Sedeng Sang: Sekolah Seharga Tanah

Anggapan umum di masyarakat: semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi upah pekerjaan yang diperoleh. Semakin tinggi upah, semakin baik pula kualitas hidup mereka nantinya. Pengertian pendidikan semacam ini lazim dimiliki banyak kalangan, tak terkecuali orang-orang di pelosok daerah. Sedeng Sang arahan Reza Fahriansyah tampak berusaha memotret kondisi ini.

Sedeng Sang bercerita tentang sebuah keluarga suku adat Dayak Wehea di pedalaman Kalimantan. Tokoh ayah dalam film ini menghadapi dilema: menjual ladang untuk biaya pendidikan anaknya atau mempertahankan ladang tapi anaknya tak bisa sekolah. Melepas ladang ke industri sawit artinya menjadi buruh tani dan mengkhianati pemberian leluhur. Sedangkan mempertahankan tanah artinya mengorbankan pendidikan Hat, anak lelaki sulungnya.

Kebingungan sang ayah dipicu oleh kedatangan Hat. Kedatangan Hat menjadi pernyataan soal jauhnya pendidikan yang mampu memperbaiki kesejahteraan keluarga. Tambah pelik, ketika Hat dan ayahnya juga perlu memikirkan si bungsu, Baq. Nyatanya, Baq yang baru saja selesai ujian kelulusan juga perlu ditopang—entah oleh ayahnya, ataupun oleh Hat.

Simpang Siur dan Kegelisahan

Pendidikan bagi warga di pelosok memang tak pernah lepas dari keadaan ekonomi. Kebijakan pemerintah daerah untuk membantu biaya pendidikan mungkin ada. Tapi pemerintah jelas tak bisa menopang biaya hidup seorang anak yang merantau demi pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, bagi sang ayah, menjual lahan mungkin terlihat sebagai pilihan yang ideal. Namun kemudian mereka harus menghadapi persoalan lain yang selama empat dekade menghantui masyarakat adat Dayak Wehea: kehilangan sumber hidup karena menjual lahannya kepada industri sawit.

Kepulangan Hat adalah pertanyaan besar soal nasib pendidikannya. Sementara kebingungan sang ayah adalah pertanyaan besar soal nasib lahan di Kalimantan. Sang ayah pun bungkam. Tidak pernah ada jawaban pasti tentang sekolah dan tanah—hanya ada penghindaran dan mimik ambigu yang bisa berarti marah, sedih, atau kecewa. Pola tingkah ini membentuk  asumsi bahwa Hat dan sang ayah sama-sama gelisah pada nasib mereka tanpa tahu pilihan mana yang harus diambil. Satu hal yang pasti: mereka tidak senang dengan apa yang terjadi.

Kegelisahan adalah hal yang paling ditekankan dalam Sedeng Sang. Dengan kata lain, ruang lingkup Sedeng Sang hanya ada di wilayah personal para tokoh saja. Cerita tidak melebar pada hal-hal lain di luar kegelisahan dan kesimpangsiuran nasib keluarga Hat. Tidak ada misalnya gambaran mengenai anak-anak usia sekolah yang lain di desa tersebut. Berbagai narasi soal persoalan adat dan pemerataan pendidikan juga hanya mengintip dari kejauhan. Akhirnya, sepanjang film hanya ada Hat dan sang ayah yang tenggelam menunggu Godot.

Yang terjadi dalam Sedeng Sang tampak berbeda dari film-film kebanyakan. Seperti yang kita tahu, kegelisahan soal pendidikan sering menjadi pemantik beragam perjalanan dramatis. Seorang ayah bisa menjadi bekerja lebih keras seperti dalam 9 Summers 10 Autumns (Ifa Isfansyah, 2013); teman-teman sebaya bisa bahu-membahu mengumpulkan uang seperti dalam Cheng Cheng Po (BW Purbanegara, 2007); dan pelajar bisa nekat bersekolah ke kota seperti dalam Sang Pemimpi (Riri Riza, 2008) atau Denias, Senandung di Atas Awan (John de Rantau, 2006). Dalam Sedeng Sang, semua berjalan biasa saja. Tawaran untuk bekerja dan menjual lahan pun begitu saja dibiarkan.

