Usmar Ismail: Siapa yang Najis, Film atau Pembuatnya?

Usmar Ismail saat mengarahkan Wahid Chan dan Risa Umami di film Krisis, 1953 [Sinematek]

Tulisan Usmar Ismail ini kali pertama terbit di Aneka, No. IV, 10 Mei 1953, dengan judul “Siapa yang Najis, Film atau Pembikinnya?”. Disalin oleh redaksi Cinema Poetica dengan sejumlah penyesuaian bahasa.

Pernah diminta kepada saya untuk berpidato tentang film dan Islam. Pidato itu tak mendapat kesempatan untuk saya ucapkan, meskipun pada suatu waktu acara yang hangat telah lama saya rasakan.

Sepanjang pengetahuan saya, sampai sekarang belum ada orang yang punya nafsu untuk mengadakan penyeledikan bagaimana hakikat sikap Islam terhadap suatu phenomenon yang disebut film.

Bahwa di sana-sini ada kedengaran seorang haji jadi pengusaha bisokop atau seorang anggota partai Islam punya perusahaan film, tidaklah menimbulkan ramai-ramai demikian hebatnya, hingga memaksa orang untuk mengadakan penyelidikan-penyelidikan khusus. Meskipun demikian dari olok-olok dan sindiran-sindiran yang tak punya maksud jahat dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam pendapat umum biarpun tidak diucapkan secara terang-terangan ada prangsaka, bahwa jadi seorang haji atau jadi anggota partai Islam tidak dapat disatukan dengan jadi produser, distributor, importir, atau ekshibitor film.

Prasangka itu didasarkan terutama atas tafsiran yang berat sebelah tentang hakikat film. Jika orang bicara tentang film, maka yang terutama dan yang pertama-tama diingat orang ialah perempuan-perempuan separuh telanjang, cium-ciuman atau orang teringat kepada perbuatan-perbuatan orang-orang film yang tidak selalu senonoh kelihatannya. Itulah sebabnya, orang-orang yang ingin dihitung sebagai orang yang baik-baik selalu agak ngeri mendengar berita, bahwa si Anu sekarang sudah jadi pemain film.

Sepanjang ingatan saya yang sejak kecil dipompakan dalam otak saya ialah, bahwa agama Islam melarang menggambarkan tubuh manusia, sebab katanya tidaklah boleh bagi seorang mahluk Tuhan untuk meniru-niru Sang Maha Pencipta. Barulah kemudian sesudah saya mulai dapat berpikir bebas untuk diri sendiri saya mengerti bahwa sesungguhnya yang dilarang itu adalah pendewaan terhadap gambar atau patung dan menjadikannya pengganti Tuhan Seru Sekalian Alam. Film pun gambar, malahan adalah gambar bergerak, gambar hidup. Maka, jika diikuti logika yang melarang orang menggambar tubuh manusia, mungkin sekali hukumannya bagi seorang pembuat film adalah sepuluh kali haram.

Tetapi pertumbuhan gambar hidup itu sejak ditemukan Lumière, Edison, dan Friese-Greene belum pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia sudah dijadikan berhala, untuk disembah-sembah. Film itu malahan bukan menjadi tujuan, tetapi cuma menjadi suatu alat, suatu medium pengutaraan perasaan, tidak bedanya dengan kata-kata yang dipakai sebagai pengantar keinginan, cita-cita, dan perasaan.

Lebih jauh lagi, film sudah jadi medium kesenian yang kebenarannya tak dapat dibantah lagi. Memang pada mulanya, anggapan orang terhadap film sangat merendahkan, karena film bukan dilahirkan di antara dinding-dinding keraton, istana, atau biara-biara, tetapi mula-mula diperkenalkan di pasar-pasar, di gang-gang belakang, di mana orang baik-baik tidak akan datang. Kelahirannya yang rendah inilah mungkin membebaskan stempel yang kurang enak pada pribadinya. Tetapi karena ini pulalah dia menjadi seorang sahabat yang lekas dapat diterima oleh rakyat banyak. Tetapi dari kelahiran sebagai rakyat jelata, dalam waktu lima puluh tahun dia telah diterima sebagai tamu agung di istana-istana dan di tempat-tempat yang dimuliakan orang yang baik-baik itu.

