Di Balik Layar Perak: Budaya Film di Surabaya, 1950-1970

Bioskop Luxor di perempatan Jalan Pasar Besar (sekarang Jalan Pahlawan) dan Jalan Tembakan pada 1950. Pasca kemerdekaan, Bioskop Luxor ganti nama jadi Bioskop Jaya. [sumber: Arsip Digital Universitas Kristen Petra]
Film merupakan hiburan populer bagi masyarakat Surabaya. Pengaruh film terhadap gaya hidup masyarakat Surabaya sangat besar, khususnya bagi tren mode dan dandanan serta perilaku masyarakat. Kemampuan menerima dan memaknai pengaruh film beragam pada masing-masing penonton, tergantung pengalaman peribadi serta kondisi sosial-budaya. Keragaman itulah yang menjadi identitas budaya film di Surabaya sepanjang dekade 1950 hingga 1970, yang turut terdampak oleh dua peristiwa transisi kekuasaan di politik nasional.

Hiburan di Surabaya pada Paruh Pertama Abad ke-20

Jauh sebelum kehadiran film sebagai sebuah seni dan hiburan, masyarakat Surabaya telah mengenal jenis hiburan rakyat seperti ludruk dan wayang kulit. Kalau diperhatikan secara implisit, pertunjukan wayang kulit memperlihatkan bahwa prinsip-prinsip film sudah dikenali di Indonesia (Siagian, 2010: 19). Bayangan benda-benda berupa gambar orang dari kulit disorotkan pada sehelai kelir (layar) di tempat gelap di depan penonton. Suara diberikan oleh seorang dalam menceritakan kejadian atau berupa dialog.

Wayang dan ludruk menjadi bagian dari teater etnik masyarakat Surabaya yang erat kaitannya dengan kepercayaan dan adat. Pada awal kemuculannya kedua hiburan tersebut dipertunjukan dalam upacara-upacara tradisi seperti selamatan. Perbedaan antara ludruk dan wayang dapat dilihat pada penonton kedua pertunjukan tersebut. Ludruk biasanya dipentaskan di tempat yang kurang nyaman, di mana penonton bebas berteriak dan makan. Penonton ludruk mayoritas berasal dari kalangan menengah-ke-bawah dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa Ngoko. Berbeda dengan ludruk, penonton wayang kulit biasanya berkomunikasi dengan bahasa Jawa Krama Inggil karena mayoritas telah berusia sepuh.

Dibandingkan dengan ludruk, wayang kulit dipertunjukan di tempat yang lebih nyaman. Melalui gaya pakaiannya dapat diidentifikasi bahwa penonton ludruk mayoritas berasal dari kalangan menengah-ke-bawah. Penonton laki-laki mengenakan sarung atau celana pendek sedangkan penonton perempuan mengenakan jarik yang terlalu banyak lipatannya dan juga menancapkan terlalu banyak bunga di sanggulnya, keduanya mengenakan klompen. Beberapa penonton perempuan bahkan mengenakan jala rambut dan jepit yang terlalu berwarna. Para penonton ludruk tertawa dan berbicara dengan suara keras dan juga suka duduk dengan kaki terjulur atau diletakkan di atas kursi orang lain (Peacock, 2005:19). Gaya berpakaian tersebut tak akan dijumpai pada orang-orang dari kalangan menengah-ke-atas ketika berada di tempat umum.

Pendirian perkumpulan Komedi Stamboel di Surabaya oleh August Mahieu pada 1891 menghadirkan pesaing bagi ludruk dan wayang. Dimulailah era Opera Stamboel yang ditandai kemunculan rombongan opera semacam Miss Riboet’s Orion dan Dardanella. Keduanya merupakan rombongan teater profesional yang melakukan pembaruan dalam tontonan panggung segi struktur lakon dan pembagian babak serta adegan yang terinci. Pembaruan yang dilakukan oleh Miss Riboet’s Orion dan Dardanella mengalihkan era Opera Stamboel ke era toneel, istilah Belanda untuk kata sandiwara (Biran, 2009: 17). Mayoritas penonton Komedi Stamboel berasal dari kalangan menengah-ke-bawah seperti pemabuk Eropa, keluarga Muslim kelas menengah, orang Tionghoa pemilik toko, pekerja prostitusi, pelaut, dan tentara (Cohen, 2006: 1).

