
Tulisan Usmar Ismail ini (menggunakan nama samaran SM Ameh) kali pertama terbit di Sinar Harapan, 6 Oktober 1970, dengan judul “Masa Pra Gestapu: Sedjarah Hitam Perfilman Nasional”. Disalin oleh redaksi Cinema Poetica dengan sejumlah penyesuaian bahasa.
Barangkali banyak yang tak ingat lagi heboh sekitar “aksi penutupan studio film” di Jakarta tahun 1960. Suasana pada waktu itu memang sedang diliputi oleh pengaruh pemberontakan PRRI/Permesta, hingga kadang-kadang orang mencampurbaurkan aksi itu dengan sikap pembangkangan terhadap Pemerintah Pusat RI. Dalam hubungan itu telah dipanggil mengahadap berkali-kali ke MBAD, Djamaluddin Malik almarhum dan Usmar Ismail yang dianggap sebagai biang keladi aksi-aksi tersebut yang mencapai puncaknya pada suatu rapat besar orang-orang film di gedung sandiwara Miss Tjitjih. Soal yang dipersengketakan adalah karena adanya niat Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perekonomian, untuk mengizinkan masuknya film-film Filipina dengan secara bebas yang ditentang oleh Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI).
Djamaluddin Malik kemudian ditahan yang berwajib atas tuduhan-tuduhan lain, tetapi pada hakikatnya penahanannya itu tidak bisa dilepaskan dari aksi-aksi orang film itu. Justru karena pada masa itu Djamal sedang disorot secara intensif oleh koran-koran kiri, meskipun secara selentingan seolah-olah tidak berbau politik.
Tetapi “aksi penutupan studio film” itu pada hakikatnya adalah permulaan suatu pergulatan antara kekuatan-kekuatan yang dipelopori oleh Lekra/PKI melawan kekuatan-kekuatan demokratis di kalangan orang-orang film yang mencapai puncak yang sama pada pemberontakan G30S.
Pada 30 September 1965 dalam edisi sorenya Warta Bhakti memuat sebuah berita kecil di dalam boks, yang mewartakan tentang niat Usmar Ismail untuk memajukan persoalan tuduhan Bagin, Sekjen LKN [Lembaga Kebudayaan Nasional], bahwa dia adalah antek CIA dan kaki tangan AMPAI yang diucapkan Bagin dalam suatu ceramah di depan siswa-siswa karyawan film Kempen, kepada Kejaksaan Agung. Komentar Warta Bhakti mengutip ucapan Sitor Situmoran, ialah “boleh adukan, nanti lihat saja siapa yang menang”.
Tidak banyak barangkali orang yang sadar waktu itu, bahwa ucapan Sitor itu adalah suatu ancaman berselimut di bawah bayangan kejadian-kejadian yang ditunggu-tunggu yaitu adanya perubahan politik yang akan mengangkat orang-orang PKI ke takhta kekuasaan. Tidaklah mengherankan kalau kemudian ternyata dari salah satu dokumen, bahwa Usmar Ismail termasuk dalam orang-orang yang akan dilikuidasi pada 5 Oktober 1965.
Jika ditinjau sepintas lalu, apalah arti perjuangan melawan PKI di bidang film. Tetapi, jika diingat, bahwa instruksi untuk merebut kepemimpinan di dalam meja yang oleh Lenin diakui sebagai media yang paling ampuh di abad ke-20 ini adalah datang dari DN Aidit sendiri, maka dapatlah disadari, bahwa Lekra/PKI di dalam hal ini sama sekali tidak main-main.
Ofensif revolusioner di bidang film memang adalah sebagian dari ofensif di bidang kebudayaan seluruhnya yang pada hakikatnya mendapat bentuk yang nyata pada Konferensi Pengaran Asia Afrika yang diadakan di Bali pada 1963.
Di dalam konferensi itu telah disingkirkan semua pengarang-pengarang Indonesia yang dianggap reaksioner atau tidak cukup revolusioner, hingga pengarang-pengarang yang disingkirkan itu kemudian membuat sebuah konferensi nasional sendiri yang menelurkan sebuah persatuan, yaitu Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia [PKPI].
PKPI ini telah menjadi sasaran utama Lekra/Lesbi (Partindo) dan anggota-anggotanya yang telah dicap anti-manipol, antek-antek imperialis, dan lain-lainnya paling sedikit dicap PSI [Partai Sosialis Indonesia]. Perjuangan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) di dalam menghadapi front PKI haruslah diakui. Tetapi konfrontasi itu barulah menghebat pada waktu penyelenggaraan Ganefo Art Festival yang pimpinannya dipegang oleh Usmar Ismail, yang lebih dikenal sebagai seorang tokoh perfilman. Sejak Usmar jadi Ketua Lesbumi pada 1962, Lekra senantiasa telah berusaha untuk menariknya kepada apa yang disebut persatuan Nasakom di bidang kebudayaan.
