Saat pertama kali menonton film ini saya cuma bisa tertegun. Mungkin terpesona dengan tembang dan jogedan yang tampil hampir di keseluruhan film, analogi epos Ramayana yang berusaha dibangun oleh sang sutradara, atau latar tempat yang begitu eksotik – bisa dibilang hanya dalam hal kesenianlah tali pusar saya terhubung pada kebudayaan Jawa di mana saya dibesarkan. Lalu saya mulai tertarik untuk mengetahui lebih jauh siapa Martinus Miroto, Eko Supriyanto, Slamet Gundono, Retno Maruti, Jecko Siompo Pui, Peni Candra Rini, Rahayu Supanggah, dan yang lainnya (kecuali Artika Sari Devi, tentu saja). Mereka adalah orang-orang yang memang berkompeten di bidangnya, khususnya soal tari Jawa klasik, kontemporer, ataupun campuran keduanya; juga soal musik tradisional Jawa. Maka kemunculan orang-orang tersebut menjadi maklum dalam film yang minim percakapan serta mengeksploitasi gerak dan lagu secara habis-habisan ini.
Siapa yang tak kenal Garin Nugroho: sutradara negeri sendiri yang karyanya telah banyak jadi omongan, baik di Indonesia atau di luar sana. Menjadi omongan, karena film-film Garin justru lebih banyak meraih pangsa pasarnya di luar negeri daripada di Indonesia. Bahkan tak cuma jadi omongan, malahan berhasil mendapat berbagai macam penghargaan. Pun Opera Jawa sendiri, yang berhasil meraih beberapa penghargaan, salah satunya menjadi film terbaik dalam Singapore International Film Festival 2007.
Mungkin satu hal yang menjadi pertimbangan para pemerhati film dalam mengapresiasi karya-karya Garin adalah karena dia dianggap berbeda dari sineas-sineas Indonesia yang segenerasi dengannya. Berbeda dalam hal, pertama, film-filmnya yang selalu mengangkat tema di luar mainstream tema film Indonesia pada umumnya. Banyak yang mengatakan karya Garin adalah film-esai: mempersoalkan sesuatu lewat (bahasa) film. Kedua, banyak pula yang mengkategorikan Garin sebagai Generasi Sekolah, yakni mereka yang sempat mengenyam pendidikan formal soal film; atau mereka yang sudah makan asam-garam soal teori film, genre film (klasik, eksperimen, dokumenter), hingga gerakan film (seperti French New Wave atau Italian Neorealism). Pada akhirnya treatment yang Garin lakukan pada karya-karyanya menjadi begitu khas dan berbeda dari sineas-sineas lain yang, misalnya, masuk Generasi Magang (yang awalnya cuma kru film, lalu bisa jadi bikin film sendiri) atau Generasi Ekspansi yang tumbuh dari akar seni teater, dengan nama-nama seperti Teguh Karya, Slamet Raharjo, Putu Wijaya, dan sebagainya.
Sampai di sini, saya semakin manggut-manggut saja soal Opera Jawa dan Garin Nugroho sendiri.
Kegelisahan justru muncul belakangan dalam diri saya soal Opera Jawa. Karena mengangkat kembali epos Ramayana, sepenangkapan saya film ini sedang bercerita tentang warna kehidupan manusia yang selalu hitam, putih, dan abu-abu. Atau bisa kita ringkas saja dengan satu tema: cinta. Bukan berarti cinta tidak pernah beririsan dengan, misalnya: pengkhianatan, kekuasaan, angkara murka, atau balas dendam. Bila kita tilik kisah Ramayana, siapa yang protagonis dan antagonis memang bakal tergambar jelas. Sedangkan dalam Opera Jawa, gambaran tersebut bagi saya justru sama sekali baur. Ada modifikasi perwatakan di sana-sini. Dewi Sinta yang mewujud dalam diri Siti (Artika Sari Devi) ternyata tak sepenuhnya setia kepada suaminya Rama, atau dalam film ini, Setyo (Martinus Miroto). Siti mengiyakan rayuan sang Rahwana atau Ludiro (Eko Supriyanto), bujuk asmaranya yang membuat hati Siti goyah. Atau Setyo yang digambarkan berhati baik, pun ternyata pendendam dengan menyatakan perang terhadap Ludiro, yang pada akhirnya merenggut nyawa Ludiro, juga nyawa Siti sendiri. Ludiro sang Rahwana juga tak sepenuhnya seorang beast seperti yang kita lihat. Sosok ibu dengan kasih sayangnya (Retno Maruti) menjelaskan sisi humanis yang manis dari diri seorang penguasa bertangan dingin. Pada lapis tersebut, dengan Opera Jawa-nya Garin sukses mengangkat kembali (dan memodifikasi) epos Ramayana, sekaligus untuk memperkenalkan khasanah kebudayaan Indonesia (baca: Jawa) pada dunia – bila memang itu niatan dia.
