Untuk Alexis Tioseco dan Nika Bohinc, pasangan kritikus yang menginspirasi saya untuk menulis sepanjang ini. Untuk ayah dan ibu yang rutin mengajak saya menonton film di bioskop sejak kanak-kanak. Untuk kakek saya, mantan proyeksionis sebuah bioskop tua di Sukabumi, yang sering ‘menyelundupkan’ saya ke dalam bioskopnya ketika dulu saya berlibur di kota kecil itu. Untuk orang-orang yang belum sepenuhnya memahami diri saya, semoga tulisan ini melengkapi puzzle itu. Untuk semua penikmat film. Dan, untuk kita yang melakukan sesuatu pekerjaan dengan hati tulus.
1
Mungkin isi tulisan ini seperti memperlihatkan sisi diri saya yang sok serius, atau upaya saya untuk menyombongkan diri, atau mungkin penjustifikasian tentang apa yang saya yakini benar. Tapi saya harap, ada sepasang mata lainnya yang dapat menafsirkan tulisan ini secara sebaliknya, sejalan dengan motivasi yang menggerakkan saya menulis ini: kegelisahan dan kecintaan saya terhadap film.
Pemicu saya menulis ini bisa dibilang sepele dan tak terduga. Gara-gara dua tulisan yang saya baca pada minggu lalu, saya merasa harus segera duduk di depan laptop dan mulai mengetik. Isi kedua tulisan tersebut tentang Alexis A. Tioseco, kritikus film dari Filipina. Tulisan pertama, A reflection; after hearing of Alexis Tioseco’s death [1], ditulis oleh Intan Paramaditha sehari setelah kematian Alexis. Yang kedua, The Letter I Would Love To Read To You In Person [2], ditulis sendiri oleh Alexis Tioseco kira-kira setahun sebelum kematiannya.
Ketika ajal menjemput pada 1 September 2009, Alexis berusia 28 tahun.
Saya ingat, saat itu menjelang siang hari ketika saya membaca tulisan kritikus film Eric Sasono di laman Multiply-nya. Isinya mengabarkan kematian Alexis yang terjadi sehari sebelumnya. Di paragraf awal tulisan Eric itu berbunyi:
Pagi hari sebuah SMS dari Prima Rusdi mengejutkan saya, “Friends, I bring you very very sad news. Alexis Tioseco and his girlfriend shot dead last night by gunmen in Manila. It was a burglary.”
Meski sangat mengejutkan, tak muncul rasa sedih sewaktu saya mendengar kabar itu. Saya cuma kaget, karena sekitar sebulan sebelumnya dunia sinema baru saja kehilangan Yasmin Ahmad—sutradara perempuan asal Malaysia yang telah memberikan sumbangan penting kepada wajah sinema Asia Tenggara dan dunia lewat film-filmnya—yang meninggal dunia akibat stroke. Yang terlintas dalam otak saya saat itu hanyalah sebuah pertanyaan panjang: mengapa orang-orang muda yang cerdas dan sedang berupaya dengan tulus untuk memberikan sesuatu yang positif kepada masyarakatnya sering kali malah pergi lebih dulu?
Kadang saya pikir ini tidak adil.
Saya sendiri belum pernah bertemu Alexis. Justru, saya mengakrabinya lewat tulisan-tulisannya. Sejak tahun 2007, saya kerap mengunjungi Criticine, jurnal film online mengenai sinema Asia Tenggara, yang dibangun dan dikelola oleh Alexis. Membaca beragam tulisannya di Criticine, saya bisa merasakan kecintaan Alexis yang begitu besar terhadap film, sinema Filipina, dan masyarakat di negerinya.
Kesedihan saya justru baru muncul ketika membaca tulisan dari Intan dan Alexis tiga hari yang lalu. Rasa sedih yang agaknya perlahan menjelma jadi rasa malu. Saya tidak tahu pasti kenapa bisa muncul dua perasaan itu sekaligus, saya kehilangan kata-kata. Itulah sebabnya kini saya membuat tulisan ini. Siapa tahu efek dari tulisan ini bisa memberi jawabannya. Paling tidak, menulis ini berfungsi sebagai terapi untuk diri saya.
Atau, kalau mau memperhitungkan saya sebagai orang yang sok serius, silakan anggap saja tulisan ini sebagai bentuk kontribusi paling kecil yang saya bisa berikan kepada masyarakat dan negeri ini. Yah, paling tidak saya kira ini lebih baik ketimbang hanya menjadi manusia yang benar-benar apatis, atau hanya bisa mencela-cela dan mencerca tak karuan.
2
The Letter I Would Love To Read To You In Person ditulis Alexis untuk kekasihnya, Nika Bohinc—kritikus film dari Slovenia. ‘Surat cinta’ yang dimuat dalam Majalah Rogue ini merupakan tulisan paling emosional tentang hubungan personal antara manusia dengan sinema yang pernah saya baca. Bahkan Gabe Klinger, pengamat film dari Amerika Serikat, menyebut ‘surat’ ini sebagai, “The definitive manifesto on Philippine film [that] will soon become a canonical piece of critical writing.” Bagi kita yang mencintai film, tampak isinya sangat mengiris hati sekaligus menyiratkan kompleksitas perasaan dan pemikiran yang dialami oleh Alexis. Dalam suratnya itu, ia menjelaskan motivasi yang mendasari pilihan hidupnya sebagai kritikus film dan seberapa pentingnya arti pekerjaan itu baginya.
Alexis juga mengungkapkan rasa sayangnya kepada Nika lewar suratnya tersebut. Namun berbarengan dengan itu, Alexis juga menjelaskan kepadanya (dan juga kepada kita) soal mengapa Nika dianggapnya malah menjadi semacam ‘sandungan’ baginya untuk hidup menetap di Filipina, bekerja demi sinema dan masyarakat negerinya. Lewat surat cinta ini terlihat pula bahwa relasi yang dirasakan Alexis dengan sinema Filipina tak ubahnya seperti love-affair jarak jauh. Rumit memang, tapi kalau menilik sisi sejarah hidupnya, kita akan memahami kenapa Alexis berpikir sangat dalam seperti itu.
Ketika berusia dua tahun, Alexis dan keluarganya pindah ke Vancouver, Kanada, mengikuti kerja ayahnya sebagai pengusaha. Saat menginjak usia 16 tahun, ia dan Chris, kakak keempatnya, balik lagi ke Manila, meninggalkan kehidupan remaja di negara lain yang mulai dirasakan nyaman olehnya menuju ke kampung halaman yang lingkungannya malah terasa asing bagi dirinya. Namun dua tahun kemudian hubungan ayah dan ibunya ternyata retak. Ibunya hijrah lagi ke Vancouver, dan baru kembali ke Manila ketika ayah Alexis meninggal dunia pada tahun 2006.
