
Tulisan Usmar Ismail ini kali pertama terbit di Sinar Harapan, 31 Desember 1970, dengan judul “Perfilman Nasional Tahun 1970”. Disalin oleh redaksi Cinema Poetica dengan sejumlah penyesuaian bahasa.
Fakta-fakta bicara: tahun 1970, Departemen Penerangan meninggalkan kebijaksanaan mengutamakan kualitas daripada kuantitas dan membubarkan Dewan Produksi Film Nasional yang telah menghabiskan uang sejumlah Rp116.586.000,- untuk membuat empat buah film berwarna, dengan semboyan “quality approach”.
Tahun 1970 juga ditandai dengan aktifnya Dewan Film Nasional yang baru diangkat Menteri Penerangan dalam membantu Menteri merumuskan kebijaksanaan baru di bidang perfilman.
Yang terpenting di antara rekomendasi DFN itu adalah supaya inisiatif berproduksi dikembalikan lagi kepada para produser film sendiri yang pada mula dan pada akhirnya harus bertanggung jawab terhadap film yang dibuatnya, baik secara finansial ataupun secara moril maupun moral. Sistem sponsorship ternyata telah mengakibatkan pemborosan uang yang dikumpulkan dari saham wajib para importir melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan no. 71. Atas rekomendasi DFN itu, maka Menteri Penerangan pada mulanya bersedia untuk memberikan pinjaman kepada para produser sebanyak 50% dari jumlah biaya produksi dengan maksimum Rp7.500.000,-, pada permulaan diberikan dulu kepada 6 buah film.
Sementara itu SK 71 yang terkenal itu akan dimodulasi. Kenyataannya, sampai akhir tahun 1970, menurut perhitungan yang terdaftar pada Sekretariat Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), telah diberikan kredit untuk membuat sebelas buah film, sedang menurut Direktorat Film jumlah itu adalah 17 buah. Dalam catatan PPFI, permintaan kredit yang sedang dipertimbangkan adalah untuk tujuh buah film produksi anggota PPFI, sedang lima buah film lagi produksi calon-calon anggota PPFI harus lagi memenuhi prosedur yang sudah ditetapkan.
Sementara itu ada lagi dua anggota PPFI yang sudah memulai produksinya tanpa kredit SK 71 dan yang diketahui ada seorang produser bukan anggota PPFI yang sedang membuat film juga. Dengan demikian, maka ada 21 buah film dewasa ini yang sudah diselesaikan dan masih dalam penyelesaian. Dalam jumlah ini, belum terhitung produksi-produksi lain yang tidak melalui persyaratan harus mendapat rekomendasi PPFI, umpamanya produksi Giprodfin, sehingga catatan Direktorat Film, bahwa film yang sudah dan mulai diproduksi pada tahun 1970 adalah 23 mungkin benar.
Karena kebanyakan produksi itu baru dimulai sesudah bagian kedua tahun 1970, maka yang telah diedarkan hanyalah baru dua buah film. Diperkirakan, pada permulaan tahun 1971 telah akan beredar sebanyak kurang lebih sepuluh buah film baru. Meskipun bagaimana, kebijaksanaan baru yang diambil Menteri Penerangan telah menimbulkan kegairahan produksi yang luar-biasa, hampir 400% dari tahun sebelumnya.
Tentu saja faktor-faktor lain telah memainkan peranan yang tidak kurang pentingnya dalam merangsang gairah berproduksi itu. Salah satu antaranya, ialah adanya Festival Film Asia ke-16 di Jakarta antara 15-19 Juni lalu. Festival itu telah mengembalikan image (wajah) perfilman nasional secara menguntungkan, dengan adanya perhatian yang khusus dari Presiden Soeharto sendiri.
Hadiah Golden Harvest bagi Palupi memang membuktikan, bahwa film yang baik itu memerlukan biaya yang cukup besar, guna memberikan kesempatan dan waktu bagi para karyawannya untuk mencipta. (Biaya produksi Palupi, Rp33.690.000,-, ini adalah hampir sama dengan jumlah yang dipergunakan oleh produser Italy dalam membuat film Bali dalam apa yang disebut below the line cost). Hadiah-hadiah ad hoc lainnya yang dimenangkan oleh film-film Bernafas Dalam Lumpur dan Big Village tambah meyakinkan orang, bahwa jika diberi kesempatan karyawan-karyawan film Indonesia pun mampu menandingi kerja-kerja rekannya di Asia.
