk Indonesia atau tingkat regional/provinsi. Bila diproyeksikan ke seluruh populasi Indonesia yang berjumlah 273,8 juta, jumlah layar yang ditargetkan adalah ‘hanya’ 2.738 layar. Saat ini, menurut data Badan Perfilman Indonesia pada 2023, Indonesia memiliki 2.145 layar (Badan Perfilman Indonesia, 2023). Target penambahannya berkisar 593 layar (21%). 

Jumlah layar bioskop jaringan komersial pada 2018 adalah 1.756 layar (Databoks, 2018). Tanpa bantuan pemerintah, bioskop jaringan telah membangun 389 layar (22%) dalam periode 2018-2023. Sehingga, agenda rasio 1:100.000 menjadi kurang tepat ketika percepatan pembangunan layar yang sudah ada tanpa pemerintah justru sama dengan agenda pemerintah.

Pembangunan ini memiliki nilai tambah jika layar-layar baru dibangun di luar DKI Jakarta dan kota-kota di Jawa. Terdapat 2.145 layar yang tersebar di sekitar 115 kota/kabupaten (Badan Perfilman Indonesia, 2023), sedangkan tercatat Indonesia memiliki total 514 kota/kabupaten dalam rentang pendataan 2018-2022 (Badan Pusat Statistik dalam Kompas, 2023). Berarti terdapat 399 kota/kabupaten yang tidak memiliki bioskop sama sekali. Persebaran bioskop pun mayoritas berkonsentrasi di Jawa, khususnya DKI Jakarta. Jika Paslon 01 berkomitmen untuk membangun budaya sinema melalui pembangunan layar, prioritas pembangunan penambahan 593 layar menjangkau 399 kota/kabupaten yang belum memiliki bioskop, terutama di luar Pulau Jawa. 

Di luar lingkup kebudayaan, ketiga pasangan calon melihat industri kreatif sebagai UMKM yang membutuhkan penguatan di bidang ekonomi. Dengan kerangka berpikir ini, Paslon 02 dan Paslon 03 mengaitkan agenda industri kreatif dengan pemberdayaan koperasi. Paslon 03, misalnya, memiliki agenda “pengembangan koperasi industri kreatif, seperti koperasi film, kuliner, dan fashion”. Dalam misi “Mendorong Industri Kreatif”, Paslon 02 memiliki agenda “merevitalisasi dan memperkuat Koperasi Unit Desa (KUD), pasar rakyat, dan penguatan kelembagaan masyarakat yang bekerja di sektor pertanian, perikanan, kelautan, peternakan, UMKM, pariwisata, dan ekonomi kreatif”.

Industri kreatif juga dikaitkan dengan usaha teknologi rintisan atau start-up. Misalnya, dalam bagian Misi “Mendorong Industri Kreatif”, Paslon 02 mengusung agenda “Meluncurkan Kartu Usaha Startup untuk pengembangan bisnis baru berbasis teknologi dan inovasi” dan “Mendorong pertumbuhan usaha rintisan berbasis inovasi digital yang membuka lapangan kerja baru di masyarakat”. Seirama dengan Paslon 02 dan 03, Paslon 01 juga mengusung agenda “Membangun ekosistem kewirausahaan nasional yang mampu melahirkan berbagai usaha rintisan dan pengusaha muda di berbagai bidang, khususnya sektor industri kreatif”.

Meskipun aplikasi termasuk dalam 17 subsektor industri kreatif, logika usaha rintisan atau start-up tidak bisa secara serta merta dilibatkan dalam payung agenda industri kreatif, terutama perfilman. Siklus dan infrastruktur yang dibutuhkan ekosistem perfilman dan usaha rintisan sangat berbeda.

Agenda Paslon 01: Memajukan Perfilman Indonesia dalam Lima Babak

Di perhelatan “Quo Vadis Perfilman Indonesia?” pada 20 Januari 2024, Anies Baswedan memaparkan agendanya terkait perfilman yang ia beri judul “Memajukan Perfilman Indonesia dalam 5 Babak” (Kumparan, 2024). Beberapa agenda memang sudah tertulis di Visi Misi AMIN secara terpisah-pisah sesuai misi atau Simpul Kesejahteraan. Lainnya, baru muncul di acara ini. 

Lima Babak yang dimaksud adalah (1) Pengembangan Talenta; (2) Dukung Penuh Produksi Film; (3) Perlindungan bagi Pelaku Perfilman; (4) Perbanyak Ekshibisi Film; serta (5) Perkuat Data, Hukum, dan Regulasi. Beberapa agenda sebetulnya telah dijalankan oleh pihak atau sektor lain. Misalnya, program script lab dalam agenda Pengembangan Talenta telah diadakan oleh Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek melalui Indonesiana Film. 

