Sekilas, 2015 nampak seperti tahun yang penuh kehilangan bagi sinema Indonesia. Terkait pemutaran reguler bioskop, film Indonesia terus kehilangan penonton. Jumlah penonton yang terkumpul dari 117 film Indonesia yang beredar selama 2015 berada pada angka 13,9 juta. Ini menurun dari pencapaian tahun sebelumnya, yakni 15,5 juta penonton dari 111 film. Dari luar bioskop, isu keberlanjutan hidup layar-layar alternatif masih jadi tanda tanya besar. Dua festival ternama absen dari kalender sinema kita: Festival Film Solo dan Jakarta International Film Festival. Yang pertama dikenal sebagai satu dari sedikit festival film khusus film pendek Indonesia, yang terakhir punya sejarah panjang yang merentang lebih dari satu dekade.
Krisis? Tunggu dulu. 2015 tidak melulu berisi kabar buruk. Banyak juga pencapaian dan terobosan yang perlu kita catat. Tahun lalu ada tiga film yang meraup lebih dari satu juta penonton: Surga yang tak Dirindukan karya Kuntz Agus, Comic 8: Casino Kings Part 1 karya Anggy Umbara, dan Single karya Raditya Dika. Ini adalah tahun keempat berturut-turut boxoffice film Indonesia dipuncaki lebih dari satu film dengan jutaan penonton, setelah pada 2011 tak ada satupun film Indonesia yang lewat angka satu juta—Surat Kecil untuk Tuhan, film terlaris waktu itu, hanya meraup 748 ribu penonton. Artinya, meski jumlah penonton terus menurun, publik Indonesia masih mau menyediakan waktu (dan uang) untuk menonton film anak bangsa. Film Indonesia masih punya nilai komersil, yang tidak kecil, di hadapan warganya sendiri. Ini jelas modal yang baik untuk masa mendatang, dengan catatan ada pembenahan yang menyeluruh terkait tata edar dan persebaran layar.
Inisiatif-inisiatif apresiasi dan ekshibisi film juga tidak sedikit yang masih bertahan. Pada 2015 ini, Jogja-NETPAC Asian Film Festival resmi berusia satu dekade, sementara Festival Film Dokumenter mantap melaju menuju penyelenggaraannya ke-14. Untuk kalangan mahasiswa, Malang Film Festival tahun lalu memasuki edisi nomor sebelas. Untuk kalangan pelajar SMP dan SMA, ada Festival Film Pelajar Jogja yang telah memasuki penyelenggaraan keenam dan Festival Film Purbalingga kesembilan. Jangan lupakan juga Piala Maya—ajang penghargaan yang diselenggarakan penikmat dan blogger film. Pada 2015 lalu, Piala Maya memasuki edisi keempat. Tentunya, untuk semua inisiatif-inisiatif ini, penyelenggaraan yang konsisten barulah sebagian dari iman. Sebagian lainnya adalah pertumbuhan program dan persebaran yang lebih luas ke publik—inilah tantangan yang perlu dijawab pada tahun-tahun mendatang.
Perkembangan lainnya yang perlu dicatat adalah upaya peredaran film yang lebih terpadu di kalangan komunitas dan layar alternatif. Ada yang bertumpu pada wahana komersil, macam buttonijo dan Sinema Rabu. Keduanya bertindak sebagai distributor yang membawa film ke ruang-ruang putar di luar bioskop—bedanya, buttonijo lewat transaksi jual beli USB drive berisikan film, sementara Sinema Rabu lewat program pemutaran berbayar di sejumlah ruang publik. Ada juga yang beroperasi lewat jaringan kulturil, macam Kolektif dan Minikino (melalui program Indonesia Raja). Keduanya mengumpulkan film dari sejumlah sineas, mengolahnya menjadi paket-paket program pemutaran, yang kemudian disebarkan ke berbagai komunitas yang berminat—selain itu, Kolektif dan Minikino juga mengelola ruang pemutaran mereka sendiri. Masih terlalu dini untuk memperkirakan bagaimana nasib inisiatif-inisiatif ini ke depannya, tapi perkembangan mereka patut kita amati.
