Konon, Double Indemnity adalah puncak dari sederet film noir yang melanda Hollywood selama dekade 40-an dan 50-an. Ada dua alasan yang menjelaskan kenapa karya Billy Wilder tahun 1944 tersebut disematkan status klasik. Pertama, strukturnya kondisi menjadi cetak biru dari film-film noir setelahnya. Ada laki-laki dengan penderitaan eksistensialnya sebagai protagonis cerita, perempuan dengan segala konspirasinya sebagai femme fatale, dan relasi keduanya yang secara moral ambigu sebagai badan ceritanya. Elemen-elemen tersebut sesuai dengan imajinasi mayoritas penonton Amerika Serikat saat itu, yang akrab dengan kesuraman berkat Perang Dunia II dan popularitas novel kriminal sebagai bacaan waktu senggang.
Setelah Double Indemnity dirilis dan sukses di box office, banyak studio yang berusaha mengimitasinya. Satu kasus yang cukup mencuat adalah Single Indemnity, film produksi Producers Releasing Corporation (PRC), salah satu dari banyak studio film B di Hollywood, yang siap dirilis setahun setelah Double Indemnity. Untungnya, Paramount, studio yang memegang hak cipta Double Indemnity, turun tangan dan secara legal mengajukan keberatan atas film produksi PRC tersebut. Single Indemnity kemudian batal dirilis sesuai jadwalnya, diedit ulang, diganti judulnya menjadi Apology for Murder, dan dirilis sebagai drama televisi di awal tahun 50-an.
Alasan kedua juga berkaitan dengan struktur film Double Indemnity, namun kali ini lebih berkaitan dengan lanskap sosial yang melingkupinya. Waktu Double Indemnity dirilis di bioskop-bioskop, tentara Amerika baru saja pulang dari Perang Dunia II. Selama perang meletus di daratan Eropa, Amerika mengalami transformasi sosial besar-besaran. Para suami meninggalkan kantor dan pabrik demi mengabdi pada negara di medan perang, dan para istri masuk ke dunia kerja demi mengabdi pada keluarga di lapangan kerja. Seusai perang, strata sosial di Amerika kembali normal, namun komponen-komponen masyarakat belum mau beranjak dari kehidupan mereka selama perang. Para suami sudah keburu menikmati kebebasan mereka selama perang, dan ogah kembali berkutat di siklus jam kerja di kantor dan pabrik. Di sisi lain, para istri menikmati hidup mereka sebagai perempuan independen, yang punya reputasi di luar rumah, sesuatu yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Terpaksanya para suami kembali ke lapangan kerja dan istri ke lingkungan domestik menciptakan kegelisahan besar-besaran. Kegelisahan tersebut yang secara sempurna digambarkan dalam Double Indemnity. Film tersebut menggambarkan bagaimana formasi keluarga di Amerika mengalami perkembangan yang pelikdi perekonomian pasca perang. Tulisan ini bertujuan mendedah bagaimana Double Indemnity memvisualisasikan perubahan konstruksi keluarga tersebut dalam struktur filmnya.
Di Balik Layar
Sebelum masuk ke pembahasan mengenai film Double Indemnity itu sendiri, perlu diketahui materi serta kejadian-kejadian yang melatari produksi film tersebut. Pemahaman tersebut berguna bagi pemetaan relasi antara Double Indemnity dan pengaruh fenomena sosial di jamannya. Materi yang menjadi basis film produksi 1944 tersebut adalah novel Double Indemnity karya James M. Cain, yang bercerita tentang seorang penjual asuransi yang jatuh cinta dengan istri kliennya. Karena bosan dan tergiur dengan uang yang bisa ia dapatkan, perempuan tersebut ingin membunuh suaminya. Si penjual asuransi setuju membantunya, dan petualangan keduanya pun berlangsung. Cain mendapat ide untuk novelnya dari kejadian serupa di dunia nyata. Pada tahun 1927, Ruth Snyder, seorang perempuan New York, membunuh suaminya dan menuntut ganti rugi ke perusahaan asuransi atas kematian suaminya. Cain, yang menghadiri pengadilan perempuan New York tersebut, mencari tahu lebih detail perihal pembunuhan tersebut. Dia mendapati bahwa Ruth bertindak demikian atas bantuan selingkuhannya, yang sudah memanipulasi data asuransi atas nama suaminya. Cain tertarik menulis ulang kasus tersebut. Dia reka ulang kasus pembunuhan tersebut menjadi misteri kriminal dengan sentuhan melodrama rumah tangga.
Pada tahun 1936, Cain akhirnya merilis Double Indemnity ke publik Amerika. Pada rilisan pertamanya tersebut, Double Indemnity berwujud sebagai cerita bersambung yang diterbitkan dalam delapan edisi majalah Liberty. Tujuh tahun kemudian, Cain menyunting kembali cerita bersambungnya tersebut, dan menjadikannya satu cerita panjang. Cikal bakal novel tersebut kemudian ia publikasikan dalam buku Three of a Kind, yang turut mengkompilasi dua cerita pendek karya Cain. Dalam tiga bulan, buku tersebut menduduki peringkat pertama tangga penjualan buku di Amerika.
