Lebaran Kelas Pekerja Bersama Buruh Layar Lebar

Di balik produksi Kisah Tiga Titik (2013)

Di tengah pandemi COVID-19, bekerja dari rumah adalah sebuah kemewahan. Banyak orang tidak bisa kerja dari rumah, khususnya pekerja sektor strategis yang berdampak bagi khalayak luas seperti penyedia pangan, penyalur logistik, hingga petugas medis. Di sisi lain, COVID-19 juga membuka mata publik bahwa kerja-kerja yang tak bisa dilakukan dari rumah umumnya adalah pekerjaan esensial. Dunia niscaya tak bergerak jika para pekerja di sektor ini betul-betul berhenti bekerja.

Dalam waktu yang sangat lama (baca: di bawah Orde Babe), pekerja adalah makhluk misterius di film Indonesia. Saya menyaksikan mereka berkeliaran di layar lebar, mengerjakan ini itu, bersenda gurau, bercinta, dan berkeluarga. Lumrah belaka kita menyaksikan kisah percintaan anak orang kaya dengan dokter, namun nyaris tak sedetikpun kita menyaksikan mereka di ruang kerjanya. Ada pula buruh pabrik dan tukang bengkel, yang anehnya tak pernah berkeluh kesah tentang upah padahal kehidupannya miskin melata. Pendeknya, saya tidak pernah tahu apa yang betul-betul dikerjakan tokoh anu dalam film A atau B, bagaimana mereka bergaul dengan sesama pekerja pekerja, seperti apa relasi mereka dengan atasan, bagaimana mereka bisa mogok, dan seterusnya.

Dua puluh tahun terakhir, layar lebar banyak berubah. Mulai banyak sosok pekerja Indonesia yang hadir dengan identitas yang lebih utuh. Macam-macam pula jenis pekerjaan yang tampil, dari pekerja lepas hingga buruh informal, dari buruh pabrik hingga pekerja gig economy. Film Indonesia—setidaknya sepenglihatan saya—mulai berani membicarakan realitas pekerja.

Berikut ini adalah film-film pasca-Orde Babe tentang realitas pekerja yang saya pilih secara acak. Dasar pemilihannya, tentu saja, subyektif.

Syuting Janji Joni (2005)

Freelancer dan pekerja paruh waktu

Pekerjaan lepas (freelance) adalah fenomena yang lazim dijumpai kurang lebih dua puluh tahun terakhir ini. Semenjak pemberlakuan pasar tenaga kerja yang fleksibel, buruh atau pekerja dengan status kerja temporer, lepas atau harian, mudah dijumpai di mana-mana.

Dalam film Indonesia, Anda bisa menyaksikannya dalam Cek Toko Sebelah (2016) dan Imperfect (2019). Disutradarai Ernest Prakasa, Cek Toko Sebelah menghadirkan protagonis seorang fotografer lepas bernama Yohan (Dion Wiyoko) yang harus berhadapan dengan klien cerewet dalam sebuah sesi foto pre-wedding. Sementara, dalam Imperfect (2019), Dika (Reza Rahadian) harus memotret iguana demi mendapat penghasilan tambahan untuk membayarkan utang ibunya.

Di tengah narasi neoliberal tentang fleksibilitas kerja, omong kosong motivator tentang pentingnya “menggali potensi diri dengan pindah-pindah kerja”, atau slogan basi seperti “Do what you love, love what you do”, Cek Toko Sebelah memaparkan realitas yang pahit (meski kita diajak tertawa): pekerja lepas yang penghasilannya tidak tetap, tak punya karier yang pasti, dan masih harus pula berhadapan dengan Klien Maha Agung yang permintaannya aneh-aneh.

Sekelumit realitas kehidupan freelancer juga ditampilkan dalam Kapan Kawin? (2015) yang disutradarai oleh Ody C Harahap. Dalam film ini, kehidupan seorang seniman bernama Satrio menjadi penopang utama cerita. Diperankan oleh Reza Rahadian, Kapan Kawin menunjukkan satu lagi realitas kehidupan freelancer: tidak mudah menemukan pekerjaan yang sejalan idealisme dan passion.