Persaingan makin ketat dengan hadirnya film di Hindia-Belanda pada 1900. Di Batavia, tepatnya di daerah Tanah Abang, sebuah bioskop bernama Gambar Idoep menayangkan film bisu bagi khalayak setempat (Jauhari, 1992: 4). Surabaya sendiri mulai ramai dengan penayangan film bisu pada dekade 1920an, yang bertahan hingga dekade 1930an (Widodo, 2002: 149). Perlahan tapi pasti, bentuk-bentuk hiburan kesenian agraris tradisional yang banyak menyita waktu tergeser oleh kehadiran film.

Banyak bintang panggung yang kemudian hijrah ke film—tidak sedikit di antaranya yang sukses sebagai bintang film. Pemicunya adalah kesuksesan film Terang Boelan (1937), yang banyak mengadopsi pakem-pakem naratif serta wajah-wajah ternama toneel pada masa itu. Banyak film yang kemudian diproduksi dengan meniru Terang Boelan, seperti cerita cinta yang berakhir dengan bahagia, selingan lawak dan nyanyi-nyanyian, serta penggunaan bintang-bintang toneel sebagai pemeran dalam film (Tjasmadi, 1992: 27).

Memasuki era pemerintahan kolonial Jepang, penonton mulai disuguhi film-film propaganda di samping film-film hiburan yang tayang di bioskop. Pemanfaatan film sebagai alat propaganda sendiri ini bukanlah hal baru. Pemerintah Hindia-Belanda sudah melakukannya terlebih dahulu, walau dengan cara yang terhitung halus, yakni dengan menayangkan film-film populer dari Barat yang menunjukkan kebaikan bangsa Eropa, dengan harapan dapat mengarahkan opini dan sikap masyarakat.

Pemerintah Jepang lebih terang-terangan. Sikap anti-Barat ditegaskan ke publik melalui kebijkan penggantian nama-nama bioskop dengan nama Jepang dan penghentian impor film Barat. Sebagai gantinya, pemerintah Jepang menayangkan film-film propaganda tentang peperangan dan kemenangan Jepang hingga penonton jenuh menyaksikan film-film propaganda tersebut.

Bioskop Maxim di perempatan Jalan Pemuda dan Jalan Simpang pada 1950 [sumber: Arsip Digital Universitas Kristen Petra]
Dinamika Dunia Layar Perak di Surabaya

Pasca kemerdekaan, kondisi nasional tak kunjung stabil akibat ketegangan yang terjadi di berbagai wilayah. Nasib perfilman nasional tidak lebih baik. Konflik-konflik pasca kemerdekaan membuat pemerintah kurang memperhatikan perkembangan film nasional, meski sempat tumbuh gairah baru berkat beredarnya Darah dan Doa (1950). Film karya Usmar Ismail tersebut dirayakan sebagai film pertama yang diproduksi sepenuhnya oleh tenaga perfilman Indonesia. Animo tersebut sayangnya tidak cukup untuk melindungi pasar film nasional dari banjirnya film-film impor pada awal dekade 1950an. Persaingan yang tidak sehat ini mendorong para artis pawai ke Istana Merdeka guna menyampaikan resolusi yang mendesak pemerintah supaya meninjau kembali peraturan mengenai perdagangan film impor dan memperhatikan wajib putar film Indonesia (Merdeka, 13 Maret 1956).

Pada 1958, diberlakukan undang-undang nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (Kanumoyoso, 2001: 45). Dampaknya, terjadi pergantian nama bioskop yang semula menggunakan nama asing menjadi nama Indonesia. Dampak lainnya adalah perubahan terhadap perubahan Gedung bioskop di Surabaya yang telah ada sejak masa Hindia-Belanda biasanya terdiri dari dua bangunan dalam satu kompleks—satu gedung bioskop untuk kalangan menengah-ke-atas, satu lagi untuk kalangan menengah-ke-bawah. Pengaturan tersebut terus berlaku hingga diberlakukannya undang-undang nasionalisasi.