Sebenarnya ayahnya punya agenda tersembunyi dengan membawa pulang Alexis dan Chris, yakni menyiapkan mereka sebagai penerus bisnis keluarga di Filipina. Tapi kakaknya ternyata juga tak betah, dan pulang ke Vancouver begitu lulus kuliah. Saat itu, sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, tinggal Alexis sajalah yang menjadi tumpuan harapan ayahnya. Walhasil, setelah kuliah business management-nya kelar, Alexis langsung bekerja untuk ayahnya.
Tapi ia cuma bertahan selama enam bulan. Ia sadar bahwa sinema dan kritik film adalah bidang yang ia cintai. Buktinya, beberapa bulan setelah lulus kuliah pada tahun 2004, Alexis terpilih untuk mengikuti Asia-Europe Foundation’s Meeting of Young Film Critics. Ia cukup tahu apa yang diinginkan dirinya, dan karena itu pula ia menulis di dalam ‘surat cintanya’, “The first impulse of any good film critic, and to this I think you would agree, must be of love.
3
Kritik film pertama yang ia tulis adalah tentang Batang West Side (2001) bikinan Lav Diaz—sineas bagian dari generasi kelima sinema Filipina yang terkenal karena membuat film dengan durasi hingga 6 atau 9 jam—yang dinilai Alexis sebagai titik awal tumbuhnya estetika baru dalam sinema Filipina. Proses penulisan kritik film perdananya ini juga mulai menguatkan ikatan antara dirinya dengan bidang kritik film dan sinema Filipina.
Malahan bagi Alexis, tak disangka justru Batang West Side lah yang memberikan dirinya sebuah makna penting dengan menjadi warga negara dan bagian dari bangsa Filipina; makna yang begitu berharga baginya karena ia sadar bahwa proses migrasi telah mengacaukan identifikasi dirinya terhadap negara-bangsanya. Melalui persentuhannya dengan sinema Filipina ternyata identitas kultural-nasional dan nasionalisme dalam diri Alexis mulai terbentuk dan mendekati wujudnya yang utuh.
Selain akibat interaksinya dengan sinema Filipina, di sini juga tampak bahwa pengalaman migrasi, lalu interaksi Alexis dengan “the other” atau liyan selama di Kanada dan ketika sudah kembali ke Filipina—selama rentang waktu itu pula identitasnya sebagai bagian dari negara-bangsa Filipina yang awalnya mengendap lalu tampil ke permukaan—telah menggambarkan bahwa identitas dan nasionalisme bukanlah fenomena alamiah, tapi sebagai artefak kebudayaan yang mampu berubah-ubah sesuai konteks dan waktu. Deskripsi ini sesuai dengan konsep imagined community dari Benedict Anderson (1991) tentang lenturnya batas-batas kebangsaan.
Alexis merasa sebagai bagian dari imagined community, karena dalam konsep ini menyatakan bahwa meskipun setiap anggota dari bangsa tidak pernah bertemu dan saling mengenal, tapi mereka tetap membayangkan tentang kebersamaan mereka. Imagined community terbentuk karena bangsa selalu dipikirkan sebagai ikatan persaudaraan yang mendalam dan memiliki relasi yang horizontal. Dari situ, maka kerumitan perasaan dan pikiran Alexis tentang identitasnya dapat dipahami. Di sisi lain, apa yang dirasakan Alexis soal pentingnya makna identitas menunjukkan bahwa dirinya adalah bagian dari komunitas nasional, subnasional, ataupun transnasional.
Menyadari kontribusi dari sinema Filipina bagi dirinya, ia pun menulis, “Philippine cinema has given much to me, and one must pay back one’s debts.“
4
Rasa cinta Alexis yang begitu besar terhadap film dan kesadaran atas pengaruh penting sinema Filipina terhadap dirinya mewujud pada sikap dan perilakunya. Amir Muhammad, sineas Malaysia yang sering menghadiri berbagai festival film di banyak negara bersama Alexis, mengingatnya sebagai pria yang memiliki daya ingat yang tajam. Sifat baiknya, menurut Amir, tidak akan banyak bisa dijumpai pada orang-orang di festival-festival film. Keramahan dalam festival film akan berkurang tanpa kehadiran Alexis. Sedangkan di mata Eric Sasono, yang pernah sama-sama menjadi juri Slingshort Film Festival di Jakarta pada tahun 2006, Alexis adalah seorang muda yang bicara pelan, tapi cerdas dan penuh kecintaan terhadap film.
“The first impulse is always one of love,” kata Alexis.
Rasa cinta. Atas dasar itulah, ia menonton film-film lokal dan menulis kritik film mengenainya, persis seperti yang ia lakukan pada Batang West Side. Setahun setelah dirilis, Alexis menemukan sedikitnya jumlah literatur yang mengulik film itu. Ia lalu berinisiatif mewawancarai Lav Diaz. Hasilnya 12 halaman artikel wawancara yang ia muat di Indiefilipino.com (portal buatannya yang kini telah almarhum). Respon dari artikel itu bermunculan, dan Alexis menyadari bahwa ada orang-orang yang berminat besar pada tulisan kritik film.
Ia lalu menulis dalam suratnya, “The more films I saw, specifically local independent films, the more I wanted to see. The deeper I got, the more responsibility I felt, the stronger the need to do something, to share that which I found beautiful.”
Pada kalimat Alexis itulah hati saya tersentak. Saya kira di sinilah perasaan malu itu timbul. Muncul pertanyaan-pertanyaan di benak saya. Seperti, berapa banyak dari kita yang sangat mengagumi film-film asing, tapi malah melenakan film lokal, atau yang lebih parah malah memukul rata bahwa film-film Indonesia itu bermutu rendahan? Berapa banyak dari kita yang tak perlu berpikir berulang kali ketika memutuskan untuk menonton lagi Avatar hingga tiga kali, padahal di waktu sebelumnya Kala, Pintu Terlarang, Hari Untuk Amanda, dan Rumah Dara tertatih-tatih mencari penonton? Berapa banyak dari kita yang lebih rela membeli tiket untuk menonton Iron Man 2 ketimbang Alangkah Lucunya (Negeri Ini) atau Menebus Impian?
Jika ternyata jawabannya kita lebih condong memihak film-film asing atau belum bisa menghargai film lokal, maka saya pikir kita belum pantas untuk berkoar-koar bahwa film Menculik Miyabi atau Suster Keramas itu mutunya sangat buruk—terlepas jika faktanya memang seperti itu. Sebab bagaimana pun film merepresentasikan masyarakatnya, dan seperti yang diutarakan Sigfreid Kracauer dalam Pantulan Layar Putih (Said, 1991), “Film suatu bangsa mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistik lainnya.”
Pendek kata, itu sama saja menghina orang-orang dari bangsa sendiri tanpa mau mengenalnya lebih dekat terlebih dahulu. Tindakan yang sangat tidak bertanggung jawab, menurut saya.
5
“The deeper I got, the more responsibility I felt, the stronger the need to do something, to share that which I found beautiful.”