Kesuksesan Double Indemnity sontak menarik perhatian para produser di Hollywood. Kesuksesan Maltese Falcon pada tahun 1941 memulai siklus film kriminal, yang nantinya lebih dikenal sebagai film noir, di Hollywood. Ditambah lagi dengan banyaknya pemberitaan kejadian kriminal di koran-koran, dan populernya novel kriminal di kalangan kelas pekerja Amerika. Di mata para produser, Double Indemnity jelas punya potensi ekonomi yang tinggi. Hanya dalam periode satu minggu, MGM, Warner Bros, Paramount, 20th Century Fox dan Columbia bersaing menawarkan harga tinggi pada Cain. Menanggapi ketertarikan para studio besar atas novelnya, Cain berkomentar, “Para produser paham kalau faktanya banyak kejahatan terjadi di jalanan, tapi sedikit film bagus yang menyorot fenomena tersebut. Novel saya jelas akan jadi film yang disukai publik. Penonton sudah bosan dengan melodrama murahan, di mana lewat pertengahan film mereka akan berteriak-teriak minta ganti film. Mereka sudah tahu siapa penjahatnya.”
Cain benar. Double Indemnity memang nantinya menjadi film yang disukai publik. Masalahnya, sebelum film tersebut diproduksi, Cain sudah tidak lagi percaya dengan Hollywood. Ia pernah terlibat dalam produksi film Hollywood, dan mengaku tidak nyaman dengan segala tekanan yang harus ia hadapi. Konsekuensinya: Cain urung terlibat. Pada tahun 1943, Cain mengijinkan Paramount membeli hak adaptasi bukunya seharga $25.000, namun menolak menandatangani kontrak kerja dengan Paramount. Tanpa keterlibatan Cain, Paramount kekurangan tenaga ahli untuk menerjemahkan Double Indemnity ke layar lebar. Bila dibandingkan kesulitan yang akan menghadapi Paramount berikutnya, penolakan Cain sebenarnya masalah yang sepele. Pasalnya, pasca tersiarnya kabar pembelian hak adaptasi Double Indemnity oleh Paramount, pemerintah jadi gusar. Pemerintah khawatir film-film kriminal bakal mendominasi bioskop, dan merusak moral masyarakat Amerika. Apalagi, dua tahun setelah Maltese Falcon, ada The Shadow of a Doubt karya Alfred Hitchcock. Film tersebut merupakan salah satu film terlaris di jamannya. Tidak heran kalau kemudian kehausan penonton Amerika akan film kriminal tersulut. Masalahnya, dengan terlibatnya Amerika di Perang Dunia II, pemerintah menekan Hollywood untuk memproduksi hiburan-hiburan yang positif. Dalam kasus ini, positif berarti mempromosikan patriotisme dan mendukung citra Amerika sebagai negara yang bermoral. Tidak heran kalau yang terjadi kemudian adalah tidak turunnya ijin dari pemerintah ke Paramount untuk memproduksi naskah Cain. Double Indemnity pun tertunda produksinya.
Memasuki tahun 1944, sikap pemerintah terhadap film-film kriminal tidak juga melunak. Pengajuan ijin mereka yang kedua juga ditolak pemerintah, namun Paramount memilih untuk maju terus. Baru ketika Double Indemnity sedang diproduksi, pemerintah akhirnya mengijinkan Paramount merilis filmnya, dengan syarat Paramount melakukan beberapa perubahan minor dalam naskahnya. Soal naskah, Paramount telah menemukan solusinya. Adalah Raymond Chandler yang dipercayai Paramount untuk mengolah novel James M. Cain. Pemilihan Chandler sebagai substitusi Cain adalah sebuah keputusan yang bijak, aman sekaligus pragmatis. Pasalnya, Chandler adalah bagian dari trinitas penulis kriminal di Amerika, di mana dua lainnya adalah James M. Cain dan Dashiell Hammett. Dalam kasus Double Indemnity, Chandler dianggap Paramount dapat mengganti tempat Cain karena keduanya memiliki latar belakang yang sama. Keduanya pernah terlibat dalam dunia militer, dan keduanya sekali jadi tentara relawan dalam perang. Dalam karier penulisannya, keduanya sering menulis berdasarkan kejadian nyata yang mereka temukan dalam koran, dan mengembangkannya menjadi narasi panjang suatu drama kriminal.
Satu-satunya faktor yang membedakan Cain dan Chander adalah gaya penceritaannya. Cain, meski karya-karyanya dikategorikan sebagai misteri kriminal, lebih berfokus pada drama. Mayoritas protagonis ceritanya adalah orang biasa, yang kebetulan melakukan tindakan kriminal. Rasa bersalah pasca melakukan tindakan kriminal yang dikembangkan Cain sebagai tulang punggung naratifnya. Kecenderungan karakterisasi tersebut dapat dideteksi dalam bibliografinya Cain. Mulai dari The Postman Always Rings Twice (1934), Mildred Pierce (1941), The Root of His Evil (1951), The Magician’s Wife (1965) hingga Cloud Nine (1984), Cain konsisten menggunakan orang-orang biasa sebagai protagonisnya. Bagi Cain, kejahatan adalah naluri yang sejak lahir ada dalam alam bawah sadar manusia. Kondisi dan kesempatan yang memungkinkan naluri tersebut bangkit, dan mendorong manusia untuk bertindak di luar garis hukum.
