Konferensi Freedom Film Network: Sensor Film Malaysia untuk Siapa?

A Samad Hassan dari KL Post mempresentasikan soal sistem penyensoran film di Malaysia

Apa yang muncul di benak Anda ketika mendengar istilah sensor film? Mungkin Anda membayangkan menonton suatu film atau tayangan di televisi yang adegannya dipotong atau di-blur. Mungkin juga bayangan Anda adalah mengapa kadang-kadang anak-anak bisa tembus menonton film dewasa di bioskop. Atau mungkin Anda teringat kepada jingle Budaya Sensor Mandiri dari Lembaga Sensor Film (LSF) yang selalu diputar di bioskop sebelum pemutaran suatu film. Semuanya masuk akal, dalam perspektif Indonesia.

Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak Anda untuk menelisik sedikit lebih jauh bagaimana sensor film dimaknai di negara tetangga kita, Malaysia.

Ketibaan saya di Kuala Lumpur International Airport mengawali pengalaman saya menghadiri Konferensi Freedom Film Network, yang berlangsung pada 7-8 September 2023 di Connexion. Ini adalah pertama kalinya Freedom Film Network, sebuah organisasi yang menyuarakan hak kebebasan bersuara atas berbagai kasus pembungkaman di skena film dan seni di Malaysia, mengadakan konferensi film yang khusus membahas persoalan sensor film di Malaysia dan Asia Tenggara. Pada umumnya, mereka lebih dikenal karena mengorganisasi Freedom Film Festival yang sudah berjalan selama dua puluh tahun. Dalam edisi perdana konferensi ini, Freedom Film Network berkolaborasi dengan Content Forum mengangkat tema Content Creation, Choice, and Control in the Digital Age. Konferensi ini turut diikuti oleh lembaga-lembaga Malaysia yang berkepentingan dalam urusan penyensoran film seperti Lembaga Penapisan Filem (LPF; setara Lembaga Sensor Film di Indonesia), FINAS, dan MCMC.

Acara dibuka dengan sambutan dari Anna Har dan Brenda Danker dari Freedom Film Network serta Mediha Mahmood dari Content Forum. Dalam sambutannya, Mediha Mahmood mengingatkan pentingnya keteguhan dan kegigihan untuk mencapai sistematika penyensoran film yang tidak berat sebelah. “Dalam dunia yang ideal, sineas bisa membuat apa saja yang mereka harapkan dan penonton pun menonton film persis berdasarkan apa yang dibuat dan dimaksud oleh sang sineas. Sayangnya, ini bukanlah sesuatu yang kita punya sekarang dan, kalau saya boleh bilang, juga bukan sesuatu yang bisa kita punya dalam waktu sesegera mungkin. Dunia ideal adalah yang kita tuju, tetapi itu membutuhkan waktu. Itu membutuhkan dedikasi dan komitmen dan keterlibatan pemangku kepentingan,” ujar Mediha.

Malaysia memiliki sistem penyensoran film, atau yang dalam Bahasa Malaysia disebut penapisan filem, yang cukup kompleks. Sistemnya pun dibedakan dari penyensoran tayangan televisi. Dalam tayangan televisi, seluruh aksi penyensoran diserahkan kepada stasiun televisi sebagai penyiar. Sementara itu, untuk film bioskop, suatu film harus diserahkan kepada LPF dalam format DCP, yang kemudian akan dinilai dan, jika perlu, disesuaikan. Setelahnya, film bisa mendapat sertifikat lolos sensor. Suatu film bisa tidak lolos sensor dan bisa tidak tayang jika dianggap berpotensi mengganggu masyarakat. Lantas, apa yang dianggap berpotensi mengganggu masyarakat?

Tidak sedikit permasalahan sensor yang dimiliki Malaysia. Paling santer akhir-akhir ini adalah film Mentega Terbang yang pada Maret 2023 ditarik dari platform Viu karena menuai kontroversi. Sutradaranya, Khairi Anwar, bahkan sampai menerima ancaman dari berbagai pihak. Ini adalah salah satu kasus film Malaysia korban “sensor masyarakat”; film akhirnya ditarik dari peredaran akibat salah satu tulisan dari seorang tokoh konservatif Malaysia yang memprotes film ini. Dari keikutsertaan saya di konferensi ini, saya belajar bahwa kasus-kasus penyensoran film di Malaysia bukan jarang terjadi, mulai dari sensor potongan sampai penolakan. Untuk diketahui, di Malaysia, sistem penilaian film dibedakan antara film-film Melayu dengan film-film Tionghoa dan India. Pemisahan ini secara khusus karena film-film Melayu dianggap harus mengikuti syariat Islam dan tidak menunjukkan hal-hal yang dapat memicu konflik atau pertentangan terhadap hal tersebut.

