Delapan Catatan tentang 27 Steps of May

I

Saya melangkah ke luar dari bioskop di Blok M Square dengan gamang malam itu. Di sekeliling saya, beberapa remaja perempuan yang kemungkinan besar masih duduk di bangku SMP pun melangkah. Kebanyakan dari mereka mengenakan jilbab. Mereka cekikikan, persis seperti yang mereka lakukan beberapa kali di sela-sela pemutaran film tadi.

Saya tetap gamang. Lantai lima Blok M Square sudah sepi. Saya menonton 27 Steps of May pada jam pemutaran terakhir malam itu. Aparat keamanan gedung mengarahkan untuk menggunakan lift dan langsung ke lantai UG. Remaja perempuan tadi sudah ada dalam lift. Saya masuk dan menjadi minoritas—orang dewasa dan laki-laki. Kegamangan masih menghinggapi saya. “UG ya,” ucap saya membungkus gamang. “Iya. Udah, Om,” jawab salah satu di antaranya. Kegamangan terus menghinggapi saya. Saya berpura-pura sibuk dengan ponsel saya.

Lift tiba di lantai yang saya tuju. Kegamangan ini mestinya saya sudahi segera. Atau minimal, mengurangi bobotnya. Sebelum pintu lift terbuka, saya membuka suara, “Emang pada kuat ya nonton film yang tadi?” Tentu saja saya merujuk pada kisah berdurasi hampir dua jam besutan Ravi Bharwani itu. “Kuat aja, Om,” jawab beberapa di antaranya. “Oh ya? Gua hampir nggak kuat,” balas saya. Saya meraba kantong kanan celana, bungkus rokok tak lagi di sana. Rokok habis. Kegamangan ini perlu ditemani rokok.

II

Butuh delapan tahun untuk May, tokoh utama film yang diperankan oleh Siti Hafar Raihaanun Nabilla, agar bisa melangkah ke luar dari pintu pagar rumahnya. Pada adegan terakhir, dengan pakaian becorak hijau teduh, May membuka pintu pagar putih rumahnya siang atau pagi itu. Ia melangkah. Pada langkah-langkah awal, May berputar-putar memandang ke sekeliling: jalanan di depan rumahnya, rumah-rumah tetangganya, dan jalanan di bagian kanan rumahnya. Wajahnya tampak antusias, meski tidak teramat sangat ceria, tak seceria wajahnya ketika menikmati komidi putar pada suatu petang menuju malam delapan tahun silam. Lantas, ia melangkah ke arah kiri, menelusuri jalan di depan rumahnya. Berjalan menjauhi dan memunggungi kamera—atau mata penonton—yang berdiri diam di depan rumahnya. Ia berjalan hingga langkah ke 27 dan layar pun menghitam.

Kita tahu, di balik gelapnya layar, May terus melangkah, ia harus—tidak bisa tidak—melanjutkan hidupnya. Kemungkinan besar ia melanjutkan hidupnya sendirian atau bersama ayahnya, yang diperankan Lukman Sardi, atau bersama kekasih dan lantas suaminya di kemudian hari. Singkatnya, ia mesti menjalani sisa hidupnya dengan bayang-bayang masa lalu di balik punggungnya.

Inilah kali kedua May berada di luar rumah. Yang pertama terjadi di malam hari delapan tahun yang lalu ketika ia pulang dari pasar malam dengan seragam SMP yang terkoyak-koyak dan bercak-bercak darah di sana sini, bukti peristiwa pemerkosaan yang naas mesti dihadapinya beberapa saat sebelumnya. Ia diperkosa beberapa lelaki dewasa, tak kurang dari lima orang.