Kemunculan agenda Perlindungan bagi Pelaku Perfilman cukup menonjol. Agenda ini tidak muncul di buklet visi dan misi semua Paslon, termasuk Visi Misi Anies & Muhamin. Sejauh ini, agenda ini hanya ditemukan di presentasi “Memajukan Perfilman Indonesia dalam 5 Babak”. Agenda ini memiliki program (1) Perlindungan dari risiko keselamatan dan kesehatan kerja, serta kekerasan seksual; (2) Apresiasi & penghargaan yang adil bagi pelaku perfilman; dan (3) Mendukung dibentuknya serikat perfilman (Kompas.com, 2024). 

Program perbaikan dan integrasi data lintas instansi juga cukup menonjol. Sebab, ekosistem perfilman yang kompleks membuat data perfilman tersebar di banyak pihak dan sektor. Integrasi data dan pembentukan pusat data dan arsip film menjadi penting untuk pengambilan keputusan stakeholder di perfilman dan memantau kemajuan perfilman dari kuantitas dan kualitas. 

Masih terdapat beberapa agenda masih berhubungan dengan perfilman dalam buklet Visi Misi Paslon 01 atau “”, di luar dari “Memajukan Perfillman dalam 5 Babak” dan agenda-agenda yang telah disebutkan. Salah satunya adalah “Menciptakan ekosistem industri kreatif berkeadilan dengan kebijakan afirmatif untuk pembelian/penggunaan brand buatan Indonesia dan merealisasikan kekayaan intelektual sebagai jaminan pembiayaan”. Komitmen ini perlu dikawal sebab penerapan PP Ekraf No. 24 Tahun 2022 masih belum optimal. Dalam jangka panjang, integrasi sektor keuangan dan perbankan dengan perfilman diharapkan tidak melihat lagi film sebagai beban tapi sebagai aset yang dapat diinvestasikan. 

Anies Baswedan memiliki rekam jejak terkait perfilman dan kebudayaan yang lebih terlacak dibandingkan dengan Muhaimin Iskandar. Ketika menjabat ia menjabat menjadi Mendikbud di 2014-2016, Anies turut membangun dan meresmikan Pusat Pengembangan Film Kemendikbud atau Pusbangfilm melalui Permendikbud No.11 tahun 2015 yang pertama kali dikepalai oleh Maman Wijaya (Kemendikbud.go.id, 2016). Di periode yang sama, di 2015, Pusbangfilm juga menginisiasi Beasiswa Insan Film untuk pelaku perfilman (Kemendikbud.go.id, 2015). Kelas Inspirasi Sinema juga merupakan program Pusbangfilm yang diinisiasi Anies di periode tersebut (Kemendikbud.go.id, 2016). 

Ketika Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta, tidak banyak rekam jejak perfilman yang tercatat. Di bidang budaya yang lebih luas, rekam jejak Anies di bidang kebudayaan yang masih berkaitan dengan perfilman adalah revitalisasi Taman Ismail Marzuki (iNews.id, 2022), yang di dalamnya terdapat Bioskop Kineforum. Di bawah kepemimpinan beliau, Disparekraf Pemprov DKI Jakarta, berkolaborasi dengan Asosiasi IP Kreatif Indonesia (AIPI) serta menggandeng Katapel.id, menyelenggarakan PopArt Jakarta, yaitu acara bagi para kreator intellectual property (IP) yang dikenal sebagai pelaku ekonomi kreatif, seperti kreator komik, game, animasi, film, novel, dan lainnya (ANTARA, 2022). Kegiatan yang berlangsung dari 2021-2023 awalnya bertujuan untuk mendorong ekonomi kreatif setelah Covid-19 dan memberikan ruang kepada kreator untuk memperkenalkan karya mereka.

Agenda Paslon 02: Melestarikan Budaya, Memperluas Lapangan Kerja Kreatif

Buklet Visi Misi “” oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming tidak membahas spesifik agenda perfilman. Dalam visi misi tersebut, kata “film” hanya disebutkan sekali dalam 17 Program Prioritas “Pelestarian seni budaya, peningkatan ekonomi kreatif, dan peningkatan prestasi olahraga”, spesifiknya “Peningkatan ekonomi kreatif melalui seni, musik, film, dan industri kreatif lainnya juga dapat menciptakan lapangan kerja baru dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan” (hal. 37).

