Mengenang Advent Bangun

Banyujaga bertarung sengit dengan Mandala di luar sebuah gua. Jual-beli pukulan dan tendangan terjadi dengan seru.  Kedua pendekar itupun beradu ilmu kanuragan. Ledakan terjadi di tengah mereka, saat sinar hijau yang keluar dari tangan mereka saling beradu. Terdesak, Banyujaga mengeluarkan sepasang parangnya. Mandala pun mengeluarkan golok setan, sebuah senjata sakti yang jadi rebutan. Mereka terbang dan berduel.

Tang!” Sekali sabetan golok setan, dua parang Banyujaga patah. Banyujaga kemudian disabet golok itu. Ia terluka dan lari menghilang ke dalam pasir. Nahas, Banyujaga yang kembali ke markas Ratu Siluman Buaya Putih, majikannya, malah dibunuh. Ia dianggap gagal membereskan Mandala dan merebut golok setan. Lehernya dililit selendang Sang Ratu, dan tubuhnya kemudian dihempaskan ke dalam kobaran api.

Cuplikan adegan tadi terdapat di Golok Setan (1983), film arahan sutradara Ratno Timoer produksi Rapi Film. Tokoh Mandala diperankan Barry Prima, sementara Banyujaga diperankan Advent Parangin Angin Bangun, yang lebih dikenal sebagai Advent Bangun. Di film tersebut, Advent pertama kali bermain bersama Barry, aktor yang menjadi lawan sepadan dan paling dikenang sepanjang sejarah film laga Indonesia.

Golok Setan bukanlah film pertama Advent. Ia kali pertama berkarier di dunia film saat bermain dalam Rajawali Sakti (1976). Namun, perannya tak begitu menonjol dibanding film-film setelahnya. Honor pertama kali main film hanya sebesar Rp 350 ribu (Film, Nomor 023, 1986: 45), atau kurang lebih lima juta rupiah pada 2018. Baru di Golok Setan ia benar-benar “disorot kamera”. Lantas, ia menjelma menjadi aktor laga yang diperhitungkan pada 1980an.

Kabar kematiannya mengantarkan saya kembali ke masa kecil. Dulu, dekade 1990an, saya menonton beberapa filmnya di stasiun televisi, atau sesekali jika ada hajatan di dekat rumah, melalui layar tancap. Saya—atau jangan-jangan sebagian besar dari kita—selalu ingat dengan Si Buta Lawan Jaka Sembung (1983). Film arahan sutradara Dasri Yacob itu serasa bisa bersaing dengan banyaknya film laga kala itu.

Advent identik dengan film gebuk-gebukan. Sebelumnya, ia bergelut sebagai atlet karate. Tak main-main, Advent pernah menjadi juara nasional dari 1973 hingga 1983. Ia pun pernah menjadi juara III sebanyak empat kali di turnamen Asia Pasifik, dua kali juara ASEAN, dan juara I turnamen tiga negara antara Indonesia, Australia, dan Selandia Baru. Kisah ini ia ceritakan dalam artikel “Advent Bangun Diambil Teguh Karya” di majalah Film, Nomor 23, Tahun II, 1986.

Advent sempat menjadi orang kantoran, bekerja di sebuah perusahaan swasta. Namun, hanya dua tahun saja ia bekerja. Ia dipecat karena tak mentaati disiplin dan aturan yang diterapkan di perusahaan itu.

Peruntungan Advent memang ada di film laga. Ia tampil memukau di antara sederet bintang laga pada masanya, seperti Barry Prima, George Rudy, dan Willy Dozan. Publik mengenalnya begitu hingga kini. Perawakan Advent yang tinggi kekar, plus muka sangar, menjadi modal yang memuluskan kariernya sebagai bintang laga. Film-filmnya pun didominasi sebagai peran antagonis: penjahat. Pada 1986, ia pernah diajak sutradara kawakan Teguh Karya untuk bermain di dalam film barunya. “Tentu saja saya senang sekali. Berarti orang akan melihat bahwa saya muncul di film tidak hanya untuk gebug-gebugan. Tetapi juga mengenali seni dramanya,” kata Advent kala diwawancarai wartawan Film pada 1986.

Saya tak bisa memastikan apakah kerjasama itu akhirnya kejadian atau tidak. Di Pacar Ketinggalan Kereta (1988), film terakhir yang Teguh Karya sutradarai (menurut catatan JB Kristanto dalam Katalog Film Cerita Indonesia 1926-2007), nama Advent tak ada di deretan pemain. Barangkali, kerjasama itu tak pernah terwujud.

Selama berkarier di dunia film, Advent total berperan di lima puluh film. Tidak semuanya film laga. Ia pernah main di film komedi, bersama grup lawak Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro) dalam Gantian Dong (1985). Advent berperan sebagai Tony, seorang pemuda yang cemburu gara-gara menyangka Indro ada main dengan pacarnya. Film terakhirnya adalah Amrin Membolos (1996), film anak-anak arahan Yonky Souhoka yang menampilkan Dan Bograd sebagai pemuda kerajingan main sepatu roda. Akan tetapi, mungkin saking banyaknya film aksi yang Advent mainkan, yang tertancap di ingatan kita ya hanya film-film gebuk-gebukan.

Pada masa-masa senjanya, Advent mengabdikan diri untuk menjadi rohaniawan, dan kemudian dikenal dengan nama Thomas Bangun. Pada 2007, ia meluncurkan buku memoarnya berjudul Hitam Putih Advent Bangun, yang mengisahkan perjalanan hidupnya dari kecil yang sarat kekerasan hingga berhasil berkat ilmu bela diri karate (Reformata, 16-31 Januari 2007).

Advent Bangun mengembuskan napas terakhirnya pada 10 Februari 2018, akibat penyakit diabetes yang menjalar dan menyebabkan komplikasi. Ia akan dikenang sebagai salah seorang aktor laga terbaik di negeri ini, jauh sebelum era Iko Uwais.

Selamat jalan, kisanak. Selamat jalan, pendekar.