Love for Sale: Cinta Juga Kata Kerja

Richard (Gading Marten) terlalu lama sendiri. Ia tidak tahu bagelen, roti kering yang menuntunnya ke hubungan intim dengan Arini (Della Dartyan). Bagi Richard, pria berusia 42 tahun yang jelajah hidupnya amat terbatas, bagelen tak lebih dari sejenis biskuit. Sementara hidup tak lebih dari sekadar sirkuit.

Dalam Love for Sale, Richard digambarkan berkutat di satu tempat. Jarak rumah dan kantornya hanya beberapa anak tangga. Keluyuran jauh-jauh, Richard biasanya akan nyasar. Kalau nyasar, ia akan mengomel, dan harinya jadi buruk.

Richard digambarkan tidak kenal Spotify. Lagu yang ia dengarkan, Hidupku Sunyi oleh The Mercy’s, datang dari piringan hitam. Piringan hitam miliknya bukanlah hasil ikut-ikutan tren atau kepongahan selera audio, melainkan penanda akan keterputusan dirinya dengan sekitarnya.

Nostalgia seakan satu-satunya jalan bagi Richard untuk berbahagia. Sementara masa depan adalah sarangnya lara. Begitulah Richard. Tak heran, pilihannya untuk hewan peliharaan jatuh ke sosok kura-kura, yang mungkin akan hidup lebih lama dari dirinya. Richard tak mau berduka, bahkan untuk kematian hewan peliharaan sekalipun.

Tambal Sulam

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Love for Sale menyerupai film-film lain. Pendapat tersebut ada benarnya—kemeja dan kumis Richard sekilas nampak mirip dengan tokoh Theodore dalam Her (2013). Akan tetapi, kemiripan suatu film dengan film lain bukanlah soal besar. Toh, setiap karya tidak lahir begitu saja dari ruang hampa. Selalu ada pengaruh dari hal-hal di sekitar, tak terkecuali film lain. Pertanyaanya: bagaimana dan sejauh mana pembuat film, dalam kasus ini Andibachtiar Yusuf, bisa mengolah berbagai ilham tersebut menjadi sebuah karya yang unik?

Nyatanya Love for Sale secara konsisten mampu membelokkan pakem-pakem cerita film yang serupa dengannya. Soal tekanan memiliki pasangan, Love for Sale tak persis seperti, misalnya, Kapan Kawin? (2015). Film ini tidak menghadirkan tuntutan berpasangan melalui figur orangtua, melainkan melalui obrolan geng nobar bola—yang sesungguhnya sangat khas Andibachtiar Yusuf. Lewat momentum pernikahan seorang teman, Richard terjerumus dalam sebuah taruhan mencari pasangan, yang tentunya harus selesai dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Setelah itu, film seakan sadar bahwa premis dasar punya-pacar-untuk-menang-taruhan adalah pakem cerita kuno. Dalam tutur macam ini, cerita biasanya akan mengarah pada sebuah rasa cinta beneran yang melebihi hasrat menang taruhan—dan, tak jarang, si perempuan marah karena hanya dijadikan hadiah yang melegitimasi kehebatan laki-laki. Sementara dalam Love for Sale, saat Richard beneran suka Arini, latar belakang taruhan tak berdampak apapun. Sebab, dari awal, relasi yang tumbuh di antara mereka memanglah bukan relasi personal, melainkan relasi profesional.

Love for Sale membangun relasi sejoli ini lewat sebuah aplikasi. Namun, beda dari Her, sosok perempuan dalam film, Arini, hadir dalam bentuk fisik. Arini datang dari sebuah perusahaan bernama Love Inc. Sial (atau untung?) bagi Richard, Arini adalah pegawai Love Inc yang begitu andal. Ia mampu memberi kesan bahwa dirinya riil—sehingga relasinya dengan Richard terasa nyata. Arini meyakinkan Richard bahwa ia punya teman, keluarga, dan kesibukan. Hanya sekali ia luput, yakni ketika salah menyebutkan kampung halamannya. Lebih dari itu, Arini layak disebut pegawai teladan.

Cinta dan Pekerja

Arini mampu merangkai realitas yang nyaris tanpa cela untuk Richard. Mirip seperti bagaimana stasiun TV menciptakan realitas untuk Truman Burbank dalam Truman Show (1998), kepalsuan ditata sedemikian rupa untuk Richard semata. Hanya saja, dalam Love for Sale, tak ada tembok atau pintu apapun yang menghalangi Richard dari kebebasan, selain kontrak kemitraannya dengan Arini dan kebiasaan dirinya terpaku pada masa lalu.

 “Mengapa aku harus berduka? Hidupku hanya untukmu, Sayang,” nyanyi The Mercy’s dalam tembang kesenangan Richard. Semula lagu itu tak lebih dari suara latar yang menunjukkan sunyinya hidup protagonis kita. Namun, belakangan, roh Love for Sale bisa dibilang juga terkandung dalam lagu tersebut. Terlebih, ketika informasi soal Maya (tiba-tiba) muncul, dan menunjukkan kepada kita soal kehidupan Richard yang lenyap bersama cinta masa lalunya.

Lewat informasi soal cinta (beda agama) Richard yang dulu kandas, tingkah Richard yang kolot dan menyebalkan pun terjelaskan. Usai putus cinta, tak ada lagi yang tersisa, selain perusahaan dan harga diri—yang kemudian ia pertaruhkan di hadapan teman-temannya. Untuk mempertahankan yang tersisa itu, Richard akan melakukan apapun, termasuk memaki, bahkan memecat pegawainya, Danty (Vanda Mutiara).

Tingkah Richard yang demikian baru terhentikan setelah bertemu Arini. Menariknya, momentum hubungan Arini dan Richard bukan dibuka oleh obrolan soal bola atau persoalan paras semata, melainkan justru oleh obrolan soal nasib Arini sebagai pekerja. Usai pernikahan Rudy (Rizky Mocil), yang juga artinya taruhan sudah kelar, Richard sebetulnya sudah tidak butuh Arini, yang ia tunjukkan dengan memberi ongkos pulang untuk Arini. Namun, saat Arini menangis menceritakan tentang apa yang akan dilakukan perusahaannya, Richard luluh.

Kehadiran (juga kepergian) Arini pada akhirnya berhasil mendorong Richard menghargai kembali waktunya selagi ia masih hidup. Selain itu, lewat makanan yang ia suguhkan untuk Raka (Albert Halim), Jaka (Adriano Qalbi), Pak Syamsul (Rukman Rosadi), dan Mira (Sabrina Rochelle), tiap paginya, Arini juga sukses menyadarkan Richard soal pentingnya memperlakukan pegawai secara manusiawi. Cakrawala kuliner Richard yang semula mentok di Indomie menjadi melebar hingga ke Madagaskar dan Turki. Walaupun, lagi-lagi, ada sedikit kekurangan pada Arini. Masa iya ia tahu resep dari berbagai penjuru dunia tapi tidak pernah kenal bagelen?

Love for Sale | 2018 | Durasi: 104 menit | Sutradara: Andibachtiar Yusuf | Penulis: Andibachtiar Yusuf, Irfan Ramly | Produksi: Visinema Pictures, Stay Connected Media, 13 Entertainment | Negara: Indonesia | Pemeran: Gading Marten, Della Dartyan, Verdi Solaiman, Adriano Qalbi, Sabrina Rochelle, Albert Halim, Rukman Rosadi, Vanda Mutiara, Bowie Budianto, Hanif Reyzel, Natalius Cendana, Rizky Mocil