Usmar Ismail: Meninjau Dunia Film

Studio PERFINI dibangun di Jalan Pierre Tendean – Mampang, Jakarta Selatan, 1953 [Sinematek]

Tulisan Usmar Ismail ini aslinya terbit sebagai pengantar buku Tjitra (1949), novelisasi dari film berjudul sama, lalu diterbitkan ulang oleh mingguan Star News dalam tiga bagian dengan judul “Usmar Mengantar: Menindjau Dunia Film”. Bagian pertama terbit di Star News, No. XV, hal. 10-14, 1953; bagian kedua di Star News, No. XI, hal. 13 & 16, 1953; dan bagian ketiga di Star News, No. XVII, hal. 16-20-25, 1953. Disalin oleh redaksi Cinema Poetica dengan sejumlah penyesuaian bahasa.

BAGIAN 1

Saya masih ingat, waktu saya duduk di sekolah rendah dan film belum bisa bicara seperti sekarang, tidak akan ada orang bisa menahan saya tinggal diam di rumah, jika ada film bagus sedang diputar di Scala Bio. Bagi saya film yang bagus ialah film yang ada berkelahinya, ada bandit, ada lakonnya dan ada si nona yang dibawa lari si bandit, lalu kemudian sesudah kejar-kejaran di atas kuda atau di atas mobil, kembali ke dalam pangkuan si lakon. Apalagi jika lakonnya Tom Mix, Buck Jones, Richard Talmadge, saya paling suka. Tetapi saya akan paling gembira jika dapat nonton si Tjonat atau Abang Kuasa dalam Nyai Dasima.

Segala bahaya akan saya tentang, juga bahaya rotan ayah saya, hanya untuk dapat pergi ke Scala Bio. Ayah saya dalam hal ini agak lain pendiriannya dari saya, untuk mendapat izin memang rada-rada sukar. Karena itu sering kali saya terpaksa mempergunakan jalan-jalan yang luar biasa, misalnya waktu malam keluar lewat jendela. Tetapi waktu bulan puasa, saya berkuasa atas diri saya sendiri, karena semua orang pergi sembayang tarawih, termasuk diri saya sendiri, cuma saya tarawih di gedung bioskop. Jika tak ada uang, bukan soal yang penting. Penjaga pintu adalah konco karib saya dan dia mengerti kesulitan-kesulitan yang saya hadapi. Dia tadinya sekolah seperti saya juga, tapi dikeluarkan, karena kelewat banyak bolos, karena kelewat candu bioskop.

Tapi dia tidak menyesal, malahan dia bangga atas angkatannya jadi penjaga pintu itu. Dia suka memasukkan saya, tapi jika film sudah mulai dan sang tauke tidak ada dekat-dekat situ. Begitulah saya candu bioskop dan dengan saya banyak lagi anak-anak yang lain. Sampai waktu saya sekolah menengah, kecanduan tidak makin berkurang, malahan makin bertambah. Ada waktunya saya duduk dalam gedung bioskop dari pagi sampai tengah malam, dengan tiada istirahatnya. Demikianlah bioskop itu telah menjadi sebagian acara hidup saya, hingga saat ini. Dapat saya katakan, bahwa saya hanya satu dari yang banyak.

Tentu saja, alasan yang mendorong saya pergi ke bioskop itu tidak sama pada segala waktu. Waktu saya kecil, saya gemar kepada film-film Tom Mix, karena Tom Mix itu adalah pahlawan saya. Saya ingin seperti dia, naik kuda berpacu kian-kemari, berkelahi selalu menang, ditembak tak pernah mati. Semua itu menghidupkan khayal saya. Main cowboy-cowboyan, itulah kesukaan saya. Kemudian datang periode King Kong, Tarzan, dan lain-lain, segala yang dashyat dan negeri. Lalu menyusul masa asmara-remaja, masa James Dunn dan Sally Eilers, Charles Farrell, dan Janet Gaynor.

Dan datang masa “masa bodo”, ke bioskop hanya sekadar periang hati, jika segala kerja yang bermanfaat tak ada lagi.

Tetapi akhirnya datang juga masa kesadaran menimbang dan memilih, menonton tidak sembarang menonton. Meskipun demikian kesukaan kepada film itu tetap. Dan dalam hal ini, saya hanya seorang dari jutaan yang lain.

***

“Kinematografi (sinematografi) maju dengan pesatnya. Kemungkinan-kemungkinan di masa depan tidak akan habis-habisnya. Kita jangan lupa, bahwa baru sekarang di dapat jalan ke arah kesenian film yang sebenarnya dan baru sekarang dia dapat dilepaskan dari kekuasaan cabang-cabang kesenian lainnya, seperti sandiwara. Kesenian film baru ada di tingkat pertama mendapat cara-caranya sendiri”. Demikian berkata pujangga film Russia Pudovkin pada 1928.

Sekarang 22 tahun sudah lewat. Dan seperti diramalkan oleh Pudovkin, bayi itu sudah menjadi suatu “kesenian internasional yang besar”. Meskipun tentang kesenian tidaknya itu sampai sekarang masih diragu-ragukan orang, suatu kenyataan ialah, bahwa film sudah menjadi bahasa internasional.

Tak dapat disangkal, bahwa dia dalam waktu yang singkat sudah merebut kedudukan tersendiri dalam kehidupan bangsa-bangsa di lima benua. Dan peranannya di masa depan akan lebih besar lagi.