Syafiq Yusof, sutradara yang telah menghasilkan lebih dari sepuluh film dalam lebih dari dua belas tahun kariernya di industri film Malaysia, turut hadir dalam konferensi untuk berbagi pandangannya mengenai Abang Long Fadil (2014), sebuah film komedi laga yang menceritakan tentang gangster yang ingin keluar dari gangster. Dalam pidato singkatnya, Syafiq bercerita bahwa Abang Long Fadil disensor sembilan potongan tapi masih tetap dimasukkan ke klasifikasi usia 18+ oleh LPF. Bagi Syafiq, ini adalah pengalamannya yang paling pahit dengan LPF. “Saya pikir, kenapa, kenapa ini berlaku? Sebab film Abang Long Fadil ini adalah anti-gangsterism di mana ceritanya menunjukkan, di akhir cerita, seluruh orang kampung itu bersatu untuk melawan,” cerita Syafiq. Ia membeberkan bahwa tekanan dari beberapa pihak yang tidak setuju dengan cerita berunsur gangster akhirnya mendorong filmnya terimbas sensor, tanpa melihat konteks keseluruhan cerita.

Sebenarnya Syafiq sendiri menyatakan bahwa banyak hal dalam panduan LPF yang ia setuju. Namun, masalah utamanya adalah, mengutip Syafiq, “kekaburan garis panduan dan garis panduan ini dibuat secara tidak terperinci”, sehingga mengakibatkan penyensoran yang berlandaskan penafsiran oleh para penafsir film—mereka yang bertugas sebagai pemeriksa film di LPF. “Walaupun dia anti-gangsterism, tetapi dia pakai baju gangster, tetap ini gangster, kita potong. Jadi dia akan dipotong melalui penafsiran, bukan dipotong melalui garis panduan,” cerita Syafiq ketika kembali ke konteks penyensoran Abang Long Fadil.

Selain soal sensor film, yang juga sangat penting dan begitu menarik perhatian saya dari konferensi ini adalah pembahasan soal proteksi terhadap anak dalam hubungannya dengan kebebasan orang dewasa untuk memproduksi dan mengonsumsi konten. Urgensi “sensor” konten menjadi hal yang sangat penting diperhatikan ketika khalayak yang dituju adalah anak-anak di bawah umur yang memang perlu pengawasan ketat terhadap konsumsi medianya. Harus diakui orang tua tentu tidak bisa selalu menemani dan mengontrol konsumsi media anak, tetapi di era digital ini, ketersediaan konten yang begitu beragam serta aksesnya yang menjadi jauh lebih bebas menimbulkan permasalahan baru. Dari sinilah pentingnya keterlibatan komunitas. It takes a village to raise a child. Oleh karenanya, guru di sekolah turut berperan vital dalam memberi literasi media kepada anak sampai bagaimana media memastikan konten yang disajikan aman bagi anak adalah seluruhnya hal yang penting.

Setelah menghadiri konferensi ini, saya berkesimpulan bahwa Malaysia dapat belajar banyak dari Indonesia dan sesama negara tetangga Asia Tenggara soal mekanisme penyensoran film. Seperti yang telah tertulis di atas, kehadiran delegasi dari negara-negara tetangga menambah khazanah pengetahuan dan keberagaman perspektif dalam diskusi-diskusi di konferensi ini bagaimana sinema tetap bergerak dalam ranah alternatif. Sebagian pegiat perfilman negara-negara tetangga yang hadir di konferensi ini termasuk di antaranya Alex Sihar (Ketua Dewan Pengawas Badan Perfilman Indonesia) dan Tito Imanda (Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Perfilman Indonesia) dari Indonesia, Patrick F. Campos (UP Manila Film Institute) dan King Catoy (Cinemata) dari Filipina, Chalida Uabumrungjit (Thai Film Archive) dari Thailand, Yuni Hadi (SEAFIC) dari Singapura, Thomas Barker dari Australia, dan masih banyak lagi. Tentu saja konferensi ini juga dihadiri oleh para sesama pegiat perfilman dari berbagai daerah di Malaysia, baik itu penyelenggara festival film, sineas, jurnalis, maupun akademisi.

Alex dan Tito sama-sama menceritakan bagaimana pengalaman mereka ketika berjuang bersama Masyarakat Film Indonesia (MFI) dalam memperjuangkan penghapusan sistem sensor film di Indonesia 15 tahun lalu dapat menjadi suatu pelajaran bagi Malaysia yang sekarang sedang mengalami situasi penyensoran yang penuh batasan. Sementara itu, perkara saling mendukung antarnegara ASEAN, walaupun dari jauh, dinyatakan oleh Patrick. Dalam presentasinya, Patrick menunjukkan apa yang dialami Filipina soal penyensoran film memang berbeda dari yang dialami Malaysia. Dengan demikian, dukungan ini penting supaya Malaysia mengetahui bahwa negara-negara lain turut memerhatikan apa yang terjadi di negaranya dan agar para pegiat film Malaysia juga tahu bahwa mereka tidak sendirian dalam melalui perjuangan mereka. Selain itu, karena situasi penyensoran film di setiap negara berbeda, sikap mendukung dapat mendorong dialog dan keterbukaan untuk saling belajar satu sama lain.

Laporan ini merupakan hasil kunjungan anggota redaksi Cinema Poetica ke Freedom Film Network Conference 2023.