Naskah ceramah Usmar Ismail ini kali pertama diterbitkan di Pembina, 8 September 1965, dengan judul “Film sebagai media Da’wah”, disertai keterangan Usmar sebagai “Ketua Umum LESBUMI”. Disalin oleh redaksi Cinema Poetica dengan sejumlah penyesuaian bahasa.
Sejak pertama kali film dihasilkan sebagai kerja teknis manusia, langsung ia dipakai sebagai alat komunikasi massa, populernya sebagai alat untuk bercerita. Apakah yang diceritakan itu suatu khayalan atau kisah, pada pokoknya segala macam media bercerita, yaitu suatu media baru sebagai hasil kerja elektro-teknik dan kerja optik.
Seni untuk seni
Film sebagai alat komunikasi massa dewasa ini telah dipakai untuk berbagai tujuan. Bagi mereka yang melihat film itu sebagai media seni an sich [sendiri], sebagai media seni tok dan menerapkan “seni untuk seni”, film hanyalah suatu media untuk menyatakan pikiran, perasaan, isi hati, kadang-kadang nafsu mereka pribadi dengan tiada mempedulikan norma-norma, nilai-nilai, selain daripada ukuran-ukuran mereka sendiri sebagai seniman.
Jelaslah, pemikiran-pemikiran “seni untuk seni” lahir dari sikap hidup yang individualistis yang pada hakikatnya adalah juga anak dari filasafat materalistis yang merajalela di benua Eropa pada beberapa abad terakhir ini.
Mengagung-agungkan individu di dalam dunia kesenian mencapai puncak, misalnya pada aliran eksistensialisme yang dipelopori oleh Sartre, pujangga Prancis yang kebetulan juga menaruh perhatian terhadap media film.
“Seni untuk dollar” dan “seni untuk rakyat”
Di ujung lain daripada aliran “seni untuk seni”, bercokol dua aliran yang seolah-olah dipandang sekelebat mata bertentangan sebagai siang dan malam, tetapi pada hakikatnya bersumber juga pada satu mata air, yaitu materialisme.
Di satu pihak berdiri “Seni untuk Dollar”, di lain pihak berdiri “Seni untuk Rakyat” dengan catatan, bahwa pengertian “rakyat” di sini adalah mereka yang sudah dinobatkan untuk mengabdi kepada “dewa kebendaan”, dengan meniadakan pengabdian kepada Maha Pencipta Seru Sekalian Alam.
“Seni untuk Dollar” adalah paham antara para pembuat film yang bersumber pada kapitalisme yang telah menganakkan imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme dan yang pada waktunya telah melahirkan kapitalisme internasional seperti yang kita kenal sekarang.
Sifatnya tidak lagi hanya memberikan sekedar hiburan saja, tetapi dengan sengaja merangsang dan menghidupkan gairah nafsu yang rendah, dan membangkitkan histeri manusia.
Ekses-ekses komersil di bidang sinematografi
Di bidang sinematografi, ekses-ekses komersialisme ini menampakan diri dalam film-film sensasional, film-film seks, kejahatan, kekerasan, dan kekejaman, pendeknya yang dapat membangkitkan bulu tengkuk.
Mengenai persoalan ini perlu diadakan penelitian yang seksama, karena pada umumnya film-film yang dibikin, dimana pun di dunia dewasa ini tidak bisa dilepaskan sama sekali dari perhitungan untung rugi. Baik di negara-negara sosialis, dimana negara menjadi produser semua film ataupun negara-negara kapitalis, dimana swasta yang menjadi pengusaha film, maupun di negara-negara Pancasila, seperti Indonesia, umumnya film-film dibuat dengan pengharapan untuk mendapat pasaran yang seluas-luasnya. Hanyalah dalam pertimbangan masing-masing produser itu ada perbedaan yang bertingkat-tingkat.
Kekecualian dalam hal ini barangkali adalah film-film RRT yang kelihatannya berpijak teguh pada dogma, bahwa film harusnya secara mutlak menjadi media propaganda. Juga di bidang perfilman jelas kelihatan adanya jurang perbedaan paham antara RRT dan blok Uni Soviet.
Media film senjata ampuh.
Jika kita memang bertekad untuk menjadikan film media dakwah, media perjuangan maka perhatian kita yang utama harus mencari dan menyelidiki secara sadar rahasia selera penonton umumnya dan bagaimana cara-cara untuk memberikan kepuasan kepada selera itu dan kita tidak boleh hanya bersifat pasif atau sinis saja, karena dengan demikian film itu tidak akan dengan sendirinya menjadi senjata ampuh di tangan kita.
Pernah saya tanyakan kepada Bung Karno, Pemimpian Besar Revolusi Indonesia, yang juga seorang penggemar film dan seorang yang mempunyai selera halus mengenai film-film yang baik atau tidak, tentang jalan apa sebaiknya yang harus ditempuh oleh film Indonesia dalam mengabdikan diri kepada Revolusi, dengan mengambil bentuk dari cara-cara film Amerika yang mengisahkan suatu cerita dengan cepat dan lancar, hingga banyak kali menjadi dangkal ataukah dengan mengambil bentuk dan cara film-film Soviet yang mengisahkan suatu cerita secara intensif dan mendalam, tetapi banyak kali membikin film–film itu lamban dan membosankan.