Mungkin semua ini tidak tuan sadari jika tuan sedang asyik tertawa terbahak-bahak melihat gerak-gerik Laurel-Hardy yang menggelikan, mungkin juga tidak jika tuan berpanas-panas berdiri dalam suatu barisan yang panjang untuk dapat membeli sehelai karcis, bagaimana besarnya sebenarnya peranan (rol) yang dimainkan oleh “gambar-gambar hidup” dalam kehidupan rohani, tetapi juga dalam anggaran belanja penghidupan tuan sehari-hari.

Dan tuan juga tidak akan bertanya apakah sebenarnya film itu, bagaimana dia bisa dibuat? Barangkali tuan tahu nama maskapai (rumah produksi) yang telah menghasilkannya, siapa-siapa yang main dalamnya dan sudah menonton tuan dapat mengatakan: film itu baik atau film itu jelek. Atau kadang-kadang tuan tidak mempunyai pendapat sama sekali. Tapi tuan tetap tidak pusing, usaha-usaha apakah yang dikerjakan sebelum film itu diputar di gedung bioskop.

Tuan suka menonton bioskop, tetapi tuan tidak ingin tahu hakikat pembuatan suatu film atau barangkali tidak ada orang yang mau memberi tahukannya kepada tuan. Hingga apa yang tuan lihat itu sebenarnya tetap suatu barang yang asing bagi tuan. Dan dalam hal ini ruginya ialah, bahwa banyak kali tuan tidak sadar apa yang disuguhkan kepada tuan. Lagi, tuan tak dapat menikmat sesuatu pertunjukan itu dengan sesungguhnya sebagai seorang yang mempunyai selera halus (fijnproever). Dan tentu saja tuan tidak akan dapat menghargai sifat-sifat seni yang terkandung di dalamnya.

Dengan tidak sengaja tuan melakukan pembunuhan terhadap diri sendiri dan terhadap kesenian yang dimaksud untuk jadi bahasa internasional yang sehati itu. Paling-paling tuan hanya menggembungkan kantong kaum kapitalis yang dengan tidak segan-segan, dengan tiada kenal moral akan meracuni selera tuan, disertai dengan semboyan-semboyan muluk sebagai umpan, supaya tuan dengan mudah masuk perangkapnya.

***

Waktu saya masih suka menonton Tom Mix, saya juga tidak peduli siapa dan bagaimana caranya film dibuat. Saya tidak pernah merasa diracuni, juga kemudian pun tidak. Tapi saya masih ingat, bagaimana masyarakat menjadi gempar karena banyaknya anak-anak muda membunuh diri, sesudah pertunjukan film Melati van Agam, mengikuti contoh Norma dan Idrus. Film memang adalah suatu kesenian internasional buat seluruh kemanusiaan, film mempunyai sifat-sifat yang meudah dapat dipahamkan, mudah diterima oleh mata dan kuping, lekas meresap ke dalam perasaan, karena deretan gambar-gambar yang dengan kecepatan 24 gambar satu sekon itu diputar di depan mata penonton tidak memerlukan dari dia kecerdasan pikiran yang luar biasa. Segala-galanya disuguhkan hanya untuk ditelan, enak atau tidak enak. Dalam hal ini si pembuat film, terutama si penulis dan pengatur cerita, adalah diktator yang maha kuasa. Dia dapat membawa penonton bermimpi ke indrakila, atau dapat menyeretnya ke neraka jahanam, tetapi dia dapat juga memberi tenaga hidup baru yang berputus asa dan patah hati, dapat membuka pandangan baru terhadap kehidupan dan penghidupan kemanusiaan, dan dutaannya yang paling mulia adalah, bahwa dai dapat membawa pengertian yang lebih baik antara sesama makhluk yang ada di dunia fana ini.

Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, Hans Richter, seorang sineas Jerman pernah menulis suatu risalah mengenai hal ihwal sekitar pertumbuhan kinematografi yang dimaksudnya untuk memperkenalkan kesenian baru itu pada khalayak, supaya masyarakat umum yang pada waktu itu rupanya masih anti-film menjadi pengasih film.

Di Indonesia kita ini perasaan anti-film itu masih merajalela, terutama di daerah-daerah dimana perasaan keagamaan masih keras. Dan adalah itu kewajiban para sineas Indonesia yang bercita-cita untuk memberikan pengertian tentang film yang lebih jelas, tidak saja terhadap golongan-golongan ortodoks itu, tetapi juga terhadap masyarakat penonton umumnya yang pada hakikatnya belum dapat disebut mempunyai kesadaran film (film-minded).

***

Batu bata adalah bahan pembuat rumah. Demikian pula gambar film adalah bahan pembuat film.

Gambar film itu, meskipun dia dapat bergerak, seperti halnya dengan batu bata tadi adalah suatu barang yang mati. Jika kita lihat di layar putih misalnya, gambar orang jatuh, belum dapat dikatakan gambar itu adalah film, tetapi gambar orang jatuh itu adalah bahan untuk membangunkan suatu film.

Jika diambil perumpamaan lain, dalam kesusasteraan itu dipakai kata-kata sebagai bahan, tetapi kata-kata itu sendiri adalah barang yang mati. Baru jika kata-kata itu disusundalam hubungan pengertian yang besar, dia menjadi hidup dan bernyawa. Demikian juga halnya dengan film. Hanya jika gambar suatu objek, merupakan satu unsur dari suatu kesatuan yang besar, barulah dia mempunyai arti kinematografis. Kalau tidak, paling-paling dia mempunyai suatu kenyataan fotografis saja.

