Sama halnya seperti tertawa, nostalgia juga belum dilarang. Semoga jangan. Oleh karenanya, sah-sah saja bila Anggy Umbara dan kawan-kawan mengisahkan masa lalu dalam Warkop DKI Reborn. Mengangkat trio komedian legendaris, film ini berusaha menampilkan kembali kelucuan Warkop DKI (yang tanpa Nanu dan Rudy Badil) dalam versi kekinian. Sosok Warkop DKI, yang terkenal berkat kehadirannya di Prambors dan lebih dari tiga puluh film, kini diperankan oleh Abimana Aryasatya (Dono), Vino Bastian (Kasino), dan Tora Sudiro (Indro).
Pilihan menampilkan Dono, Kasino, dan Indro sebagai anggota CHIPS pada awal film terbilang efektif untuk (mengakali) kelahiran kembali Warkop. Dengan seragam CHIPS, ketiga pemeran seakan menggunakan atribut yang mewakili identitas Warkop DKI—tak ubahnya kostum superhero yang diisi oleh berbagai pemeran. Secara visual, strategi ini tepat guna. Seragam CHIPS mempermudah penonton untuk membayangkan generasi baru ini sebagai penerus sosok Wahjoe Sardono, Kasino Hadiwibowo, dan Indrojoyo Kusumonegoro. Ada jembatan yang secara kasatmata serupa.
Kemiripan kostum ini turut dilengkapi dengan kemiripian tampilan fisik, gestur, dan cara bicara ketiga tokoh. Tak lupa juga adegan-adegan ikonik dari film-film Warkop terdahulu. Baru pada pertengahan film, ketika penonton mulai terbiasa, seragam CHIPS ditanggalkan. Pengenalan selesai, konflik hadir.
Terkait penuturan cerita, pilihan memulai dengan CHIPS (1982) juga memberikan keleluasaan seputar pemilihan konflik. Alasannya adalah karena latar jalan raya memiliki sumber tak terbatas akan peristiwa-peristiwa konyol bin ajaib. Terlebih, ditambah dengan embel-embel komedi dan beberapa momen breaking-the-fourth-wall, maka sudah barang tentu apapun bisa dibuat terjadi tanpa perlu terlalu menakar nalar.
Terbukti, cerita bisa digulirkan seenak hati pembuatnya. Mulanya adalah ketiga tokoh, khususnya Kasino, ditampilkan tidak becus bekerja. Namun, alih-alih dipecat, mereka justru diberi tanggungjawab yang lebih besar, yakni menangkap pelaku begal motor. Untuk membantu ketiganya, bos mereka (Ence Bagus) mengutus Sophie (Hannah Al Rashid), anggota CHIPS cabang Prancis. Sialnya, kejar-kejaran dengan begal motor justru berujung kekacauan. Mereka harus ganti rugi senilai delapan miliar rupiah. Kalau tak bisa tersedia dalam waktu seminggu, penjara ganjarannya. Demi melunasi biaya ganti rugi itu, ketiganya melakoni petualangan baru yang kian sulit dinalar, yang tentunya kian memperpanjang durasi film.
Menurut pembuat filmnya, Warkop DKI Reborn dipecah menjadi dua bagian karena perlu durasi panjang untuk mengemas 34 film Warkop ke dalam satu film. Motifnya: nostalgia. Tampak kemudian upaya itu hadir lewat munculnya berbagai fragmen dari film-film Warkop. Selain dari CHIPS, ada adegan Kasino melantunkan nyanyian kode (Pintar-pintar Bodoh, 1980), Kasino memaki Dono dengan umpatan khasnya (Dongkrak Antik, 1982), hingga pesawat yang bergerak mundur (Godain Kita Dong, 1989). Musik pengiring dan sketsa-sketsa banyolan pada awal film, yang ditampilkan bergantian dengan kredit film, juga sarat muatan nostalgia. Paling kentara tentunya pada penokohan, yang plek-plekan mengikuti Warkop asli—Dono yang menjadi sasaran ledekan tapi sering beruntung, Kasino yang ceplas ceplos dan banyak tahu (atau sok tahu), serta Indro yang sembrono dan kerap menimpali guyonan.
Setengah-setengah
Konon, Warkop DKI Reborn bagian kedua akan berbeda. Dalam sebuah acara, Anggy Umbara mengatakan bahwa bagian kedua akan lebih liar dan eksploratif. Tapi marilah kita kesampingkan pernyataan pembuat film terlebih dahulu dan lebih lekat melihat filmnya. Bagaimanapun juga, pengalaman yang universal bagi penonton dari Sabang sampai Merauke bukanlah pernyataan pembuat film, tapi filmnya. Sudah sewajarnya suatu film bisa berdikari dalam berkomunikasi dengan penonton, tak terkecuali film yang menjadi bagian dari suatu dwilogi, trilogi, hingga tetralogi.
Konsekuensi dari membagi film jadi dua jelas bukan pemasukan dobel saja, tapi juga pengalaman yang setengah-setengah. Apalagi Anggy Umbara dan kawan-kawan sama sekali tidak menuntaskan garis cerita apapun dalam film pertama ini. Warkop DKI Reborn Part 1 tersendat dalam bertutur, tidak menyuguhkan klimaks apapun, dan sesak oleh berbagai detail, yang mungkin harus dirangkai ulang di bagian kedua.