Bioskop di Surabaya umumnya terbagi dalam dua kelas, yaitu bioskop kelas A dan B, yang mana masing-masing kelasnya terbagi lagi dalam tiga kategori harga, yaitu I, II dan III. Biasanya film-film Hollywood atau film Barat diputar di bioskop-bioskop kelas A, sedangkan film-film India dan Mandarin di bioskop-bioskop kelas B. Kekhasan tayangan ini turut mempengaruhi perbedaan harga tiket pada masing-masing kelas.

Animo masyarakat Surabaya yang besar terhadap film mendorong pengusaha bioskop memberlakukan pertunjukan ekstra atau matinee pada Sabtu, Minggu, serta hari-hari besar. Masyarakat cenderung menyukai film asing seperti film Hollywood, karena secara teknis dan artistik begitu menonjol, yang belum bisa ditandingi oleh film-film Indonesia kala itu. Film India banyak digemari masyarakat ekonomi kelas bawah, khususnya karena tari-tarian dan nyanyian sentimental yang kerap menjadi ramuan pokok film-film India (Siagian, 2010: 96). Selera masyarakat yang condong film asing turut mendesak posisi film nasional, yang kian terpojok dengan tutupnya sejumlah studio sebagai bentuk protes atas membanjirnya film-film impor serta tidak mampu beroperasi lagi dalam kondisi ekonomi yang tidak baik (Pengumuman PPFI, 19 Maret 1957).

Pada pertengahan 1960an, terjadi pemboikotan film-film Amerika Serikat oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS), yang memayungi 16 organisasi pekerja film. Protes PAPFIAS berpuncak pada pembakaran gedung AMPAI (American Motion Picture Association of Indonesia) di Jalan Sumatera.

Aksi PAPFIAS menuai beragam reaksi. Persatuan Artis Film Indonesia menentang keras (Surabaja Post, 27 Juli 1964), sementara Kolonel Soekardjo, ketua Dewan Film Indonesia, menanggapi dengan mengadakan pemutaran film Hollywood di rumahnya (Trompet Masjarakat, 31 Agustus 1964). Kolonel Soekardjo juga dengan tegas menyatakan bahwa aksi boikot justru sangat merugikan, karena bioskop-bioskop kekurangan pasokan film dan tidak mampu bertahan hingga berujung pada pemecatan pegawai dan buruhnya (Surabaja Post, 3 Juli 1964).

Pemerintah sendiri nampak sepakat dengan aksi PAPFIAS. Pada 16 Agustus 1964, AMPAI yang mewakili kepentingan studio-studio besar Hollywood berhenti beroperasi di Indonesia. Sempat beredar wacana AMPAI akan dinasionalisasi untuk menjaga kepentingan nasional dalam pasar film di Indonesia. Rezim Sukarno sendiri condong pada film-film dari negara sosialis dan negara Asia-Afrika, yang menampilkan sisi patriotik dan sesuai dengan kondisi bangsa yang tengah bersemangat menghadapi Dwikora.

Kebangkitan rezim Orde Baru membuka kembali keran impor film. Film-film berbagai genre dari Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang lantas mengisi layar-layar bioskop, tak terkecuali bioskop di Surabaya. Pada periode ini selera masyarakat Surabaya condong kepada film-film django (film koboi) dan film spy (film bertema spionase atau agen rahasia). Sebagai tanggapan terhadap kondisi ekonomi yang kritis pada awal rezim Orde Baru, pemerintah kota Surabaya mengatur kembali masalah pajak tontonan dan retribusi bioskop, dengan tujuan menjadikan film dan bioskop sebagai hiburan yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.