Faktor lain yang tak kurang pula pentingnya dalam menimbulkan kegairahan baru untuk produksi, ialah sukses-sukses komersil yang didapat oleh film-film Indonesia yang sekarang muncul dalam tata-warna dan layar-lebar, khususnya sukses film “Bernafas dalam Lumpur”, film seks Indonesia yang pertama. Film-film itu sudah mengembalikan kepercayaan penonton yang tadinya sudah hampir hilang.
Dalam pada itu perlu juga dicatat, bahwa film-film Indonesia mulai juga merebut pasaran di Singapura dan Malaysia yang dipelopori oleh Macan Kemayoran, hingga pembeli-pembeli film dari negara-negara itu mulai menaruh perhatian khusus terhadap pembuatan film-film di Indonesia dan berani membayar dengan harga yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya.
Jika orang menanyakan, apakah yang menyebabkan dewasa ini ada rush dalam pembuatan film-film Indonesia, maka sebab-sebab utamanya telah diungkapkan di atas. Seperti pada semua usaha, yang diperlukan pertama-tama adalah atmosfer yang menguntungkan. Ini sudah diciptakan buat sebagian oleh kebijaksanaan Menteri Penerangan.
Tetapi atmosfer itu belum sepenuhnya tercipta sebagaimana diharapkan oleh orang-orang film sendiri, karena rush yang terlihat sekarang mungkin juga hanyalah gejala-gejala musiman. Persoalannya memang berkisar sekitar fulus. Melihat suksesnya beberapa film Indonesia, para pemilik uang putar haluan dagangan kepada produksi film.
Seperti halnya juga terjadi sebelumnya, dengan adanya rush pembukaan travel bureaus dan sekarang night clubs.
Tetapi juga, sebagai telah berkali-kali terbukti, usaha-usaha yang berdasarkan spekulasi pada akhirnya akan membunuh usaha itu sendiri. Gejala-gejala spekulasi itu di dalam pembuatan film Indonesia pun telah terlihat. Dan terhadap ini memang perlu diadakan tindakan-tindakan preventif, khususnya dalam penggunaan dana SK 71 yang dijadikan incaran juga oleh para spekulan.
Yang diharapkan oleh orang-orang film, ialah supaya Pemerintah melakukan tindakan-tindakan proteksi juga terhadap persaingan film-film asing yang masih saja membanjir masuk. Jumlah film yang diimpor pada periode 1970 hampir dua kali lipat dari jumlah film yang dimasukkan pada masa sebelum G30S-PKI, sedang bioskop-bioskop hanya bertambah di kota-kota besar saja, khususnya Jakarta. Sudah waktunya untuk diadakan lagi kuota impor dan screentime quota bagi film-film Indonesia. Selain itu dari yang terpenting, ialah tetap dipertahankannya perangsang yang berupa sertifikat impor bagi film-film nasional.
Dalam hal ini perlulah dicatat bahwa di negara-negara seperti Italia, Prancis, Jerman Barat, dan Inggris sekalipun, film-film nasional masih tetap mendapat subsidi.
Kebijaksanaan Badan Sensor Film yang lebih bersikap permisif terhadap film-film Indonesia juga telah menjadi sebab timbulnya keberanian berproduksi. Yang harus dijaga dalam hal ini ialah jangan timbulnya pink films, seperti terjadi di Jepang, hingga mendesak produksi film yang legitimate. Pink films adalah film-film murahan yang dibuat hanya semata-mata untuk kepentingan komersil dengan mengeksploitasi unsur seks secara total.
Sikap menahan diri dari pihak para produser nasional amat perlu, supaya dicegah timbulnya reaksi masyarakat yang sama sengitnya, hingga akhirnya situasi bebas yang telah diperdapat itu akan hilang kembali.
Menghadapi tahun 1971, sikap yang paling realistis ialah optimisme yang hati-hati. Faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas perlu mendapat perhatian yang serius, khususnya bagi para produser film nasional dan Departemen Penerangan,dalam hal ini Menteri Penerangan. Kerjasama dan pengertian antara organisasi produser PPFI dan pejabat-pejabat Deppen amat vital, supaya segala gerak sinkron dan terarah. Mengambil jalan sendiri dengan tiada konsultasi antara yang memegang wewenang dan yang melaksanakan akan berakibat fatal.
Menoleh kembali kepada tahun 1970, tidak perlu dicari, siapa yang berjasa, siapa yang harus dikambinghitamkan!
Kita tidak ada waktu untuk mempertengkarkan soal itu, karena yang terpenting adalah, bahwa pengalaman yang lalu akan senantiasa jadi pedoman, apa yang dikerjakan, dan apa yang harus disingkirkan, buat lebih suksesnya masa mendatang.
Demikianlah hendaknya!