
Dua puluh tahun setelah tsunami menyapu pesisir barat Aceh, narasi tentang bencana masih didominasi oleh satu kata yang terus-menerus diulang dalam berbagai wacana publik: resiliensi. Ketangguhan dianggap sebagai tanda keberhasilan pemulihan, dan menjadi kata kunci dalam berbagai proyek pembangunan pascabencana. Dalam konteks inilah dokumenter Smong Aceh: Two Decades of Resilience After the Tsunami (2024) karya Tonny Trimarsanto muncul.
Film ini diproduksi dalam dua versi: versi pendek berdurasi 30 menit untuk penonton di Jakarta dan Yogyakarta, serta versi panjang berdurasi 70 menit untuk penonton di Aceh. Versi pendek berfokus pada narasi mitigasi bencana melalui kolaborasi ilmiah dan budaya, menekankan sinergi antara sains modern dan pengetahuan lokal. Sementara versi panjang mengikuti dua tokoh utama yang bermukim di Banda Aceh dan Simeuleu, Zahrina dan Suman, yang sama-sama penyintas, dan lebih fokus pada perjalanan personal mereka mengenang tsunami.
Perbedaan durasi dan pendekatan naratif ini seolah menunjukkan bahwa film ini menyasar dua jenis audiens dengan kebutuhan berbeda. Namun, justru dalam versi panjang yang ditujukan untuk penonton Aceh, muncul kegamangan yang tidak bisa diabaikan. Alih-alih menjadi ruang reflektif yang jujur dan kompleks, versi panjang film ini justru terasa seperti narasi yang telah diarahkan dan dibatasi. Penyintas tidak diberikan ruang sepenuhnya untuk mengekspresikan pengalaman dan perasaan mereka. Film seperti menjaga jarak dari duka itu sendiri.
Zahrina, seorang peneliti di Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana (TDMRC/Tsunami and Disaster Mitigation Research Center) Universitas Syiah Kuala, sejak awal ditampilkan sebagai sosok yang rasional dan profesional. Di bagian awal film versi panjang, dengan merujuk pada hasil riset, ia menyatakan bahwa masyarakat Aceh lebih tangguh menjalani hidup pascabencana dibanding masyarakat Jepang. Namun, dalam adegan-adegan selanjutnya, di dalam rumahnya dan di kuburan massal Ulee Lheu, kita mendengar pengakuan yang berbeda darinya: ia merasa “kosong.” Tidak ada bahasa ilmiah atau teknokratik yang mampu menjelaskan kekosongan itu. Rasa hampa tersebut bukan hanya emosional, tapi juga sosial: ia menandakan adanya celah antara narasi resmi dan pengalaman personal yang tak terucapkan.
Suman, seorang seniman tradisi dari Simeulue, mengalami hal serupa. Ia menyanyikan seni tutur nandong tentang smong, namun tidak memperoleh ruang untuk mengisahkan bagaimana ia secara pribadi mengalami tsunami 2004, yang selama ini hanya ia dengar sebagai cerita turun-temurun. Bagaimana rasanya ketika smong, dongeng kolektif tiba-tiba menjadi kenyataan dalam bentuk kehancuran? Bagaimana proses internal yang ia alami untuk menjembatani antara cerita rakyat dan realitas bencana? Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan itu tidak diajukan oleh film ini.
Baik Zahrina maupun Suman tampil dalam posisi ambigu: sebagai penyintas, namun juga sebagai komunikator publik untuk narasi mitigasi. Mereka diminta berbicara sebagai “yang telah selamat,” namun juga harus menjaga jarak dari luka mereka sendiri agar tetap terlihat kuat dan informatif. Justru penonton yang menyaksikan di Museum Tsunami Banda Aceh yang akhirnya dihadapkan pada fragmen visual yang lebih emosional—footage air lumpur, lokasi reruntuhan, montase seperti dalam gulungan ombak—namun tanpa konteks afektif yang utuh. Ada kesan bahwa film ini ingin menjaga jarak aman, membatasi luapan emosi agar tetap dalam koridor naratif ‘masyakarat tangguh nan berbudaya’.