Film-film ini turut mengamplifikasi realitas pekerja kasual, freelance, atau buruh tidak tetap yang kini dijalani kalangan muda yang dielu-elukan pasar dan pemerintah sebagai “milenial”—yang dituntut kreatif, mandiri, serba digital, tidak berharap kepada negara, tapi mustahil beli rumah.

Dalam film Indonesia pasca-Orde Babe, ilustrasi pekerja kasual itu dirintis oleh Janji Joni pada 2005. Hari Buruh Internasional tahun itu belum ditetapkan sebagai hari libur. Sikap kelas menengah perkotaan—yang sebagian besar juga pekerja—masih sangat sinis terhadap demo buruh. Lima belas tahun berlalu, sinisnya masih terasa, namun alhamdulillah jauh berkurang.

Ketika diliris pada 2005, Janji Joni menawarkan sesuatu yang segar. Bukan, ini bukan soal Nicholas Saputra dan Mariana Renata. Janji Joni segar karena mengangkat kisah pengantar rol film—sebuah pekerjaan yang asing dalam imajinasi penonton film Indonesia. Joni (Nicholas Saputra) memperkenalkan diri sebagai “pekerja part time” ke Angelique (Mariana Renata) saat keduanya pertama kali bertemu di bioskop. Selanjutnya adalah komedi soal Joni yang terjebak berbagai situasi tak terduga dalam perjalanannya mengantar rol film di shift terakhir pada hari perkenalannya dengan Angelique.

Singkatnya, dalam Janji Joni, pekerjaan mengantar rol tidak hanya jadi latar, tapi menjadi penggerak cerita itu sendiri. Hari ini, mayoritas bioskop Indonesia tidak lagi memakai gulungan seluloid. Kita tentu tak tahu bagaimana nasib Joni sekarang. Namun, buat para penggemar film, sosok pekerja seperti Joni ini tentu merupakan essential worker. Tanpa mereka, bioskop masa itu bakal kesulitan menayangkan film.

Situasi produksi Minggu Pagi di Victoria Park (2010)

Beban Berlapis Buruh Perempuan

Film horor Joko Anwar terbaru berjudul Perempuan Tanah Jahanam (2019) dibuka oleh obrolan dua tugas tiket jalan tol. Keduanya perempuan, pekerja alih daya (outsource), harus bekerja shift malam dengan upah rendah dan rawan mengalami kekerasan seksual. Selebihnya adalah harapan tokoh-tokoh utamanya untuk menjadi makmur dengan cara singkat: mencari warisan.

Putus asa? Iya, tapi bukankah itu umum terjadi ketika pekerjaan sehari-hari tak menawarkan kehidupan yang layak?

Joko Anwar, sutradara Janji Joni, sepertinya punya empati yang besar terhadap kehidupan kelas pekerja. Pada tahun yang sama, ia merilis Gundala, superhero kelas pekerja yang menggoyang oligarki bersama buruh pasar dan kaum miskin kota di sebuah tempat antah berantah yang mirip Jakarta.

Jauh sebelum Joko, buruh perempuan telah muncul di film Marsinah (Slamet Rahardjo, 2001), berangkat dari kisah nyata tentang Marsinah, seorang aktivis buruh asal Jawa Timur yang mati dibunuh pada 1993.

Belakangan, aktris dan sutradara Lola Amaria mulai menggarap tema yang sama. Anda bisa menyaksikannya di Kisah Tiga Titik (2013) yang ia produseri. Protagonis film adalah tiga perempuan bernama Titik. Yang satu buruh pabrik garmen yang menderita kanker, yang lain Titik aktivis buruh rumahan, dan yang terakhir adalah karyawan di perusahaan swasta. Kisah Tiga Titik menggambarkan kerentanan khas pekerja perempuan: bekerja ganda (di pabrik/kantor dan rumah), diremehkan di tempat kerja, dan kerap hanya dinilai fisiknya.