Sepulangnya, Ia menelusuri jalanan yang sama di depan rumahnya. Bedanya, kala itu ia datang dari arah kanan. Matanya memandang kosong ke depan, tak melihat ke sekeliling. Dunianya seakan runtuh. Kamera—atau mata penonton—menantinya di depan pintu pagar rumahnya. Di sudut kanan, ayahnya tengah berberes taman di pekarangan rumah mereka. Sang ayah beberapa kali memanggil. May tak memberi tanggapan. Sang ayah berlari ke depan. Di luar pintu pagar, sang ayah memegang pundak May, mengguncang-guncangnya. Tak ada reaksi dari May. Matanya terus menatap ke depan. Ia barangkali melihat sudut terjauh jalanan di depan rumahnya itu. Hampa, kosong.

III

Selama hampir separuh durasi 27 Steps of May, kamera—atau mata penonton—diajak masuk ruang pribadi May dan ayahnya: rumah mereka, kamar tidur May, toilet dalam kamarnya, ruang kerja yang juga ruang makan, kamar tidur ayahnya. Kerap kamera—atau mata penonton—mengikuti tempat sampah rasa bersalah dan penyesalan tak terobati sang ayah; ring tinju, penjara, dan arena tarung bebas. Sesekali kamera—atau mata penonton—datang bersama pihak ketiga yang berempati pada keluarga itu: kurir dagangan boneka, diperankan oleh Verdi Solaiman, yang barangkali juga sobat lama ayah May. Ia kerap datang dengan membawa solusi-solusi seturut isi kepalanya terhadap kesulitan yang dihadapi sang sahabat. Kerap kamera—atau mata penonton—diajak untuk bercengkrama bersama bagian dari diri terdalam May—adegan demi adegan sureal ‘mengingat-untuk-menyembuhkan’ yang dipandu oleh sosok sureal seorang pesulap.

IV

May mengurung diri di ruang pribadinya selama delapan tahun. May hanya sedikit, katakanlah tiga sampai empat langkah, berjalan keluar dari ruang itu. Ketika makan, ia akan ke ruang tengah, yang berfungsi sebagai ruang netral bagi kebutuhan domestik para penghuni rumah. Mata kamera secara leluasa memasuki relung-relung terdalam ruang pribadi May ini.

May tentu tak tahu ia diintip sedemikian rupa itu. Dalam dunianya, orang lain selain ayahnya tidak ada yang masuk ke ruang pribadinya. May tidak mau membuka diri untuk seekor manusia pun. Masyarakat, tetangganya, teman-teman sekolahnya, barangkali juga kekasih cinta monyetnya, singkatnya semua manusia di dunia ini, seiring waktu berlalu barangkali lupa bahwa ada seorang remaja perempuan bernama May di dunia ini. Seorang remaja perempuan yang barangkali punya kesempatan-kesempatan baik di masa depannya, barangkali bisa melakukan hal-hal besar di masa depannya, namun semua itu sirna lantaran ketidakmampuan masyarakat kita mengekang libido laki-laki.

Untunglah kita sebagai penonton diberi keleluasaan melintasi realitas yang kerap tertutup nan abu-abu bagi mata telanjang kita, sehingga kita bisa turut merasakan. Kita tetaplah pengamat meski sesekali bisa mengidentikkan diri dengan May—betapa dingin, kaku, menakutkan, dan mengerikannya dunia May. Persis itulah salah satu fungsi film: mempertontonkan detil-detil realitas yang tak mampu ditelusuri oleh mata telanjang kita.

Bagi keseharian kita, realitas kehidupan May paling banter hanya sampai pada pemandangan depan rumahnya yang tak terurus dan seperti tak berpenghuni itu. Kita bisa membayangkan diri sebagai orang-orang yang lewat di jalanan di depan rumah May—tidak digambarkan dalam film—yang sudah hampir pasti tak peduli dan sama sekali tak tahu apa yang terjadi di balik pintu yang kerap terkunci itu. Bukankah sehari-hari kita seperti lewat depan rumah serupa? Semacam pendoa dan ahli Feng Shui yang hendak membantu pun tak diisinkan masuk ke dalam rumah itu. Pun pula kurir boneka, kawan karib ayah May pun, orang yang paling dekat dengan keluarga itu, tidak bisa masuk ke dalam. Ia hanya mendapatkan cerita-cerita dari sang ayah.   