Membaca lagi kalimat yang ditulis Alexis ini, saya jadi teringat Bowo Leksono, yang saya wawancarai di medio tahun 2007. Ia independent filmmaker dari Banyumas, spesialisasinya membuat film pendek. Semangat juangnya amat besar. Konsep guerilla filmmaking ia terapkan. Bowo bercerita, ketika ada waktu libur, ia pulang ke kota asal dan membuat film pendek dengan menghabiskan uang hasil keringatnya di Jakarta. Saat itu, ia dan teman-teman di Banyumas memang sedang giat membuat film pendek dengan biaya dan peralatan seadanya. Seiring dengan itu, komunitas film independen di kota kecil itu pun berkembang.
Ada ciri khas yang mereka bangun dalam sinema lokal independennya, yakni unsur lokalitas dan budaya yang kental. Ciri ini tampil sangat kentara dalam cerita dengan prominence yang kuat, pemain-pemain lokal, dan yang paling unik adalah pemakaian dialog berbahasa Jawa dengan logat Banyumasan. Film pendek Peronika karya Bowo bisa menjadi contoh istimewa. Ketika itu Peronika sampai diputar di berbagai acara diskusi film yang digelar oleh komunitas-komunitas film di Yogyakarta, dan kota lain di Jawa, termasuk Jakarta. Sekarang, eksistensi komunitas film independen di Banyumas sudah kokoh, bahkan beberapa karyanya sempat mampir ke festival-festival film di luar negeri. Belum lama ini mereka juga sudah mampu menyelenggarakan festival film lokal sendiri secara mandiri.
Adakah peran negara (baca: pemerintah) untuk mendukung kegiatan perfilman lokal seperti ini? Susah diharapkan. Bukannya saya pesimis, tapi isi UU Perfilman 2009 saja sudah memperlihatkan tidak ada niatan dari negara untuk menyediakan fasilitas agar keragaman genre dan cerita film, seperti Peronika, yang selama ini tidak didukung secara komersial bisa berkembang. Kita bisa melihat upaya Kineforum yang sampai harus mencari donasi sendiri untuk biaya rutin operasionalnya lewat ajang pemutaran film bernama Publik untuk Ruang Publik. Kineforum adalah bioskop non-komersil yang selama ini menjadi ruang presentasi dan pertukaran antar budaya dengan mengapresiasi film-film alternatif yang berasal bukan dari arus utama. Seharusnya pemerintah lah yang berkewajiban menyediakan dana bagi institusi budaya semacam ini.
Bukti kecilnya kontribusi pemerintah terhadap perfilman nasional juga terlihat jelas pada kalah gaungnya ajang Bulan Film Nasional 2010: Sejarah adalah Sekarang 4, yang digelar oleh Kineforum dan Dewan Kesenian Jakarta sepanjang Maret lalu, dengan gelaran Jakarta International Java Jazz Festival. Kala itu Presiden dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kita sepertinya lebih asyik menyaksikan penampilan dan menyapa para musisi jazz dari luar negeri ketimbang datang ke Taman Ismail Marzuki dan mengapresiasi karya seni budaya bangsa sendiri. Bahkan dalam acara penutupan Bulan Film Nasional pada 31 Maret lalu yang memutar kembali film Tiga Dara (Usmar Ismail, 1956), tak terlihat pejabat tinggi negara di sana. Padahal nama acara penutupan ini adalah “Menolak Hilang Ingatan”. Dari ketidakhadiran pejabat tinggi negara dalam acara tersebut, apakah pemerintah ingin menghilangkan ingatan atau memang tidak menghargai masa lalu? Bagaimana pun kita tahu dampak buruk yang bisa timbul jika sejarah (sengaja) dilupakan.
Yang ‘lucu’ (maafkan saya nyinyir di bagian ini) malah beberapa hari lalu Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik dengan bangganya mengatakan bahwa film-film Indonesia ikut dipasarkan di Festival Film Cannes tahun ini. Yang dimaksud beliau itu sebenarnya adalah film market festival dalam Festival Film Cannes, dan untuk masuk ke dalamnya tak perlu repot-repot diseleksi oleh para juri. Siapa saja bisa ikut ke dalam film market festival itu asal mampu membayar sewa tempatnya. Jadi tak ada yang membanggakan sebenarnya. Justru harusnya kita layak malu jika film-film yang dipasarkan di sana bermutu tak layak.
Mungkin Catatan Dari Festival Film Cannes ke-62? [3] yang ditulis Asmayani Kusrini, redaktur Rumahfilm.org, bisa memberi gambaran. Saat itu, Asmayani yang mengikuti rangkaian Festival Film Cannes 2009 menulis:
“Sebetulnya pengin mengunjungi warung Indonesia di Market. Ternyata isinya sudah kosong. Saya terlambat. Tapi Lalu (Roisamri-red) bilang, nggak ada perubahan, ‘Orangnya itu-itu juga. Isinya juga nggak banyak berubah. Nggak pentinglah loe ke sana’. Baiklah. Saya menurut kata Lalu saja.”
Bagaimanakah keadaan pada festival tahun ini? Kemarin John Badalu, programmer Q Film Festival, menautkan foto hasil jepretannya lewat Twitter. Gambarnya memperlihatkan tak ada siapa pun yang menjaga booth Indonesia di film market di Cannes. Bau ketidakseriusan pun tercium.
6
Apa yang dikemukakan Alexis dalam The Letter I Would Love To Read To You In Person ini langsung mengoneksikan pikiran dan memori saya ke sinema Indonesia. Problem yang terdapat pada sinema Filipina bukan hanya milik mereka sebenarnya. Negara kita pun tertimpa masalah serupa. Keterhubungan ini tidak bisa dielakkan mengingat pembentukan institusi film di negara kita ini dipengaruhi secara erat oleh proses politik, sosial, dan ekonomi yang terjadi dalam kawasan Asia Tenggara—sebuah melting pot yang kaya warna budaya. Catatan sejarah menunjukkan itu. Indonesia dan Filipina sudah saling bekerja sama untuk memproduksi film bersama sejak tahun 1959. Sejarah pembentukan sinema Malaysia dan Singapura pun tidak akan pernah bisa dipisahkan karena dulu mereka pernah menjadi satu negara [4].
Menurut Sasono, ini akan terus berkembang dan akan semakin menjadi agenda bersama, terutama mengingat perkembangan integrasi pasar yang semakin pesat; film Indonesia bisa ditayangkan perdana di Jakarta dan Kuala Lumpur pada malam yang sama, misalnya [5].
Atas dasar ini, maka jelaslah kita tidak bisa melupakan sejarah, atau selalu memandang buruk dan remeh film-film Indonesia, apalagi membandingkannya mentah-mentah dengan film-film asing. Ini merupakan tindakan yang tidak elok, karena sebetulnya terbentuknya masyarakat Indonesia kontemporer—kita termasuk di dalamnya—hingga seperti ini sekarang ikut dipengaruhi oleh tumbuh kembangnya sinema Indonesia. Sesuai dengan ucapan Arnold Hauser bahwa setiap karya seni selalu meninggalkan bekas zamannya [6]. Setiap film Indonesia yang kita tonton pun turut memengaruhi dan berjalan bersisian dengan pembentukan karakter diri kita, bahkan pada entitas yang lebih besar seperti bangsa. Berlebihankah penilaian ini? Untuk menjawabnya, saya akan mengoceh panjang lebar di sini. Mari kita memulainya dengan menyambangi masa lalu secara singkat.