Penciptaan gambar-gambar fotografis yang mati itu menjadi suatu bentuk sinematografis yang hidup, dinamakan montage (penyusun film). Montage itulah pencipta yang memberi nyawa kepada film. Hans Richter dalam hal ini mengambil contoh sebagai berikut:

Bahan pertama adalah gambar seorang laki-laki yang memandang ke satu arah.

Bahan kedua, ada tiga macam, yaitu gambar sepiring nasi yang lezat kelihatannya, gambar mayat seorang yang mati terbunuh dan gambar seorang perempuan rebah-rebah di atas divan, sedang pahanya terbuka. Jika bahan pertama disusun dengan salah satu macam bahan kedua di atas, dengan berganti-ganti, pastilah kesan yang ditimbulkan pada penonton akan berlain-lain pula.

Pada faktor montage ini saja sudah jelas, bahwa film itu berdiri lepas dari sandiwara. Dan sungguh salah anggapan yang mengatakan, bahwa montase itu adalah pekerjaan lem-mengelem atau sambung-menyambung film saja. Montage adalah metode.

Meskipun dewasa ini kinematografi sudah sangat maju, alat-alat yang dipakai sudah sangat modern, tetapi prinsip montage itu tetap. Yang datang kemudian hanyalah cara-cara untuk menyempurnakannya.

Misalnya, gambar pertama adalah laki-laki yang memandang kesatu arah tadi.

Gambar kedua, perempuan yang sedang rebah-rebah di atas divan itu. Untuk menyempurnakan efek, sekarang kedua gambar itu tidak semata-mata disusun berturut-turut, tetapi mula-mula diambil gambar besar (close-up) laki-laki itu, lalu kamera perlahan-lahan mengedari kepalanya sampai kelihatan hanya bagian belakang kepalanya, tetapi sementara itu didepannya kelihatan perempuan rebah tadi. Lalu kamera sekarang dapat mendekati perempuan itu sampai gambar besar (close-up). Meskipun dalam hal ini tidak ada yang dilem, karena ambilannya hanya satu kali, tetapi dasar kerja tetap memakai prinsip montage. Hanya alat pemotong dalam hal ini misalnya suatu kendaraan penggotong kamera yang dinamakan dolly atau crane yang lebih besar.

***

Untuk menyelenggarakan prinsip montage tadi dengan teratur perlu ada suatu rencana kerja yang tertulis. Karena jika film yang akan dibuat itu sudah mengenai suatu acara besar yang tidak dapat lagi dihimpun dalam penyusunan beberapa puluh ambilan gambar, tetapi sudah meliputi 400 sampai 500 ambilan (shot), maka tidak boleh tidak harus rencana kerja itu dikitabkan. Setengah pengatur film (regisseur atau sutradara) tidak mau terikat kepada suatu rencana kerja yang telah lengkap sampai kepada hal yang kecil-kecil.

Rosellinni, seorang regisseur Italia yang terkenal karena film Rome, Open City diceritakan hanya bekerja dengan tidak lebih dari 20 lembar kertas ditik yang hanya berisikan deretan kejadian cerita.

Tetapi seorang seperti Hitchcock, regisseur Inggris yang terkenal itu, sebelum memulai pengambilannya (opname atau syuting), terlebih dulu menyuruh gambarkan ambilan (shot) yang kurang lebih 500 potong itu satu per satu, hingga sebelum bekerja dia sudah tau, bagaimana rupa akhirnya film itu. Meskipun kesukaran tiap-tiap regisseur itu berlainan dan terutama juga tergantung kepada bakat dan kecakapannya masing-masing, pada dasarnya mereka semua bekerja atas suatu rencana yang pasti, pada yang satu semua sudah ada dalam kepalanya, pada yang lain perlu dituliskan dengan teliti.

Nyatalah bahwa untuk menyusun suatu kitab-kerja film, yang berarti menyusun film itu sendiri, tidaklah hanya diperlukan bakat menulis serta fantasi yang besar saja, tetapi juga membutuhkan pengetahuan tentang cara-cara pengatur film (regisseur) bekerja, pengetahuan tentang cara-cara pengambilan film (opname) dan akhirnya pengetahuan tentang prinsip montage.

Karena baiklah ditegaskan disini, bahwa cara-cara pembuatan film di Indonesia ini, kebanyakan sama sekali terlepas dari cara-cara bekerja yang berdasarkan prinsip montage itu, hingga hasil akhir tidak lain hanyalah merupakan pekerjaan tempel-sambung-hantam-keromo yang diberi nama “film”. Jika dalam pembuatan suatu film misalnya, sesudah selesai satu bagian baru ketahuan sambung-sambungan tidak jalan dan lalu lekas-lekas dibuatkan gambar-gambar penyambungnya supaya seluruhnya kelihatan toh jalan dan logis maka itu berarti bahwa rencana kerjanya tidak beres, karena mengabaikan prinsip-prinsip montage tadi. Dan sungguh menakjubkan bagaimana setengah kaum di Indonesia ini menganggap enteng segala yang dikemukakan di atas dan menganggap membuat film itu sama saja dengan membuat tahu, tempe, atau kecap. Tetapi penonton toh tidak akan tahu semua itu, jadi kenapa mesti rame-rame. Penonton suka dan duit masuk, mau apa lagi?