Bioskop di Jalan Tunjungan pada 1940. Gedung sudah tidak ada lagi akibat kebakaran. [sumber: Arsip Digital Universitas Kristen Petra]
Pengaruh Film terhadap Masyarakat Surabaya

Hampir seluruh lapisan masyarakat Surabaya pada periode 1950 sampai 1970 pernah menyaksikan film di bioskop. Masyarakat dengan ekonomi yang baik dan terpelajar biasanya menonton film-film Barat di bioskop-bioskop di kelas A. Kelompok penonton ini sangat memerhatikan mutu film yang akan ditonton. Pada masa itu, masyakarat kelas atas di Surabaya biasanya berasal dari kalangan pejabat, pegawai pemerintahan, dan perwira-perwira militer. Masyarakat dengan ekonomi yang kurang baik dan kurang terpelajar cenderung lebih suka menonton di bioskop-bioskop kelas B yang biasanya menayangkan film-film Malaya, India, Mandarin dan film-film nasional. Bagi kelompok penonton ini, film lebih berperan sebagai pelepas ketegangan dari realitas nyata yang dihadapi, sebagai tempat pelarian dari beban hidup sehari-hari (Sumarno, 1996: 22).

Sebagai bagian dari budaya populer, film sungguh berperan dalam transformasi mode pakaian di Surabaya. Mode yang pernah populer antara lain leher bentuk sabrina dengan lengan mengembang dan rok dengan model mengembang; mode pakaian terusan tanpa lengan yang terkenal dengan sebutan you-can-see; rok lebar dengan tinggi di atas lutut; serta rok dengan belahan dada atau belahan punggung yang sangat terbuka (Varia, 2 September 1964). Semuanya dipopulerkan oleh film-film Barat yang tayang di bioskop-bioskop Surabaya. Turut populer juga gaya-gaya berpakaian dalam film India, yang sering ditiru oleh orang-orang Madura—penonton terbesar film India kala itu—ketika acara resepsi pernikahan.

Meski begitu, perlu dicatat bahwa perkembangan mode ini terbatas pada masyarakat kalangan ekonomi atas di Surabaya. Kondisi ekonomi yang fluktuatif pada awal kemerdekaan hingga kejatuhan Sukarno menyulitkan masyarakat kalangan ekonomi bawah di Surabaya untuk mengikuti perkembangan tren pakaian yang dipopulerkan lewat film bioskop. Harga kain pada dekade 1950an berkisar antara Rp 27 hingga Rp 50, jauh lebih mahal dibandingkan harga beras yang berkisar Rp 3,30 hingga Rp 4,25 per kilo.

Film juga berpengaruh pada tren musik di Surabaya. Aliran musik rock n’ roll dikenal masyarakat melalui film Rock Around the Clock (1956) yang menyuguhkan penampilan Bill Haley & His Comets (Muryadi, 2009: 1). Keakraban masyarakat dengan film India yang penuh dengan tarian dan lagu turut berpengaruh terhadap musik dangdut (Prisma, Mei 1987). Citra orkes Melayu yang dinamis tiba-tiba menampilkan sisi sentimental yang meratap macam film India (Tempo, 30 Juni 1984).

Pengaruh-pengaruh film ini bukannya tidak disadari oleh pemerintah. Rezim Sukarno yang anti Barat berupaya membendung pengaruh-pengaruh Barat yang dianggap dapat merusak budaya nasional. Upaya tersebut didukung beberapa kelompok masyarakat seperti para pemuda yang tergabung dalam Front Pemuda Surabaya mengadakan operasi razia rambut sasak dan rok span ketat (Trompet Masjarakat, 3 November 1964). Pada rezim Suharto, ibu-ibu Surabaya yang tergabung dalam BKOW (Badan Kerjasama Organisasi Wanita) sempat menolak adanya berbagai pengaruh asing dari film-film atau hiburan-hiburan lainnya yang dianggap tidak bermoral (Panjebar Semangat, 5 Juni 1968). Untuk menjembataninya, digelar peragaan busana yang memadukan mode terbaru dari Barat dengan kain batik yang menjadi kebanggaan budaya nasional agar tren-tren pakaian Barat lebih mudah diterima. Salah satunya adalah pagelaran busana yang diselenggarkan di Surabaya dalam rangka memeriahkan Pameran Pembangunan Jawa Timur (Liberty, 26 Setember 1970).

Film-film spionase ala James Bond yang sempat tren di Surabaya juga dipandang memiliki pengaruh buruk karena menampilkan adegan kekerasan dan adegan sensual. Banyak pihak yang mendesak agar pemerintah memasukkan film-film yang tidak hanya menghibur tapi juga mendidik.