Salah satu usaha mereka ialah menyelenggarakan pendekatan itu melalui Keduataan Besar Uni Soviet yang mengundang Usmar menghadiri Festival Film Internasional di Moskow, di mana filmnya Pejuang mendapat hadiah aktor terbaik bagi Bambang Hermanto, yang ternyata kemudian adalah dalam taraf permulaan pembinaan pihak Lekra. Demikiran juga, waktu Usmar mendapat Hadiah Seni Tertinggi dan Piagam Wijayakusuma untuk prestasinya di bidang film dan drama, orang-orang Lekra bungkam seribu bahasa. Hanyalah sesudah Ganefo Art Festival dan ternata Usmar tidak bisa mereka tarik, maka mulailah dilakukan perongrongan terhadap kepemimpinannya di bidang film.
Pemencilan Usmar itu pada hakikatnya telah berhasil dilakukan buat sementara, waktu dimajukan tokoh LKN Amir Jusuf almarhum, untuk memimpin PPFI, sedang sekjen dipegang oleh tokoh utama Lekra Bachtiar Siagian. Tetapi sementara itu kematian Amir Jusuf yang tiba-tiba telah mengembalikan pimpinan PPFI kepada Usmar Ismail lagi.
Golongan demokratis di bidang film berhasil mengkonsolidasi diri dalam suatu musyawarah kerja yang menelurkan Badan Musyawarah Perfilman Nasional [BMPN] yang anggota-anggotanya terdiri dari PPFI, PARFI [Persatuan Artis Film Indonesia], PIDFIN [Persatuan Importir dan Distributor Film Nasional], OPS Bioskop [Organisasi Perusahaan Sejenis Bioskop], Organisasi Karyawan Film dan TV serta PWI Seksi Film. Benteng BMPN inilah yang coba digebuk oleh Lekra dan kawanannya tetapi tidak berhasil karena memang mendapat pengakuan dari Pemerintah RI dan disokong sepenuhnya oleh Dewan Film Indonesia yang diketuai oleh Kolonel Sukardjo.
Kesempatan bagi Lekra dan kawanannya untuk mendapat angin ialah pada waktu [Utami] Suryadarma diangkat jadi Ketua Badan Sensor Film. Sejak itu ia menjadi pusat segala kegiatan Lekra dan kawanannya di bidang film yang mencapai puncaknya dalam penyelenggaraan Festival Film Asia Afrika [FFAA] di Jakarta. Dari kegiatan FFAA inilah orang-orang film seperti Usmar Ismail, Djamaluddin Malik, Suryo Sumanto, Asrul Sani, dan lain-lainnya disingkirkan dengan semboyan, bahwa soal film bukanlah soal orang film semata, tetapi adalah soal rakyat.
Karena itu orang-orang film tidak perlu diturutsertakan di dalam panita FFAA, karnea mereka adalah orang-orang yang buta politik. Demagogi ini pun termakan oleh Presiden Sukarno dan kendati telah diusahakan bertemu resmi dengan kelompok Utami Suryadarma serta kelompok Usmar-Djamal, tapi akhirnya Lekra berhasil menerapkan motonya “politik adalah panglima”, sehingga usaha-usaha penengahan Ruslan Abdulgani sebagai Menpen gagal total.
Djamal dan Usmar sengaja keluar negeri membuat film Tauhid di Mekah pada waktu FFAA sedang berlangsung di Jakarta. Tetapi apa yang terjadi sebelumnya menggambarkan dengan jelas, bagaimana Lekra/PKI telah bertekad bulat untuk merebut kepemimpinan perfilman di Indonesia.
FFAA tidaklah menimbulkan efek yang diharapkan oleh Lekra/PKI, kendati film jagoan mereka Tangan-tangan yang Kotor (yang notabene diproduksi Perfini-nya Usmar Ismail) telah mendapat hadiah, yang dianggap sebagai suatu karya Kolonel Suharjo. Karena itu Aidit menganggap perlu untuk meningkatkan ofensif itu, dengan menginstruksikan melaksanakan aksi boikot terhadap “film-film imperialis Amerika Serikat”, maka tebentuklah Panitia Aksi Pengganyangan Film-film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). PAPFIAS ini akan memainkan peranan yang sangat aktif dalam mengganyang orang-orang film yang tidak berpihak kepada mereka dan tidak hanya membatasi diri pada pengganyangan film-film Amerika Serikat saja.