Juru kamera, R. Husin dan Max Tera, dengan Usmar Ismail saat syuting [Sinematek]

BAGIAN 2

Sebelum membuat film, tentu si pembuat (produser) lebih dulu mencari bahan cerita. Banyak orang beranggapan, bahwa dalam film banyak ada kemungkinan-kemungkinan yang tidak dapat diselenggarakan dalam roman atau dalam lakon sandiwara misalnya. Tapi sering dilupakan, bahwa banyak hal-hal yang dapat diwujudkan dalam roman atau dalam lakon yang tidak dapat dilukiskan dalam film. Seperti telah dikatakan, film adalah pernyataan kesenian yang, tersendiri yang tentu mempunyai sifat-sifat yang khas pula. Demikianlah dalam memilih cerita film, pembatasan pokok cerita menjadi satu syarat yang terpenting. Béla Balázs, seorang ahli film yang kenamaan telah berkata: “Kegagalan film-film yang dibiuat menurut hasil-hasil kesusasteraan adalah disebabkan karena si penggubah lakon film ingin merangkum terlalu banyak bahan cerita ke dalam pigura layar putih yang sempit itu.”

Pokok cerita serta dasar pikiran, hendaklah dituliskan dengan terang dan jelas dalam suatu singkatan cerita yang mesti menjadi rangka (plot) rencana film. Sesudah itu disusun kembali daftar para pelaku, diteliti apakah peranan (rol) yang dimainkan oleh tiap-tiap pelaku dalam pertumbuhan lakon setingkat, demi setingkat, dan ditegaskan lagi apa hubungan yang satu dengan yang lain. Jika si penggubah dapat berpikir secara teratur tentang pokok ceritanya dan dapat dia meneruskan sendi-sendi pikiran yang terletak dalam rangka rencana film tadi, maka dia akan menemui patokan-patokan lain yang baru yang akan membantu dia dalam mencari bentuk yang pasti untuk mewujudkan pokok ceritanya itu.

Dalam hal ini tidak boleh sekali-kali dilupakannya, bahwa si penonton tidak saja ingin tahu apa yang terjadi, tetapi juga bagaimana terjadinya!

Demikianlah singkatan cerita yang tadinya barangkali hanya terdiri dari setengah halaman tik, perlahan-lahan meluas menjadi beberapa puluh halaman. Hasil usaha ini dinamakan treatment (penggubahan). Penggubahan ini disusun kembali dalam beberapa bab (act, Teile).

Dalam mengadakan pembagian ini terutama hendaklah diingat tingkat-tingkat ketegangan (tense) pertumubuhan laku yang mesti memuncak terus. Ketegangan ini hendaknya lekas terasa pada penonton serta ketumbuhan laku yang bertingkat-tingkat itu hendaknya tidak sekejap boleh melepaskan minat penonton dari ikatannya.

***

Jika pembagian bab-bab itu sudah rapi, barulah si penggubah akan menjumpai kesulitan-kesulitan yang khas dalam pekerjaannya menulis suatu rencana kerja film. Karena penggubahan yang sudah dibuatnya itu sekarang mesti menjadi gambaran yang plastis. Segala yang tidak mungkin diperlihatkan secara plastis mesti dibuang. Jika dia ingin menggambarkan watak seseorang, maka mestilah dia menempatkan si pelaku itu dalam suatu keadaan yang mendesak dia berbuat sesuatu dan memperlihatkan wataknya sendiri. Dalam suatu gubahan film tidak dapat orang hanya menuliskan suatu keterangan, misalnya si A itu penakut, dengan tidak menggambarkan bagaimana penakutnya itu. Jika sesuatu kejadian yang perlu digambarkan, maka hendaklah diambil lukisan yang paling jelas tentang keadaan yang terpenting dalam kejadian itu.

Jadi dalam suatu gubahan film bukan kata-kata yang dipakai untuk menuliskan semua itu yang penting, tetapi apakah kata-kata itu berisikan kemungkinan-kemungkinan pernyataan yang plastis.

Tiap-tiap bab dari penggubahan itu, dibagi lagi dalam kesatuan-kesatuan laku, yang dinamakan babak (sequence, episode). Pekerjaan si penggubah makin sukar juga, karena tiap-tiap babak sekarang mesti dibagi-baginya dalam kesatuan-kesatuan laku kecil yang terikat oleh kesatuan tempat dan waktu, dinamakan adegan (scene, szene). Sekarang mestilah dia mengerahkan kekuatan khayalnya untuk dapat menyusun tiap pikirannya dalam bentuk gambar-gambar yang melancar di depan mata jiwanya. Buat tiap pikiran itu dan buat tiap pengertian, mestilah dia mencari pernyataan plastis yang setepat-tepatnya. Pada waktu inilah akan berguna sekali bagi dia, sifat-sifatnya yang lekas dapat mencatat sesuatu kejadian dalam pikiran, pengalaman-pengalamannya yang lalu dan kekuatan khayalnya yang hidup. Dia mesti tuliskan sekarang apa yang akan kelihatan berturut-turut di atas layar putih nanti. Sampai disini seluruh hasil usahanya itu dinamakan lakon film (screen-play, film-play, scenario, manuskript).

Sampai sekarang seluruh perhatian si penggubah semata-mata tertuju kepada penggubahan dasar pikiran serta pokok ceritanya, hingga seluruh garis-garis ketumbuhan laku menjadi jelas, peranan-peranan para pelaku tergambar dengan sesungguhnya dan tercapai suatu puncak segala laku yang menyimpulkan dengan sekaligus penyelesaian, kepuasan, dan akhir cerita.

