Francois Truffaut: Mimpi Seorang Kritikus Film, Bagian 3

francois-truffaut-03_highlight

Artikel ini merupakan bagian ketiga dari terjemahan tulisan Francois Truffaut yang berjudul What Do Critics Dream About? (1975). Rencananya akan ada empat bagian. Bagian pertama bisa diakses di sini dan bagian kedua di sini.

Jarang ada seniman yang mau menerima keberadaan kritikus secara utuh. Dalam awal kariernya, seorang seniman cenderung mengabaikan komentar kritikus, karena dia dapat berlindung di balik status pemulanya. Seiring berjalannya waktu, seniman dan kritikus makin jelas hubungannya. Mereka mungkin kenal satu sama lain, atau setidaknya tahu posisi masing-masing. Semakin terkenal seorang seniman, semakin dia menolak mengakui pentingnya peran kritikus. Kalaupun akhirnya mengakui, dia hanya pura-pura dan berharap pertemanannya dengan kritikus dapat membantu kariernya. Menurutku, tindakan tersebut salah kaprah. Seniman cenderung punya prasangka buruk terhadap para kritikus, padahal prasangka tersebut hanya ada di kepala mereka sendiri.

Aku selalu kesal dengan seniman yang egois. Dia tidak pernah bisa senang, bahkan ketika karyanya mendapat respons positif dari para krtikus. Dia ingin para kritikus memuji dirinya saja, tanpa memuji seniman-seniman lain. Aku kira setiap seniman pasti pernah menjalani fase egois tersebut. Setiap seniman pasti pernah tergoda untuk menyerang kritikus yang tidak menganggap karyanya sempurna. Sutradara sekaliber Ingmar Bergman saja pernah menampar seorang kritikus dari Stockholm. Aku kira inilah kelemahan para seniman ketika membaca resensi tentang karyanya sendiri. Tidak akan pernah ada resensi yang baik di mata mereka. Selalu saja ada yang salah. Kadang aku ingin sekali bertanya lantang ke mereka, “Lebih baik mana: namamu disebut dalam sebuah resensi yang mencercamu, atau namamu tidak pernah disebut sama sekali?” Seni bukanlah ilmu pasti, jadi jangan harap ada pujian yang absolut untuk sebuah karya seni.

Di sisi lain, saya selalu mengagumi seniman yang tidak setuju dengan resensi yang memuji karya mereka. Menolak pujian itu adalah hal yang sulit. Butuh kerendahan hati tersendiri untuk melakukannya. Walau begitu, kalau kerendahan hatinya berlebihan, para kritikus bakal bingung juga harus bersikap bagaimana. Ada seorang sutradara Prancis yang mempresentasikan setiap filmnya sebagai “film pertamanya”. Film-film sebelumnya ia anggap sebagai latihan, yang ia pun tidak tahu bagusnya di mana dan merasa malu telah membuatnya. Bagaimana kami para kritikus harus menyikapi seniman macam itu? Bagaimana juga dengan para kritikus yang mendukung karya-karya sutradara tersebut sejak awal ia berkarier?

Setelah menyelesaikan film pertamaku, aku sempat bertemu dengan Julien Duvivier, beberapa minggu sebelum dia wafat. Asal tahu saja, Duvivier selalu beranggapan kalau karyanya tidak ada yang layak tonton. Aku pernah mencoba meyakinkan beliau bahwa kariernya luar biasa. Jawabannya, “Kalau saja tidak ada yang menulis tentang karya-karyaku, aku mungkin akan merasa bahagia.” Aku pun terdiam. Dia terlalu rendah hati, sehingga aku pun malu sendiri. Waktu aku masih jadi kritikus, aku mengkritik banyak nama besar di perfilman Prancis. Sebut saja Yves Allégret, Jean Delannoy, André Cayatte, hingga Duvivier sendiri. Aku sadar bahwa aku tidak ada bedanya dengan polisi lalu lintas, yang mengatur mobil mana harus berhenti dan mana yang boleh jalan terus. Sejak pertemuan dengan Duvivier, aku tersadar bahwa kerjaan seorang kritikus sebenarnya adalah pembaptisan dengan api. Kritikus mengkritisi sebuah karya, yang merupakan bagian dari pembuatnya, lalu membaginya ke publik. Artinya: kritikus membedah sebagian dari seorang seniman, lalu mendorongnya ke khalayak luas untuk ramai-ramai dihakimi.