Duka, Kerentanan, dan yang Tak Terucapkan
Konsep “struktur perasaan” yang diperkenalkan oleh Raymond Williams dapat membantu kita memahami kegamangan film ini dalam menangkap kedalaman emosi kolektif pascabencana. Williams menggunakan istilah ini untuk menggambarkan bentuk-bentuk pengalaman, intuisi, dan emosi yang dirasakan bersama dalam suatu masyarakat, tetapi belum sepenuhnya bisa dijelaskan atau dituturkan secara gamblang. Struktur perasaan hidup dalam keseharian—di antara bahasa yang belum cukup, norma yang menekan, dan perasaan yang tertahan. Ia bukan hanya tentang apa yang dirasakan, tetapi juga tentang apa yang tidak bisa dikatakan.
Dalam konteks Aceh, struktur perasaan ini muncul dalam bentuk kekosongan yang dirasakan Zahrina, ketertutupan emosi Suman, dan berbagai isyarat serta praktik keseharian yang menolak keintiman. Semua ini agaknya mencerminkan upaya individu dan kolektif untuk merespons kehilangan dari berbagai perang, wabah, dan bencana, tapi tanpa ruang publik yang aman untuk benar-benar membicarakannya dengan leluasa. Smong Aceh sayangnya tidak cukup peka terhadap nuansa ini. Ia cenderung mengabaikan struktur perasaan yang acak, tidak selesai, dan tidak sesuai dengan narasi ketangguhan yang sudah dikemas rapi. Padahal justru di ruang-ruang ambiguitas emosional ini, narasi keseharian pascabencana dapat menemukan kedalaman dan kejujuran.
Dalam buku After the Tsunami: Disaster Narratives and the Remaking of Everyday Life in Aceh, antropolog Annemarie Samuels menyatakan bahwa ekspresi duka di Aceh seringkali dibatasi oleh norma keagamaan dan sosial. Kesedihan dianggap sebagai pertanda lemah iman. Walhasil, banyak penyintas memilih mengekspresikan duka mereka lewat zikir, kenduri, atau ziarah ke kuburan massal—cara yang dianggap lebih pantas secara sosial. Tapi, seperti dicatat Samuels, praktik-praktik ini tidak serta-merta menyelesaikan duka. Banyak penyintas masih hidup dengan perasaan kehilangan yang belum selesai, meski secara publik mereka dianggap sudah “ikhlas”. Mereka belajar untuk tampak tegar, namun tetap menyimpan luka yang tidak kunjung pulih.
Narasi keikhlasan ini berkelindan erat dengan ide tentang ketangguhan. Smong Aceh tampak ingin menegaskan bahwa masyarakat Aceh sudah pulih. Namun, dengan tidak memberi ruang untuk perasaan yang tidak terselesaikan, film ini justru mengabaikan rumitnya pengalaman hidup setelah bencana. Duka yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Kekosongan yang diungkapkan Zahrina bukanlah kesan lemah, tapi justru tanda bahwa proses pemulihan batin belum benar-benar selesai. Ini adalah pintu untuk membuka percakapan yang lebih dalam, yang seharusnya tidak buru-buru ditutup dengan narasi “tangguh.”
Narasi resiliensi yang dominan dalam film ini juga menutup ruang untuk membicarakan kerentanan yang bersifat struktural. Artikel Pradiayu FA di Konde menyoroti bagaimana perempuan lebih rentan dalam situasi bencana, bukan hanya karena kondisi geografis, tetapi karena norma budaya. Banyak perempuan tidak bisa berenang, tidak bisa keluar rumah tanpa izin suami atau orangtua, atau harus mengutamakan keselamatan anak-anak. Dalam konteks ini, resiliensi bukan hasil dari kekuatan internal, melainkan bentuk keterpaksaan yang dijadikan simbol keberhasilan. Ketika kerentanan tidak diakui, maka potensi mitigasi pun menjadi terbatas.
Dalam film ini, narasi yang tampil adalah narasi yang familiar: masyarakat Aceh itu kuat, masyarakat Aceh sudah pulih, masyakarat Aceh akan siap menghadapi bencana berikutnya. Tapi di balik itu, ada keraguan yang nyaris tak terdengar. Bagaimana dengan mereka yang justru tidak merasa pulih? Bagaimana dengan mereka yang masih mengalami mimpi buruk, yang masih merasa hampa saat melewati jalan menuju pantai, atau yang masih terdiam ketika mendengar nama kerabat yang hilang? Film ini punya kesempatan untuk membingkai pengalaman-pengalaman itu, namun melewatkannya. Dan dalam konteks ini, kegagalan untuk mendengar juga berarti kegagalan untuk merawat.
