Kemenangan Siti, Ketidakadilan FFI

kemenangan-siti-ketidakadilan-ffi_hlgh

Siti karya Eddie Cahyono berjaya sebagai film terbaik Festival Film Indonesia 2015. Di malam anugrah FFI pada 23 November 2015, film produksi Fourcolours Films itu mengungguli A Copy of My Mind karya Joko Anwar, Guru Bangsa Tjokroaminoto karya Garin Nugroho, Mencari Hilal karya Ismail Basbeth, dan Toba Dreams karya Benni Setiawan. Siti juga membawa pulang Piala Citra untuk kategori penulis skenario asli (Eddie Cahyono) dan penata musik (Krisna Purna), serta nominasi untuk kategori sutradara (Eddie Cahyono) dan sinematografer (Fauzi “Ujel” Bausad).

Kemenangan Siti malam itu terasa unik. Siti, sebuah film yang tidak pernah dan tidak diniatkan beredar di bioskop, menang di tengah perlakuan tak adil FFI terhadap film-film non-bioskop. Pemirsa FFI 2015, yang menonton lewat siaran televisi, tidak sedetikpun menyaksikan penghargaan untuk film pendek, dokumenter, animasi, dan televisi. Di lokasi penyelenggaraan malam anugrah FFI tahun ini, yakni Indonesia Convention Exhibition di Tangerang, para nomine kategori-kategori film non-bioskop baru tahu kalau mereka menang—atau tidak menang—jelang bubaran acara. Saat acara off-air untuk jeda iklan, Sarah Sechan, pembawa acara, membacakan pemenang film-film non-bioskop—kecuali film pendek.

“Gue taunya dari Robby Ertanto [ketua bidang acara FFI 2015] kalau kami menang. Waktu itu udah kelar acara. Gue masih dalam ruangan, lagi kasih selamat ke teman-teman yang menang,” ujar Meiske Taurisia, produser The Fox Exploits the Tiger’s Might—film pendek terbaik FFI 2015. “Barulah kami terima piala. Selama acara ya tidak dibacakan.” Meiske menambahkan bahwa panitia minta maaf, dan mengajak perwakilan tim The Fox Exploits the Tiger’s Might untuk ikut konferensi pers bersama Eddie Cahyono dan Ifa Isfansyah—produser Siti.

Nasib serupa dialami Sidharta Tata, sutradara Natalan. Nomine film pendek terbaik itu baru tahu siapa pemenangnya setelah salah satu juri kategorinya minta maaf. “Mbak Lulu [Ratna] menghampiri saya setelah acara, kaget sekaligus minta maaf karena kategori film pendek tidak dibacakan sepanjang acara. Kami sama-sama heran, tapi juga tidak tahu kenapa bisa begitu,” tuturnya. “Setelah itu, baru LO kami memberi kabar siapa pemenangnya.”

Sementara itu Fazhila Anandya malam itu sudah punya firasat filmnya tidak akan menang. Sutradara Nostalgia Senja yang jadi nomine dokumenter pendek terbaik itu mendapati timnya beserta sejumlah nomine non-bioskop duduk di kursi baris belakang, sementara segelintir nomine non-bioskop lainnya duduk di baris depan. “Kami pikir, misalkan kami menang saat itu, tidak mungkinlah kami harus berjalan begitu jauh ke panggung,” jelasnya. Piala Citra untuk dokumenter pendek terbaik malam itu dibawa pulang oleh Tino Sidin Sang Guru Gambar karya Mohammad Fikri.[1] Terlepas dari itu, kekecewaan terbesar Fazhila adalah ketika melihat sejumlah aktor dan aktris film bioskop—yang bahkan tidak masuk nominasi—duduk di kursi baris depan.

kemenangan-siti-ketidakadilan-ffi_01

Tidak Adil Sejak dalam Pikiran

Diskriminasi FFI terhadap film non-bioskop bukannya hal baru. Pada FFI 2012, Bermula dari A menang Piala Citra sebagai film pendek terbaik. Di atas panggung, setelah menerima piala, BW Purbanegara mengawali pidato kemenangannya dengan berkata, “Selamat malam. Kalau nggak salah ini off-air ya? Ternyata FFI masih mendiskriminasi film pendek.”[2] Pernyataan BW Purbanegara disambut sorak sorai dan tepuk tangan penonton. Pasalnya, beberapa menit sebelum sutradara asal Yogyakarta itu naik ke panggung, pembawa acara mengabarkan hadirin di lokasi dan pemirsa layar televisi bahwa mereka akan rehat sejenak untuk jeda iklan. [3] Hal serupa, pada malam itu, turut terjadi untuk penghargaan film dokumenter dan animasi terbaik.