Sebelum itu Lola Amaria juga duduk di kursi sutradara film Minggu Pagi di Victoria Park (2010). Boleh jadi ini adalah film Indonesia pertama yang mengangkat kisah buruh migran. Dengan sangat baik, film ini mengajak kita menelusuri sulitnya kehidupan para perempuan buruh migran di Hongkong. Seperti Kisah Tiga Titik (2013), film ini juga memusatkan kisah para perempuan buruh migran melalui beberapa tokoh. Namun, kali ini dengan nama yang berbeda-beda: Sekar (Titi Rajo Bintang), Sari (Imelda Soraya), dan Yati (Permata Sari Harahap). Melalui ketiga tokoh ini, Anda dapat melihat berbagai masalah yang dihadapi perempuan buruh migran di Hongkong. Dari mulai terjebak hubungan pacaran yang toxic, terjerat utang sehingga rela melakukan pekerjaan apa saja, sampai persoalan bunuh diri.

Imperfect juga berbagi keresahan yang sama. Namun Imperfect lebih fokus pada lookism alias diskriminasi berdasarkan tampilan fisik di dunia kerja. Tokohnya adalah kelas pekerja bernama Rara (Jessica Mila), yang dikisahkan diet akibat tuntutan sosial dari orang rumah dan orang kantor.

Suasana syuting Love for Sale 2 (2019)

Gig Economy

Menjamurnya bisnis startup seperti Gojek, Grab, dan sebagainya turut menciptakan eufemisme baru bagi buruh, yakni “mitra”. Posisinya konon setara dengan perusahaan, meski kenyataannya masih diupah. Inilah salah satu wajah kelas pekerja Indonesia hari ini yang tak luput ditangkap dalam layar perak.

Caranya? Dengan membungkus isu pekerja gig economy (khususnya di sektor transportasi) sebagai penyelamat di kala bangkrut (Keluarga Cemara, 2019) atau menunjukkan bagaimana sebagian masyarakat terlambat atau enggan menerima pembaruan teknologi (Si Doel the Movie, 2018). Di Keluarga Cemara, sosok Abah dikisahkan jatuh miskin setelah perusahaannya bangkrut akibat ditipu. Ia kembali ke kampung halaman, hidup sederhana dan mencari nafkah sebagai supir Gojek. Begitu pula Mandra dalam Si Doel, yang kesulitan mencari pelanggan akibat ketatnya persaingan dengan ojek berbasis aplikasi online.

Namun, menurut saya, hanya ada dua film yang menampilkan realita pekerja gig economy sebagai fokus utama: Love for Sale (2018) dan Love for Sale 2 (2019). Kedua film yang disutradarai oleh Andibachiar Yusuf ini menceritakan kehidupan kerja Arini (Della Dartyan), seorang pekerja di sebuah aplikasi kencan berbasis daring bernama Love Inc.

Arini dikisahkan menjalani tugas yang berat karena ia harus terlibat langsung dalam kehidupan keseharian kliennya. Arini, yang diperankan oleh Della Dartyan, juga diceritakan harus bersikap profesional dengan meninggalkan kliennya dan menghilang setelah semua pekerjaannya selesai.

Dua film ini juga menampilkan kerja yang selama ini cenderung dilupakan dan tidak dianggap kerja: care work. Dalam dua Love for Sale, mencintai dan memelihara hubungan ditempatkan sebagai kerja. Ada harga yang harus dibayar untuk proses reproduksi sosial seperti keluarga; ada harga yang harus dibayar bagi laki-laki agar kehidupan hariannya nyaman. Bangun tidur, makanan tersedia di meja; selesai kerja, ada teman bicara; ketika kondangan, ada yang bisa digandeng sebagai calon pasangan.

Pemilihan sosok Arini sebagai pekerja aplikasi Love Inc adalah sebuah statement bahwa perempuan merupakan care worker yang paling jamak ditemukan—dan tidak dibayar.