Francois Truffaut: Mimpi Seorang Kritikus Film, Bagian 4

francois-truffaut-04_highlight

Artikel ini merupakan bagian keempat dan terakhir dari terjemahan tulisan Francois Truffaut yang berjudul What Do Critics Dream About? (1975). Total, ada empat bagian. Bagian pertama bisa diakses di sini, bagian kedua di sini, dan bagian ketiga di sini.

Ketika seorang seniman mencoba membela dirinya dari kritik, apakah dia sedang membela karyanya atau dirinya sendiri? Menurut Marcel Proust, seorang sastrawan Prancis, sebuah karya datang dari dalam diri seniman. Oleh karenanya, wajar apabila seorang seniman siap merelakan dirinya sendiri demi karyanya, sama seperti seorang bapak untuk anaknya sendiri. Efek sampingnya: seorang seniman hanya akan selalu siap memperjuangkan apa yang berhubungan dengan dirinya saja. Urusan lain perlu pertimbangan sendiri.

Kenyataannya: seniman seringkali terlalu gugup dengan karyanya sendiri. Di bawah tekanan, mereka bisa mengekspos kekurangan kerjaan setahun dalam beberapa hari saja. Lebih buruk lagi, dalam beberapa jam saja. Padahal, dalam dua atau tiga tahun, kritikus mungkin baru saja mencerap intisari dari karya seniman tersebut. Baru ketika intisari karya terjabarkan, kritikus menentukan apakah karya tersebut sukses mengental seperti mayonaise atau tidak. Aku sengaja menggunakan kata ‘mayonaise’. Sebelum bekerja di Cahiers du Cinema, aku sempat diskusi panjang dengan André Bazin soal perbandingan film dengan mayonaise. Kami sampai pada kesimpulan bahwa ekspresi teknis dan intelektual dalam suatu film akan menyatu jadi semacam sistem sendiri, mirip seperti campuran bahan-bahan dalam mayonaise. Sistem tersebut kemudian dicicipi oleh mata dan pikiran penonton, apakah campuran tersebut sudah rata atau belum. Dalam perspektif yang lebih luas, modus ekspresi suatu film akan menentukan rasa khas dari filmografi sutradaranya. Perbandingan ini sah, karena kualitas suatu mayonaise atau sebuah merk mayonaise dinilai dari kestabilan campuran bahan-bahannya, kan?

Waktu berdebat dengan Bazin, aku sempat bilang, “Semua film Howard Hawks itu bagus, dan semua film Huston itu buruk.” Ketika akhirnya aktif kerja di Cahiers, aku memodifikasi pernyataan kerasku menjadi, “Film terburuk Hawks masih lebih menarik dibanding film terbaiknya Huston.” Pernyataan tersebut yang diingat orang sebagai politik auteur (la politique des auteurs). Diskusi perihal politik auteur tersebut dimulai di jurnal film besutan kami, tapi cepat dilupakan di Prancis. Jurnal-jurnal film di Amerika masih sering membahasnya. Sekarang, beberapa dari rekan-rekan Cahiers yang membicarakan politik auteur tersebut sudah jadi sutradara, termasuk aku. Aku sendiri tidak tahu apa pikiran mereka sekarang tentang diskusi tersebut, tapi aku yakin kami banyak mengadopsi prinsip-prinsip dari teori mayonaise tersebut. Memproduksi film telah mengajarkan kami banyak hal. Beberapa di antaranya:

  • membuat film jelek ternyata sama sulitnya dengan membuat film bagus
  • film yang kami anggap paling tulus ternyata bisa berkesan sebaliknya
  • film yang justru kami tidak niat buat malah sukses di mana-mana
  • sebuah film biasa yang dieksekusi dengan energi tersendiri, hasilnya malah lebih baik dari sebuah film dengan niatan intelektual yang dieksekusi seadanya
  • hasil akhir tidak selamanya sesuai dengan usaha yang dikerahkan
  • sukses dalam dunia film ternyata tidak bergantung pada isi otak, tapi pada harmoni antara hal-hal yang ada dalam diri kita, mulai dari pemahaman soal subyek, perasaan, serta keberuntungan
  • dan banyak hal lainnya.