Di luar konten tayangan, dunia hiburan film sendiri rentan akan tindak kriminal macam percaloan tiket, yang marak terjadi di bioskop-bioskop Surabaya. Pada 1954, pengadilan negeri Surabaya menjatuhkan hukuman terhadap empat pelajar yang terbukti telah menjual tiket dengan harga yang lebih mahal dan tiga orang yang terbukti membeli tiket dari calo (Pewarta Soerabaia, 2 November 1954). Maraknya aksi percaloan di Surabaya kian meresahkan masyarakat. Pihak kepolisian pun mengadakan razia di seluruh bioskop kelas I di Surabaya, yang berhasil menangkap 19 calo tiket yang berusia antara 18-30 tahun dan menyita 130 lembar karcis beserta uang tunai sebesar Rp. 526,50 (Pewarta Soerabaia, 27 Januari 1959).

Keuntungan yang didapat melalui aksi percaloan menarik banyak orang menjadi calo tiket, terlebih lagi di tengah labilnya kondisi ekonomi nasional sepanjang dekade 1950an hingga 1970an. Dalam mengatasi masalah percaloan tiket, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan No. 539 dari Menteri Perekonomian tentang Larangan Perdagangan Berantai (AKS, Box. 17, Def. 506). Pemerintah kota Surabaya berupaya mengurangi praktik percatutan melalui Surat Keputusan No. 53/K Walikota Kepala Daerah Kotamadya Surabaya yang berdampak pada penertiban sistem borongan dan perubahan harga tiket masuk. Pihak yang berwajib juga menetapkan peraturan tentang cara penyaluran penjualan tiket bioskop, yaitu 50% dijual pagi hari untuk pemesanan tempat dan 50% dijual beberapa saat sebelum film diputar (Pewarta Soerabaia, 27 Januari 1959).

REFERENSI

AKS, Box. 17, Def. 506.

Bondan Kanumoyoso. 2001. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.

Dukut Imam Widodo. 2002. Soerabaia Tempo Doeloe 2. Surabaya: Dinas Pariwisata Surabaya.

Gayus Siagian. 2010. Sejarah Film Indonesia: Masa Kelahiran-Pertumbuhan. Jakarta: Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta.

Haris Jauhari. 1992. Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

HM Johan Tjasmadi. 1992. Dari Gambar Idoep ke Sinepleks. Jakarta: Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia.

James L Peacock. 2005. Ritus Modernisasi: Aspek Sosial & Simbolik Teater Rak yat Indonesia. Jakarta: Desantara.

Liberty no. 890, 26 September 1970.

Marseli Sumarno. 1996. Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Matthew Isaac Cohen. 2006. The Komedie Stamboel: Popular Teather in Colonial Indonesia, 1891-1903. Ohio: Ohio University Press.

Merdeka, 13 Maret 1956.

Misbach Yusa Biran. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Nerfita Primadewi. 2007. Bisnis (Film) Birahi di Tengah Gerakan Massa Rakyat Yogyakarta 1998-1999, dalam Budi Susanto (ed.), Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Panjebar Semangat no. 16, 5 Juni 1968.

Pengumuman PPFI, 19 Maret 1957.

Pewarta Soerabaia 2 November 1954.

Pewarta Soerabaia, 27 Januari 1959.

Prisma, Mei 1987.

Remy Silado. 2009. Tari Mati-mati Ayam Diizinkan Berjaya, dalam Muhammad Muryadi, Industri Musik Indonesia: Suatu Sejarah. Bekasi: Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial.

Surabaja Post, 3 Juli 1964.

Surabaja Post, 27 Juli 1964.

Tempo, 30 Juni 1984.

Trompet Masjarakat, 31 Agustus 1964.

Trompet Masjarakat, 3 November 1964.

Varia no. 333, 2 September 1964.

Artikel ini merupakan hasil penyuntingan dari tulisan berjudul “Di Balik Layar Perak: Film-film Bioskop di Surabaya 1950-1970” yang terbit pertama kali di Jurnal Verleden, volum 1, nomor 1, Desember 2012 terbitan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya.