Rangkuman ceramah Usmar Ismail ini kali pertama terbit di Star News, III, No. XII, hal. 33, 1955, dengan judul “Sensur Film Djanganlah Merupakan Polisi Susila”, tanpa keterangan identitas penulis artikel. Disalin oleh redaksi Cinema Poetica dengan sejumlah penyesuaian bahasa.
Masyarakat sekarang takut melihat bayangannya sendiri!
Salah satu gejala yang menyedihkan bahwa belakangan ini dalam hampir setiap kongres selalu ada resolusi menuntut sensor terhadap film diperkeras, demikian Usmar Ismail dalam advis yang diucapkannya di depan konferensi besar tentang Demoralisasi Pelajar di Yogyakarta baru-baru ini.
Menyedihkan, karena si pengambil resolusi tidak mempelajari soalnya terlebih dahulu, dan karena itu dengan tidak sengaja menjerat lehernya sendiri. Mempersempit ruang buat berpikir dan memutuskan yang mengenai diri, menyerahkan kekuasaan yang besar kepada [orang] lain untuk menentukan apa yang baik dan apa yang jelek buat diri sendiri. Pendek kata, tidak mempercayai diri sendiri dan tidak percaya kepada kemampuan sendiri untuk menciptakan nilai yang cocok buat pertumbuhan kepribadian sendiri, karena itu mengkhianati diri sendiri dalam arti yang sebenarnya. Tidak ada seorang manusia yang bermartabat yang menghormati diri sendiri mau menjadi kambing yang hanya pandai membebek, kecuali dia yang sudah merosot kepada derajat yang itu.
Memang diakui, demikian Usmar Ismail selanjutnya, bahwa pengaruh film itu ada, baik kecil maupun besar, maka jalan untuk menyalurkan pengaruh itu kepada hal-hal yang konstruktif bukanlah dengan cara sensor yang kekuasaannya dalam tangan segerombolan manusia, yang merupakan semacam parlemen, yang rempah-ragam pendapatnya sebanyak rambut di kepala. Kalau rakyat banyak memang masih dianggap belum matang untuk memutuskan apa-apa buat dirinya sendiri, maka sensor itu janganlah merupakan polisi susila, tapi sesuatu badan yang aktif menjalankan dan mengawasi terlaksananya suatu politik film pemerintah yang positif.
Kenyataannya ialah bahwa masyarakat sekarang ini takut melihat bayangannya sendiri. Jika memang demoralisasi ada, maka itulah sebab-sebab utama bahwa terlalu banyak orang yang tidak berani menghadapi kenyataan secara jantan; bahwa kurang sekali kepercayaan terhadap diri sendiri: bahwa kurang sekali kemampuan untuk mencipta nilai-nilai, norma-norma, kepastian-kepastian baru yang lebih sesuai dengan keperluan hidup badani dan rohani dalam zaman modern ini: dan karena itu lebih suka hidup dalam kegelapan, kelancungan, hipokrisi: yang lebih celaka lagi, banyak kali diselubungi dengan kamuflase ketimuran atau ke-Indonesia-an.
Demikian antara lain Usmar Ismail di depan pertemuan yang diselenggarakan oleh IPPI itu.