Festival Film Purbalingga, Sebuah Perjalanan

fest-film-purbalingga-perjalanan_hlgh

Geliat film pendek di Purbalingga, kabupaten kecil di Jawa Tengah bagian barat, dimulai pada 2004 setelah beberapa anak muda setempat mulai memproduksi film-film pendek. Sebelumnya, anak-anak itu bergiat dalam panggung teater sejak 1994. Film pendek tampaknya menjadi pilihan tepat setelah pasca-Reformasi karena teater seperti kehilangan giginya. Pemutaran film-film pendek di Jakarta memancing anak-anak muda Purbalingga memproduksi film di kampung halamannya. Oleh para pembuatnya, film-film ini diputar ke sekolah-sekolah setingkat SMP dan SMA di Purbalingga untuk diapresiasi. Tidak lupa film-film itu dikirim untuk diapresiasi di luar Purbalingga, salah satunya ke Pesta Sinema Indonesia (PSI) di Purwokerto.

Kegiatan produksi dan pemutaran film selama dua tahun ini ternyata memancing pelajar tak hanya menyukai film-film pendek. Sebagian dari mereka bahkan ingin mencoba membuat film. Fasilitasi produksi film pendek pelajar pun mulai dilakukan. Karena itu, pada 4 Maret 2006, para pegiat film pendek di Purbalingga bersepakat membentuk komunitas bersama bernama Cinema Lovers Community (CLC). Kegiatan CLC adalah memfasilitasi kegiatan perfilman berbasis komunitas di Purbalingga. Salah satu program CLC saat itu adalah pemutaran film. Program pemutaran bulanan itu dilakukan di Graha Adiguna, komplek pendopo bupati Purbalingga. Namun, jelang pemutaran bulan ketiga, turun surat larangan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga yang menyatakan bahwa gedung itu bukan untuk pemutaran film. Namun rupanya, ada hikmah dari pelarangan itu. CLC menemukan bentuk baru mendekatkan film pada masyarakatnya dengan menggelar layar tancap. Selain pemutaran film di sekolah-sekolah yang terus berlangsung, CLC dengan melakukan pendekatan pada pemuda desa, rajin memutar layar tancap di desa-desa.

Kekesalan terhadap sikap Pemkab Purbalingga yang tidak memberikan ruang pada anak-anak muda terakumulasi hingga pada 7 Juli 2007, CLC menggelar festival film yang pertama—saat itu masih bernama Parade Film Purbalingga (PFP). Salah satu program PFP adalah memutar seluruh film pendek Purbalingga yang diproduksi dari 2004 hingga 2007 dari pagi hingga malam hari. Total film berjumlah 30 dan sebagian adalah karya pelajar. Selain pemutaran film, program PFP adalah diskusi, pameran, pentas seni, dan penghargaan film favorit penonton. Rangsangan parade film pada 2007 itu menguat pada festival di tahun-tahun berikutnya hingga bernama Festival Film Purbalingga (FFP).

Berbagai program memperkuat keberadaan FFP. Program unggulan dari FFP adalah pemutaran film dengan medium layar tancap keliling desa di wilayah Banyumas Raya (Kabupaten Purbalingga, Banyumas, Banjarnegara, dan Cilacap) selama sebulan. Sementara program utamanya adalah kompetisi fiksi dan dokumenter pelajar (setingkat SMP dan SMA) Banyumas Raya. FFP juga sempat menggelar program Kompetisi Video Manten karena banyak pelaku video di Banyumas Raya, sejak kemunculan teknologi digital, adalah tukang suting video manten. Namun program ini hanya bertahan dua tahun yaitu pada FFP 2010 dan 2011. Penyebabnya, tujuan kompetisi yaitu meningkatkan kualitas video manten dari para pelaku tidak tercapai.

Selain itu, FFP juga membuka program non-kompetisi yang menerima maupun mengundang film-film pendek dari luar Banyumas Raya untuk diapresiasi. Selain itu, untuk kebutuhan materi film layar tancap, diputar pula film bioskop. Film-film yang diputar di FFP diseleksi berdasarkan kemampuan dan karakter penonton di Banyumas Raya. Film-film pendek produksi pelajar Banyumas Raya menjadi menu utama pemutaran layar tancap, atau yang selama festival dipromosikan dengan istilah layar tanjleb. Sementara sebagai pendamping, film-film di luar itu. Warga atau penonton jadi mengetahui, bahwa banyak film-film pendek berkualitas yang diproduksi anak-anak muda di Indonesia yang tidak dapat mereka tonton di layar televisi.