Pada hakikatnya jika kita dapat menerima kenyataan, bahwa tidak semua atau bahkan hanya sebagian kecil saja dari segala buku yang ditulis orang dari abad ke abad pantas untuk dibaca, maka janganlah kita terlalu dipengaruhi prasangka bahwa film-film yang dibuat cuma sedikit sekali yang dapat dikatakan baik. Buruk-baiknya sebuah film bukanlah bergantung kepada filmnya, tetapi kepada orang yang membuatnya.

Maka sangatlah tidak adil akan adanya anggapan-anggapan yang mengatakan, bahwa film itu haram atau najis. Sebab, jika ada yang najis, maka yang najis itu adalah orang yang menggunakan dengan tidak senonoh.

Tetapi, jika pada saat ini orang mengagumi ciptaan-ciptaan Umar Khayam dan Shakespeare, maka tidak ayal lagi pada suatu saat nanti orang juga akan mengagumi ciptaan-ciptaan De Sica, Eisenstein, dan lain-lainnya.

Maka, jika dapat kita menerima, bahwa menciptakan hasil kesenian itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, berarti kita juga tidak akan begitu sukar menerima bahwa kesenian film itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Malahan, jika kita dapat menerima pendapat yang mengatakan bahwa penciptaan dalam kesenian pada hakikatnya adalah pengalaman batin yang tertinggi yang dapat dialami oleh manusia dalam usahanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dengan sendirinya dapat pula kita terima, bahwa film adalah medium kesenian yang paling dinamis dalam abad atom ini, dan adalah wajib bagi kita untuk mempergunakan film itu sebagai medium. Karena sekali lagi, yang jelek, yang najis, yang haram dan yang jorok itu bukan medium film, tetapi orang-orang yang mempergunakannnya:

Menurut Islam, segala yang baik itu adalah ajarannya, segala yang jelek itulah yang jadi larangannya. Dengan demikian, tidaklah dapat dibantah lagi bahwa yang baik itu itulah yang benar. Dan kebenaran itulah yang mesti dikejar oleh seorang pencipta sejauh mungkin manusia dapat mengejarnya. Bagi saya, film sebagai hasil kesenian yang menyelidiki hal-hal yang benar adalah film yang dibuat selaras dengan ajaran-ajaran Islam. Film-film yang memutarbalikkan keadaan-keadaan yang benar adalah bertentangan dengan ajaran-ajarannya. Dalam hubungan ini amatlah besar tanggungjawab seorang produser, importir dan ekshibitor film, karena film bukanlah seperti yang dianggap oleh kebanyakan mereka, cuma hiburan atau pelalai-lalai waktu semata. Pengaruhnya bisa baik, membuat orang lupa kedukaan dan kesukarannya, bisa memberi jalan padanya dalam hidupnya.

Tetapi dia juga bisa meninggalkan efek-efek yang tak diingini. Misalnya, apa yang dilihat penonton dewasa ini dalam film-film Indonesia (apalagi film-film Malaya!), malahan kebanyakan tidaklah seperti yang dijumpainya sehari-hari di sekelilingnya. Orang-orang yang datang menonton film-film yang cuma memperlihatkan segala-galanya dalam cahaya yang baik-baik saja (dengan terang bulan dan wangi mawar!), mungkin akan bisa puas selama dia ada dalam gedung bioskop, tetapi setibanya di rumah hatinya akan lebih mual, karena mendapati keadaannya sendiri berbeda seperti bumi dan langit dari yang dilihatnya di layar putih.