Berbeda dengan Cain, Chandler adalah penulis cerita detektif murni. Protagonisnya adalah detektif yang memang menginvestigasi suatu kasus kriminal. Dalam investigasinya, si detektif menghadapi banyak komplikasi, mulai dari pertemuannya dengan femme fatale, hingga pengkhianatan yang dilakukan femme fatale. Faktor yang membuat Chandler dengan penulis cerita detektif lainnya adalah ambiguitas moral yang terkandung dalam protagonisnya. Meski bekerja membongkar kasus kriminal, suatu aktivitas yang normalnya berada di dalam garis hukum, detektif dalam cerita Chandler memilih untuk memakai metodenya sendiri. Konsekuensinya: detektif dalam cerita Chandler tidak segan terlibat dalam hubungan tidak senonoh dengan femme fatale, dan membunuh orang ketika keselamatan dirinya terancam. Chandler mendesain protagonisnya sebagai individu yang menolak bernegosiasi dengan hukum, walaupun dia seharusnya bertindak demikian. Ada tuntutan hukum atau tidak, tindakannya selalu berlandaskan kepentingan dirinya sendiri.
Perbedaan gaya bercerita Cain dan Chandler tersebut berpengaruh pada kualitas formal film Double Indemnity. Novelnya sendiri mengusung naratif alur maju dengan sudut pandang orang pertama. Seluruh kejadian dilihat dari sudut pandang Walter Neff, penjual asuransi yang menjadi protagonis Double Indemnity. Dalam mengadaptasi novel tersebut ke layar lebar, Chandler melakukan dua perubahan. Perubahan pertama adalah struktur temporalnya. Naratif dalam film tidak berjalan maju layaknya di novel. Sebaliknya, Chandler memotong kejadian-kejadian yang dialami Neff, dan menyusunnya kembali dalam naratif maju-mundur. Kalau dalam novel, Neff mengawali ceritanya dengan menawarkan asuransi ke kliennya. Dalam film, Neff terlihat masuk ke kantornya pada malam hari. Sesampainya di dalam kantor, dia menceritakan kembali kejadian-kejadian yang dia alami ke sebuah mesin perekam. Pola ceritanya jadi bolak balik antara Neff bercerita ke mesin perekam, dan adegan-adegan yang memvisualisasi kejadian yang dialami Neff.
Dengan struktur temporal yang maju-mundur, Chandler menjadikan Neff sebagai orang biasa yang menginvestigasi kasusnya sendiri. Dengan kata lain, apa yang tadinya protagonis orang biasa versi Cain berubah menjadi detektif versi Chandler dalam film. Inilah perubahan kedua yang dilakukan Chandler. Setiap awal adegan kejadian yang dialaminya, Neff menarasikan ambiguitas moral yang ia hadapi. Ia sadar dirinya sedang bertindak di luar batas yang ditentukan hukum. Namun, apa daya, pembunuhan sudah terjadi dan Neff siap bertanggung jawab atas pilihannya. Konsekuensinya: setiap baris pengakuan yang Neff ucapkan ke mesin perekam menjadi pisau bedah atas anatomi kesalahannya sendiri. Pada pola cerita tersebut, film Double Indemnity merangkai narasinya.
Pengakuan, Kilas Balik, dan Konstruksi Keluarga
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, modus naratif Double Indemnity berporos pada pengakuan protagonis cerita ke sebuah mesin perekam suara di kantornya. Pengakuan tersebut nantinya yang menjadi penjelas dari segala visualisasi kejadian yang ada dalam plot film. Sebagai sebuah bentuk narasi, pengakuan (confession) bersifat personal, atau setidaknya mempunyai cakupan yang sangat lokal. Semua kejadian didikte oleh seorang narasumber, yang dilihat dari sudut pandang personal dan mau tidak mau berkaitan dengan kepentingan pribadi tersebut. Berkaitan dengan kepentingan penelitian ini, sistem naratif haruslah dibedah dari pilar-pilar penyokongnya. Apabila pengakuan, sebagai sebuah bentuk narasi yang sifatnya personal, merupakan modus narasi dari Double Indemnity, maka hal pertama yang harus dibahas adalah karakteristik dasar protagonisnya. Analisis protagonis kemudian akan membuka tingkap-tingkap wawasan yang lebih luas perihal Double Indemnity.