Tahun 1950, M. Said bekerja sama dengan PFN (Perusahaan Film Negara) membuat Untuk Sang Merah Putih, yang bercerita tentang seorang perwira depresi karena matanya buta akibat diterjang peluru musuh, tapi kemudian menjadi merasa berguna lagi setelah berhasil membela anak buahnya di mahkamah militer. Salim Said melihat niatan film ini adalah untuk membimbing bekas pejuang supaya bisa hidup beradaptasi dengan masyarakat seusai perang gerilya kelar, selain supaya mereka melanjutkan perjuangan dengan membangun Indonesia yang sudah mereka merdekakan [7].
Setahun setelahnya, muncul Embun (D. Djajakusuma). Berkisah tentang mantan pejuang yang mengalami kesulitan hidup di tengah masyarakat kota akibat merajalelanya korupsi, sehingga ia kembali ke desanya. Yang sangat menarik perhatian di sini, yakni masalah korupsi, kehidupan penuh foya-foya, dan penyalahgunaan fasilitas di kalangan bekas pejuang yang sudah menyelinap ke dalam cerita-cerita film Indonesia ketika republik masih bayi. Menurut Said, ini adalah simptom masyarakat yang sedang mengalami disintegrasi sosial, karena korupsi menunjukkan tidak adanya kepedulian terhadap nasib sesama. Solidaritas yang terbina di zaman revolusi tampak mulai retak pada tahun itu [8].
Rasa pahit dalam memandang kehidupan setelah revolusi lalu disuguhkan dengan baik oleh Usmar Ismail dalam Darah dan Doa. Bercerita mengenai Kapten Sudarto, seorang intelektual mantan guru dan bekas calon insinyur, yang berseteru dengan Kapten Adam yang sifatnya sangat militeristik—sifat yang dibutuhkan pada zaman revolusi. Kisah kemudian berujung pada kematian kedua tokoh itu, dan yang mengiris hati adalah nasib Sudarto, karena meskipun ia dianggap pahlawan, ia tetap tidak bisa hidup normal dalam masyarakat. Sudarto tewas dibunuh sisa-sia pemberontak Madiun yang dulu pernah ditumpasnya [9].
Kita juga tidak bisa melupakan karya Usmar Ismail lainnya, Lewat Djam Malam, yang nadanya cukup pesimis karena berkisah mengenai kegagalan seorang perwira dalam hidup kembali dalam masyarakatnya setelah ia bergerilya bertahun-tahun. Salim Said menunjuk peristiwa 17 Oktober 1952 (waktu itu militer menuntut pembubaran DPRS karena dinilai mengulur-ulur pelaksanaan pemilu dan ikut campur dalam konflik internal kemiliteran atau APRI) sebagai titik sambung dengan cerita film ini, karena menggambarkan puncak kekecewaan para mantan pejuang terhadap perkembangan keadaan yang tidak kunjung membaik, seperti yang mereka harapkan dulu ketika meninggalkan markas gerilya [10].
Dari cerita dalam film-film yang diproduksi ketika usia republik masih amat muda ini, kita bisa melihat kedekatannya terhadap kehidupan masyarakat saat itu. Film-film itu bertutur soal manusia-manusia yang hidup dalam situasi terpojok dan ketika bangsa ini sedang mencari identitasnya. Bahkan beberapa isu yang diangkat dalam ceritanya, seperti korupsi dan teman-temannya, ternyata masih relevan di masa kini.
Film juga bisa berperan layaknya mesin waktu yang membuat kita tersadar bahwa masyarakat kita masih juga digerogoti oleh masalah lama yang itu-itu saja. Tititan Serambut Dibelah Tujuh (Chaerul Umam, 1982), yang menurut saya merupakan salah satu film Indonesia terbaik sepanjang masa, memperlihatkan dengan gamblang hal tersebut. Asrul Sani, yang menulis skenarionya, bertutur tentang seorang ustadz muda yang ingin meluruskan kehidupan masyarakat di sebuah desa, tapi ia mesti berhadapan dengan ustadz sepuh yang dibekingi oleh penjudi kakap sekaligus sangat berpengaruh di desa itu. Jika mau diidentifikasikan desa tersebut tak ubahnya seperti miniatur Indonesia masa kini. Dan menonton film ini sekarang, kita akan segera menyadari bahwa negeri ini belum juga beranjak dewasa. Inilah salah satu wujud keajaiban sinema.
7
Tak hanya itu, penelitian lain yang dilakukan Krishna Sen dan Salim Said juga mengungkap banyak hal penting tentang keterkaitan perkembangan sinema kita dengan pembentukan masyarakat kontemporer Indonesia. Untuk itu saya harus merujuk pada dua buku penting yang berbicara tentang sinema Indonesia, yakni buku Krishna Sen, Indonesian Cinema: Framing the New Order (1994), dan Shadows on the Silver Screen: A Social History of Indonesian Films (1991) karya Salim Said.
Baik Sen maupun Said menyatakan bahwa sifat transnasional menempel pada film-film Indonesia sejak masa-masa awal kelahirannya. Kita tidak bisa menampik peran para produser film dari kalangan orang Tionghoa, yang juga menguasai kepemilikan bioskop Indonesia saat itu, dalam membangun sinema Indonesia pada dekade 1920-an. Dari melihat latar belakang pendidikan beberapa sutradara di masa awal revolusi turut memperkuat sifat trasnasional pada film Indonesia. Seperti Usmar Ismail yang menerima pendidikan film dari Amerika Serikat sebagai bentuk investasinya. Ada pula Asrul Sani yang berasal dari dari keluarga Nahdlatul Ulama di Sumatera Barat tapi ditempa oleh pendidikan Belanda, lalu mempelajari drama dan film di Universitas Southern California. Kalau mau direntangkan lagi ke masa sekarang, pola ini pun berlanjut di generasi film pasca Kuldesak, misalnya Nia Dinata dan Rudi Soedjarwo yang juga studi film di negeri Paman Sam.
Dari penelitian mereka terurai jelas tentang sejarah industri film Indonesia yang dipengaruhi oleh kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah Orde Baru. Malah Sen mengatakan bahwa konflik politik tahun 1965-1966 rupanya berperan secara signifikan dalam membentuk institusi film Orde Baru yang selalu mengidam-idamkan stabilitas. Sen berkesimpulan bahwa nyaris semua film dari berbagai genre dan tema yang diproduksi ketika rezim Orde Baru berkuasa ternyata mempunyai kesamaan karakter yang terletak pada struktur naratifnya “that moves from order through disorder to a restoration of the order.” Jadi, tatanan (order) yang stabil ini tampil pada akhir cerita film dalam berbagai bentuk [11]. Inilah sinema arketipal Orde baru.