Pemalsuan terhadap watak-watak manusia dan keadaan mereka hidup akan mempunyai pengaruh yang besar sekali, terutama terhadap orang-orang yang belum tinggi tingkat kecerdasannya. Film-film yang memalsukan kejadian yang sebenarnya dan mempertontonkan kejadian-kejadian yang palsu sebagai satu kebenaran bagi saya lebih jahat lagi dan lebih merusakkan daripada film-film yang memperlihatkan Esther Wiliams dalam baju mandi.

Film-film seperti saya sebutkan tadi jika dipompakan berdikit-dikit ke dalam otak penonton, pada akhirnya sama sekali akan merusak jiwa penonton itu. Bagi saya film yang baik, adalah film yang mempertunjukkan kebenaran sebagai kepalsuan. Duta film yang paling besar adalah mengajar penonton, yang berjuta-juta itu untuk menyukai kebenaran. Cara mengajarnya itu tidak penting, dengan tertawa, menangis, dan tersenyum.

Bahwa Panitia Pengawas Film (Pemerintah) dan golongan-golongan masyarakat lebih kaget melihat orang-orang Amerika bercium-ciuman daripada melihat film-film Indonesia, Malaya dan Filipina memutarbalikkan dan memalsukan keadaan dengan cerita-cerita yang tak dapat diterima akal, tidak diyakini dan tidak dapat dipercaya oleh pembuatnya sendiri, yang dengan tandas saya sarankan di sini sebagai suatu kejahatan yang tak bisa dibiarkan terus-menerus. Saya ingin memperingatkan sekali lagi kepada orang-orang yang bertanggungjawab terhadap penyensoran film baik yang resmi ataupun yang tidak. Bahwa hak untuk memilihkan bagi orang lain apa yang boleh dan apa yang tidak, boleh dilihat sebagai membawa tanggungjawab yang maha besar.

Sensor tidak boleh menjadi momok, kecuali bagi pengusaha-pengusaha film yang tidak mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakat dan meracuni selera dan adab penonton dengan film-film yang semata-mata ingin menyenangkan hati dengan berspekulasi pada insting penonton yang serendah-rendah dengan film-film yang dikatakan terutama ditujukan kepada abang-abang becak, babu-babu dan jongos-jongos itu. Karena adalah keyakinan saya yang sedalam-dalamnya, seorang pengusaha film mestilah berusaha sekeras-kerasnya untuk menghindarkan ketolol-tololan, selera yang jelek, pemalsuan keadaan-keadaan yang benar dan pendidikan-pendidikan yang salah dalam film-filmnya. Adalah tanggungjawab si pengusaha film untuk bersungguh-sungguh dalam menghadapi pekerjaannya guna mencapai kualitas yang setinggi-tingginya dan nilai sebaik-baiknya. Dan tidaklah semua ini harus bertentangan dengan konsep hiburan. Dosalah seorang pengusaha film yang mengatakan, “Saya cuma mau membuat film sekadar penghibur, tidak ada maksud mendidik apa-apa.”

Bagi saya tidak ada alternatif lain kecuali hiburan atau pendidikan! Meskipun sebuah film dimaksud semata-mata untuk menghibur, tidak boleh tidak jika film itu baik, akan berjasa juga sebagai pendidik. Sebaliknya, film yang serius pun juga bersifat menghibur. Film yang baik haruslah dengan sekaligus memberi ilham kepada penonton, mengangkat dia secara geestelijk [secara mental] dan membukakan bagi dia jalan-jalan yang baru.

Maka, jika pengusaha-pengusaha film dapat bekerja dengan memakai pedoman-pedoman yang di atas akan hilanglah prasangka, bahwa film itu adalah cabul, haram, dan najis serta bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Film sebagai medium yang paling dinamis dalam abad atom ini, wajib dipergunakan. Dan jika ada orang yang mempergunakannya secara bertentangan dengan ajaran-ajaran keagamaan, maka bukanlah filmnya yang najis, tetapi adalah orang yang membuatnya.