Protagonis Double Indemnity adalah Walter Neff: seorang pekerja kantor asuransi, dengan pendapatan stabil, dan tidak punya tanggungan keluarga. Sejak awal film, Neff digambarkan dalam kondisi tidak stabil. Hal ini terlihat dari gambar pertama yang penonton lihat dalam Double Indemnity, yakni siluet seorang laki-laki bertopi bundar, yang jalannya pincang dengan sepasang tongkat penyokong. Gambar tersebut kemudian berganti ke sekuens pembuka film, saat penonton melihat Walter Neff pada suatu malam berjalan lemas ke dalam kantornya. Pada titik ini, penonton belum tahu apa motivasi protagonis masuk kantornya. Sekuens adegan tersebut terjadi di malam hari, ketika tidak ada orang dalam kantor Neff, kecuali pegawai penjaga pintu. Neff masuk ke dalam ruang kerja, menyalakan mesin perekam suara, kemudian bercerita tentang masalahnya. Pada adegan terakhir tersebut, penonton dapat melihat atribut Neff sama dengan siluet laki-laki pincang di awal film. Asosiasi antara siluet laki-laki pincang dan Neff pun tercipta. Bedanya hanya satu: Neff tidak berjalan dengan tongkat penyokong, walau jalannya sama-sama pincang.
Pada titik ini, informasi yang diketahui penonton adalah protagonisnya baru saja melewati sebuah masalah. Masalah tersebut yang kemudian diceritakan Neff melalui pengakuannya ke mesin perekam. Pengakuan Neff ditujukan pada teman kerjanya bernama Barton Keyes. Keyes adalah seorang manajer klaim, yang menentukan klaim asuransi mana yang benar dan mana yang salah. Dia yang menjaga perusahaannya menghamburkan uang untuk klaim asuransi yang salah. Keyes siap mengerjakan pekerjaan seorang detektif dan menganalisa apakah suatu kecelakaan benar-benar terjadi, atau hanya rekayasa orang-orang yang ingin cari uang saja. Neff dan Keyes sudah kenal dan bekerja sama selama 11 tahun. Dalam film, kedekatan keduanya tergambar dari tindakan Neff mengeluarkan korek untuk menyalakan cerutu Keyes. Sepanjang film, gestur Neff ke Keyes tersebut terus berulang, dan memperoleh affirmasinya di akhir film.
Ada serangkaian kalimat kunci dalam narasi pembuka pengakuan Neff, yakni “Yes, I killed him. I killed him for money and a woman. And I didn’t get the money and I didn’t get the woman. Pretty, isn’t it?” Dalam rangkaian kalimat tersebut, terdapat empat potongan informasi yang penonton terima: uang, pembunuhan, perempuan, dan kegagalan usaha protagonis. Keempat potongan informasi tersebut jelas memainkan ekspetasi penonton tentang kejadian-kejadian dalam Double Indemnity. Pada level dasar, penonton setidaknya tahu bahwa film akan bercerita seputar usaha protagonis membunuh seorang laki-laki demi uang dan seorang perempuan, dan protagonis gagal. Hal yang belum penonton ketahui adalah caranya bagaimana dan kenapa protagonis bisa gagal. Dua pertanyaan tersebut yang kemudian satu per satu terjelaskan dalam naratif maju-mundur Double Indemnity, yang mengandung empat kilas balik (flashback). Tiga kilas balik pertama masing-masing berdurasi sekitar 22 sampai 30 menit, sementara yang terakhir berdurasi 12 menit. Masing-masing kilas balik memiliki wacananya sendiri tentang konstruksi keluarga dalam Double Indemnity.
Rumahmu, Penjaramu
Kilas balik pertama dalam Double Indemnity berfungsi layaknya babak pertama dalam struktur cerita tiga babak, yakni sebagai persiapan cerita (setup). Berdasarkan sudut pandang Neff, plot film pun mundur ke masa lampau. Adegan pertama yang penonton lihat adalah Neff mengunjungi rumah Mr. Dietrichson, salah satu kliennya. Pada adegan tersebut, Neff pertama kali bertemu dengan Phyllis Dietrichson, istri kliennya. Dilihat dari komposisi ruangnya, pertemuan pertama Neff dengan Phyllis menyiratkan ketidakseimbangan. Neff berada dekat pintu masuk di lantai bawah, sementara Phyllis di lantai atas. Phyllis berada lebih tinggi dari Neff. Dalam kondisi tidak seimbang tersebut, keduanya berkenalan. Posisi yang tidak seimbang tersebut menjadi petunjuk bagi prospek relasi mereka ke depan, di mana Phyllis secara metafor akan selalu berada di atas Neff.
Selagi menunggu Phyllis bersiap dan turun ke bawah, Neff masuk ke ruang tamu kediaman Dietrichson. Di sana, dia menunggu sembari menganalisa perabot-perabot yang ada di sekitarnya. Ruang tamu dalam bahasa Inggris adalah living room. Bila dipahami secara harafiah, living room berarti ‘ruang untuk hidup’, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Dalam konteks Double Indemnity, pemahaman ruang tamu sebagai ruang untuk hidup masuk akal, mengingat di ruangan tersebut Neff mempelajari detail-detail kehidupan keluarga Dietrichson. Sampai film berakhir, ruang tamu adalah satu-satunya tempat dalam rumah keluarga Dietrichson yang menampilkan segala aktivitas keluarga Dietrichson dan interaksi Neff dengan Phyllis. Detail pertama yang Neff ketahui adalah Phyllis ternyata merupakan istri kedua dari Mr. Dietrichson. Istri pertama sudah lama meninggal, tapi sempat melahirkan seorang anak perempuan. Dalam film informasi tersebut dari dua foto yang ada di atas piano di ruang tamu. Foto pertama adalah Mr. Dietrichson, foto kedua adalah Lola. Tidak ada foto Phyllis.