Smong dalam film ini diangkat sebagai warisan lokal yang menyelamatkan ribuan orang Simeulue. Tapi ia juga direduksi menjadi slogan mitigasi yang mudah dikampanyekan. Cerita tentang smong kehilangan kedalaman sosial dan emosionalnya. Yang kemudian tampil adalah versi steril yang siap dikonsumsi publik luas. Tidak ada ruang untuk bertanya: bagaimana cerita itu sebenarnya diturunkan, dirawat, dan dimaknai secara personal? Kita tidak diajak menyelami sejarah afektif smong sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Simeuleu, yang juga terpinggirkan dari birokrasi politik di Aceh.
Smong berfungsi dalam film sebagai jembatan antara pengetahuan tradisional dan modern. Tapi ketika jembatan ini hanya dilewati satu arah—menuju narasi kesiapsiagaan—maka yang diabaikan adalah ruang untuk refleksi. Padahal, makna dari cerita seperti smong tidak hanya terletak pada fungsinya untuk menyelamatkan, tetapi juga pada caranya mengikat ingatan kolektif dan membentuk solidaritas. Cerita yang diwariskan lintas generasi bukan hanya tentang bencana, tapi juga tentang cara kita merawat yang hilang.
Terlalu Cepat Pulih, Terlalu Jauh dari Luka
Film ini sesungguhnya memiliki potensi besar. Ia bisa membuka ruang percakapan antar penyintas, menjadi media untuk memproses ulang pengalaman bersama, dan menawarkan bentuk peringatan tsunami yang lebih jujur dan apa adanya. Bayangkan jika Suman diberi ruang untuk menceritakan detail apa yang ia alami pada 26 Desember 2004: suara apa yang pertama ia dengar? Apa yang ia pikirkan ketika gempa terjadi dan melihat air laut mulai naik? Bagaimana ia menyambungkan antara dongeng yang ia dengar sejak kecil dan bencana yang kemudian ia alami? Atau, jika Zahrina diperbolehkan menelusuri rasa kosongnya lebih dalam, tanpa perlu langsung memberi kesimpulan apapun.
Sayangnya, potensi ini terhalang oleh keharusan untuk tampil “kuat” dan “tangguh”. Akibatnya, film ini terasa rapi, namun terlalu aman. Film Smong Aceh versi panjang lebih memilih merangkum perasaan dalam narasi pembangunan dan kesiapsiagaan, daripada membiarkan ambiguitas dan kerentanan itu mengemuka. Ketika dokumenter diposisikan sebagai alat sosialisasi, bukan sebagai ruang perenungan, maka ia kehilangan fungsinya sebagai ruang intersubjektif.
Sudah waktunya kita bertanya: apakah setiap narasi bencana harus berujung pada kesiapsiagaan? Bagaimana dengan duka yang belum selesai? Apakah ia tidak perlu dimitigasi juga? Film dokumenter tentang tsunami seharusnya tidak hanya menyodorkan keberhasilan teknokratik, tapi juga membuka ruang untuk pengalaman yang tak terdefinisikan. Kekosongan yang dirasakan oleh Zahrina bukan kelemahan narasi, melainkan sinyal bahwa ada yang lebih besar dan lebih rumit yang belum benar-benar dihadapi. Dan justru di sanalah seharusnya film ini memulai percakapannya—bukan mengakhirinya.
Dengan lebih dari dua dekade jarak dari peristiwa itu, mungkin sudah saatnya kita memperluas makna “resiliensi”. Bukan sekadar pulih dan bangkit, tapi juga berani mengakui apa yang belum selesai. Dalam konteks itu, film seperti Smong Aceh bisa menjadi ruang penting—jika ia bersedia untuk sedikit lebih jujur.
Smong Aceh | 2024 | Durasi: 30/70 menit | Sutradara: Tonny Trimarsanto | Produksi: Christine Hakim Films, Cinesurya Pictures, Rumah Dokumenter, Weber Shandwick Indonesia | Negara: Indonesia
Artikel ini ditulis dengan diskusi bersama pakar psikologi bencana, Yulia Direzkia dan psikologi sosial, Mifta Sugesti.