Dari saat ini si penggubah mesti bekerjasama dengan pengatur cerita (regisseur) dan juru kamera (cameraman). Pimpinan selanjutnya dalam menyusun rencana kerja yang sebenarnya, dinamakan kitab kerja (shooting-script, draaiboek, drehbuch) adalah di tangan regisseur. Kitab kerja ini memuat segala sesuatu yang perlu untuk opname (syuting) dan montage, memuat petunjuk-petunjuk sudut penglihatan kamera (camera-angle, instellingen), petunjuk-petunjuk tentang montage, catatan tentang percakapan-percakapan (dialoog) dan suara-suara pengantar (sound-effects) serta kadang-kadang juga catatan tentang panjangnya tiap-tiap ambilan (shot). Tiap-tiap shot itu diberi nomor mulai dari nomor satu dan seterusnya.

Dari bahan-bahan cerita yang plastis, yang terdapat dalam lakon film tersebut, regisseur, penggubah dan camera-man dapat menyusun kitab kerja yang nyata-nyata sudah memperlihatkan roman film itu dari mula sampai akhir. Dalam pada itu mestilah diteliti sekali lagi sasaran (objek) pengambilan (opname) serta geraknya. Kalau perlu dibuatkan skets-skets buat adegan-adegan yang agak pelik. Yang perlu lagi mendapat perhatian istimewa, ialah panjangnya tiap-tiap babak, tiap adegan dan tiap-tiap ambilan (take, shot). Karena satu bab itu merupakan satu kesatuan laku besar, maka hendaklah diatur, supaya panjangnya jangan melewati batas yang tertentu dimana telah tercapai suatu climax (puncak), supaya ketegangan (spanning) yang sudah disusun setingkat demi setingkat itu jangan menjadi lembek lagi.

Tetapi jangan pula terlalu singkat, hingga tidak meninggalkan kesan yang mendalam sama sekali pada penonton. Pada suatu film yang biasa, tiap-tiap bab itu tidak akan memakan tempo lebih dari 20 menit dan sekurang-kurangnya 15 menit.

Prinsip mengawasi tempo ini berlaku juga buat tiap-tiap babak. Bagian-bagian kecil seperti adegan dan ambilan menentukan irama film yang sebenarnya. Panjang tiap-tiap ambilan (shot) harus disesuaikan kepada kebutuhan keadaan.

Suatu ambilan besar (CU) misalnya, biasanya cukup 5 sekon, tetapi kadang-kadang perlu lebih panjang lagi atau lebih pendek. Dengan adanya alat-alat baru seperti dolly dan kraan (crane), ambilan itu bisa menjadi lebih panjang, kadang-kadang sampai 3,5 menit, jadi meliputi satu adegan lengkap.

Adakalanya seorang penyelenggara merangkap regisseur dan penggubah sekaligus, seperti Orson Welles dalam Citizen Kane, atau merangkap regisseur dan pemain seperti Laurence Olivier dalam Hamlet, tetapi pada umumnya tiap keahlian itu dipegang oleh orang yang berlain-lain.

Pada mulanya sebelum diketahui orang, bahwa film itu mempunyai kemungkinan-kemungkinan dan sifat-sifat sendiri, suatu cerita diatur seperti mengatur lakon sandiwara. Regisseur menyusun babak dan adegan sebagai diatas panggung. Hanya yang istimewa diperhatikannya ialah peralihan adegan (overgang), gerak-gerik dan keluar-masuk si pelaku. Sedang juru-kamera hanya berdiri pada satu tempat saja dan mengambil semua itu, sebagai seorang penonton melihat sandiwara.

Griffith seorang ahli film Amerika adalah yang pertama-tama mendapat kesadaran, bahwa kamera itu dapat dipindah-pindahkan ke tempat yang lebih dekat atau lebih jauh dari sasaran yang akan diambil. Demikianlah permulaannya alat kamera menjadi pengganti si penonton yang aktif. Dan timbullah pengertian-pengertian seperti ambilan dekat (close-up), ambilan jauh (long shot), ambilan sedang (medium shot), ambilan total (total-shot) serta variasinya yang lain-lain.

Dengan adanya pengertian-pengertian baru ini, bersimpanglah jalan antara si pengatur cerita sandiwara dan si pengatur cerita film. Karena bahan-bahan lakon yang perlu bagi si pengatur cerita film bukanlah diambil dari kejadian-kejadian yang nyata, dalam ruangan waktu dan tempat yang nyata, tetapi diambil dari tiap potongan pita film yang dihasilkan oleh cara memotret kejadian tersebut.

Potongan-potongan pita film inilah jadi batu bata bagi si pengatur cerita film untuk membangunkan film usahanya menurut metode montage, seperti diuraikan terlebih dulu.

Dalam menyusun potongan-potongan pita film itu, si regisseur tidak terikat kepada kesatuan tempat dan wkatu seperti regisseur sandiwara. Tetapi dengan metode montage itu dia dapat menciptakan suatu kesatuan tempat dan waktu yang baru. Suatu contoh yang jelas adalah sebagai berikut:

  1. Seorang pemuda sedang jalan-jalan di Pasar Baru dari kiri ke kanan (dilihat dari sudut penglihatan kamera).
  2. Seorang gadis sedang jalan-jalan di Kramat dari kanan ke kiri.
  3. Di Noordwijk mereka bertemu dan berjabat tangan. Si pemuda menunjuk ke suatu arah.
  4. Hotel des Indes.
  5. Si pemuda mengajak si gadis ikut.
  6. Mereka masuk Hotel des Indes.