Ketiadaan foto Phyllis di ruang tamu menyiratkan seberapa signifikan posisinya dalam keluarga Dietrichson. Sebagai tempat dalam rumah yang biasa dikunjungi oleh orang-orang di luar lingkar keluarga, ruang tamu secara umum menjadi etalase dari keluarga yang mendiami rumah tersebut. Sebagai sebuah etalase, ruang tamu tentunya dapat menandakan macam-macam, namun semuanya berujung ke satu hal: affirmasi keberadaan anggota keluarga. Mr. Dietrichson hanya menganggap Lola, anaknya dari istrinya yang pertama, ada. Phyllis dianggap tidak ada, atau lebih tepatnya, ada tapi tidak bermakna.
Menjadi menarik kemudian melihat dua adegan Neff dan Phyllis di ruang tamu kediaman Dietrichson dalam kilas balik pertama. Dalam kedua adegan tersebut, terdefinisikan posisi Phyllis dalam naratif Double Indemnity. Adegan pertama terjadi beberapa menit setelah pertemuan pertama Phyllis dengan Neff. Sebagai seorang penjaja program asuransi, Neff tentunya langsung menawarkan dagangannya. Sembari melakukan pekerjaannya, Neff pun menggoda Phyllis. Jawaban yang ia dapat adalah penolakan, yang disertai dengan pertemuan satu kali lagi di tempat yang sama. Pada titik ini, Phyllis masih menjaga statusnya sebagai istri orang, walau keberadaannya secara afektif tidak diakui. Adegan berikutnya merupakan pertemuan kedua Phyllis dan Neff. Kali ini, Phyllis bertindak lebih aktif. Dia banyak bertanya soal program asuransi ke, yang dijawab dengan cergas oleh Neff. Namun, Neff mulai curiga dengan pertanyaan Phyllis soal asuransi kecelakaan. Neff menuduh Phyllis ingin membunuh suaminya, lalu kabur membawa uang dari asuransi. Phyllis mencoba mengelak, namun Neff yakin pada instingnya. Neff pun keluar rumah, merasa jijik dengan niat Phyllis. Pada titik ini, Phyllis terkesan punya agenda sendiri. Sederhananya, Phyllis mengaffirmasi perannya sebagai femme fatale ke penonton.
Rencana Phyllis membunuh suaminya yang tadinya tersirat akhirnya terkonfirmasi melalui dua hal. Pertama, secara gamblang, dalam adegan terakhir di kilas balik pertama. Adegan tersebut terjadi di apartemennya Neff. Tanpa diduga, Phyllis menemukan tempat tinggal Neff. Dia masuk dan mengaffirmasi niat membunuh suaminya. Neff awalnya menolak, tapi tidak bisa menyembunyikan perasaannya ke Phyllis. Mereka pun bercumbu. Pasca momen sentimentil tersebut, Phyllis cerita tentang suaminya, yang selalu marah setiap Phyllis belanja, dan hanya peduli pada kesejahteraan hidup Lola. Walaupun melibatkan uang, pembunuhan yang Phyllis rencanakan sebenarnya adalah usahanya untuk membebaskan dirinya.
Affirmasi kedua terjadi lebih subtil, yakni melalui pencahayaan dua adegan rumah tamu Neff dan Phyllis. Kedua adegan tersebut divisualisasi melalui teknik pencahayaan Venetian blind lighting. Dalam prakteknya, teknik tersebut melibatkan sorotan lampu yang ditabrakkan ke kontur-kontur di jendela. Hasilnya: tercipta bayangan seperti jeruji penjara di tembok dan badan karakter. Menurut John F. Seitz, sinematografer Double Indemnity, teknik tersebut untuk membingkai karakter. Efeknya ke penonton adalah kondisi tertekan dan terjebak. Dibingkai dalam Venetian blind lighting, ruang tamu dalam Double Indemnity menjadi semacam ‘penjara’ bagi karakter-karakter yang mendiaminya. Bagi Phyllis, satu-satunya jalan keluar dari ‘penjara’ tersebut adalah dengan membunuh suaminya, orang yang punya kuasa atas ruang tersebut, yang berarti juga berkuasa atas ruang-ruang yang lebih privat dalam rumah tersebut.