Apakah tidak ada perlawanan dari filmmaker terhadap rezim Orde Baru? Tentu saja ada, karena seperti yang pernah dikatakan Karl Heider bahwa pembuat film selalu menemukan cara untuk menyampaikan posisi politisnya secara subtil [12]. Hanya saja perlawanan ini dilancarkan secara samar-samar; yang umumnya disajikan dengan narasi penuh simpati pada masyarakat kelas bawah tapi dibungkus dengan nilai-nilai dari kelas menengah urban intelektual. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kompromi terhadap obsesi stabilitas dan sensor ketat dari rezim. Terlepas dari itu, film-film arketipal Orde Baru tetap berperan dalam membentuk masyarakat kontemporer Indonesia.
Lihatlah efek dari film propaganda Janur Kuning dan Pengkhianatan G30S PKI, misalnya, yang selain memperkuat mitos ‘Bapak’ (Soeharto sebagai Bapak Bangsa dan Bapak Pembangunan) dan logika paternalistik dalam masyarakat saat itu, dua film ini juga menanamkan rasa takut terhadap paham komunis dan sosialis ke benak masyarakat secara intensif. Tanpa kontribusi film itu, produksi teks sejarah versi Orde Baru tidak akan lengkap, tidak akan timbul pula protes terhadapnya ketika Soeharto tumbang, dan tak ada pula tafsir serta niatan untuk merevisi sejarah tersebut. Boleh dibilang bahwa paling tidak dua film itu turut berkontribusi membuat masyarakat jadi aktif dalam mendiskusikan sejarah dan isu-isu terkait setelah rezim berganti.
Atau kalau mau contoh lebih nge-pop, simaklah Lupus, yang menciptakan tren mengunyah permen karet dan rambut berjambul pada kalangan anak muda kala itu. Film Catatan Si Boy juga patut dicermati. Film ini mengantarkan karakter Boy ke puncak popularitas pada medio 1980-an hingga awal 1990-an. Saat itu, kehadiran Boy mampu mendefinisikan ulang karakterisasi remaja Indonesia yang baru dan ideal. Sosoknya disulam secara nyaris sempurna: kaya, rupawan, pintar hasil didikan kurikulum barat, sopan terhadap perempuan, dan rajin sholat juga mengaji. Barangkali bisa dibilang bahwa Lupus dan Boy adalah karakter-karakter yang edgy pada masanya.
Namun di sisi lain, pada kasus Boy terutama, karakter remaja ini digambarkan sangat pasif dalam hal menyuarakan aspirasi sosial, politik dan ideologinya. Oleh Krishna Sen (1994), Boy dinilai sebagai bentuk akomodasi sinema Indonesia untuk ikut mengharmonisasikan proses pembangunan yang dilakukan rezim Orde Baru. Inilah wujud tindakan represif negara terhadap kehidupan anak muda saat itu, yang pada akhirnya berpengaruh juga dalam membentuk para remaja saat itu. Siapa dari para remaja pada masa itu, khususnya yang berdomisili di kota, yang tidak tergoda mengikuti gaya Boy?
Lalu, bagaimanakah peran sinema Indonesia pasca Orde Baru dalam membentuk masyarakat kontemporer Indonesia? Jelas sangat besar. Yang pasti kita tidak bisa menganggap remeh kehadiran film Kuldesak (1998).Omnibus dari Riri Riza, Nan T. Achnas, Mira Lesmana, dan Rizal Mantovani ini dinilai sebagai milestone gerakan film independen yang direkam dengan kamera video dan diproduksi tanpa mematuhi regulasi resmi Orde Baru. Dampak film ini begitu luas. Mulai dari menjadi pemecut semangat untuk membuat film secara gerilya, munculnya kesadaran para generasi muda perfilman untuk mengeksplorasi cerita, hingga pengaruh paling signifikan yakni terancangnya skema produksi film tanpa memedulikan aturan-aturan Orde Baru. Skema ini pada akhirnya terus diterapkan oleh para filmmaker generasi pasca reformasi hingga membuat produksi film terus meningkat dari tahun ke tahun tanpa bantuan pemerintah sedikit pun. Skema ini jugalah yang justru menjadikan para filmmaker lebih mandiri dalam berkarya, tapi juga sekaligus ironisnya melanggar hukum.
Kemudian, di saat produksi film nasional masih lesu, ternyata kesuksesan Petualangan Sherina (Riri Riza, 1998) menyadarkan publik Indonesia bahwa film dan penonton Indonesia ternyata masih ada. Anak-anak dan orangtuanya kembali datang ke bioskop untuk menonton film lokal. Film ini juga memicu diproduksinya film anak-anak lainnya. Imbas Ada Apa Dengan Cinta? (Rudi Soedjarwo, 2002) terhadap interaksi dan kultur remaja pada saat itu juga kuat. Tak lama setelah dirilis dan meledaknya film tersebut para remaja sekolah menengah ramai-ramai menulis puisi. Film bertema kehidupan remaja pun berbondong-bondong dibikin. Kegairahan dalam perfilman nasional mulai terasa.
Hebohnya Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2007) juga layak dicermati. Film ini menciptakan kultur baru menonton film di bioskop, berbeda dari kultur sebelumnya yang tampak sudah ajeg: bukan lagi kelompok pertemanan ataupun keluarga yang datang ke bioskop, melainkan kelompok-kelompok pengajian yang sebelumnya jarang atau belum pernah menonton di bioskop. Ayat-Ayat Cinta dan, kemudian, Perempuan Berkalung Sorban (Hanung Bramantyo, 2008) menjadi pemantik terjadinya diskusi tentang wacana yang sensitif, seperti poligami dan feminisme dalam Islam.
Masih ada contoh lainnya, namun terakhir yang paling hangat adalah kasus film Menculik Miyabi. Kita tahu sebelumnya rencana produksi film itu mengundang protes dari beberapa kelompok masyarakat. Tapi toh ternyata filmnya jadi juga, dan berhasil lulus sensor lalu tayang di bioskop. Melalui film ini tampak bahwa masyarakat masih belum dapat menemukan kata sepakat dalam perdebatan isu pornografi dan berbagai bentuk representasi mengenainya. Lalu lewat polemik film Bidadari Jakarta (Nanang Istiabudi, 2010), yang adegan-adegannya banyak dipotong tanpa memerhatikan kesinambungan cerita karena dinilai mengandung elemen kekerasan, peran dan proses kerja Lembaga Sensor Film (LSF) kembali dipertanyakan.
Sebelumnya eksistensi institusi LSF diprotes keras oleh Masyarakat Film Indonesia (MFI) dengan mengajukan uji materil UU Perfilman Tahun 1992 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meskipun akhirnya ditolak MK, selain menuntut dilakukannya reformasi pada bidang perfilman, gerakan politik yang diusung MFI ini juga memantik perdebatan hangat terkait soal sensor film dan edukasi penonton, serta harapan akan terbentuknya kedewasaan berpikir yang terwakili dalam proses memilih film untuk ditonton di bioskop.
