Orang biasa. Dua kata itu termaktub dalam biografi singkat Gibran Rakabuming di Twitter. Nampak bahwa Gibran tidak ingin diperlakukan istimewa—apalagi terus-menerus dikaitkan dengan sosok sang ayah. Nyatanya, ia memang bebas dari jatah politik maupun investasi gratisan. Kelakuannya di dunia maya pun tak ubahnya masyarakat biasa: gemar berteori, promosi, dan meledek Presiden Jokowi. Ya kurang lebih seperti kita-kita ini.
Semangat kesetaraan itulah yang memungkinkan Bung Gibran hadir sebagai bintang tamu untuk Film si Fulan. Tak ada alur protokoler untuk membuat janji wawancara dengan putra sulung Jokowi ini. Dia hanya meminta kami mengirim daftar pertanyaan terlebih dahulu. Kalaupun ada kesulitan, paling banter perkara penentuan waktu. Maklum, waktu Gibran banyak tersita oleh bisnis kulinernya.
Kecintaan Gibran dengan bisnis kuliner sungguh menarik, dan juga membuat saya penasaran. Adakah film yang menjadi rujukannya selama ia berbisnis? Apakah ia menyukai film-film kuliner macam Chocolat (2000), Big Night (1996), The Hundred-Foot Journey (2014), atau bahkan Tabula Rasa (2014)? Berbagai dugaan pun beredar di benak saya, yang akhirnya terjawab dalam wawancara melalui sambungan telepon pada 18 Januari 2016.
Sebelum menelpon, saya telah siap dengan pena dan kertas catatan. Saya siapkan juga alat perekam suara, jaga-jaga bila jawabannya panjang. Ketika telepon saya tersambung dengan nomor Gibran, terdengar nada sambung dari lagu yang dinyanyikan Neneng Anjarwati bersama Adi Dosteng: Goyang-goyang Senggol. Tak lama kemudian, Gibran mengangkat teleponnya.
Setelah cukup berbasa-basi, saya langsung menanyakan pertanyaan pamungkas yang sudah disiapkan. Adakah film yang jadi rujukanmu selama kamu berbisnis kuliner? Gibran diam sesaat. Curiga jawabannya bakal panjang, saya pun pasang kuda-kuda untuk mencatat.
“Nggak terlalu ngikutin, sih,” jawabnya.
Kemudian hening.
Beberapa detik berselang. Masih hening. Krik krik krik.
Saya coba konfirmasi ulang, adakah film atau acara televisi yang berkaitan dengan kuliner yang membuatnya bersemangat menekuni pekerjaannya sekarang?
“Saya jarang nonton TV.”
Oke. Biasa nonton di mana, Mas Gibran?
“Bisa di mana saja.”
Mantap.
Jawaban-jawaban singkatnya sempat membuat saya patah hati. Untungnya, belum sampai patah arang. Saya pun kembali bertanya mengenai film-film yang berkesan dalam hidupnya. Pokoknya harus muncul judul film, pikir saya. Masa iya sosok seasyik Gibran tidak nonton film?
Gibran lantas menyebutkan lima judul film: Human Centipede (Tom Six, 2009); Memento (Christopher Nolan, 2000); Hostel (Eli Roth, 2005); Ichi the Killer (Takashi Miike, 2001); dan Oldboy (Park Chan-wook, 2003). Secercah cahaya pun muncul, meski tak satupun dari film-film itu yang berhubungan dengan makanan. Human Centipede tentu saja bukan makanan.
Ketimbang membahas satu-satu, Gibran lebih memilih bercerita tentang Christopher Nolan, salah satu sutradara yang ia kagumi. Film-filmnya cerdas.
“Dari semua karya Nolan, Memento terbaik,” ujar Gibran.
Selain Nolan, Gibran juga mengagumi Quentin Tarantino. Saya kemudian menyebut The Hateful Eight, film Tarantino yang waktu itu sedang tayang di bioskop. Ia mengaku belum sempat menonton, namun ia pastikan akan menonton film itu secepatnya.
Gibran menyebutkan beberapa film lain, seperti Oldboy dari trilogi Vengeance karya Park Chan-wook—dua lainnya adalah Sympathy for Mr. Vengeance (2002) dan Sympathy for Lady Vengeance (2005). Dari ketiganya ia merasa Oldboy yang mempunyai twist paling kuat. Ketertarikannya dengan Oldboy memantik saya untuk mengobrolkan film-film Korea yang lain. Sebagai pecinta film-film Kim Ki-duk, saya merasa terpanggil untuk merekomendasikan Gibran menonton Pieta dan Mobieus, yang ternyata belum sempat ia tonton.
Untuk urusan menonton film, Gibran lebih memilih menonton di bioskop. Terkait ini ia juga bercerita tentang agenda menonton di bioskop bersama kedua orangtua dan adik-adiknya, yang menurutnya diberitakan media sosial dengan sedikit berlebihan. Ia mengirimkan screenshot dari sebuah komentar di media sosial, “Presiden macam mana lah kau ini! Kerja, kerja, kerja. Kerjaanmu cuma nonton bioskop [sa]ma konser ternyata.” Ia bercerita bahwa waktu itu ia sedang liburan, dan mereka sekeluarga sedang akan menonton Comic 8 (Anggy Umbara, 2014).
Sampai wawancara ini berlangsung, film terakhir yang Gibran tonton adalah Star Wars Episode VII: The Force Awakens (JJ Abrams, 2015). Kemudian saya menanyakan adakah tokoh dalam Star Wars yang ia kagumi karakternya. Alih-alih menjawab Han Solo, Luke Skywalker, atau malah BB-8, ia dengan segera mengalihkan pembahasan dan mengaku lebih suka Star Trek ketimbang Star Wars. Wah. Gibran ternyata seorang trekkers. Bisa jadi.
Berdasarkan selera filmnya tersebut, saya tentu penasaran perihal sejauh mana arti film untuknya. Bagi Gibran, menonton film hanyalah hobi, di antara kegemarannya main futsal dan main PlayStation 4. Lantas, bagaimana tanggapannya tentang game-game yang diadaptasi dari film layar lebar?
“Kebanyakan gagal sih. Nggak seru.”
Sikap.
Saya menanyakan game adaptasi film yang Gibran pernah mainkan. Ia menyebut satu di antaranya adalah Star Wars Battlefront. Gibran juga menyebutkan beberapa film yang sangat ia tunggu tahun ini. Dua di antaranya: Deadpool dan Fantastic Beasts and Where to Find Them.
Pada akhir sambungan telepon, saya mengajaknya berimajinasi: jika dia diperbolehkan hanya membawa lima film, untuk ia tonton berulang-ulang sampai akhir hayat, film apa yang akan ia pilih?
Gibran menyebutkan Battle Royale (Kinji Fukasaku, 2000); Inception (Christopher Nolan, 2010); The Sixth Sense (M. Night Shyamalan, 1999); Donnie Darko (Richard Kelly, 2001); dan Predestination (Michael Spierig, 2014).
Gibran, dengan selera film dan kebiasaannya menonton itu, sekali lagi menegaskan tentang pribadinya sebagai ‘orang biasa’, yang punya hobi selayaknya orang pada umumnya. Barangkali, ia juga gemar mengulang-ulang nonton film yang sama ketika sedang luang, bosan, atau patah hati. Ya kurang lebih seperti kita-kita ini.