Orang yang kenal betul pada tempat-tempat di atas, mungkin akan merasakan suatu  keganjilan, melihat peralihan tempat yang meloncat-loncat itu.Tetapi jika perhatian hanya tertuju kepada laku si gadis dan si pemuda itu saja dan tempat-tempat itu hanya dianggap sebagai suatu dekor saja, maka si penonton akan merasakan seluruh adegan itu sebagai satu kejadian yang berlaku dalam satu kesatuan tempat dan waktu.

Waktu saya menyelenggarakan film Kembalinya Pemerintah Republik ke Jogja, pada suatu saat saya mesti memperlihatkan akibat-akibat aksi Belanda, sesuadah mereka meninggalkan daerah Jogja. Dalam suatu deretan gambar-gambar keruntuhan rumah-rumah dan gedung-gedung, saya bermaksud untuk menegaskan akibat itu. Salah seorang teman yang menganggap dirinya pintar berkata: “Saudara sudah berbuat kesalahan regie. Rumah-rumah yang saudara perlihatkan itu bukan di Jogja, tetapi di Kaliurang dan di Prambanan”. Teman itu rupanya belum mempunyai pengertian tentang hakikat film dan bahwa yang terpenting dalam adegan itu bukan di mana letaknya rumah-rumah itu, tetapi adanya kejadian itu sebagai akibat aksi tersebut. Membuat film memang tidak semudah yang digampang-gampangkan orang!

Ini adalah hal-hal yang perlu mendapat perhatian secukupnya dalam menyusun kitab kerja, jika kita ingin mendapat hasil yang memuaskan.

***

Dari sini ke atas, pengatur ceritalah (regisseur) yang memegang tanggung jawab sampai film selesai seluruhnya.

Untuk berbalik sebentar meninjau yang sudah diuraikan tadi, dapat dikatakan, bahwa pengambil inisiatif dalam suatu pembuatan film ialah si penyelenggara film (produser, pemimpin produksi) yang bertanggung-jawab pula kepada direksi perusahaan. Si penyelenggara mencari cerita yang menurut pendapatnya baik untuk dibuatkan film. Kemudian dia berunding dengan seorang pengarang lakon film, tentang kemungkinan-kemungkinan yang terkandung dalam cerita itu dan apakah si pengarang setuju untuk menggubahnya. Di samping itu dia mencari seorang regisseur yang menurut pahamnya cakap dan layak untuk mengatur cerita itu sampai menjadi film. Jika si pengatur cerita setuju, dapatlah dimulai bekerja, lalu pimpinan penyelenggaraan film itu diserahkan pada regisseur seluruhnya, jadi pemilihan pemain-pemain, perencana dekor, dan lain-lain.

Sedang si penyelenggara terutama menaruh perhatiannya pada lancarnya jalan produksi, terutama dalam organisasi dan hal-hal keuangan.

Usmar Ismail pada peringatan 14 tahun Perfini, Maret 1964 [Sinematek]

BAGIAN 3

Supaya lebih jelas bagi tuan tentang bahan-bahan keperluan seorang regisseur di bawah ini saya beri lagi sebuah contoh yang diambil dari sebuah manuskrip film Amerika, tentang suatu kecelakaan mobil:

  1. Jalan raya yang penuh kendaraan mobil lalu-lintas. Seorang yang jalan kaki menyeberang jalan dengan punggungnya menghadap kamera. Tiba-tiba sebuah mobil melintas dan menutup orang itu.
  2. Pendek sekali: Roman si supir yang kaget menginjak remnya.
  3. Juga pendek saja: Roman si korban yang memekik kesakitan.
  4. Diambil dari sudut penglihatan supir: dua batang kaki yang sebentar kelihatan di depan roda muka.
  5. Roda mobil yang direm sedang meluncur.
  6. Mayat si korban yang terlentang dekat mobil.

Potongan-potongan yang diambil satu per satu itu, itulah modal kerja si regisseur. Dengan menyusun potongan-potongan itu dalam suatu irama yang pendek-tega, tercapailah kesan kecelakaan mobil pada penonton, seperti yang dikehendaki pengatur cerita. Nyatalah bahwa bahan-bahan untuk menyusun ciptaannya tidak terdiri dari manusia-manusia yang hidup, tidak dari pemandangan-pemandangan yang sebenarnya, tetapi hanya terdiri dari potongan-potongan bayangan yang jika disambung-sambung menjadikan suatu anasir kenyataan. Kebalikannya, pengatur lakon sandiwara mempergunakan kenyataan-kenyataan yang sebenarnya yang sewaktu-waktu dapat diubahnya, meskipun dalam batas-batas ruang dan waktu yang nyata.

