Sekala Niskala: Duka Tak Sebatas Indera

Dulu sekali, masyarakat Hindu di Bali akan panik bukan kepalang jika ada tetangganya yang melahirkan anak kembar buncing—kembar dengan jenis kelamin berbeda. Kehadiran mereka dianggap membawa petaka bagi orang sekitarnya. Umumnya, kedua bayi beserta orangtuanya akan diasingkan demi menjaga kesucian desa. Hari ini, puluhan tahun setelah awig-awig (hukum adat) itu dihapuskan, kutukan kembar buncing kembali hadir dalam Sekala Niskala (The Seen and Unseen), film panjang kedua Kamila Andini.

Dikisahkan Tantra dan Tantri sepasang saudara yang selalu menghabiskan waktu bersama di rumah maupun di ladang. Bahkan film ini mengibaratkan penyatuan keduanya bak sebuah telur, yang oleh Tantra dan Tantri adalah lauk yang selalu mereka bagi: kuning telur untuk Tantra, putih telur untuk Tantri. Mereka memang tidak didepak oleh masyarakat ke tengah hutan atau tanah kosong dekat kuburan. Bencana yang mereka hadapi hadir dalam wujud ranjang rumah sakit. Kelumpuhan saraf membuat Tantra tidak sadarkan diri dan kehilangan fungsi inderanya satu per satu.

Meski berlatar di luar kota besar, Sekala Niskala tidak menghadirkan cerita tentang masyarakat di pelosok dengan kompleksitas problem yang berlapis, sebagaimana Siti dan Turah yang sama-sama diproduksi di bawah bendera Fourcolours Film. Selama 81 menit Sekala Niskala hanya bolak-balik menerjemahkan perasaan kehilangan dari seorang anak perempuan yang masih memikul harapan akan kesembuhan adiknya. Dalam Sekala Niskala, ungkapan akan perasaan-perasaan personal ini justru menjadi sebuah pengalaman kultural yang unik.

Kamila Andini, sebagaimana yang ia lakukan dalam Laut Bercermin (The Mirror Never Lies), kembali menempatkan seorang anak perempuan yang melarikan diri dari rasa kehilangan sebagai protagonis cerita. Sejak awal cerita, kematian Tantra sudah ditegaskan sebagai keniscayaan, namun Tantri menyangkalnya dengan menolak menengok saudaranya di ruang inap. Tantri malah mencoba menyelamatkan keriangan mereka lewat dunia yang ia reka khusus untuk dirinya dan saudara kembarnya. Di sana mereka saling bertukar cerita, irama, dan makna.

Kamila Andini menggambarkan rasa kehilangan tokoh-tokohnya melalui pelarian-pelarian yang mereka lakukan di luar keseharian. Dalam Laut Bercermin, Pakis yang menunggu ayahnya pulang—yang bagi sebagian orang sudah meninggal di tengah laut—melampiaskan kerinduannya melalui cermin peninggalan ayahnya. Suatu kali ia menggantung cermin-cermin bak instalasi seni di sebuah pohon di sebuah pulau yang ia jadikan kuil untuk menuntunnya menemukan sang ayah. Dalam Sekala Niskala, Kamila Andini menokohkan Tantri sebagai protagonis yang keras kepala. Ia menolak berduka dengan menghidupkan kembali adiknya melalui pertemuan-pertemuan rahasia mereka di dunia niskala yang diisi dengan tarian yang dibawakan keduanya. Rangkaian gerak tari ini hadir untuk membahasakan emosi yang tak mampu diutarakan secara verbal oleh Tantri. Berduka, bagi Tantri, bukanlah duduk sesenggukan di samping kasur rumah sakit sambil mengutarakan kalimat-kalimat bernada lirih. Alih-alih pengelakan akan kehilangan dimanifestasikan melalui tari-tarian yang gaduh namun sunyi.