Ada satu hal yang membuat saya gusar. Di akhir film muncul satu tulisan yang berbunyi: “Film ini adalah requiem duka untuk berbagai bentuk korban kekerasan dan bencana di berbagai wilayah di dunia, khususnya mereka yang berada di Yogyakarta dan Jawa Tengah”. Ternyata penangkapan saya akan tema film ini, yang coba saya pertahankan dari awal hingga akhir, justru sedikit terkaburkan. Bila hanya hendak berduka soal penderitaan rakyat Yogyakarta dan Jawa Tengah (ingat: pada 2006 Yogya dan sekitarnya diluluhlantakkan gempa bumi 5,9 SR), mengapa Garin harus repot-repot mengangkat kembali epos Ramayana? Atau hal itu hanya dipas-paskan saja, karena proses produksi film yang berlangsung pada tahun yang sama? Juga soal “korban kekerasan”. Saya benar-benar tidak menangkap maksud frasa tersebut. Memang dalam film ditampilkan satu adegan di mana Setyo bersama para wong cilik (korban kekerasan) berusaha melawan, atau lebih tepatnya, balas dendam terhadap kesewenang-wenangan sang Ludiro. Namun bila kita tilik kembali, epos Ramayana tidak berbicara soal perjuangan kelas bawah melawan kekerasan. Bisa dibilang epos tersebut hanya berkutat pada permasalahan yang begitu elitis: cinta segitiga para pembesar keraton. Sampai di sini, bagi saya epos Ramayana jadi sekadar gincu belaka.
Dari hal tersebut saya berpikir, dan pikiran saya sedikit pesimis lagi sinis: bila banyak orang berkata Garin adalah seorang pembuat film-esai, jangan-jangan Garin tidak menemukan satu fokus permasalahan yang ingin dia sampaikan atau bahasakan lewat Opera Jawa? Saya khawatir, ujung-ujungnya film ini hanya sekadar jadi praktek montase gambar-gambar eksotik dan luar biasa bagusnya itu. Hal lain yang menambah runyam persoalan adalah ujaran bahasa dalam Opera Jawa yang tidak akrab lagi menyulitkan bagi penonton Indonesia non-Jawa, apalagi penonton luar negeri: bahasa Jawa. Eh, lebih sulit lagi: bahasa tembang Jawa! Bila ujaran dalam film itu memakai kosakata bahasa Jawa percakapan yang tentu hanya itu-itu saja, saya yang asli Jawa ini masih bisa mahfum. Tapi ini bahasa tembang Jawa, Bung! Yang tentu lebih eksploratif sekaligus konotatif dalam penggunaan kosakatanya. Memang ada bantuan subtitle, tapi itupun tak cukup membantu. Karena struktur kalimat subtitle terlalu menyederhanakan maksud dari struktur lirik tembang yang sedang dinyanyikan. Pesan dari tembang tersebut tidak tersampaikan secara utuh kepada penonton.
Sampai di sini kita bisa menyoal bahasa film a la Garin Nugroho. Dalam catatan pra-produksi film Cinta dalam Sepotong Roti (1991), Garin berujar, “Bagi saya sebuah film seperti layaknya “bahasa”” (lebih lengkapnya lihat Membaca Film Garin, Philip Cheah [ed], 2002). Namun pertanyaannya: bahasa siapa? Esensi dari berbahasa adalah berkomunikasi, dan komunikasi selalu menyiratkan minimal dua subjek yang saling bertemu dan pada akhirnya berinteraksi, lalu terjadilah saling tukar informasi, kesalingmengertian di antara mereka. Banyak yang mengeluhkan, mungkin juga Garin sendiri, bahwa film-filmnya tak begitu mendapat tempat di khalayak penonton Indonesia. Mungkin salah satu penyebabnya adalah ketimpangan bahasa ini: Garin merasa sudah sangat komunikatif dalam berbicara atau mempersoalkan sesuatu lewat film-filmnya, tapi dia tidak terlalu memperhatikan siapa penontonnya. Jangan kita bayangkan bahwa semua penonton Indonesia adalah mereka yang paham soal film atau bisa menangkap maksud dari satu dialog atau shot secara langsung. Tentu penonton yang akrab dengan bahasa film ala sinetron tidak dapat kita samakan dengan para sinefil penggemar Godard atau Tarantino, bukan? Bila kita ingin gagasan kita dimengerti secara luas, tentu harus kita perhatikan pula siapa lawan bicara kita. Dalam hal lawan bicara inilah perhatian Garin sering luput. Bagi saya, Opera Jawa menjadi satu keluputan Garin yang paling fatal. Maaf, semoga tak ada lagi miskomunikasi!
Opera Jawa | 2006 | Sutradara: Garin Nugroho | Negara: Indonesia | Pemain: Artika Sari Devi, Martinus Miroto, Eko Supriyanto, Slamet Gundono, Retno Maruti, Jecko Siompo Pui, Peni Candra Rini, Rahayu Supanggah