Maka jika kita teliti pekerjaan seorang regisseur film, patokan-patokannya ialah:

  1. Menyelesaikan manuskrip menjadi suatu rencana kerja yang lengkap, dengan bangunan montage-nya.
  2. Memilih pemain-pemain.
  3. Bersama-sama dengan ahli dekor beserta cameraman dan ahli pengambil suara, merancang dekor yang diperlukan. Mencari tempat-tempat yang baik untuk opname luar (locations).
  4. Bersama-sama dengan camera-man merancang sudut-sudut penglihatan kamera serta kemungkinan-kemungkinannya.
  5. Menyusun suatu rencana ambilan (opname-programma) yang berarti memisahkan adegan-adegan yang berlaku pada satu tempat menjadi satu-satuan dan menetapkan satu kalender kerja.
  6. Mengatur permainan.
  7. Mengamat-amati hasil usaha laboratorium yang mengerjakan film yang baru diambil dan memeriksa cetakan pertama (werk-copie).
  8. Montage.

Regisseur (sutradara) adalah orang satu-satunya yang menjadi pusat pengatur pembangunan film dari mula sampai akhir dan karena itu tentu saja dalam hal-hal yang disebut di atas, dialah yang mempunyai kata terakhir. Meskipun demikian, film adalah kesenian bersama (collectief) yang membutuhkan ahli-ahli bagi tiap cabang pekerjaannya. Paling sedikit staf pekerja, selain dari regisseur, harus terdiri dari seorang pembantu regie yang berkewajiban memimpin pekerjaan-pekerjaan persiapan sebelum opname; seorang camera-man dan pembantunya; seorang ahli pengambilan suara dan pembantunya ; seorang ahli listrik dan pembantu-pembantunya; seorang pemegang skrip yang harus mencatat segala sesuatu yang mengenai opname, panjangnya suatu ambilan, adanya persambungan yang logis antara ambilan-ambilan dan adegan-adegan (continuity) dan lain sebagainya; seorang pemimpin opname; seorang ahli rias dan pakaian; seorang ahli montage.

Daftar ini dapat diperpanjang lagi, tetapi buat sekadar pengetahuan, baiklah diketahui, bahwa kebanyakan film-studio di Indonesia ini hanyalah memakai staf yang terdiri dari empat atau lima orang, satu orang merangkap empat atau lima macam pekerjaan.

Sungguh ekonomis, tetapi apakah membaikkan kepada pembuatan film itu sendiri, itu adalah soal kedua.

Dan lagi, tuan toh tidak akan ambil pusing, bukan?

***

Seorang pengarang yang baik mempunyai cara (stijl) sendiri, demikian juga seorang pelukis yang baik tentu akan meletakkan pribadinya sendiri dalam lukisannya. Seorang regisseur yang baik tentu akan kelihatan pula pribadinya dalam ciptaannya, dalam pemilihan cerita, penyusunan kitab kerja, penetapan sudut penglihatan kamera dan montage, pengaturan permainan, tetapi terutama akan kentara dalam lukisan suasananya (milieu-schildering). Lukisan suasana itulah yang memberi warna kepada suatu film, yang tidak saja harus terlihat pada tiap-tiap adegan, tetapi lebih dari itu, harus menekankan kesannya yang nyata pada seluruh film, hingga terasa dengan senyata-nyatanya pada penonton sifat-sifatnya yang khas tadi.

Meskipun mewujudkan lukisan suasan itu ada di tangan regisseur, tetapi sebaiknya penggubah lakon film dalam gubahannya harus sudah memberikan pelukisan-pelukisan (beschrijving) yang nyata. Cara menggubah lakon film yang lengkap itu akan membantu regisseur untuk menciptakan suasana yang dikehendakinya dan untuk memberi pengertian yang lebih dalam pada sang peran. Apalagi dengan bertambah majunya teknik pembuatan film, kemungkinan untuk mendapatkan kolorit yang dikehendaki regisseur bertambah besar.

Dengan peralatan penerangan yang ada sekarang, segala corak suasana sudah dapat digambarkan. Demikian pula dengan pemakaian dolly dan kraan (crane) yang memungkinkan pengambilan yang tidak terputus-putus dapat digambarkan suasana-suasana yang halus sekalipun untuk membantu permainan para peran.

Sebagai juga segala sasaran (objek) opname, seorang pemain (peran) pada hakikatnya hanyalah salah satu bahan mentah yang diperlukan untuk membangunkan film setingkat demi setingkat. Ditilik dari sudut ini, seorang peran di tangan seorang regisseur dapat merupakan objek yang hidup, tetapi dapat juga merupakan tidak lebih dari barang yang mati, sebuah mobil atau sebuah meja.

Dalam hubungan ini orang memisahkan dua macam film. Pertama adalah yang disebut “ster-film”, bila manuskrip dan regie semata-mata ditujukan untuk memperlihatkan keistimewaan para bintang film yang main. Keistimewaan itu dapat berupakan paras yang cantik, potongan tubuh yang luar biasa, kelucuan yang istimewa dan kadang-kadang ….. kecakapan bermain yang sungguh-sungguh. Film-film Amerika dewasa ini pada umumnya dapat dimasukkan dalam kategori pertama ini.

Macam yang kedua ialah film yang mengambil suatu cita-cita (idee) sebagai pangkal pikiran. Lakon film macam ini tidak ditulis untuk pemain-pemain yang tertentu, tetapi untuk mewujudkannya mesti dicari pemain-pemain yang tepat untuk melukiskan peranan-peranan yang diperlukan. Film-film Rusia sesudah revolusi adalah contoh-contoh yang tegas buat film-film seperti ini.