Tahun-tahun sebelumnya kurang lebih sama. Di layar televisi, penghargaan kategori-kategori film non-bioskop ditampilkan sebagai teks informasi, transisi antara jeda iklan dan siaran langsung FFI. Hanya pemenang film panjang yang sudah pasti mendapat waktu siar dan kesempatan naik ke panggung. Di luar itu, belum tentu. Selama ini, panitia selalu berkilah bahwa sebabnya adalah intervensi pihak televisi dengan alasan durasi—tak terkecuali tahun ini. Sayangnya, kilahan tersebut hanya menegaskan bahwa kategori film pendek, dokumenter, dan animasi—sebagai bagian dari penghargaan dan penyelenggaraan FFI—adalah komponen yang bisa dikorbankan. Kalau memang kategori-kategori film non-bioskop ini dianggap sebagai bagian dari FFI, seharusnya panitia FFI berjuang untuk menegaskan hal tersebut kepada pihak televisi.

Perkara diskriminasi ini tidak sesepele publisitas, tidak juga sebatas komunikasi ke publik saja. Nyatanya, sebelum diberi penghargaan pun, film-film non-bioskop sudah diperlakukan tidak adil. Di balik layar, metode penjurian untuk kategori film pendek, dokumenter, dan animasi dibedakan dari film panjang. Dalam kategori-kategori tersebut, seluruh proses penjurian—dari seleksi, nominasi, sampai penentuan pemenang—diserahkan kepada dewan juri yang terdiri dari lima sampai tujuh orang. Setiap tahunnya, lima sampai tujuh orang ini harus menonton dan menyeleksi puluhan film, kadang lebih. Beda halnya dengan penjurian film panjang, yang terus dimutakhirkan selama beberapa tahun terakhir ini—demi kelancaran dan ketepatan penjurian. Penjurian film bioskop yang awalnya juga dibebankan pada segelintir orang, kini diproses melalui dewan juri yang jumlahnya masif.

Total anggota dewan juri FFI untuk film panjang tahun ini: 109 orang. Total film yang dinilai: 61 film. Jumlah juri melampaui jumlah film yang mendaftar. Para juri dibagikan USB drive, berisikan file-file film yang telah diberi watermark—kecuali untuk beberapa film yang juri harus tonton di bioskop atas permintaan produser. Nominasi dan penentuan pemenang dilakukan berdasarkan pemungutan suara secara online, yang hasilnya kemudian ditabulasi oleh akuntan publik—tahun ini Deloitte.

Jumlah film non-bioskop di FFI tahun ini: 96 film pendek, 8 dokumenter panjang, 49 dokumenter pendek, 21 film animasi, dan 19 film televisi. Dewan juri film pendek, dokumenter, animasi, serta televisi di FFI masing-masing beranggotakan lima orang—penjurian untuk dokumenter panjang dan pendek digabung. Jumlah film melampaui jumlah juri yang menilai. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, masing-masing dewan juri harus menyeleksi dan menonton semua film non-bioskop yang mendaftar. Barulah kemudian para juri berdiskusi untuk menentukan siapa nomine dan pemenang untuk setiap kategori.

Kita bisa berdebat panjang metode penjurian mana yang lebih superior, diskusi atau pemungutan suara. Tapi, terlepas dari debat yang bisa jadi tak berujung itu, jumlah dewan juri yang masif sudah pasti akan meminimalisir risiko. Satu hambatan yang seringkali muncul dalam setiap penjurian adalah keterlibatan juri dalam proses produksi film yang sedang dinilai. Aturannya: apabila ada juri yang terlibat dalam proses produksi film yang sedang dinilai, maka juri tersebut tidak ikut dalam penjurian film terkait. Dalam dewan juri film panjang yang jumlahnya masif, apabila ada satu, dua, atau tiga juri yang berhalangan karena kondisi tersebut, masih ada sekitar delapan puluh juri lainnya sebagai penilai. Beda halnya dengan penjurian film non-bioskop—apabila satu atau dua juri berhalangan, hanya tiga atau empat yang tersisa.

Skenario ini nyatanya memang terjadi dalam penjurian film animasi FFI tahun ini. Tiga dari lima film nomine kategori ini merupakan karya animator yang tergabung dalam dewan juri. Salah satunya, GWK karya Chandra Endroputro, keluar sebagai pemenang. GWK bersaing dengan dua film buatan juri lainnya: Kapur Ade karya Firman Widyasmara dan Tendangan Halilintar karya Freddy Nindan. Hanya Chiki Fauzi dan Achmad Rofiq yang tidak perlu mempertimbangkan kehadiran film sendiri.

Bisa dibayangkan bagaimana peliknya penjurian yang terjadi. Tanpa mengecilkan pencapaian film-film nomine dan kompetensi para juri, kesahihan penjurian FFI untuk film animasi patut dipertanyakan, karena praktis hanya dua film nomine yang dinilai juri secara utuh. Masalah ini takkan terjadi apabila FFI mau mengalokasikan lebih banyak sumber daya manusia untuk penjurian film-film non-bioskop—tentunya dalam proporsi yang tepat dengan jumlah film yang dijurikan—sebagaimana yang terjadi di penjurian film bioskop. Dan kalau memang duitnya kurang, maka alihkan saja segala urusan glamor FFI, dari pawai artis sampai karpet merah, untuk memperkuat seluruh lini penjurian. Ini acara film kan?