Secara singkat, prioritas ini melihat seni budaya sebagai upaya pelestarian yang umumnya seni tradisional dan ekonomi kreatif sebagai penciptaan lapangan kerja. Kemunculan peningkatan olahraga terasa ganjil ketika disatukan dengan seni budaya dan industri kreatif. Nyatanya, prestasi olahraga bersama pelestarian budaya dan peningkatan ekonomi kreatif dilihat “akan mengangkat citra Indonesia di tingkat internasional”. 

Kata “bioskop” hanya muncul sekali dalam agenda Melestarikan budaya, sedangkan kata “sinema” tidak muncul sama sekali dalam buklet Visi Misi. Paslon 02 berencana untuk “membangun dan revitalisasi sentra kebudayaan termasuk bioskop rakyat dan gedung kesenian rakyat di seluruh Indonesia”. Dengan kerangka ini, bioskop dilihat sebagai sarana pelestarian budaya, alih-alih outlet distribusi. 

Meski sedikit menyebutkan elemen perfilman, agenda kebudayaan dan industri kreatif dapat dicocokkan dengan perfilman. Dari agenda melestarikan seni budaya, terdapat beberapa program yang dapat diterapkan untuk kebutuhan perfilman. Pertama, Paslon 02 memiliki agenda untuk “menjamin kebebasan para seniman serta pelaku budaya untuk berkarya, menyampaikan pendapat, dan berkreasi di muka umum”. Agenda ini cukup menonjol. Sebab, di pasangan calon lain kebebasan berpendapat dan berkreasi hanya disebutkan untuk agenda media dan pers—tidak untuk pelaku budaya. Meskipun agenda ini masih abstrak, ini komitmen yang perlu dijaga. Di tingkat akar rumput, banyak kegiatan kebudayaan, khususnya perfilman, yang mengalami persekusi dan larangan beraktivitas baik dari kelompok masyarakat maupun negara. 

Dalam Visi Misi Bersama Indonesia Maju , Paslon 02 berencana “mengalokasikan dana budaya dan memperbesar dukungan pendanaan untuk mendorong kemandirian komunitas-komunitas seni budaya di seluruh Indonesia”. Tidak ada penjelasaan lebih lanjut dari agenda ini dari mana alokasi dana dan dukungan dana komunitas seni budaya yang dimkasud. Sebetulnya, dukungan pelaku pendanaan seni budaya untuk perorangan dan kelompok sudah terjalankan dalam implementasi Dana Indonesiana yang dijalankan berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. 

Paslon 02 menyebut UU Kebudayaan dalam agenda “Mendorong Industri Kreatif”. Lebih tepatnya tertulis “Mendukung terlaksananya UU Pemajuan Kebudayaan Tahun 2017 demi kesejahteraan para pelaku industri kreatif di Indonesia”. Sebetulnya, agenda Paslon 02 terkait kesejahteraan pekerja industri kreatif masih terasa abstrak. Kesejahteraan pelaku budaya dan masyarakat memang diatur oleh UU Pemajuan Kebudayaan melalui langkah strategis pemanfaatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengelola Objek Pemajuan Kebudayaan menjadi produk industri, perdagangan, dan pariwisata. 

Pemanfaatan ini juga mengatur bagaimana pengambilan keuntungan yang diperoleh dengan industri besar dan/atau pihak asing yang memanfaatkan objek kebudayaan dapat dibagikan kepada komponen masyarakat terkait. Belum ada pelaksanaan konkret bagaimana UU ini dapat menjamin kesejahteraan pelaku kreatif. 

Masih terkait kesejahteraan, Paslon 02 juga memiliki agenda untuk “menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang Hak Cipta dan Hak Intelektual lainnya sehingga para artis, musisi, seniman, pekerja seni, penulis buku, dan peneliti lebih dihargai secara optimal dan meningkatkan kesejahteraan mereka”. Agenda ini memosisikan pelaku industri kreatif sebagai kreator, bukan sebagai pekerja. Banyak pekerja kreatif yang mungkin tidak memiliki hak cipta dan intelektual. Negara juga perlu memastikan pekerja industri tetap mendapatkan kesejahteraan dengan dan tanpa hak royalti. 

Terakhir, Paslon 02 juga memandang industri kreatif untuk memperluas lapangan pekerjaan dengan memiliki agenda untuk mendorong perbankan membuat “produk-produk pembiayaan yang khusus bagi industri digital, industri kreatif, dan seni budaya” dan “menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru, termasuk pariwisata, ekonomi kreatif, ekonomi digital, usaha rintisan, industri syariah, dan maritim berbasis komunitas”. 