Dengan caranya sendiri-sendiri, setiap seniman mencoba membuat dirinya terlihat semenarik mungkin. Karya menjadi pelengkap dari politik pencitraan yang seniman terapkan ke diri mereka sendiri. Namun, untuk terlibat dalam politik pencitraan tersebut, seorang seniman harus siap menghadapi risiko-risikonya, yakni dipelajari, dianalisa, dihakimi, dan dikritik. Di sisi lain, para kritikus sadar sulitnya menciptakan sebuah karya. Mereka juga sadar bahwa butuh keberanian tersendiri untuk mengekspos diri ke hadapan publik. Konsekuensinya: para kritikus diam-diam kagum dan respek terhadap para seniman. Dalam beberapa kasus, mereka mencoba mengurangi beban para seniman dengan menulis resensi yang positif. Seperti yang Boris Vian pernah bilang, “Para kritikus tidak bisa membuat artikel yang bagus tentang karya orang lain. Mereka hanya bisa mengkritik.”

Bagiku, hubungan antara kritikus dan seniman berdasar pada kekuasaan. Dalam relasi kuasa tersebut, kritikus ada di pihak yang lebih lemah, tapi mereka mencoba menyembunyikannya lewat tulisan-tulisan mereka. Seniman secara teori berada di pihak yang lebih kuat, namun mereka kerap terjebak oleh sentimen dan paranoia tentang karya mereka sendiri. Oleh karena itu, seniman kerap beranggapan bahwa semua kritikus memusuhinya. Mereka menganggap diri mereka korban, dan melupakan fakta bahwa para kritikus juga manusia biasa, yang masing-masing memiliki pola pikir dan selera yang berbeda.

Seniman juga harus ingat bahwa karyanya tidak dinilai berdasarkan resensi saja, tapi juga reputasi. Resensi hanya berlaku di satu periode waktu, sementara reputasi bisa berubah setiap tahunnya. Kecuali Citizen Kane, semua film Orson Welles waktu dirilis langsung dibantai oleh para kritikus. Komentarnya selalu berkisar antara “terlalu buruk” dan “terlalu gila”, atau “terlalu Shakespeare” dan “kurang Shakespeare”. Namun, pada akhirnya, reputasi Welles di seluruh dunia aman. Film-filmnya melewati banyak retrospeksi, dan dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Pandangan kritikus pun berubah dari negatif ke positif. Hal yang sama terjadi pada Bunuel dan Bergman. Keduanya dulu mendapat banyak kritik keras, dan sekarang diakui sebagai sutradara kelas dunia.

Kritik film yang ideal adalah kritik film yang adil. Anatole Litvak sama pentingnya dengan Charlie Chaplin. Keduanya sama di mata Tuhan, oleh karena itu keduanya harus dinilai dengan kepedulian yang sama oleh para kritikus. Ketidakadilan masih sering terjadi, namun waktu akan memperbaiki segalanya. Untung saja film tidak terbatas di bioskop. Masih ada tempat-tempat seperti Museum of Modern Art di New York dan Cinémathèque di Paris, yang rutin memutar film dari berbagai penjuru dunia dan periode waktu. Ada juga ribuan ruang pemutaran alternatif yang tersebar di seluruh dunia. Segalanya akan baik-baik saja, terutama bagi para sutradara yang filmnya pernah dikritik keras. Lagipula, kritik yang objektif lebih besar manfaatnya ketimbang pujian tanpa alasan. Pujian dapat membuat seseorang lupa diri. Kritik sebaliknya membawa orang, termasuk seniman, kembali ke kenyataan.