Sementara itu pihak BMPN pun tidak tinggal diam dan dalam kerja sama dengan Dewan Film Indonesia dapat diusulkan dan disetujui oleh Pemerintah, pemusatan pembinaan perfilman di bawah satu tangan Menteri Penerangan, dengan dikeluarkannya Penpres 1/64 yang terkenal.
Penpres ini tidak berkenan dalam hati orang-orang Lekra/PKI dan mereka berusaha dengan sega daya untuk mentorpedo pelaksanaannya. Dengan perantaraan menteri mereka dalam kabinet, mereka berusaha untuk mengamendir Penpres 1/64 itu, justru karena di dalamnya jelas dicantumkan dasar pembinaan perfilman nasional yaitu filsafat Pancasila. Ternyata dalam hubungan ini usaha-usaha Menteri Oei Tjoe Tat merupakan salah seorang gembong PKI yang bertamengkan Partindo.
Justru dengan maksud utama untuk mengubah Penpres 1/64 itulah, pihak Lekra/PKI menyelenggarakan apa yang mereka sebut Mubes PAPFIAS. Tetapi golongan demokratis di antara orang film serta merta mengadakan pula Mubes tandingan yang diberi nama Mubes Nasakom. Adalah sesuatu yang ironis, bahwa nama itu terpaksa diadaptasi, justru untuk “merebut angin dari layarnya PKI”. Apapun yang dikatakan orang sekarang tentang perjuangan secara legalitas yang berlaku pada waktu itu dalam menghadapi ofensif PKI, pada hakikatnya perjuangan yang demikianlah yang akhirnya membawa hasil-hasil yang produktif. Karena cara perjuangan itu pun telah dipergunakan oleh ABRI.
Salah satu dari keputusan Mubes Nasakom ialah mempertahankan Penpres 1/64 yang dianggap cukup kuat diajdikan landasan bagi pembinaan perfilman naisonal. Tetapi itu pun pada hakikatnya hanyalah jargon politik belaka, sesuai dengan suasana waktu itu.
Atas landasan Penpres 1/64 itu, Menteri Penerangan Ahmadi menciptakan BMPN gaya baru yang anggota-anggotanya semuanya diangkat oleh menteri. Adapun BMPN gaya baru itu tidak lain adalah wadah yang sengaja diciptakan untuk memberikan peluang bagi PKI untuk menguasai dunia film. Niatnya, hampir 80% dari anggota-anggotanya adalah orang Lekra/PKI dan simpatisan-simpatisannya.
Djamal dan Usmar terpaksa menghadap Subandrio untuk memprotes susunan BMPN yang sangat berat sebelah itu dan akhirnya golongan demokratis dalam lembaga itu ditambah menjadi lima orang. ORang-orang PKI dan simpatisannya masuk ke dalam lembaga itu dengan berbagai dalil. Antaranya diangkat pula yang disebut orang-orang dari “Angkatan 45”, antarana tampak tokoh-tokoh seperti Turino Djunaedi, Frans Mendur, dan lain-lainnya.
Ahmadi telah mengkonsinyir anggota-anggota BMPN itu dalam suatu konferensi maraton yang harus menghasilkan suatu program pembinaan dalam tempo 24 jam. Satu malam suntuk telah terjadi perang lidah antara pihak Lekra/PKI dan antek-anteknya melawan orang-orang film berpikiran demokratis. Pada waktu itu benar-benar kelihatan siapa yang memihak Lekra/PKI dan siapa yang tidak begitu saja menerima gagasan-gagasan yang anti-Pancasila dan anti-demokrasi. Dan dari masa itu pun sudah kelihatan, bahwa kerja sama yang baik antara oknum-oknum ABRI dan orang-orang film yang berpikiran demokrat, dapat dibina.
Tetapi follow up dari pelaksanaan keputusan-keputusan sidang BMPN itu yang harus diselesaikan dalam seksi-seksi, itulah yang merupakan perang tanding terus-menerus. Dalam hubungan ini Usmar Ismail bercerita, bahwa pada tiaprapat mau dibuka oleh Ketuanya, Letkol Noor Nasution, Bachtiar Siagian sudah buka suara lantang dan meminta supaya oknum-oknum anti-revolusioner dan antek-antek imperialis dan Manikebu dikeluarkan dari sidang. Yang dimaksud tidak lain adalah Usmar Ismail sendiri. Tetapi untunglah Noor Nasution senantiasa berhasil mengatasi ketegangan-ketegangan yang timbul dengan gaya lawak Medan-nya yang khas. Usmar pun dengan demonstratif menyatakan kehadirannya sebagai orang yang mewakili golongan agama dengan memulai tiap pidatonya dengan “assalamu’alaikum ww” dan biasanya yang disambut oleh Bachtiar Siagian, Jubaar Ayu, dan lain-lainnya dengan teriakan ejekan balasan yang lebih keras lagi.