Kami pikir kirtikus sebaiknya berperan sebagai jembatan informasi antara seniman dan publik. Begitulah yang terjadi selama ini. Kami pikir kritikus sebaiknya juga berperan sebagai pelengkap wawasan seniman dan publik tentang satu sama lain. Begitu juga yang terjadi selama ini. Namun, seringnya, kritik hanyalah satu di antara banyak hal yang ada di antara seniman dan publik. Sebut saja iklan, atmosfer sosio-politik, kompetisi, dan trend. Ketika sebuah film mencapai suatu level kesuksesan, film tersebut menjadi sebuah fenomena sosial. Pertanyaan perihal kualitas film menjadi sekunder. Seorang kritikus Amerika pernah menulis, “Meresensi film Love Story itu sia-sia, sama saja seperti mengulas rasa es krim vanili.” Pernyataan jujur tentang film-film sukses tersebut jelas datangnya dari Hollywood. Ketika seorang sutradara sukses dengan film yang dibantai oleh para kritikus, dia akan bilang pada mereka, “Terima kasih tuan-tuan, tapi mohon ijinkan saya menangis sembari mencairkan uang di bank.”

Keinginan publik untuk menonton sebuah film jauh lebih kuat dari tulisan kritikus manapun. Resensi yang secara universal disukai terbukti tidak dapat membuat orang menonton Nuit et Brouillard karya Alain Resnai (tentang deportasi), Vidas Secas karya Nelson Pereira dos Santos (tentang kelaparan dan kekeringan di Brazil), atau Johnny Got His Gun karya Dalton Trumbo (tentang seorang tentara bisu yang kaki, tangan, dan penglihatannya). Contoh-contoh tersebut menyiratkan dua macam tafsir. Pertama, sutradara salah kalau menganggap musuhnya adalah produser, pemilik bioskop, atau kritikus. Ketiga pihak tersebut sangat ingin melihat filmnya sukses atau minimal diketahui anyak orang. Musuh terbesar sutradara adalah publik, yang keinginannya sulit ditakar dan dinalar. Teori tersebut cukup masuk akal. Sangatlah sulit bagi sutradara untuk menghadapi massa jutaan manusia, yang tidak dapat diidentifikasi keinginan dan kepentingannya satu per satu. Di sisi lain, sangatlah mudah bagi sutradara untuk memusuhi sekelompok orang yang punya akses finansial dan intelektual.

Tafsir kedua lebih filosofis. Menurut saya, sinema mengandung sebuah janji kenikmatan yang berbanding terbalik dengan arus kehidupan. Sinema bergerak ke atas menuju keabadian, sementara kehidupan berputar turun menuju kematian. Tidak seperti jurnalisme, sinema beroperasi melalui ilusi di mata penontonnya. Sinema tidak berusaha membohongi, tapi berusaha membuat penonton mengakui kenyataan-kenyataan yang terkandung dalam sajiannya. Hal tersebut harus sinema lakukan dengan segala batasan formalnya, yang berusaha menampilkan sinema tidak sebagai tontonan, tapi sebagai kenyataan di atas layar. Sederhananya, tujuan sinema adalah meyakinkan penonton akan kegilaan yang terkandung dalamnya. Dilihat dari perspektif yang lebih personal, pembuat film berarti harus mengemas kegilaannya ke hadapan penonton, yang lebih waras atau setidaknya tidak sadar akan kegilaan pembuat filmnya.

Perwujudan dari interpretasi kedua bisa dilihat dalam Cries and Whispers karya Ingmar Bergman. Film tersebut dipuji di mana-mana, di seluruh dunia tepatnya. Padahal, kalau dilihat lebih dalam, film tersebut berisikan gambar-gambar yang akan membuat penonton manapun mual, terutama adegan seorang perempuan penderita kanker di ujung hayatnya. Bagusnya, film tersebut secara formal sempurna, atau setidaknya begitu menarik mata. Pengunaan warna merah pada properti film mencerminkan kesan yang berkebalikan dengan plot film, dimana karakter-karakternya mengeluh dan berduka karena penderitaan eksistensial mereka. Ada gairah yang salah tempat dalam warna merah tersebut. Ada dorongan yang meyakinkan penonton bahwa di hadapan mereka adalah sebuah mahakarya. Film Bergman lainnya tidak kalah cantiknya, tapi tidak ada yang dapat menyamai sensasi tembok merah dalam Cries and Whispers. Tidak heran kalau mayoritas film Bergman kurang dianggap oleh publik.