8
Memang, soal memilih film untuk ditonton kini bukan hanya terkait pada pemahaman tentang film, kedewasaan berpikir, dan soal selera pribadi. Tanpa kita sadari, ada eksponen lain yang berpengaruh. Krisnadi Yuliawan memaparkan secara implisit penyebab lain itu [13].
Menurutnya, di era globalisasi di mana kekuatan pasar begitu mendominasi dan batas-batas antara negara-bangsa melebur dengan cepat, faktor modal dan teknologi pun memegang peranan penting untuk menguasai industri film, sehingga muncul pandangan bahwa globalisasi dalam industri film mirip kolonisasi gaya baru. Di sisi lain, kita juga tak bisa menampik pengaruh Hollywood lewat film-film blockbuster-nya. Mungkin ada benarnya dengan apa yang dikatakan Wim Wenders, sutradara terpuji Jerman, bahwa Amerika telah menjajah dan telah mengolonisasi alam bawah sadar kita lewat film-filmnya. Efeknya, kita pun barangkali tanpa sadar cenderung untuk memilih film-film asing tersebut untuk ditonton.
Berkat globalisasi yang melenturkan batas-batas negara-bangsa itu, film Indonesia pun mesti mengalami penyesuaian begitu besar mengikuti arus utama yang tercipta. Maka tidak usah heran jika sinema Indonesia semakin kehilangan wajah aslinya yang diyakini banyak kalangan memang belum tampil di layar bioskop. Film-film yang beredar di jaringan bioskop sekarang umumnya juga memperlihatkan penyakit lama tersebut. Salim Said mengamati bahwa penyakit ini sudah menjangkiti kultur perfilman kita sejak lama, mungkin semacam penyakit kambuhan. Dari penelitiannya, Said mendapati bahwa sejarah pertentangan antara komersialisme dan idealisme yang melandasi pembuatan film ikut memengaruhi sirnanya wajah Indonesia asli. Interaksi antara unsur-unsur nasional dan transnasional yang selalu muncul ikut ambil peranan [14].
Film bertema perjuangan Merah Putih (Yadi Sugandi, 2009) secara terang-terangan memperlihatkan keambiguan wajah asli Indonesia ini. Skenarionya yang ditulis oleh orang asing jelas memengaruhi terciptanya ‘jarak’ dengan diri penonton dan sejarah revolusi kemerdekaan. Saya sangat merasakan itu ketika menontonnya, karena dialog-dialog dalam skenarionya tidak terdengar seperti ucapan-ucapan khas yang keluar dari mulut orang Indonesia, malah seperti mendengarkan ceramah bangsa lain yang mengoceh tentang perjuangan Indonesia.
Kenapa para penonton Indonesia lebih suka menonton film asing juga disebabkan dari minimnya kontribusi pemerintah Indonesia dalam menciptakan iklim industri film yang mengedepankan kualitas. Isi UU Perfilman 2009 jelas membuktikannya, padahal pasca tahun 1998 sebetulnya sempat terjadi demokratisasi dalam produksi film. Lisabona Rahman, manajer Kineforum, mencermati ketidakberpihakan UU ini bagi para pelaku industri perfilman nasional dalam artikel “UU Perfilman 2009: Biarkan Masyarakat Tak Kunjung Mandiri” [15]. Menurut Lisa, yang paling kentara dalam merepresentasikan pengutamaan nilai kuantitas (atau motif cari untung) oleh pemerintah adalah aturan kuota 60 persen untuk pemutaran film Indonesia di bioskop-bioskop. Padahal kebijakan ini sudah pernah diterapkan di medio 1970-an yang berujung pada kaburnya para penonton dari film-film Indonesia.
Penetapan kuota ini pada akhirnya menyebabkan film diproduksi dengan asal-asalan. Cerita dan skenario pun dibikin tanpa memperlihatkan kehidupan masyarakat dan problematika khas Indonesia. Karakter para tokoh dibikin dan ditampilkan secara stereotipikal. Lokus cerita lebih banyak dibuat di lingkungan urban tanpa pernah merasa bosan, padahal wilayah rural menawarkan begitu banyak alternatif cerita yang kaya dan tentu saja lebih meng-Indonesia. Hasilnya, selain akibat sistem jaringan bioskop, penonton film Indonesia kontemporer pun umumnya berpusat di kota. Sedangkan bagi para penonton yang berada di daerah rural, mereka dicekoki cerita bercitarasa modern khas perkotaan yang jauh dari keseharian mereka. Kesenjangan sosial otomatis tercipta. Keseragaman cerita pun terus terjadi. Penonton tidak diberikan banyak pilihan, dan dengan demikian kritisisme dalam diri mereka mandul, sehingga menyebabkan ketidakbiasaan dalam memilah-milah film baik dan buruk. Film asing pun jadi pelarian karena dianggap mereka lebih memesona dan berkualitas serba baik.
Lagi pula, pasca film Kuldesak dan sampai kini, wilayah distribusi film pun tampil lentur seiring dengan makin elastisnya batasan-batasan pada komunitas transnasional dan kontak yang terjadi di dalamnya. Kita pun pada akhirnya bisa menonton film apa saja dalam versi bajakan atau membuat film untuk diikutsertakan dalam festival-festival film internasional. Ada kebebasan di situ, tapi sejatinya semu, karena regulasi film yang ada sekarang malah sedang merujuk ke masa lalu, yang kapan saja bisa menjadi perangkap mematikan untuk sinema Indonesia, termasuk kepada penontonnya tanpa terlalu kita sadari.
Karena itu, saya kira, ketika kita dihadapkan pada soal pilihan menonton film sekarang, maka dengan otomatis kita seharusnya sadar sedang ikut memosisikan diri dalam pertarungan kekuatan sosial-ekonomi-politik yang terjadi dalam negara ini maupun ke negara lain. Jadi ketika kita memilih untuk menonton film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) ketimbang Iron Man 2, misalnya, telah mengidentifikasikan identitas nasional dan nasionalisme kita. Dengan menyadari akan pemosisian diri itu, kita tidak akan mudah takluk pada dominasi ideologi asing yang kerap menyetir pola pikir atau alam bawah sadar kita secara diam-diam. Kesadaran pemosisian ini penting karena posisi yang kita ambil bisa menjadi titik tolak bagi kita dalam mengukur diri sendiri maupun pihak lain untuk mencari sisi-sisi yang lebih baik.
9
Di sinilah sebenarnya peran krusial kritik film. Bukan hanya untuk ikut meningkatkan mutu dan menjaga agar perkembangan film Indonesia tetap di dalam jalur yang benar, tapi juga membimbing dan ikut mengedukasi penonton film agar dengan sendirinya terbentuk filter dalam diri mereka sehingga bisa membedakan mana film yang baik dan mana yang buruk. Karena itu kritik film harus mampu mengungkap sesuatu dalam film yang luput diamati oleh penonton. Seperti yang pernah dikatakan mendiang kritikus film Pauline Kael bahwa tugas suci kritikus yakni membantu orang melihat apa yang ada dalam sebuah karya, apa yang mestinya tidak ada dalam karya itu, dan apa yang mestinya hadir dalam karya itu.