Tari-tarian yang dipentaskan dalam Sekala Niskala bukanlah tari-tari tradisi adiluhung yang sebenarnya juga diciptakan berdasarkan kisah-kisah epos turun temurun. Sekala Niskala mencipta ulang rangkaian tari dengan formula yang lebih kontemporer tanpa melepaskan kekhasan lokal yang diusung. Mulai dari tarian adu ayam yang lahir setelah Tantri menyaksikan tajen, tari pemujaan terhadap Dewi Ratih (Bulan) yang ditelan Raksasa Kala Rau, hingga tarian kera penuh amarah yang sekaligus mengakhiri rangkaian usaha Tantri untuk membangunkan Tantra.

Capaian ini patut diapresiasi lebih. Film-film yang berlatar di daerah-daerah luar wilayah urban Jawa, biasanya menghadapi semacam tanggung jawab moral untuk turut “memperkenalkan” daerah yang dianggap kurang populer ini kepada publik awam. Tanggungjawab ini kemudian terungkapkan melalui kemunculan rekaman-rekaman etnografis masyarakat setempat, yang seringkali tak berdampak pada jalan cerita film dan tak jarang menjebak film dalam eksotisasi kultur setempat. Dalam Laut Bercermin, hal tersebut nampak dalam sekuens prosesi pernikahan masal masyarakat Bajo. Dalam Sekala Niskala, menariknya, tidak ditemukan permasalahan yang sama.

Semesta Magis dalam Sinema

Sekala dan niskala yang dirujuk dalam judul film berakar dari filosofi umat Hindu Bali tentang dua dunia paralel. Sekala diartikan sebagai dunia berserta isinya yang dapat dilihat, disentuh, ditangkap oleh panca indra manusia—realitas sehari-hari yang dapat dinalar oleh orang kebanyakan. Sementara niskala adalah dunia yang oleh sebagian besar manusia tak dapat ditangkap dengan indera, yang oleh karenanya kerap dianggap berada di luar nalar atau lazim disebut sebagai ‘dunia gaib’.

Sekala dan niskala tidak saling bertentangan. Keduanya berjalan bersisian, saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam film, dualitas tersebut terwujud melalui penggambaran keseharian yang dialami Tantri yang secara visual selaras dengan adegan-adegan serupa mimpi. Sama terangnya, sama gelapnya.

Sekala Niskala membiarkan kedua dunia ini berjalan senyata-nyatanya peristiwa keseharian. Tantra divonis akan kehilangan penglihatan, kemampuan bergerak, dan mendengar. Berganti malam, Tantri akan masuk ke kamar inap Tantra dan mereka saling bertukar cerita dan dongeng. Kedua kenyataan yang berlawanan dalam dunia sekala dan niskala ditampilkan dengan perlakuan sinematografis yang sama, yang akan membuat penonton menebak-nebak bahwa keduanya berlangsung di dunia yang sama. Ketika Tantri memimpikan pemujaannya pada Dewi Bulan atau pertemuannya dengan Tantra di kamar, semuanya dihadirkan tanpa tendensi untuk menunjukkan bahwa peristiwa tersebut adalah mimpi, bahkan khayalan. Bahkan adegan pembuka dalam film ini, ketika Tantra dan Tantri makan dengan telur dibagi dua lalu muncul suara yang janggal, diakhiri dengan shot Tantri membuka mata dari tidur. Adegan tersebut hadir tanpa kejelasan. Apakah ia sedang bermimpi? Atau sedang melakoni peristiwa lampau?

Sebagai negara yang mewajibkan warganya memeluk agama, penggambaran dunia gaib—terutama yang berkaitan dunia setelah kematian—bukanlah hal yang asing dalam film Indonesia. Umumnya, dunia gaib dan dunia nyata dihadirkan secara dikotomis, untuk kemudian diarahkan ke solusi-solusi moralis yang tak jarang berkenaan dengan memeluk salah satu agama “resmi” negara. Makhluk-makhluk tak kasat mata diperlakukan sebagai perusak keseimbangan, dan oleh karenanya harus dienyahkan demi menciptakan kehidupan yang harmonis. Seisi dunia gaib tidak lebih dari sekumpulan ganjaran yang akan diterima manusia bila melenceng dari ajaran agama. Singkatnya, meski cerita-cerita tersebut mengakui adanya dunia lain di luar alam semesta yang kita tinggali, pada akhirnya pusat kehidupan yang paling mulia dan utama tetaplah dunia yang dihuni manusia, atau alam ‘sekala’.