Pembunuhan dalam Double Indemnity memiliki dua muatan makna. Bagi femme fatale, pembunuhan bermakna jalan menuju kebebasan domestik. Bagi protagonis laki-laki, pembunuhan berarti petualangan romantik. Makna keduanya berbeda, namun berujung pada satu hal yang sama: kegelisahan eksistensial. Kegelisahan eksistensial adalah fenomena personal, yang dalam prakteknya harus dinegosiasikan dengan lanskap moral dan sosial di sekitarnya. Tidak semua kegelisahan eksistensial bisa dituntaskan, karena beberapa berpotensi mengingkari jaring pengaman yang selama ini terjaga oleh konstelasi moral dan status sosial individu. Berarti, ada pilihan lain yang tersedia bagi Neff dan Phyllis. Phyllis tidak harus membunuh suaminya. Neff juga tidak harus membantu Phyllis dan membahayakan hidupnya sendiri. Keduanya bisa saja menanggung kegelisahan masing-masing dan membiarkan hidup berjalan seperti sebelum-sebelumnya. Namun, mereka memilih untuk melakukan sebaliknya. Usaha mereka itulah yang dikronologikan dalam kilas balik kedua.
Konsensus Sosial Versus Keinginan Individual
Kilas balik kedua berfungsi sebagai komplikasi plot (plot complication). Pada bagian ini, konflik cerita mulai berkembang. Sekuens pembukanya adalah adegan Phyllis dan Neff bermesraan di ruang tamu apartemen Neff. Adegan penutup sekuens adalah Neff di jendela apartemennya melihat Phyllis pergi. Sekuens tersebut menegaskan bahwa setiap kilas balik dalam Double Indemnity merupakan opini seorang laki-laki. Ia bersifat maskulin, dan melihat segala hal dari kebutuhan dan kerangka referensi seorang laki-laki. Di satu sisi, terpetakan sebuah relasi yang berulang sampai akhir film, yakni analisis satu arah dari Neff ke Phyllis, dari protagonis laki-laki ke femme fatale. Di sisi lain, apabila melihat kembali awal pertemuan mereka, analisis tersebut terjadi di tengah relasi yang tidak imbang antara Neff dan Phyllis. Phyllis meminta Neff untuk mebantu rencana pembunuhannya, yang berpotensi membahayakan hidup Neff sendiri. Phyllis sebagai femme fatale mendorong protagonis laki-laki ke dalam agendanya sendiri, sementara protagonis laki-laki hanya mampu menganalisa perempuan dari jarak tertentu. Dalam kerangka tersebut, relasi laki-laki dan perempuan dalam Double Indemnity terdefinisikan. Dalam kerangka itu juga, detail-detail pembunuhan dalam Double Indemnity memperoleh maknanya sendiri.
Pembunuhan yang dijalankan Neff dan Phyllis membutuhkan tanda tangan Mr. Dietrichson. Neff berharap bisa menjebak suami Phyllis untuk menandatangani kontrak asuransi kecelakaan, tanpa sepengetahuan Mr. Dietrichson sendiri. Dengan begitu, Neff dan Phyllis dapat membunuh Mr. Dietrichson, dan mendapatkan uang dari tindakan kriminal tersebut. Peniupuan Mr. Dietrichson terjadi di adegan kedua di kilas balik kedua. Lokasinya di ruang tamu kediaman Dietrichson. Penipuan tersebut berhasil, yang artinya Phyllis sukses membuat suaminya dalam kapasitas tertentu menggali kuburnya sendiri. Kondisi keluarga yang sudah terjadi, yakni antara Phyllis dan Mr. Dietrichson yang sejak awal sudah berstatus menikah, tereduksi ke sebuah pengkhianatan dan sekantong uang yang menyertainya. Kondisi keluarga yang belum dan mungkin terjadi, yakni antara Neff dan Phyllis yang berharap bisa bersama setelah semuanya selesai, dipantik oleh aktivitas bersama yang dilumuri oleh darah orang lain.
Dilihat dari simbol-simbol yang menyertai Neff dan Phyllis, potensi kondisi keluarga di antara mereka berlawanan dengan konsensus sosial lingkungannya. Maksudnya, potensi kondisi keluarga mereka berdasar pada individualitas, sementara lingkungan sosial lebih mengakui kolektivitas. Di adegan ketiga di kilas balik kedua, Neff mendapat tawaran kerja yang lebih bergengsi dari Keyes. Neff menolaknya mentah-mentah. Neff mengaku dia hanya termotivasi oleh aspek finansial dari pekerjaannya. Walau lebih bergengsi, pekerjaan baru yang ditawarkan tersebut mengharuskan Neff turun gaji sebesar $50. Neff jelas tidak mau. Ketika disarankan sebaiknya menikah agar paham dengan signifikansi pekerjaan baru tersebut, Neff menolak dan menyatakan tidak tertarik untuk berkeluarga. Neff malah balik mempertanyakan Keyes, yang juga sama-sama belum menikah dan tidak tertarik untuk keluarga.
Simbol yang menyertai Phyllis lebih subtil. Di adegan keempat dalam kilas balik kedua, Phyllis terlihat belanja di sebuah mini market. Sebenarnya Phyllis hanya mencari tempat netral, agar ia tidak dicurigai saat bertemu dengan Neff. Di lorong makanan bayi, Phyllis dan Neff pun bertemu dan berbisik perihal perkembangan rencana pembunuhan mereka. Selama mereka bicara, kamera membingkai Phyllis di dekat dengan papan bertuliskan baby food, seakan-akan mengasosiasikan status Phyllis sebagai ibu rumah tangga dan rutinitas yang seharusnya ia lakukan. Selain itu, ada dua interupsi yang memotong pembicaraan mereka. Keduanya adalah ibu rumah tangga, yang berhenti di antara mereka untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Interupsi tersebut menjadi semacam kontras antara Phyllis yang berniat membunuh suaminya sendiri untuk kepentingan pribadi, dan ibu-ibu rumah tangga biasa yang mencoba menjaga keluarganya.