Satu tulisan ini tentunya tidak akan cukup untuk merangkum seluruh dinamika sinema Indonesia selama 2015. Dinamika yang kami jabarkan di atas semata ingin menunjukkan betapa luasnya perfilman Indonesia sesungguhnya. Dari yang komersil sampai yang kulturil, semuanya ada. Tidak terbayangkan betapa beragamnya film-film yang seliweran di publik nusantara setiap tahunnya, tidak terkecuali pada 2015. Agar tak hilang terserak zaman, perlu ada upaya pengarsipan wacana. Keragaman itulah yang kami pilih dan coba apresiasi melalui daftar film Indonesia pilihan kami.
Sama seperti tahun lalu, pilihan film Indonesia versi Cinema Poetica tidak terbatas pada film bioskop. Asalkan suatu film pernah tayang untuk publik, baik di bioskop, festival film, maupun layar-layar lainnya, maka film tersebut layak untuk dipertimbangkan. Sama seperti tahun lalu juga, seleksi film ini tidak diniatkan sebagai penentuan film terbaik. Ada tiga poin yang mendasari pemilihan kami. Pertama, relevansi suatu film pada zamannya, khususnya dinamika sosial-politik di Indonesia selama 2015. Kedua, terobosan atau kesegaran perspektif suatu karya, yang dihadapkan dengan gagasan-gagasan sinema Indonesia pada 2015 dan tahun-tahun sebelumnya. Ketiga, kepaduan kemasan film dengan gagasan yang ditawarkan, karena gagasan tanpa kemasan yang memadai adalah angan-angan, dan kemasan tanpa gagasan yang menarik adalah kemubaziran.
Urutan film-film pilihan di bawah ini tersusun secara acak. Tidak ada niatan dari kami untuk memberi peringkat, karena apresiasi film bukanlah pertandingan sepakbola, yang bisa ditentukan oleh angka dan papan klasemen. Selamat menikmati.
KAPAN KAWIN?
Ody C Harahap / 115 menit / Legacy Pictures
Pop tidak harus imbesil. Dengan pengerjaan yang mendetail dan penghormatan terhadap nalar, karya populer juga bisa menyenangkan sekaligus mencerahkan. Kapan Kawin? membuktikan itu. Ody C Harahap dan kawan-kawan dengan jeli mengaitkan isu kejombloan anak muda—yang belakangan jadi ‘isu publik’ di media sosial—dengan kegemasan (atau kecemasan) orangtua terhadap penerusnya. Premisnya sederhana saja: seorang perempuan eksekutif muda meminta seorang aktor nyentrik untuk pura-pura jadi pacarnya, supaya ia tampak layak di hadapan keluarganya. Premis ini dibangun secara konsisten oleh pembuat film, dan dilakonkan secara jenaka oleh ansambel pemerannya, menjadikan Kapan Kawin? bisa berbicara lebih luas. Bahwasanya, di tengah peradaban modern yang kian memudahkan kita untuk menjadi orang lain, setiap bentuk hubungan romantis adalah kewajiban akting yang tak berkesudahan—baik itu di hadapan diri sendiri, pasangan, keluarga pasangan, lingkaran pergaulan, hingga publik yang entah siapa. Lebih dari sekadar hiburan populer, Kapan Kawin? adalah sebuah potret akan sebuah zaman yang begitu berpatok pada standar-standar semu—menjadi anak baik, menantu baik, dan aktor baik—yang oleh karenanya dipenuhi kepura-puraan.
CERMIN
Sarah Adilah / 3 menit / SMA Al-Azhar Palu
Pendidikan adalah privilese kaum berpunya. Nyatanya, pendidikan di negeri ini tidak murah—ada tuntutan finansial tersendiri yang hanya bisa dipenuhi segelintir orang. Jangankan untuk sampai ke bangku kuliah, mencapai bangku SMA saja sudah sulit. Memang, wacana seperti ini sudah cukup sering disinggung, saking seringnya sampai-sampai telinga kita tak lagi peka mendengarnya. Namun, meski beraraskan wacana lama, Cermin karya Sarah Adilah berhasil mengasahnya dengan cara berbeda. Cermin tidak menunjuk jari pada yang papa untuk menyasar kesadaran pelajar. Film juga tidak menghadirkan satu dialog pun, seakan tak berminat lagi menggurui secara verbal. Yang ada dalam Cermin hanyalah pertemuan antara siswa membolos dengan siswa yang putus sekolah—dalam sebuah konfrontasi langsung. Penting dicatat kemudian bahwa kesadaran bukan datang dari rasa kasihan, sebagaimana yang sering tertuturkan di film dan televisi Indonesia, tapi dari penyikapan yang tegas terhadap ketidakpedulian. Betapa sebuah pemikiran yang cergas dari seorang pelajar untuk pelajar lainnya.