Salim Said juga mengatakan bahwa berkembang atau tidaknya kritik film itu sangat tergantung pada maju mundurnya objek kritik tersebut. Jadi tidak akan ada kritik film yang bagus tanpa lahirnya film yang bagus [16]. Namun bukan berarti film-film yang mutunya buruk mutlak dijauhi, karena kehadiran film-film seperti ini adalah keniscayaan dalam industri film di negara manapun. Harus diakui, film-film bermutu rendah juga memicu dibikinnya film-film dengan mutu yang lebih baik. Lagi pula faktor laris tidaknya sebuah film tidak menentukan kualitasnya.
Hubungan mutualisme antara kritik film dengan objeknya pun berlangsung, karena melalui film-film yang bermutulah kompetensi dan kapabilitas si kritikus makin terasah. Apabila aktivitas dari hubungan ini terjadi secara rutin, maka para penonton pun bisa ikut menilai film lebih kritis. Dan akibatnya, penonton yang kritis pasti melahirkan filmmakeryang sadar soal kualitas. Dengan otomatis, ruang dialog dan keragaman pun tercipta, sehingga masyarakat bisa semakin mandiri dalam menyikapi film.
Alexis Tioseco memahami betul beban berat dari peran kritikus film itu. Ia juga tahu problem yang mengungkung sinema negaranya itu—yang kalau diperhatikan problem itu juga hidup dalam sinema kita. Seiring dengan gairahnya terhadap sinema Filipina yang makin membesar, Alexis pun tidak merasa harus menulis tentang film-film asing. Ia merasa perannya sebagai kritikus akan lebih berguna jika fokus pada film-film lokal Filipina. Ia menyadari tugas sucinya.
Profesinya sebagai kritikus film lalu mengantarkannya pergi ke berbagai festival film internasional prestisius di banyak negara, seperti Berlinale dan Rotterdam. Perjalanan-perjalanan mahal yang sebelumnya tidak pernah ia duga sebenarnya. Tak semuanya ongkos perjalanannya itu gratis. Beberapa dari kesempatan untuk hadir di festival-festival itu dibiayai sendiri olehnya. Namun dari perjalanannya dan interaksinya dengan kalangan filmmaker dalam festival-festival film itu, Alexis menyimpulkan satu hal, “That it is important for people to write about their own cinemas and not let it be left to those outside to dictate what matters.”
Saya sepakat dengan Intan yang menyebut pernyataan Alexis ini kental sekali unsur romantismenya. Layaknya adonan yang tersusun dari nasionalisme dan nostalgia lalu dipadu dengan semangat perlawanan dari dunia ketiga yang terkonsepsikan dalam diskursus Third Cinema. Dalam Hayward (2000) dijelaskan bahwa Fernando Solanas dan Octavio Getino, teoritisi film dan filmmaker dari Argentina, yang pertama kali mencetuskan konsep Third Cinema ini pada tahun 1969 dalam manifestonya, Towards a Third Cinema.
Third Cinema lahir untuk membedakannya dari First Cinema (Hollywood) dan Second Cinema (film-film seni dan auteur Eropa), sekaligus untuk menangkis serbuan ideologi sinema Barat dan praktik pembuatan filmnya, khususnya Hollywood, yang dominan dalam hal ekonomi. Film-film Third Cinema biasanya memuat pernyataan politik untuk ditujukan kepada negaranya yang disampaikan secara langsung ataupun alegori sekaligus demi melawan dominasi praktik filmmaking dari negara lain [17].
Namun, seperti yang diutarakan oleh Krishna Sen, kajian sinema tetap tak bisa lepas dari “teori ketergantungan”, di mana Hollywood menjadi jantungnya. Sedangkan di sisi lain, kajian Asia malah kerap ‘terkungkung’ dalam mitos dari budaya lokal, “bound by the ancient and the mythic” [18], saat sedang mengungkapkan realitas di luar Barat, sehingga cara pikir orientalis Barat pun terus berlangsung. Alexis agaknya menyadari keberadaan pedang bermata dua itu dalam sinema negerinya maupun kajian terhadapnya.
Itulah sebabnya mengapa kita sendiri yang harus menulis tentang sinema kita. Dengan menulis tentang sinema negeri sendiri, kita bisa mengajukan semacam tandingan terhadap logika orientalis Barat, sehingga yang liyan tidak bisa dengan mudah mendikte perkembangan sinema nasional. Ilustrasi Anderson mengenai imagined community (1991) menyokong pendapat Alexis ini, karena Anderson berargumen bahwa identitas nasional dan nasionalisme dapat terinvestasikan lewat produksi teks yang dicetak. Maka penulisan atau kajian tentang sinema negeri kita dengan sendirinya akan menanamkan nilai-nilai identitas nasional dan nasionalisme dalam diri kita.
Melalui penulisan kritik film, Alexis mendapatkan banyak hal selama perjalanannya dari festival ke festival dalam kawasan transnasional tersebut. Ia juga tersadar bahwa tanpa internalisasi nilai-nilai budaya yang didapatkannya lewat persentuhannya dengan kritik film dan sinema negerinya, maka pertemuannya dengan Nika untuk pertama kalinya di International Film Festival Rotterdam 2007 tidak akan pernah terjadi.
“There is much to repay,” tulis Alexis.
10
Akhir tahun 2008 menjadi pertemuan perdana saya yang memorable dengan sinema Filipina. Malam hari di Kineforum TIM pada awal Desember tahun itu, rangkaian pertunjukan film di Jiffest yang ke-9 sedang diselenggarakan. Saya dan bersama tiga orang teman berada di sana untuk menonton Tribu (Jim Librian, 2007), film Filipina yang dinilai beberapa kritikus mampu membuat realita kerasnya kehidupan yang direpresentasikan City of God (Fernando Meirelles, 2002) tampak wagu. Kapan lagi nonton film penting ini di bioskop, ucap saya dalam hati.
Film pun dimulai. Kisahnya mengenai pertarungan antar geng di kawasan Tondo, Manila. Jim Librian menyajikan pertautan perilaku kekerasan, seks, kemiskinan dan konsumsi obat bius yang dialami oleh anak-anak muda para anggota geng. Dari proses inisiasi hingga perang melawan geng musuh. Namun Tribu juga menampilkan tentang rutinitas hidup yang terjadi di pemukiman kumuh tersebut ketika matahari sedang bersinar. Ada canda tawa di situ, ada sikap sopan kepada orangtua, ada romansa khas anak muda, seolah-olah kawasan itu penuh aman dan tenteram.