Individualitas Neff dan Phyllis direkatkan oleh darah Mr. Dietrichson, yang mengucur setelah dibunuh oleh Neff. Pembunuhan tersebut membawa implikasinya sendiri, dan secara signifikan mempengaruhi relasi Neff dan Phyllis. Keduanya adalah satu-satunya potensi kondisi keluarga dalam Double Indemnity. Masalahnya, pembunuhan Mr. Dietrichson hanya semakin memerosokkan Neff dan Phyllis ke dalam individualitasnya masing-masing. Phyllis punya rencananya sendiri, sementara Neff gerah dengan perasaan waswas setelah Keyes berniat menginvestigasi kasus kematian Mr. Dietrichson. Potensi kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis tersebut yang dipertanyakan dalam kilas balik ketiga.
Formasi Keluarga di Tengah Paranoia
Sama seperti kilas balik sebelumnya, kilas balik ketiga juga berfungsi sebagai komplikasi plot (plot complication), dengan persiapan menuju klimaks cerita (climax). Adegan pertama dari kilas balik ketiga terjadi di kantor Neff. Di sana, Keyes mengajak Neff untuk menemui bos mereka, untuk membicarakan kasus kematian Mr. Dietrichson. Di luar dugaan, atas undangan bos Neff dan Keyes, Phyllis datang di tengah-tengah pembicaraan mereka. Pada adegan inilah, Neff dan Phyllis harus memainkan perannya masing-masing, untuk menjaga kelanggengan hubungan mereka. Neff bersikap layaknya penjual program asuransi, sementara Phyllis sebagai seorang janda yang baru saja kehilangan suaminya. Mereka pura-pura tidak saling kenal akrab, supaya Keyes dan bosnya tidak curiga. Pengelabuan pun sukses. Bos mereka beranggapan bahwa Mr. Dietrichson bunuh diri, sementara Keyes tidak curiga kalau ada orang luar yang terlibat dalam kematian Mr. Dietrichson. Keyes secara tidak langsung malah mendukung kausa Neff dan Phyllis, dengan mengatakan bahwa kematian Mr. Dietrichson bukanlah bunuh diri. Menurut Keyes, Mr. Dietrichson benar-benar kecelakaan, dan perusahaan harus membayar Phyllis karena kontrak asuransi mereka dengan suaminya.
Kesuksesan Neff dan Phyllis mengelabui Keyes dan bosnya ternyata hanya membawa masalah baru. Dalam adegan-adegan berikutnya, Neff dan Phyllis kesulitan bertemu layaknya mereka biasa bertemu. Keduanya harus saling sembunyi, karena Keyes berniat mengawasi Phyllis setiap hari sampai ia menemukan petunjuk lain soal kematian Mr. Dietrichson. Pada titik inilah, potensi kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis mulai meredup. Satu-satunya penanda hubungan mereka di mata publik adalah pembunuhan Mr. Dietrichson. Di luar itu, tidak ada penanda lain, yang secara legal dan moral lebih sesuai dengan lanskap sosial di lingkungan mereka. Keduanya hanya bisa bertemu diam-diam di tempat netral, alias di sebuah mini market di adegan terakhir di kilas balik ketiga. Pada adegan tersebut, hubungan mereka berevolusi dari afektif ke destruktif. Keduanya mencurigai satu sama lain. Neff khawatir Phyllis punya agenda sendiri, dan sebaliknya. Pembunuhan Mr. Dietrichson menjadi pisau yang bisa digunakan untuk Neff atau Phyllis untuk menikam satu sama lain. Masalahnya, kondisi memihak pada Phyllis, si femme fatale. Dia bisa saja membeberkan fakta tentang keterlibatan Neff tanpa beban. Phyllis bisa berdalil bahwa dia berada di pihak yang rugi, karena dia baru saja kehilangan seorang suami. Adegan pertemuan Phyllis dan Neff, di mana femme fatale berada di atas protagonis laki-laki, terdengar lagi gaungnya.
Di pihak yang lain, Neff tidak punya alasan yang kuat untuk mendukung dirinya sendiri nanti kalau buka mulut soal Phyllis. Dia yang mengkonsep pembunuhan Mr. Dietrichson. Berkat pengetahuannya soal bisnis asuransi, dia tahu bagaimana cara mendesain sebuah kematian yang sempurna, sebuah kematian yang tidak akan terlihat salah di mata manajer klaim macam Keyes. Informasi yang dia punya soal Phyllis juga terlalu rahasia, dan hanya bisa diakses oleh orang-orang berpengalaman macam Neff. Phyllis boleh jadi yang punya ide untuk membunuh suaminya, namun di lapangan Neff akan selalu terlihat lebih salah dari Phyllis. Pembunuhan yang awalnya menyatukan Neff dan Phyllis malah tidak membebaskan keduanya. Keduanya malah makin terjebak dalam paranoia masing-masing.