Rekam jejak Paslon 02 terkait perfilman, kebudayaan, atau industri kreatif tidak banyak yang terlacak. Gibran Rangkabuming memiliki beberapa rekam jejak terkait revitalisasi beberapa bangunan yang kemudian digunakan untuk kebudayaan dan kegiatan ekonomi kreatif. Gibran melakukan revitalisasi terhadap sejumlah tempat yang menjadi ikon bagi Kota Solo, beberapa di antaranya seperti Ngarsopuro. Dalam program revitalisasi itu, Gibran menata kawasan Ngarsopuro yang diperpanjang menjadi pusat industri kreatif dengan cara menghubungkan Night Market Ngarsopuro dengan Jalan Gatot Subroto (Soloraya Solopos, 2021). Dalam masa kepemimpinannya, Pemkot Solo juga memperbanyak konser-konser musik nasional dan internasional untuk menarik turis datang ke Solo (Surakarta.go.id, 2023)

Agenda Paslon 03: Seniman Aman Nyaman

Meski tidak memiliki program khusus perfilman, buklet visi misi “” Ganjar Pranowo dan Mahfud MD memiliki program yang cukup banyak terkait kesenian dan kebudayaan. Kata “film” hanya muncul dalam tiga program, yaitu (1) Optimalisasi peran lembaga sensor film, bacaan, serta hiburan untuk mendukung pembentukan karakter manusia Indonesia demi terciptanya persatuan nasional (hal. 42); (2) Pengembangan koperasi industri kreatif seperti koperasi film, kuliner, dan fashion (hal. 103); (3) Memperkuat integrasi ekonomi dan industri kreatif yang berbasis budaya, seperti film, musik, kerajinan, tata busana (fashion), hingga kuliner (hal. 75).

Penyebutan optimalisasi peran lembaga sensor patut dipertanyakan. Bagaimana wujud optimalisasi peran lembaga sensor? Selain itu, bagaimana sensor dapat berperan dalam pembentukan karakter manusia dan persatuan nasional? Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, sensor memiliki sejarah dalam menghambat ekspresi sineas dalam berkarya. Untuk itu, optimalisasi lembaga sensor perlu dikawal nantinya agar sineas dapat berkarya dan berekspresi dengan aman.

Serupa dengan Paslon 02, Paslon 03 melihat praktik kebudayaan dengan perspektif UU Pemajuan Kebudayaan dan tercermin pula dalam beberapa agenda turunanya (yang masih abstrak, belum berbentuk program konkrit). Selanjutnya, Paslon 03 memiliki agenda untuk menjaga dan penguatan ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan. Terdapat 5 program terkait penguatan ekosistem kebudayaan. Secara garis besar itu mencakup: Revitalisasi bangunan pusat budaya (termasuk museum, Taman Budaya, dan cagar budaya), penguatan dan pembangunan hak ekonomi (contohnya: perlindungan hak cipta, pembangunan hak cipta komunal atau common property), dukungan pembiayaan, apresiasi karya tradisional (melalui program Seniman Aman dan Nyaman), dan diplomasi budaya (melalui integrasi data, pemasaran yang tajam, dan membantu jenama lokal bermitra dengan jenama dunia). 

Beberapa agenda kebudayaan lainnya juga terasa muncul sebagai jargon yang abstrak tanpa ada turunan yang konkrit (. Misalnya (1) Memperkuat, menanamkan, dan mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila sejak dini di dalam kurikulum pendidikan nasional; (2) Mengakselerasi Revolusi Mental melalui gerakan Indonesia Melayani, Indonesia Bersih, Indonesia Tertib, Indonesia Mandiri, dan Indonesia Bersatu; dan (3) Memperkuat peran keluarga sebagai basis terkecil masyarakat dalam mentransformasi budaya, nilai, serta kepribadian.

Berbeda dengan agenda kebudayaan yang memiliki banyak agenda dan program, Paslon 03 memiliki program industri kreatif yang lebih singkat. Dalam agenda “Pemajuan Ekonomi Kreatif melalui Skema Kemitraan”, Paslon 03 menawarkan tujuh program. Secara garis besar, program-program tersebut berupa memperkuat integrasi ekonomi dan industri kreatif yang berbasis budaya, fasilitasi ekonomi kreatif dengan model pentahelix, pengembangan creative hub untuk ekonomi kreatif dan digital di tiap daerah, mendorong promosi budaya di dalam dan luar negeri, dan inkubasi usaha kreatif untuk berkembang dan kompetitif. 