Para regisseur Rusia waktu itu mencari pemain-pemainnya di jalan-jalan dan di pasar-pasar. Tetapi dengan bertambah luasnya masyarakat pemain-pemain film, maka dalam beberapa keadaan kedua macam film tersebut tidak mudah lagi untuk membeda-bedakannya, karena untuk mencari tipe yang diperlukan untuk salah satu rol tidak begitu sukar lagi dan biasanya sekarang para pembuat film berusaha untuk mencocokkan peranan-peranan dalam cerita-cerita yang terkenal kepada pemain-pemain yang terkenal dulu. Bagi kita misalnya sukar untuk mengatakan, bahwa Hamlet itu ditulis istimewa untuk Laurence Olivier, sedang peranan itu rupanya cocok benar bagi diri aktor besar itu.

Meskipun demikian, misalnya bagi kita di Indonesia ini, perihal mencocokan suatu peranan keapda seorang pemain masih tetap merupakan masalah besar. Karena jumlah pemain terbatas sekali.

Di atas panggung sandiwara masih dapat suatu peranan yang diperlukan dibantu dengan alat-alat buatan, seperti rias (schmink) dan lain-lain. Seorang muda yang dibuat tua misalnya di atas panggung dapat diterima sebagai seorang tua, karena cahaya lampu rata menerangi mukanya dan jarak antara dia dan penonton tetap jauh. Tetapi dalam film kamera bisa mendekati mukanya sedekat-dekatnya dan di depan lampu-lampu yang beribu-ribu watt itu dia tidak akan dapat menyembunyikan hakikat pribadinya, meskipun bagaimana baiknya dia dirias. Disamping itu sebuah peranan film tidak dapat “dimainkan” begitu saja, dengan tidak mempunyai dari diri sendiri peralatan-peralatan (middelen) yang diperlukan untuk dapat mempengaruhi dan meyakinkan penonton. Dalam film malahan tambah baik lagi, jika si peran main secara tidak dipaksa-paksa (natuurlijk). Dan salahlah si regisseur yang mencoba memaksa-maksa seorang peran untuk menggambarkan sifat-sifat yang tidak dipunyainya sama sekali oleh si peran.

Suatu perbedaan besar lagi antara memainkan peranan di atas panggung dan di depan kamera, ialah bahwa di depan kamera si peran tidak bermain secara terus menerus seperti di atas panggung. Bersandarkan prinsip montage yang disebut tadi, maka si peran film bermain dalam potongan-potongan.

Ini berarti, bahwa dia tidak dapat membangunkan peranannya (karakter) secara sistematis. Perlu ada padanya percakapan untuk menyesuaikan diri dengan cara-cara pembuatan film yang khas itu, supaya dia sendiri juga dapat membayangkan bagaimana rupa film itu kelak jika sudah disambung-sambung. Di samping itu jalan yang sebaik-baiknya ialah untuk menyuruh si peran bermain persis menurut garis-garis petunjuk kitab kerja.

Pada umumnya sang regisseur sendirilah juga menguasai dan mengetahui seluk beluk kitab kerja itu seluruhnya, hingga dia dapat memberi petunjuk-petunjuk yang jelas pada si pemain waktu suatu adegan diambil. Meskipun demikian, tetap diminta dari seorang peran untuk mengerahkan seluruh perhatiannya, hingga tiap-tiap ambilan itu merupakan peranan yang diilhami (geinspireerd).

Untuk ini perlu si pemain mengetahui dan meyakini juga cara-cara pembuatan film seperti si pengatur cerita.

Sebagai peringatan baik juga dicatat bahwa amat berlebih-lebihan, jika dikatakan orang, bahwa si regisseur harus menguasai permainan si peran sampai soal yang sekecil-kecilnya, seperti gerak-gerik tangan, alis mata dan lain-lain. Karena cara seperti itu akan mengakibatkan mekanisasi. Tetapi lagak laku si peran yang tidak diawasi oleh si pengatur cerita akan membawa akibat yang tidak kurang celakanya, karena seorang pemain yang diberi hati lekas akan keluar batas-batas keseluruhan film yang dicita-citakan. Hal ini baik juga diperhatikan sekali-kali oleh mereka yang ingin menjadi bintang film dan yang membuat film di Indonesia ini.            

Dengan singkat telah saya ceritakan, apa yang saya tahu tentang seluk beluk pembuatan film. Pengetahuan ini bagi saya sendiri menambah kesadaran tentang nilai-nilai film. Tetapi terutama sebagai penonton bioskop setia, pengetahuan itu memungkinkan kepada saya untuk menikmat apa yang saya tonton. Jika perasaan-perasaan ini timbul juga pada tuan sesudah membaca uraian sederhana ini, maka tercapailah maksud saya menuliskan semua ini. Karena selama masyarakat penonton belum dapat membeda-bedakan entah beras atau yang baik dari yang jelek dan segala apa yang ditontonnya, masa depan kesenian film di Indonesia adalah hidup sekali. Tetapi jika masyarakat penonton di Indonesia ini mulai memiliki kesanggupan-kesanggupan mengkritik apa yang disuapkan kepadanya, maka berartilah itu jiwa masa pembuatan film secara sembrono di Tanah Air kita ini, yang juga artinya dengan membodoh-bodohi rakyat Indonesia, sudah sampai akhirnya. Dan dapatlah kita melihat ke depan kepada masa yang gilang-gemilang dan pasti tiba waktunya bagi Indonesia saat mempunyai kesenian film yang mempunyai pribadi sendiri, berdiri sejajar dengan usaha-usaha di luar negeri. Mudah-mudahan!