MENCARI HILAL
Ismail Basbeth / 94 menit / MVP Pictures, Studio Denny JA, Dapur Film, Argi Film, Mizan Productions
Keimanan bukanlah sebuah konsensus. Penyikapan terhadap agama tidak pernah tunggal, bahkan di antara sesama penganut agama yang sama. Cerita Mencari Hilal boleh jadi (terlalu) mengingatkan kita akan Le Grand Voyage, tapi kehadiran film ini sungguh tepat waktu. Selama 2015, kita akrab dengan perdebatan bahkan konflik horizontal terkait agama, khususnya Islam—mulai dari kontroversi langgam Jawa, Syiah-Sunni, pemimpin non-muslim, pernyataan rasis Donald Trump, hingga teror ISIS. Melalui dinamika antara sepasang bapak-anak, Mencari Hilal mengajak kita untuk memeriksa kembali asumsi kita akan kebersamaan dalam keragaman, untuk melihat agama sebagai etika yang mengantarai diri kita dengan sesama. Dalam Mencari Hilal, Islam tidaklah tunggal. Ia hadir dalam berbagai wajah—melalui keberjarakan anak muda, keteguhan seorang bapak, kekerasan kelompok ekstrimis, hingga keseharian beragam warga. Pembuat film tidak menggariskan mana yang benar mana yang salah. Justru itu yang perlu kita renungkan kembali, sebagaimana yang terungkap dalam salah satu baris dialog film, “Dalam situasi seperti ini, apakah Islam punya jawaban yang tidak melukai siapapun?”
WASIS
Ima Puspita Sari / 22 menit / JRYouthCoop Films
Berkat Wasis, frasa “ketinggalan zaman” jadi kembali bunyi. Ketinggalan zaman, yang kerap dikontraskan dengan hal-hal fisik penanda modernitas, berhasil dikembalikan kepada esensinya, yakni sebagai sebuah keluputan dalam menanggapi dunia yang terus berubah. Kasus yang disorot Wasis adalah pencanangan kembali Jam Belajar Masyarakat di Yogyakarta—salah satu relik Orde Baru. Sosok Wasis, tokoh yang dulu begitu berjasa merumuskan jam belajar, tergambarkan sudah tak bisa lagi menggenggam zamannya. Ritus-ritus macam bernyanyi mars, kontrol ke rumah-rumah, serta pemberian instruksi dari atas ke bawah, kini hanya ditanggapi dengan cuek dan main hape—tidak saja oleh generasi penerus, yang bisa jadi asing terhadap konsep jam belajar dan sosok Wasis, tapi juga oleh generasi-generasi pendahulunya. Dokumenter ini, meski terasa tendensius pada beberapa bagian, secara subtil mengingatkan kita bahwa masih banyak Wasis-Wasis lain dengan wacana-wacana usang di negeri ini. Kita bisa saja menyatakan sudah kelar dengan masa lalu, tapi belum tentu masa lalu sudah selesai berurusan dengan kita.
THE FLOWER & THE BEE
Monica Vanessa Tedja / 9 menit / Sodamachine Films & Antelope Films
Seks bisa berbuah anak, tapi sejauh mana kita sudah mencerahkan keturunan kita akan asal usul biologis mereka? Perkara pendidikan seks inilah yang menjadi isu sentral The Flower & the Bee, yang dilakonkan oleh seorang anak perempuan berseragam SD. Sepanjang film, sang protagonis bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya—dari teman sebayanya, senior di sekolahnya, hingga orangtuanya—apa maksud dari gestur jempol dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk. Maksudnya, tentu saja, sanggama—suatu fakta yang protagonis cerita tidak ketahui, tapi kita (orang dewasa) di bangku penonton sadari. Perbedaan pemahaman inilah yang pembuat film mainkan secara cerdik. Tiap kali si protagonis bertanya ke orang-orang yang lebih dewasa, reaksi mereka adalah menghilang begitu saja dari pandangan kamera. Tak ada penjelasan sama sekali, sebagaimana kita yang seringkali absen dalam mendidik penerus kita. The Flower & the Bee asyiknya tidak berhenti di penyiasatan visual. Lewat penataan cerita yang cermat, kita dihadapkan pada potret pertemuan anak dengan wacana seksualitas yang (naifnya) dianggap berbahaya. Karena, di sisi lain, anak-anak sekarang terekspos wacana tentang seksualitas makhluk lain dalam pelajaran biologi di sekolah, serta kiasan-kiasan mesum yang marak di lagu pop kontemporer. Ironis.