Barulah ketika malam hari, kekerasan mengambil alih. Semua adegan itu tampil intim karena Jim merekamnya dengan kamera handheld yang mengikuti gerak akting para tokohnya secara liar. Akting para pemainnya pun tampak natural. Musik rap sebagai latar disisipkan Jim. Mata saya pun seperti sedang melihat kultur kekerasan yang timbul akibat desakan kemiskinan di Filipina. Keindahan sinematografi atau komposisi tak dipedulikan, karena gambar-gambar di film ini tampak kasar dan selalu bergoyang, seperti ingin menyelaraskan dengan amarah para anggota geng yang sedang bertempur dengan memakai senjata api maupun tajam di gang-gang sempit dan kotor di Tondo. Ketika itu, saya sok menduga bahwa apa yang tersuguhkan dalam Tribu adalah eksplorasi estetika dalam sinema digital Filipina.
Lalu muncul pertanyaan utama di kepala saya selesai menonton Tribu: apakah memang seperti itu kehidupan di Filipina, penuh kekerasan?
Saya tidak berusaha mencari jawabannya ketika itu. Namun ternyata jawaban itu datang tanpa disangka beberapa bulan yang lalu, saat membaca artikel “Sinema Filipina tahun 2009” (Sasono, 2010). Secara sosiologis, struktur masyarakat Filipina memang telah terbelah secara ekstrim: orang-orang kaya, dan kelas para pekerja miskin. Sedangkan, masyarakat kelas menengah yang seharusnya jadi penyangga lebih suka menetap di Amerika (permintaan visa di Keduber Amerika Serikat di Manila mencapai 3.000 pemohon setiap harinya). Tak mengherankan jika dalam masyarakat kelas miskin terjangkiti kekerasan dan sebagainya secara akut.
Sterilnya kelas menengah ini menyebabkan film Filipina terbelah ekstrim. Film-film mainstream umumnya dipengaruhi bentuk telenovela, komedi slapstick, unsur seks dan fantasi yang mendominasi narasi untuk melayani kelas pekerja. Sedangkan film-film Filipina alternatif sesak oleh gambaran kemiskinan akut, kekerasan, kekumuhan, korupsi, dan sebagainya. Tak ada representasi kehidupan masyarakat kelas menengah dalam sinema Filipina. Namun secara garis besar, baik film mainstream dengan dongeng telenovelanya maupun film alternatif dengan citra kekerasannya, tetap merupakan wujud representasi Filipina [19].
Jawaban dari pertanyaan saya semakin diperjelas oleh tragedi yang menimpa Alexis dan Nika.
Alexis, pemuda dari masyarakat kelas atas Filipina yang membela masyarakat kelas pekerja lewat kritik filmnya, harus pergi di usia semuda itu (Nika sendiri berusia lebih tua dua tahun dari Alexis). Terjangan peluru para perampok merenggut nyawa pasangan ini di dalam rumah mereka di Manila. Kekerasan yang kerap digambarkan dalam film-film alternatif Filipina dan sering ditelaah oleh Alexis pada akhirnya menimpa dirinya dalam bentuknya yang kejam. Namun kepergian mereka seolah menjawab segala kegelisahan dan pertanyaan Alexis yang terlihat dari bagian penutup ‘surat cinta’-nya:
“My dear Nika,
If there has been a single cause of strain that has stuck out in our relationship it is this: the idea of my attachment to the Philippines, the strong desire you see that I have to live and work here, and the way that, perhaps, you see this as a matter of misappropriate priorities. Does a place mean more than a person? Does my work in the Philippines mean more than the possibility of a life with you, somewhere, anywhere else? Must it be you that moves, makes the (I know you hate the word, but let us use it) sacrifice of moving? And what, if anything, does that say about us—that the scales of our love weigh more heavily on your chalice?
I know you’ve come to terms with the idea of moving here, hopefully next year, we discuss—but I still feel the need to talk a bit more about some of my reasons for wanting to stay, at the very least for the meantime. I’m not attempting to compare my affection for Manila with yours for Slovenia, but only to explain the thoughts that go through my head, the things I feel I must do, things that, perhaps, we can do together.”
Tulisan The Letter I Would Love To Read To You In Person ini dimuat di Majalah Rogue pada 15 Juli 2008, sekitar setahun sebelum mereka meninggal dunia. Mereka akhirnya tinggal dan pergi bersama-sama selama-lamanya di ‘sana’, mungkin itu jawaban dari pertanyaan Alexis:
“Does a place mean more than a person? Does my work in the Philippines mean more than the possibility of a life with you, somewhere, anywhere else?”
Catatan Kaki
[1] A reflection; after hearing of Alexis Tioseco’s death ditulis dan dimuat oleh Intan Paramaditha dalam laman Facebook-nya.
[2] The Letter I Would Love To Read To You In Person ini ditulis oleh Alexis Tioseco dan dimuat dalam Rogue Magazine pada 15 Juli 2008.
[3] Asmayani Kusrini, Catatan Dari Festival Film Cannes ke-62, dalam www.rumahfilm.org.
[4] Soal pengaruh proses politik, sosial, dan ekonomi di kawasan Asia Tenggara terhadap pembentukan institusi film diutarakan oleh Eric Sasono di dalam artikel pengantar buku Kandang dan Gelanggang: Sinema Asia Tenggara Kontemporer (Kalam, 2007).
[5] Sasono, ibid.
[6] Di artikel “Revolusi Indonesia dalam Film-Film Indonesia” dalam buku Pantulan Layar Putih (Sinar Harapan, 1991), Salim Said melihat hambatan-hambatan yang dialami para sineas ketika menggambarkan realita dalam film sebaiknya dipandang dari perspektif proses perkembangan suatu bangsa ke arah kedewasaannya. Menurut Said, hal tersebut merupakan gejala dari zaman masing-masing.
[7] Lihat Salim Said, Revolusi Indonesia dalam Film-Film Indonesia dalam Pantulan Layar Putih (Sinar Harapan, 1991); terutama hal. 47-49.
[8] Said, ibid.
[9] Said, ibid.
[10] Lihat Salim Said, Revolusi Indonesia dalam Film-Film Indonesia dalam Pantulan Layar Putih (Sinar Harapan, 1991); terutama hal. 57-58.
[11] Krishna Sen, Indonesian Cinema: Framing the New Order (London and New Jersey: Zed Books Ltd, 1994).
[12] Karl G. Heider, Indonesia Cinema: National Culture on Screen (University of Hawaii Press, 1991).
[13] Krisnadi Yuliawan Saptadi, Membaca Globalisasi dalam Kaca Mata Perang Budaya, dalam www.rumahfilm.org.
[14] Said, ibid.
[15] Artikel ini dimuat dalam Majalah Rolling Stone Indonesia edisi Oktober 2009.
[16] Said, ibid.
[17] Susan Hayward, Cinema Studies: The Key Concept (Routledge, 2000).
[18] Sen, ibid.
[19] Eric Sasono, Sinema Filipina tahun 2009, dalam www.rumahfilm.org.