Bagian pertama Warkop DKI Reborn baru tuntas sebagai pengenalan dan kehadiran konflik. Seperti halnya Comic 8, perjalanan berikutnya adalah suatu penyelesaian yang memungkinkan banyak elemen hiburan. Bila dalam Comic 8 hiburannya adalah baku hantam yang lucu, maka dalam Warkop DKI Reborn kemungkinannya adalah baku lawak penuh aksi—mungkin ada motor lompat, mobil miring, dan lain-lain lagi. Berbagai twist juga berpotensi untuk dihadirkan. Dalam Comic 8, twist disematkan pada sosok The King. Dalam Warkop DKI Reborn, twist berpotensi hadir pada sosok perempuan berbaju merah, keabsahan peta harta karun, ketepatan dari tebakan ketiga tokoh ihwal kode di buku, dan lain-lain yang mungkin tidak cukup bisa diduga.
Memang jadi tidak mudah menilai film yang belum kelar, apalagi film yang sengaja tidak dibuat kelar. Namun, terlepas dari bagaimana bentuk utuhnya nanti, bagian pertama Warkop DKI Reborn sudah menunjukkan arah filmnya: mencoba menjadi kekinian. Lawakan lama Warkop diolah dengan berbagai hal baru seperti humor dunia maya—meme-meme hingga fitur face-swap di Snapchat—serta sejumlah isu sosial-politik mutakhir—seperti kasus Hambalang, tingkah ormas, dan putusan hakim Parlas Nababan soal kebakaran hutan. Bisa jadi ini adalah upaya Anggy menangkap zaman melalui humor, seperti halnya dulu Warkop DKI lakukan. Akan tetapi, dalam kasus Warkop DKI Reborn, tampak bahwa upaya tersebut tidak sepenuhnya berhasil.
Ada beberapa lawakan yang sebetulnya tidak perlu, sekadar mengulur durasi, dan celakanya lagi, sama sekali tidak baru. Sebut saja lawakan ucapan repetitif ala iklan ataupun gombalan di mobil. Selain itu, ada pula beberapa lawakan yang bisa jadi hanya membuat dahi berkerut. Misalnya saja lawakan seputar ledekan warna kulit, objektifikasi perempuan, serta kelemahan daya ingat Pakde Dono. Memang para pembuatnya bisa berlindung di balik kedok komedi dan nostalgia, lantaran Warkop juga kerap menampilkan lawakan yang kurang etis. Masalah kelucuan juga bisa dikembalikan lagi kepada selera. Akan tetapi, pilihan humor sesungguhnya mengandung konsekuensi sosial-politis yang kuat.
Penanda Zaman
Kita bisa melihat kembali Warkop pada zaman dulu. Hadir pada masa Orde Baru, lawakan warkop berada dalam kebebasan berpolitik yang amat terbatas—sehingga bersuara menjadi suatu hal yang berisiko. Oleh karenanya, “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang” menjadi sebuah ajakan yang politis. Sebuah alternatif untuk mengkritik zaman, tanpa terbentur oleh tindak represif dari pemerintah. Di situlah kemudian Warkop melakukan berbagai satir, seperti soal suap-menyuap, pengemplangan pajak, ekspansi modal asing, serta budaya luar yang masuk ke Indonesia, sembari berlindung di balik kedok komedi.
Warkop DKI Reborn justru terasa sebaliknya. Hal yang jelas adalah zaman sudah berubah. Keresahannya juga sudah berbeda. Kritik bisa ditampilkan dengan lebih verbal dan gamblang, seperti yang film ini lontarkan tentang ormas dan Papua. Sayangnya, dalam ruang yang sudah relatif terbuka tersebut, tampak sekali bahwa Warkop DKI Reborn hanya mengandalkan selentingan-selentingan verbal tanpa ada usaha untuk memadukannya dalam satu nafas. Satu-satunya yang terbangun dalam sebuah setup yang serius hanyalah ketika adegan persidangan. Sisanya, hanya selentingan. Alhasil, yang terasa kemudian justru komedi hanya menjadi kedok untuk hal-hal yang pada masa sekarang sudah kerap dianggap tidak tepat secara politis—soal ras, objektifikasi perempuan, dan ejekan seputar kekurangan (fisik) orang.
Tangkapan soal zaman juga terbatas pada tangkapan terhadap meme-meme yang marak beredar. Beberapa dirangkai sekenanya, beberapa lainnya dipanjang-panjangkan. Terkesan kemudian Warkop DKI Reborn berdurasi panjang bukan karena ingin mengangkat banyak hal. Namun karena ingin film ini panjang, maka para pembuatnya memasukkan banyak hal. Lihat saja peristiwa klise soal koper tertukar, yang berisikan kode dan peta harta karun yang tak dibaca habis sebelumnya, untuk tebakan Upin-Ipin (bukan Indro dan halusinasinya, yang dua tapi satu juga) yang membuat mereka ke Malaysia. Oh ya, jangan lupa juga masukkan behind-the-scene di belakang film. Makin panjang, makin lama, makin asyik.
Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 | 2016 | Durasi: 94 menit | Sutradara: Anggy Umbara | Penulis: Anggy Umbara, Bene Dion, Andi “Awwe” Wijaya| Produksi: Falcon Pictures | Negara: Indonesia | Pemeran: Abimana Aryasatya, Vino Bastian, Tora Sudiro, Indro, Hannah Al Rashid, Ence Bagus