BAWANG KEMBAR
Gangsar Waskito / 17 menit / studiokasatmata
Tahun kemarin terdapat sejumlah film animasi yang menyegarkan, seperti Garuda Wisnu Kencana (Chandra Endoputro, 2015), Tendangan Halilintar (Dana Riza, 2015), serta Djakarta-00 (Galang Ekaputra Larope, 2015). Walaupun begitu, kesegaran justru baru tertangkap pada penghujung tahun, melalui tangan Gangsar Waskito (Homeland dan AHOZ). Film terbarunya, Bawang Kembar, begitu cermat mengolah beberapa dongeng lokal menjadi satu cerita orisinil, plus sejumlah bumbu-bumbu modern untuk menjembatani generasi sekarang yang bisa jadi punya referensi dongeng yang berbeda. Penokohan dalam Bawang Kembar juga begitu kuat, sehingga mempu menghasilkan humor yang terus berkembang—perhatikan gelagat serta celetukan minimalis tokoh bernama Rara dari awal hingga akhir film. Kehadiran dan penyelesaian konflik cerita juga begitu jeli memainkan logika cerita. Alhasil, terciptalah sebuah pembelajaran yang pas tentang tanggung jawab dan keberanian meminta maaf. Benar saja, ternyata animasi yang apik tetap bisa berpijak pada kelokalan dan nilai-nilai yang mendidik. Maka itu pemerintah tidak perlu lagi pusing-pusing mengkurasi dongeng untuk Pixar, tapi pusing-pusinglah menyiapkan dana dan infrastruktur untuk animator negeri ini.
THE FOX EXPLOITS THE TIGER’S MIGHT
Lucky Kuswandi / 25 menit / babibutafilms
Seks dan rezim politik sama-sama bertumpu pada permainan kuasa. Melalui kisah sepasang jejaka baru puber, yang birahinya setinggi ubun-ubun, Lucky Kuswandi dan kawan-kawan dengan cerdik memanfaatkan berbagai metafor seksual—idiom visual yang sejatinya dilarang negara—untuk menelisik kembali salah satu bentuk opresi yang berlangsung selama Orde Baru—yang warisannya masih terasa sampai sekarang. Satu anak berasal dari keluarga militer, yang banyak ikut campur dalam penyelenggaraan negara ini. Satu lagi berasal dari keluarga keturunan Cina, yang punya sejarah panjang sebagai korban diskriminasi. Keduanya terhubung tidak saja melalui penghisapan finansial, oleh militer terhadap keluarga Cina, tapi juga “penghisapan” lain yang lebih badaniah. Berbagai relasi seksual yang kedua jejaka ini lalui, baik sebagai pelaku maupun pengamat, menunjukkan bahwa seks juga suatu bentuk dominasi, tergantung siapa pemegang instrumen kuasa. Ketika instrumen kuasa itu berhasil direbut, apakah sang korban praktis terbebas dari penindasannya? Atau, sebaliknya, ia berganti menjadi penguasa atau bahkan penindas? Dalam durasi yang singkat, The Fox Exploits the Tiger’s Might secara lugas membahas silang sengkarut sosial-politik yang mendasari kehidupan bersama kita—suatu hal yang jarang terbahasakan dalam film-film kita, bahkan oleh film yang mengaku film politik sekalipun.