Dengan terbentuknya BMPN seolha-olah dunia film sudah dapat dikuasai oleh Lekra/PKI. Tetapi mereka barulah berhasil sebagian, karena secara tidak resmi BMPN yang asli masih tetap aktif. Dan karena itulah mereka berusaha memecah belah persatuan yang ada antara para produser, artis, importir, pengusaha bioskop, dan lain-lainnya.
Pertama-tama mereka telah berhasil mengadu domba importir dan pengusaha bioskop. Dan waktu ada oposisi dalam tubuh PIDFIN sendiri terhadap sepak terjang pengurusnya yang terdiri dari Frans Mendur, Haji Syamsir, Gazali, dan Jahya, maka tidak ada alternatif lain bagi mereka yang berpikiran demokratis, selain daripada membentuk persatuan baru yang diberi nama GIPRODFIN di bawah ketua Nasiruddin Naib. Juga di dalam tubuh PARFI terjadi perpecahan yang ditimbulkan oknum Lekra/PKI dalam Kongres PARFI, yang diikuti oleh Wim Umboh, Rendra Karno, dan lain-lainnya, karena kongres tidak dapat menyetujui untuk mendukung hasil-hasil keputusan FFAA.
Masa pra-Gestapu adalah masa yang kerdil bagi produksi film nasional. Film-film yang dibuat kebanyakan adalah film-film pesanan untuk salah satu badan pemerintahan, perusahaan-perusahaan negara atau bank-bank. Semuanya memakai film-film cerita untuk propaganda usaha masing-masing, malahan ada juga yang untuk diri pribadi. Orang-orang film tidak lebih tingkatnya dari orang suruhan. Bachtiar Siagian, yang pada mula debutnya sebagai sutradara disebut-sebut sebagai saingan berat Usmar Ismail, telah terjerumus dalam lumpur politik, demikian juga Basuki Effendy. Film-film yang tidak bertemakan soal-soal Manipol Usdek diganyang habis-habisan.
Satu kasus ialah perihal film Anak Perawan di Sarang Penyamun yang dihantam dan diboikot sampai tak bisa beredar, karena berdasarkan karangan Sutan Takdir Alisyahbana yang dituduh pengkhianat dan pemberontak. Tragisnya, setelah G30S ditumpas, film ini tetap tak bisa beredar, karena di dalamnya ada Bambang Hermanto yang pada masa gontok-gontokan teran-terangan memihak Lekra/PKI. Film Perfini lain Anak-anak Revolusi, meski semata-mata menceritakan kisah Revolusi ’45, telah dicap sebagai film revolusi cengeng. Pendeknya tak ada orang lian yang benar kecuali orang-orang Lekra dan antek-anteknya. Usmar Ismail dalam pidato menyambut HUT Perfini ke-14 tahun menyatakan:
“Usaha tidak lagi ditujukan untuk berlomba-lomba membuat film terbaik, tetapi ditujukan untuk meruntuhkan yang sudah ada, sementara belum ada yang baru yang lebih baik yang dapat menggantikannya. Dan fitnahan terbesar ialah untuk menggelapkan sejarah perfilman nasional yang telah ditulis dengan darah dan keringat selama 14 tahun terakhir ini oleh orang-orang film yang secara ulet bertekun melabrak rintangan-rintangan untuk membangungkan landasan yang kukuh guna perkembangan selanjutnya.”
Dan ucapan ini kiranya adalah tanggapan langsung terhadap “buku putih” Bachtiar Siagian yang dikemukakannya dalam suatu kongres orang-orang film dari golongan kiri.
Tahun 1964-1965 adalah masa hitam bagi perfilman nasional. Dunia film dipecah menjadi dua blok yang akibatnya sekarang pun masih idrasakan, karena justru pada masa sesudah 30 September 1965, perpecahan itu telah dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu untuk memenangkan kebijakan di bidang film. Sampai saat sekarang pun, orang-orang yang benar-benar berjuang di atas rel Pancasila pada waktu pra-Gestapu masih merasakan perlunya kena ganyang orang-orang PKI dan antek-anteknya yang notabene dewasa ini ada lagi yang tampil ke depan dengan segala gaya, seolah-oah tak terjadi apa-apa.
Permutarbalikan sejarah pun dilakukan, hanya sekarang dengan motif-motif lain, tetapi pada hakikatnya sejalan dengan apa yang telah dirintis Lekra/PKI, LKN-Asu, Lesbi, dan antek-anteknya.
Di dalam memenangkan peristiwa Lubang Buaya, lima tahun lalu, kiranya semua ini dapat dijadikan peringatan bagi semua golongan yang berpikir demokratis!