V

Sang ayah adalah ia yang terpapar langsung dengan dunia May. Butuh delapan tahun pula sampai ia bisa mendengarkan detil-detil kisah yang meruntuhkan dunia anaknya. Sepanjang film, kecuali secuil ketika May memutuskan untuk melangkah ke masa depan, sang ayah digambarkan dikejar-kejar rasa bersalah, tak berdaya, bersamaan juga berusaha sekuat mungkin untuk tetap menjaga dunia steril sang anak. Ia menjaga terus berlangsungnya kegiatan menghias boneka sebagai kerutinan bersama. Ia rasa, hal tersebut bisa membantu anaknya untuk bisa bertahan, barangkali bertahan untuk tidak bunuh diri. Ia juga dengan begitu setia tidak mau melewati batas teritorinya dan teritori May. Teritori yang barangkali diciptakan May sejak malam kepulangannya delapan tahun lalu itu. Ia juga tidak memprotes, bahkan ia menyiapkannya, pilihan sang anak untuk hanya menyantap makanan yang berwarna serba putih. Ia tidak berkomentar pada pilihan pakaian keseharian sang anak yang serupa kostum biarawati Katolik: warna cerah kaku, menutupi hampir semua bagian tubuh, menyembunyikan unsur-unsur artistik tubuh. 

Dendam dan rasa bersalah sang ayah dilampiaskannya di atas ring tinju dan arena tarung bebas—keduanya simbol maskulinitas. Dendam dan rasa bersalah atas musibah yang menimpah sang anak yang diakibatkan oleh maskulinitas juga. Maka sang ayah menghajar dengan tidak ampun simbol-simbol maskulinitas itu—petinju-petinju dan para petarung yang mempertontonkan otot-ototnya dan berlomba menjadi paling jantan dari yang jantan. Namun ia juga mengejek kepuasan para penonton—semuanya laki-laki—akan tontonan kejantanan itu. Ia kerap tak mengindahkan “aturan main” hiburan lelaki itu. Ia datang hanya untuk bertarung, menghajar. Terkadang, ia kerap membiarkan dirinya, kejantanan yang ada padanya, dihajar habis-habisan. Ia seolah menikmati kejantanannya dibuat tak berdaya. Seakan, sang ayah marah pada kejantanan yang ada pada petinju dan petarung lain, pada para penonton, dan pada dirinya sendiri. Perhatikanlah adegan-adegan bagian ini; betapa kebarbaran begitu nyata di mata penonton.

Satu hal yang pasti, setali tiga uang dengan hidup May, hidup sang ayah turut terhenti dan mengalami pengulangan hari demi hari selama delapan tahun itu. Dengan kesakitan yang berbeda, luka yang berbeda.

VI

Delapan tahun berlalu sejak peristiwa naas itu—saya berusaha mencari kata yang lebih tepat dari ‘naas’, tapi kosakata saya untuk perkara ini ternyata sangat terbatas. Katakanlah, jika kenaasan itu terjadi ketika ia di bangku SMP, berarti May sedikit lagi lulus sarjana. 27 Steps of May menarasikan bahwa, dunia May yang steril dan terisolasi dari dunia luar itu dirusak pertama kali oleh peristiwa kebakaran. Kebakaran itu menimpa rumah di belakang rumah May yang temboknya menempel langsung dengan tembok belakang rumahnya, lebih spesifik lagi menempel langsung dengan bagian tembok rumah yang masuk dalam teritori pribadi May.