IJOLAN
Eka Susilawati / 7 menit / Sinar Moeda Film & Alumnus SMPN 4 Satu Atap Karangmoncol Purbalingga
Ijolan adalah bukti bahwa pegiat film pelajar, khususnya Purbalingga, mulai berani bereksperimentasi pada aspek visual. Tentu bukan berarti kawan-kawan pelajar, di Purbalingga dan di manapun, harus terus melakukannya—bagaimanapun juga, idealnya, kemasan dan gagasan film saling melengkapi. Twinning effect dalam Ijolan juga bukan iseng belaka, melainkan inti dari gagasan filmnya. Melalui polemik antara Nur dan Ratih, sepasang saudara kembar identik, Ijolan menarik isu korupsi ke konteks sehari-hari. Nur meminta Ratih untuk menggantikannya saat ujian di sekolah besok, dengan imbalan uang. Ratih enggan, tapi butuh uang untuk bayar pulsa listrik. Melalui polemik ini, tergambar jelas bahwa motif bertindak curang bisa datang dari orang terdekat, yang justru seringkali dorongannya lebih kuat daripada dorongan personal. Artinya juga, korupsi tidak sesederhana perkara dosa dan kesadaran-kesadaran individual lainnya—ia adalah perkara bersama. Korupsi dimungkinkan karena sistem, bahkan ketika sistem itu terdiri dari dua orang individu yang berasal dari akar genetis yang sama. Bahwasanya perenungan sedalam ini datang dari sebuah karya film pelajar, itu jelas poin plus yang tak terbantahkan.
NENG KENE AKU NGENTENI KOE
Jeihan Angga / 22 menit / Hompympaa Artworks
Humor selalu membutuhkan konteks. Itulah yang mungkin begitu disadari oleh Jeihan Angga saat menggarap film Neng Kene Aku Ngenteni Koe—yang dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti “Di sini aku menantimu”. Singkat kata, Neng Kene Aku Ngenteni Koe adalah komedi tentang urbanisasi dan mobilitas sosial, yang dipantik oleh ketidakmerataan pusat-daerah dan iming-iming akan peluang sukses di ibukota. Setiap tokoh bertingkah manusiawi sesuai hasratnya masing-masing—sang pria ingin cinta, sang wanita ingin harta, dan adiknya ingin makan. Pelampiasan hasrat tersebut diarahkan untuk menanggapi konteks sosial di tempat cerita berlangsung—sebuah desa yang tak jauh dari Yogyakarta. Tak pelak, dalam gelak tawa seheboh apapun, audiens tetap bisa menyaksikan realitas sosial di desa yang Jeihan gambarkan. Desa itu tak punya tempat untuk wanita muda; di hati wanita muda itu tidak ada tempat untuk sang pria; dan di dompet sang pria tidak ada uang yang cukup untuk menghidupi sang wanita dan adiknya. Tak banyak film komedi yang mampu lucu, tapi tetap tajam memotret kondisi sosial yang dituju—Neng Kene Aku Ngenteni Koe salah satunya.
SITI
Eddie Cahyono / 91 menit / Fourcolours Films
Sia-sia rasanya mengharapkan karya orisinil pada zaman sekarang ini. Kita semakin mudah meminjam realitas dan idiom visual dari berbagai kultur, saking mudahnya sampai-sampai kita abai terhadap realitas yang belum tertuturkan di negeri ini. Tantangan terbesar saat ini adalah berkarya secara otentik, dan Siti adalah satu dari sedikit karya langka itu. Melalui estetika hitam-putih dan koreografi kamera yang intim, kita mengikuti Siti berjuang menafkahi keluarganya. Masalahnya, ia terpinggirkan secara ekonomi—tidak banyak kesempatan kerja bagi perempuan di lingkungan tempat tinggalnya, kecuali sebagai pedagang asongan atau pemandu karaoke. Jelas pekerjaan mana yang lebih cepat mendatangkan uang yang dibutuhkan. Masalahnya lagi, sang suami tidak bisa berperan layaknya kepala keluarga ideal dan meninggalkan banyak hutang, yang sialnya harus segera dilunasi. Dalam lingkup yang lebih kecil, hikayat Siti merupakan ungkapan puitis dari keterdesakan perempuan—suatu gender yang lebih sering didefinisikan dari tanggungjawabnya ketimbang daya hidupnya. Dalam lingkup yang lebih luas, tokoh Siti mewakili jutaan warga yang setiap harinya harus mengakrabi ketidakadilan, untuk bertahan hidup di negara yang pemerintahnya sering titip absen. Tak ada pemandangan yang lebih biasa daripada potret orang-orang yang mencoba bertahan hidup—dan itu masih kerap luput dari sinema kita.