Selain agenda kebudayaan dan ekonomi kreatif, Paslon 03 memiliki program UMKM yang bisa diakses untuk pelaku kreatif. Arsyad Rasyid dalam kegiatan “Teman Cerita Ekraf: Berkarya Sampai Kaya” pada 15 Januari 2024 menyatakan bahwa salah satu program pasangan Ganjar dan Mahfud adalah “alokasi kredit perbankan minimal 35% untuk koperasi, UMKM, dan perusahaan rintisan (start-up) diikuti dengan pelatihan (coaching)”. Agenda Paslon 03 tidak tertulis di penayangan presentasi, tetapi hanya disebutkan oleh Arsyad Rasyid. Penulis hadir dalam kegiatan tersebut. 

Ganjar Pranowo lebih memiliki rekam jejak yang terlacak dibandingkan Mahfud MD. Ketika menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menggagas creative hub dan co-working space untuk industri kreatif yang mengkolaborasikan kerja pemerintah swasta dan profesional. Dalam periode 2020-2022, Hetero Space Jateng telah berlokasi di Semarang, Surakarta, dan Banyumas (Jatengprov.go.id, 2022).

Simulasi Pemilu 2019 oleh Komite Pemilihan Umum. (Sumber: ANTARA)

Pertimbangan Sebelum Ke Bilik Suara

Agenda ketiga paslon capres dan cawapres terasa seperti temuan focus group discussion yang belum diolah menjadi kerangka strategis yang komprehensif untuk ekosistem perfilman. Menuliskan agenda semua subsektor kreatif, UMKM, dan usaha rintisan dalam satu payung sempit “agenda industri kreatif” justru bisa menghasilkan masalah baru bila tidak memiliki kerangka strategis yang matang. Siklus produk kreatif sekali pakai, seperti kuliner, dibandingkan dengan siklus film dan musik yang bisa kita konsumsi tanpa memiliki barangnya tentu berbeda. Mengaitkan industri kreatif dengan usaha rintisan (start-up) atau UMKM juga terasa serampangan, karena kedua bidang ini memiliki siklus berbeda. 

Paslon 01 yang diwakili Anies Baswedan memaparkan program yang tampaknya sesuai dengan kebutuhan pelaku perfilman ketika ia memaparkannya dalam “Quo Vadis Perfilman Indonesia?”. Namun, beberapa hal memang perlu dikritisi terkait detail pelaksanaannya, seperti apa yang dipaparkan di atas, agar tepat guna. Sayangnya, dalam forum tersebut, keterbatasan waktu membuat banyak agenda yang belum dipaparkan secara detail. Belum lagi, rekam jejak yang ia miliki, di luar dari pembentukan Pusbang film, tak jauh berbeda dengan paslon lainnya yang berfokus pada revitalisasi atau pembangunan sarana fisik dan penyelenggaraan acara seremonial. Sehingga, terasa ada jarak antara rekam jejak dan agenda “Memajukan Perfilman 5 Babak” yang ia paparkan. 

Memahami kebutuhan perfilman yang komprehensif rasanya tidak terlalu sulit akhir-akhir ini. Banyak focus group discussion yang telah dilakukan pemerintah dengan pelaku perfilman, kebudayaan, dan ekonomi kreatif. Konferensi Hari Film Nasional 2023 dan peluncuran buku Wajah Perfilman Indonesia juga menyediakan wacana perfilman lintas sektor yang cukup lengkap. Belum lagi, artikel-artikel online yang menyediakan berbagai pengetahuan ini secara gratis. Mengapa temuan-temuan ini tidak tercermin dalam pikiran calon presiden, wakil presiden, beserta tim di mana semua paslon merupakan bagian dari pemerintahan periode 2019-2024? 

Paslon dan negara tak paham betul apa yang kita butuhkan. Mungkin isu perfilman, kebudayaan, dan industri kreatif belum menjadi fokus mereka karena belum menjadi pemasukan negara yang masif dan bukan hal esensial untuk tiap warga negara. Tapi, pemahaman yang sama dalam membangun ekosistem perlu dituntut. Negara bisa saja beralih mengurusi sektor setelah pemilu, tapi pelaku perfilman lah yang hidup sehari-hari menghadapi rantai ekosistem yang tak kunjung berputar dengan ideal. Sedangkan, pemasukan negara atas nama perfilman terus berjalan, di antara pajak penghasilan yang dipotong dari gaji kita, pajak pertambahan nilai yang hadir di biaya rental alat, pajak hiburan yang melekat pada tontonan di bioskop, pajak pertambahan nilai yang turut serta di biaya langganan layanan streaming, dan setoran pajak lainnya. 

Akhir kata, yang fana adalah keberpihakan paslon. Tuntutan kita abadi.