Penuturan individu-melawan-dunia model Amarta sudah tak lagi selaras zaman. Terlebih lagi ketika isu hak warga atas air beberapa tahun ini menjadi isu yang kian mendesak.
Pulau Tanah Air Beta tidak hanya mengupayakan pelurusan sejarah. Pada lingkup yang lebih personal, kita juga bisa melihat film ini sebagai upaya anak mengenal bapaknya—yang kisah hidupnya kerap tersaring propaganda negara.
Dalam How to Win at Checkers, Thailand yang penonton dapati bukanlah negara tujuan wisata. Thailand bukan sekadar candi-candi besar yang kental nilai relijius, bukan pula sekadar cinderamata gajah. Thailand yang penonton lihat adalah kolase kehilangan.
Harapannya, Semalam Anak Kita Pulang bisa menjadi pertanda bahwa kita perlu lebih serius mendedah keterpisahan warga yang timbul akibat motif ekonomi—sebuah fakta peradaban yang tidak bisa kita tolak. Untuk sekarang ini, rasa saja sudah cukup. Nantinya, belum tentu.
Yang terasa dari Djakarta 1966 adalah betapa sumirnya konstelasi politik saat itu. Tidak serta-merta ada dikotomi antara kebencian (kepada PKI) dan pemujaan (kepada TNI), sebagaimana yang terbekukan dalam Pengkhianatan G30S/PKI.
Mampukah humor menyampaikan ide dan pesan film, yang notabene berisi protes akan ketimpangan, kepada penonton? Mungkinkah ia menjadi alat perubahan sosial?