Bung Karo mengamanatkan untuk mencari jalan tengah, ya lancar, ya mendalam, lalu beliau mengambil contoh film-film Italia.
Bagi siapa saja yang pernah mencoba membikin film akan nyata ini berupakah sesuatu problema yang tidak enteng. Ini berarti menuangkan pemikiran-pemikiran yang hendak difilmkan dalam suatu bentuk yang dengan mudah dapat dipahamkan oleh penonton dan memerlukan kemahiran penggubahan skenario yang berdasarkan pengetahuan yang mendalam tentang seluk-belik serta teknik penulisan untuk film.
Pegangan bagi sineas-sineas muslim
Bagi sineas-sineas muslimin Indonesia, yang seharusnya pertama–tama adalah juga patriot Bangsa, adalah menjadi kewajiban untuk menjadikan film media perjuangan dan media dakwah Islam. Ditilik dari sudut ideologi, pekerjaan itu bukanlah merupakan suatu problema yang sukar, justru karena filsafat Negara, dan Bangsa Indonesia sudah dicakup oleh ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian, tiap pengungkapkan ayat Allah serta kata-perbuatan Rasulullah, secara sinematografis dengan sendirinya juga akan turun membina jiwa Pancasila yang berpucukan takwa kepada Allah. Dan selanjutnya, pengungkapan-pengungkapan ajaran Bung Karno, yang sudah disimpulkan beliau dalam Lima Ajimat Revolusi yang semuanya adalah juga diajarkan oleh Islam, bagi para seniman muslim dapatlah dijadikan sumber inspirasi yang tidak putusnya. Dengan demikian tidaklah terdapat dualisme pada para seniman muslim dalam pemikiran-pemikiran menghadapi kewajiban di atas dunia yang fana ini, untuk mendapatkan keridhoan Allah. kelak di alam baka. Karena memang sesungguhanya Allah menciptakan dunia untuk manusia dan manusia untuk akhirat.
Jika penulis-penulis muslim sudah sadar dan menghayati sumber-sumber ilham yang terdapat dalam ayat–ayat Allah serta hadis sahih Nabi Besar Muhammad dan mereka telah menguasai pula teknik penulisan skenario, maka insya Allah pada suatu ketika kita pun akan dapat membanggakan film-film yang benar-benar diabdikan di atas jalan Allah.
Maka dengan demikian, pastilah kita bukan orang yang menganut aliran “seni untuk seni”, karena yang demikian itu terang bertentangan dengan ajaran Islam, kendatipun mungkin kejadian, bahwa hasil aliran “seni untuk seni” itu pada suatu ketika kebetulan berisikan semacam dakwah. Karena bagi kita ditetapkan bahwa “tiap-tiap amal perbuatan itu hendaklah disertai niat (yang pasti)”.
Ini berarti, bahwa kita tidak boleh membuat film-film apalagi yang komersil tujuannya seperti film-film “keagamaan”, seperti The Ten Commandments atau King of Kings. Kita tegas menolak aliran “seni untuk seni” dan yang ada bau-baunya demikian, seperti eksistensialisme. Kita pun tidak dapat menerima pernyataan yang dirumuskan oleh beberapa seniman/pengarang Indonesia di dalam Manifes Kebudayaan, Manikebu, atas dasar yang sama.
Kita pun mustahil pula akan melakukan perbuatan bidah dan mengabaikan “seni untuk sesama makhluk, apapun dan bagaimanapun mulia pekerjaan mereka” dan karena itu tidaklah mungkin buat kita secara membabi buta hendak menerapkan ajaran “Seni untuk Rakyat”.
Tetapi jika pada seniman muslim di dalam karya-karyanya berdasarkan atas ajaran-ajaran agamanya membela kepentingan-kepentingan kaum kecil, kaum yang tertindas, kaum marhaen dan segala sesuatu yang dilakukannya “karena Allah semata-mata”, maka itu adalah fardhu kifayah baginya. Artinya itu adalah suruhan Allah yang mesti dikerjakannya, “mendorong kepada kebajikan dan mencegah kejahatan”. Karena itulah kita di dalam seni, menentang “realisme sosialis a la Stalin” yang mendewa-dewakan perorangan, bagaimana pun besarnya jasa perorangan itu. Karena pendewa-dewaan itu dimaksud adalah untuk merangsang orang lain untuk berbuat keselamatan duniawi semata-mata, hingga hilang lenyaplah sari-pati arti yang menjadi keyakinan umat Islam, bahwa “Tuhan menciptakan manusia untuk Hari Akhirat”.
Membuat film untuk maksud komersil semata-amta, seperti yang telah dikemukakan di atas dengan panjang lebar, teranglah tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Maka hanyalah tinggal lagi satu jalan bagi sineas muslim, yaitu menjadikan kerja-kerja mereka di atas jalan yang diridhoi Allah dan pada hakikatnya jalan ini cukup lebar, luas, dan lapang untuk bergerak. Justru karena sumber-sumber ilham adalah langsung dari wahyu Ilahi seperti yang telah dimaktubkan di dalam kita suci Alquran dan seperti juga telah diteladankan oleh Nabi Besar Muhammad.
Maka jadilah film alat yang ampuh ditangan para seniman muslim untuk mengagungkan Asma Allah! Amin ya Robbal Alamin!
Demikian antara lain ceramah saudara Usmar Ismail di depan Konbes/TC Seniman-Budayawan PII di Jogjakarta.