Semakin Akrab Menjelang Kematian
Kilas balik keempat merupakan resolusi cerita (resolution), di mana potensi kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis dipertaruhkan di titik klimaks (climax), dan berlanjut ke kejadian-kejadian pasca klimaks (aftermath). Kilas balik yang satu ini dimulai dengan perkembangan terbaru soal kematian Mr. Dietrichson. Di adegan pertama, Keyes memanggil Neff dan bilang kalau dia menemukan orang ketiga dalam kasus Mr. Dietrichson. Menurut Keyes, orang ketiga itu adalah Nino Zachetti, pacarnya Lola. Neff curiga kalau Keyes hanya pura-pura dan sebenarnya tahu kalau Neff adalah pelaku sebenarnya. Neff pun menunggu Keyes pergi, dan diam-diam mengendap ke kantor Keyes. Adegan ini direkam dengan teknik pencahayaan Venetian blind. Metafora penjara kini diterapkan pada tempat kerjanya Neff. Dia terjebak dalam pekerjaannya sendiri, dan dia harus mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Neff memutuskan untuk menelpon Phyllis dan mengajaknya untuk bertemu.
Pertemuan Neff dan Phyllis menjadi klimaks cerita Double Indemnity. Kejadiannya mengambil tempat di ruang tamu kediaman Dietrichson. Awalnya, penonton melihat kejadian yang tidak diketahui oleh Neff, yakni Phyllis menyelipkan sepucuk pistol di balik sofa. Ketika Phyllis mematikan lampu dan menunggu di ruang tamu untuk bertemu Neff, penonton melihat bahwa cahaya di ruangan tersebut bercorak layaknya jeruji penjara. Pencahayaan Venetian blind lagi-lagi diterapkan. Kali ini bukan ruang yang diterapkan metafora penjara, melainkan potensi kondisi keluarga antara Neff dan Phyllis. Neff masuk dan bicara dengan Phyllis. Dia bilang dia mau meninggalkan Phyllis, dan akan melimpahkan pembunuhan tersebut ke Zachetti. Phyllis tidak setuju dan menembak Neff ketika dia sedang lengah. Tembakan tersebut menandai kematian potensi kondisi keluarga di antara mereka berdua. Keduanya bukan lagi pasangan, tapi sepasang individu yang tidak segan menyingkirkan satu sama lain, demi keluarnya salah satu dari kondisi mereka yang ternyata saling mengekang.
Neff tidak langsung mati dari tembakan Phyllis. Dia hanya terluka parah dan sukses merebut pistol Phyllis. Layaknya femme fatale dalam setiap film noir, Phyllis memanfaatkan aura fisiknya untuk menggoda Neff, dan melupakan semua yang baru saja terjadi. Neff tidak percaya dan menembak Phyllis dua kali. Femme fatale tersebut pun tewas. Setelah kejadian ini, film membaur ke masa sekarang, di mana Neff selesai menceritakan semua keterlibatannya di kasus Mr. Dietrichson ke mesin perekam suara. Pada titik ini, terjelaskan sudah kenapa Neff masuk ke kantor dengan jalan pincang. Ia berusaha menahan sakit dari luka tembakan Phyllis. Usai menutup pengakuannya ke mesin perekam, Neff balik badan dan melihat ke arah kamera. Kamera pindah sudut pandang mewakili mata Neff, dan terlihat Keyes berdiri dengan tampang datar. Keyes mencoba memanggil ambulans, tapi Neff mencegahnya. Neff memilih untuk kabur, dan memulai hidup baru di tempat lain.
Dalam perjalanannya keluar kantor, Neff jatuh. Dia sudah tidak tahan lagi menahan sakit dari luka tembakan Phyllis. Pada titik ini, terdengan suara Keyes menelfon ambulans. Neff berbaring kesakitan di pintu, dan Keyes pun datang menghampirinya. Neff mengeluarkan korek untuk mencoba menyalakan rokok di mulutnya, tapi kesulitan. Keyes pun mengambil korek dan menyalakan rokok di mulut Neff. Gestur ini merupakan balasan dari gestur Neff selama ini menyalakan cerutu Keyes. Gestur tersebut juga menjadi affirmasi dari relasi Neff dan Keyes yang tetap seperti biasanya, walaupun sudah terinterupsi oleh Phyllis dan kasus Mr. Dietrichson. Ketika akhirnya Double Indemnity berakhir beberapa detik kemudian, tidak seperti relasi-relasi lainnya dalam film tersebut, relasi profesional protagonis dengan teman kerjanya adalah satu-satunya relasi yang sampai akhir cerita tetap utuh. Keluarga dan cikal bakalnya hanya menyisakan nama.
Double Indemnity | 1944 | Sutradara: Billy Wilder | Negara: Amerika Serikat | Pemain: Fred MacMurray, Barbara Stanwyck, Edward G Robinson, Porter Hall, Jean Heather, Tom Powers, Byron Barr