Rumah May memang seperti kebanyakan rumah di Jakarta. Tembok-temboknya saling menempel dengan rumah di sebelah atau di belakangnya. Kebakaran berpotensi merambah ke rumah May. Adegan pada peristiwa itu menunjukkan bagaimana perang berkecamuk dalam diri May. Ayahnya berusaha mengajak May untuk ke luar dari rumah. May pada awalnya melangkah perlahan-lahan ke luar, hendak menyelamatkan dirinya. Namun, teriakan dari luar, genggaman tangan ayahnya membangkitkan memori dan trauma mendalam May. Ia bertahan sekuat tenaga, mempertahankan diri untuk tetap berada dalam zona amannya.

Sejak itu saya kira—diperkuat dengan simbol lubang kecil di dinding akibat kebakaran—muncul kesadaran baru dalam diri May. Suatu saat nanti, entah kapan, ia mesti ke luar dari teritorinya dan bersitatap dengan lingkungan dan masyarakat yang persis telah menghancurkan hidupnya. Ia perlu menghadapi dunia bukan demi kebaikan dirinya, tetapi keadaan hidup inilah yang mengharuskannya melakukan hal itu. Kesadaran ini dan peristiwa-peristiwa kecil lain, seperti ayahnya yang tak pulang serta juga barangkali suara-suara perdebatan antara sang ayah dengan kurir boneka di depan rumah yang didengarnya, memicu pergumulan pada diri terdalam May, sisi yang memendam segenggam memori sebagai luka mendalam. Bagian 27 Steps of May yang sureal adalah penggambaran perang, dialog, dan upaya pengobatan diri—proses mengenang untuk mengobati diri—antara diri May hari ini dengan diri May yang terperangkap begitu rupa pada peristiwa pemerkosaan delapan tahun lalu.

Dialog panjang dalam diri May mendorong dirinya untuk berani membuka bab baru. Protagonis kita memutuskan untuk mengenakan busana yang tidak seperti biasanya dia kenakan selama delapan tahun ini, membiarkan rambutnya tergerai, memeluk ayahnya penuh cinta sembari berujar “bukan salah Bapak”, dan melangkah dengan santai tanpa takut ke pintu rumah, beranda, pagar, dan jalan raya. Semua itu saya kira hanya hendak mengatakan satu kata kepada kita, para penonton yang mengintip, bahwasanya luka masa lalu hanya bisa disembuhkan oleh sang korban. Pihak-pihak hanyalah bertugas menyediakan suasana untuk peristiwa dialog itu berjalan dengan baik. Hal ini dijalankan betul oleh ayahnya dan sebagian kecil oleh kurir boneka. Pada akhirnya, perjuangan melawan memori masa lalu yang menakutkan adalah perjuangan sang korban.

VII

Bagaimana dengan para pelaku? Yang satu ini memang tak patut diperbincangkan panjang lebar dan tak patut diberi banyak tempat dalam narasi. Penis-penis barbar itu muncul hilang muncul hilang dalam penggambaran yang remang-remang. Jika tetangga May atau orang-orang yang lewat di depan rumahnya sempat menatap ke arah rumah itu dan sesekali bertanya dan berkomentar dalam hati—”Rumah siapa ini?” “Mengapa seperti tak berpenghuni?” “Sepi sekali.” “Tak terawat”—maka para lelaki pemabuk itu jika lewat depan rumah May pastinya tak menganggap rumah itu ada. Mereka tidak terbiasa dan barangkali tidak pernah punya imajinasi perihal kehidupan orang lain yang berbeda dengan dirinya. Hal terakhir ini, dalam taraf yang beragam, merupakan fenomena umum dalam masyarakat kita. Kemungkinan besar ia hadir pula dalam diri kita.