Mungkin kita pernah dengar orang bijak berkata, “Tidak ada realitas kecuali dalam tindakan.” Bila mengacu ucapan tersebut, maka film ini tentu berisiko menenggelamkan eksistensi para tokoh pada kegelisahan semata. Jika menilai dari kacamata ini, Sedeng Sang seakan kehilangan nilainya. Walaupun begitu, tentu tidak selamanya film harus memberi ruang bagi protagonis untuk bertindak menyelesaikan halai-balai. Film juga berhak untuk berlaku realistis, demi menangkap dan menampilkan realitas yang ada, termasuk jika realitas itu berada di wilayah personal. Dalam hal ini, Sedeng Sang sukses menunaikan tugasnya.

Yang Biasa, Yang Bercerita

Film bertema pendidikan memiliki kecenderungan mengangkat tokoh utama cerdas, yang akan menjadi kerugian besar kalau ia sampai putus sekolah. Contohnya antara lain Lintang dan Arai dalam film-film arahan Riri Riza: Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009). Pesan yang tersampaikan kurang lebih: “Jangan sia-siakan potensi dan bakat emas mereka.” Hasilnya, perasaan penonton terenyuh, beberapa mungkin menangis, saat melihat Lintang harus putus sekolah.

Sedeng Sang berbeda. Film ini tidak menjelaskan pencapaian Hat dan Baq di sekolahnya. Kita tidak pernah tahu apakah mereka siswa brilian atau bukan. Tidak ada guru yang mencari-cari mereka, atau teman-teman yang merasa kehilangan kalau sampai mereka berhenti sekolah. Pendeknya: pembuat film menempatkan mereka sebagai siswa biasa. Dengan kata lain, alih-alih membawa kisah inspiratif dan glorifikasi kecerdasan tokoh, film justru menempatkan Hat dan Baq sebagai siswa yang gelisah.

Tanpa bicara nilai dan prestasi, tokoh Hat dan Baq menjadi sangat universal. Ia bisa saja keluarga, teman, kerabat, atau bahkan diri kita sendiri, yang ingin menempuh pendidikan lebih tinggi namun terbentur keadaan ekonomi. Baik itu dengan maksud meningkatkan ketercerahan intelektualitas atau sekedar investasi untuk upah kerja yang lebih tinggi seperti dalam film, pendidikan tetap mensyaratkan pengorbanan biaya, tenaga dan waktu. Bukankah tidak jarang di antara mereka yang—setidaknya selama beberapa waktu—hanya bisa gelisah? Terlebih lagi jika ada orang lain yang nasibnya bergantung pada pilihan yang diambil.

Singkatnya, Sedeng Sang berbicara tentang konteks yang luas melalui cerita yang amat personal. Melihat Lintang yang gemilang dan Arai yang pandai dalam film-film Riri Riza, kita mungkin mampu merasakan kekhawatiran soal nasib yang mengancam potensi mereka. Kegelisahan mereka berhasil membuat kita terenyuh dan berharap nasib baik segera datang. Namun nyatanya, dengan menonton Sedeng Sang kita mengerti bahwa bukan hanya mereka yang cemerlang saja yang layak diceritakan. Jika ditarik lebih dekat pada tema film, kita juga merasakan kebutuhan yang sama akan akses pendidikan, terlepas bagaimana perolehan dan potensi para tokoh dalam film tersebut.

Sedeng Sang | 2016 | Durasi: 20 menit | Sutradara: Reza Fahriansyah | Penulis: Fitriana Lestari| Produksi: Borneo Films Yogyakarta | Negara: Indonesia | Pemeran: Be Get, Khairul Adha