Salah satu prasyarat keberlangsungan layar tanjeb di desa adalah pemuda desa, yang menjadi mitra dalam penyelenggaraan. Karena sebenarnya penyelenggara layar tancap adalah pemuda desa itu sendiri, pihak festival hanya memfasilitasi apa yang belum ada di desa. Harapannya, pemutaran film di desa mampu digelar kembali setelahnya. Adapun segmentasi masyarakat yang sudah tahu, yaitu masyarakat terpelajar, akan menantikan kehadiran Festival Film Purbalingga. Ini didukung keberadaan program kompetisi film pelajar yang terus merangsang pelajar Banyumas Raya memproduksi film pendek dan mengapresiasinya.

Pada dasarnya, FFP digelar juga untuk menyasar segmen semua kalangan masyarakat Purbalingga dan sekitarnya, meskipun sasaran utamanya tetaplah remaja dan anak muda. Bahkan FFP yang digelar di venue, ada program pemutaran film anak. Pemutaran film yang dilakukan pada pagi hari ini melibatkan anak-anak sekolah dasar yang keberadaannya dekat dengan venue. Setiap kali undangan menonton bagi anak-anak sekolah dasar, selalu direspon pihak sekolah dengan pertanyaan, “Butuh berapa anak untuk menonton?” Ini bukti bahwa menonton film adalah bagian dari pendidikan berkarakter, terlebih pihak sekolah sadar kurangnya tontonan yang mendidik bagi anak didik.

Festival Film Purbalingga digelar setiap memasuki bulan Mei. Festival ini hingga 2013 telah digelar sebanyak tujuh kali. Ini satu-satunya festival di Purbalingga yang terus digelar tanpa bantuan pemerintah daerah. Festival-festival lain adalah buatan pemerintah Kabupaten Purbalingga yang bersifat proyekan yang tidak setiap tahun mampu digelar. Itu pun digelar hanya di pusat kota hingga tidak dirasa oleh masyarakat pada umumnya.Ketiadaan gedung yang representatif bagi pemutaran film dan pentas seni pada umumnya di Purbalingga, turut mempengaruhi keterlambatan dari segi serapan penonton. Setiap tahun penyelenggaraan, selalu menemukan penonton-penonton baru yang butuh jawaban awal, misalnya film apa, seperti apa, dan bagaimana.

Untuk lebih memasyarakatkan film pendek, keberadaan program layar tancap keliling desa menjadi penting dan perlu. Karena pada dasarnya, masyarakat yang tinggal di kota dan di desa memiliki hak yang sama dalam mengakses tontonan film. Untuk itu, berbagai medium publikasi festival diterapkan. Mulai dari pemasangan poster dan baliho di ruang publik (meskipun ini tidak massif karena kebijakan Pemkab yang belum berpihak), media sosial, media massa, dan media elektronik. Hal yang menarik dan paling efektif adalah publikasi bagi program layar tancap. Dengan menggunakan mobil atau sepeda motor dan pengeras suara publikasi layar tancap dilakukan keliling desa dan desa-desa tetangga dimana layar tancap digelar. Kabar ini efektif karena selanjutnya akan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing media publikasi festival mempunyai efektivitasnya dan segmennya sendiri.

Pada setiap penyelenggaraannya, Festival Film Purbalingga selalu berbenturan dengan pihak-pihak seperti militer (polisi dan kodim), satpol PP, dan Pemkab. Hal ini terjadi karena ketidakpahaman pihak-pihak itu terhadap apa yang dilakukan anak-anak muda dengan film dan festival film. Selain itu, Pemkab ternyata tidak siap pada apa yang sudah dan akan terus dilakukan oleh anak-anak muda dan masyarakatnya. Ketika  pihak keamanan tidak mampu mengulik sisi keamanan, mereka akan mencari kelemahan pada konten film-film yang akan diputar. Sementara aparat Pemkab seperti tidak rela ketika masyarakat dicerdaskan dengan media film. Dukungan anak muda dan masyarakat serta media massa tampaknya mampu membendung itu semua.

Sementara itu, hambatan penyelenggaraan festival secara internal relatif tidak banyak. Anggaran tentu menjadi masalah klasik. Terlebih lagi, dalam FFP tidak pernah ada sponsor manapun. Kerjasama dengan pihak lain biasanya sekedar barter yang tidak mengikat, semisal kerjasama dengan radio untuk membantu publikasi. Beberapa sponsor produk sempat menawarkan, namun dalam rencana perjanjiannya dinilai merepotkan dan terlalu mengikat. Padahal sumber daya penyelenggara masih harus terus diperbaiki dan ditingkatkan.Hanya beberapa punggawa festival yang memang dari awal mengelolanya. Selebihnya, ditampung dari para pembuat film pelajar yang sudah lulus dan tertarik dengan manajemen festival.