Meski remang-remang, tampak betul wajah-wajah para pelaku adalah wajah-wajah yang akrab dengan kita. Wajah-wajah masyarakat kita, bangsa kita. Berbeda tentu saja dengan wajah-wajah dalam film-film Catherine Breillat, misalnya. Jika kita sepakat peran seni sebagai cerminan kenyataan sosial, jelaslah 27 Steps of May menggambarkan perihal kita. Tak perlu jauh-jauh. Peristiwa seperti yang digambarkan pada awal film ini kerap berseliweran bukan di situs-situs berita yang kita ikuti bukan? Ia juga kerap, dalam latar dan situasi yang berbeda, hadir sebagai kabar burung di lingkungan kita masing-masing. Tak terkecuali di lingkungan yang dianggap lebih beradab ketimbang lingkungan petak pasar dengan gang-gang beceknya, tempat May melihat mainan menarik tergeletak. Setelah mendengar desas-desus semacam itu, kita sering mendiamkannya dan terkadang mewajarkan pelaku. Barangkali itulah yang terjadi pada para pencuri masa depan May—di antara kawan-kawannya, di lingkungannya, tindakan mereka dianggap angin lalu. Dengan demikian, kita turut bersalah pada May dan May-May lainnya.

VIII

Walter Benjamin, seorang pemikir melankolis berdarah Yahudi berkebangsaan Jerman pernah mengekstrak dialektika antara masa lalu dan masa depan (kemajuan) dalam analogi Malaikat Sejarah, terinspirasi dari lukisan bertajuk Angelus Novus karya Paul Klee. Begini kira-kira Benjamin menulis perihal waktu dalam On the Concepts of History.

Malaikat Sejarah terpana, matanya menunjukkan kepanikan dan kengerian, memandang reruntuhan masa lalu—yang bisa kita artikan sebagai korban-korban. Ia, malaikat sejarah itu, ingin berhenti untuk membenahi reruntuhan itu. Namun, sayapnya tak bisa ia katupkan. Angin kemajuan berhembus begitu kencang, dari firdaus menuju masa depan, sehingga sayapnya terus terentang. Sang malaikat terus terlempar ke depan, terbawa hembusan kencang angin kemajuan, sementara tumpukkan reruntuhan masa lalu di hadapannya semakin tinggi menjulang ke langit.

Malaikat Sejarah yang digambarkan Benjamin sesungguhnya berada pada posisi pengamat. Oleh karena itu, matanya masih sanggup, meski pun ngeri, melihat reruntuhan korban masa lalu. Namun, bagaimana jika yang terlempar ke depan oleh angin kemajuan adalah korban itu sendiri? May berusaha sekuat tenaga, lebih tepatnya dipaksa oleh peristiwa, untuk tetap berada pada waktunya, pada ruang pribadinya, pada masa lalunya. Namun, melalui suatu momen pencerahan dalam hidupnya, ia sadar. May mesti ikut berjalan maju, melangkah menantang masa depan.

Pada adegan terakhir 27 Steps of May, May kita, setelah mengamati pemandangan sekeliling rumahnya, memutuskan untuk berjalan ke depan, dengan mata tertuju ke depan. Ia memunggungi masa lalunya. Ia berjalan ke arah masa depan tanpa mau menoleh pada masa lalunya. Meski kita tahu, trauma masa lalu terus menghantui punggungnya, meniup-niup punggungnya, memberi sensasi dingin. Barangkali, pada saat-saat tertentu, saking dinginnya trauma masa lalu, tubuh May menggigil. Kita pun juga ikut menggigil.

Ada jejak panjang, bekas luka mendalam yang tak bisa lekas hilang. Kita tak tahu, seperti apa mimik wajah May ketika melangkah ke depan itu. Persis karena kita, setelah diajak masuk melintasi ruang pribadinya, tidak ikut melangkah bersama May. Apakah wajahnya riang gembira ketika itu, cemas, atau perubahan dari satu mimik ke mimik yang lain? Bagaimanakah matanya? Bagaimanakah perasaannya?

Kepada May dan May-May lainnya yang hendak melangkah menyongsong masa depan, kita hanya bisa berucap: selamat berjuang. Bersama mereka, kita melangkah.