Penggambaran yang dangkal macam ini menihilkan keragaman perlakuan dan cara pandang terhadap dunia ‘gaib’ yang diamalkan oleh suku-suku di sepanjang daratan nusantara, yang tak hanya berpangkal pada nilai baik-buruk. Dalam skala yang lebih luas, Apichatpong Weerasethakul, sineas asal Thailand, telah lebih dulu memperkenalkan bahasa visual untuk memperlakukan yang tak nampak dengan setara. Hantu-hantu dalam film Apichatpong tidak hadir sebagai sosok ganjil atau sebagai antagonis dari realitas manusia, melainkan sebagai bagian dari keseharian tokoh-tokoh dalam film. Arwah mendiang istri, anak yang menjelma Genderuwo, penunggu kuil yang menjelma perempuan cantik duduk sama tinggi dengan tokoh-tokoh manusia dalam cerita.

Sebelum Sekala Niskala, upaya-upaya untuk mendefinisikan ulang semesta magis dalam film sesunguhnya telah dilakukan oleh beberapa sutradara Indonesia, mulai dari Rumah dan Musim Hujan (2012) karya Ifa Isfansyah, Liburan Keluarga (2013) karya Tunggul Banjaransari, Ruah (2016) karya Makbul Mubarak, hingga Sunya (2016) karya Harry Dagoe. Sekala Niskala dalam hal ini hadir sebagai pengakuan atas keragaman kepercayaan masyarakat Indonesia atas dunia tak kasat mata yang tak melulu dikotomis.

Sekala Niskala secara konsisten memberi keleluasaan bagi penonton untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa yang terjalin dalam film. Pilihan-pilihan sinematografis film ini juga secara spontan menguji paradigma penonton untuk menerjemahkan ulang batas-batas kenyataan. Bahwasanya rangkaian peristiwa yang nampak surealis dalam film tidak lain adalah bagian dari realitas itu sendiri.

Nyatanya, seiring berjalannya film, realitas sekala dan niskala semakin melebur. Tantra tak lagi merasakan tangannya ketika bermain alat musik penting (siter). Pun ia tak mau beranjak dari tempat tidur sebagaimana biasanya, ketika Tantri menari menirukan kera-kera yang ia temui di pantai. Simbol bulan yang kerap hadir dalam film sebagai metafor atas sisa umur Tantra pelan-pelan meredup lalu menghilang. Matahari terbit menggantikan purnama-purnama yang usang menjadi penutup film sekaligus permulaan atas penerimaan Tantri terhadap kenyataan.

Sekala Niskala, sebagai sebuah film yang membingkai Bali, tidak hanya berhenti pada problem permukaan atau visual eksotis belaka, namun mampu menyelami keseharian tokoh-tokohnya, menyulam konteks-konteks lokal, dan menghadirkannya dengan begitu mengalir. Sekala Niskala menegaskan bahwa pengalaman akan keragaman kultur tak hanya bisa diungkapkan lewat produk kebudayaan atau ritual agama setempat, tapi bisa juga melalui perasaan-perasaan personal yang sesungguhnya universal.

Sekala Niskala (The Seen and Unseen) | 2017 | Durasi: 86 menit | Sutradara: Kamila Andini | Penulis: Kamila Andini | Produksi: Treewater Productions, fourcolours films | Negara: Indonesia | Pemeran: Thaly Titi Kasih, Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena, Ayu Laksmi, I Ketut Rina, Happy Salma, Gusti Ayu Raka