kemenangan-siti-ketidakadilan-ffi_02

Kesilapan yang Lebih Luas

Perlakuan berbeda FFI terhadap film bioskop dan non-bioskop menggariskan dikotomi yang tak sehat: film bioskop harus mendapat perlakuan terbaik, sementara film-film non-bioskop tak apa seadanya. Ketidakadilan FFI sudah mengakar sejak dalam pikiran, yang sesungguhnya adalah gejala dari kesilapan yang lebih luas. Pemangku kepentingan perfilman Indonesia, terutama yang mewakili negara, masih suka semena-mena membelah sinema ke dalam label-label: arus utama, arus samping, film bioskop, film festival, dan berbagai macam lainnya. Ribetnya lagi, keragaman karya sinema dilihat sebagai jenjang bertingkat-tingkat, yang berpuncak pada film panjang bioskop, dan diukur dengan parameter yang selalu sama: perolehan box-office. Seakan-akan seorang pembuat film tidak sah disebut pembuat film kalau belum bikin film (laris) untuk bioskop.

Sialnya, kita seringkali begitu terpaku pada puncak-puncak perfilman itu, tapi abai pada proses-proses yang memungkinkan pencapaian itu terjadi. Penyokong perfilman Indonesia selama ini bukanlah bioskop semata—ia hanyalah salah satu pilar, yang berperan dalam fungsi ekshibisi komersil. Bioskop memang vital dalam industri perfilman kita, tapi industri perfilman kita tidak akan mungkin terselenggara karena ekshibisi komersil semata. Di luar itu, masih ada fungsi-fungsi yang tak kalah vitalnya—dari produksi, distribusi, ekshibisi non-komersil, apresiasi, kritik, hingga pendidikan.

Faktanya, banyak dari fungsi-fungsi tersebut yang diupayakan oleh pegiat dan pelaku budaya film di luar bioskop—seringnya dalam wujud komunitas. Faktanya lagi, para pejabat negara dan pemangku kepentingan perfilman seringkali gagal paham, bahwa banyak perkembangan sinema Indonesia yang terjadi dan berlangsung tanpa dukungan negara dan intervensi pasar. Satu jargon yang pemerintah kita sering syiarkan belakangan ini adalah “industri kreatif”, sampai-sampai rezim Jokowi mendirikan Badan Ekonomi Kreatif yang dikepalai Triawan Munaf. Tapi, patut dipahami, bahwa keberadaan industri kreatif membutuhkan masyarakat yang kreatif pula—yang tidak saja aktif berkarya secara kreatif, tapi juga aktif menghasilkan solusi kreatif bagi masalah sehari-hari.

Solusi kreatif itulah yang sudah dan sedang berlangsung dalam perfilman kita di luar bioskop. Seringkali tanpa dukungan negara dan akses pasar, kawan-kawan komunitas dan gerakan-gerakan akar rumput menumbuhkan budaya film di lingkungan setempatnya—dan tidak sedikit yang berlangsung di kawasan tak berbioskop. Sejarahnya panjang, bisa dilacak setidaknya sampai kebangkitan perfilman Indonesia pasca-reformasi. Kegiatan yang berlangsung juga tidak sebatas produksi film, tapi juga meliputi pemutaran untuk publik, penyelenggaraan festival, pembukaan ruang diskusi, lokakarya, laboratorium film independen, hingga kritik dan kajian film.

Dari dinamika di luar bioskop ini, perfilman kita memperoleh karya, bakat, pekerja, penonton, estetika, dan pengetahuan baru. Kalau memang negara ingin berperan dalam penyemaian industri kreatif, langkah awal yang bisa dilakukan adalah mengakui dan mengapresiasi keragaman kegiatan kreatif di Indonesia. Untuk film, FFI bisa menjadi corongnya.

kemenangan-siti-ketidakadilan-ffi_03

Tumbuh Bersama Publik

Mari kembali berkaca kepada Siti. Eddie Cahyono saat ini tercatat sebagai sutradara dua film panjang. Cewek Saweran, film panjang pertamanya, beredar tidak lebih dari seminggu di bioskop pada awal Maret 2011. Jauh sebelum itu, dan ini kerap luput dari narasi populer di media, Eddie Cahyono merupakan bagian dari generasi sineas yang tumbuh pada masa pasca-reformasi. Kariernya ia tempa lewat produksi film pendek sejak 2000—beberapa yang menonjol adalah Di Antara Masa Lalu dan Sekarang (2001), Bedjo van Derlaak (2003), dan Jalan Sepanjang Kenangan (2007). Total ada enam film pendek yang Eddie Cahyono sutradarai—semuanya beredar melalui jaringan festival dan layar alternatif di Indonesia.

Siti juga beredar melalui cara serupa. Alexander Matius, manajer kineforum Dewan Kesenian Jakarta, mencatat bahwa Siti di Indonesia telah tayang untuk publik di Jogja-NETPAC Film Festival, Plaza Indonesia Film Festival 2015, Rumata Artspace, UI Film Festival 2015, IFI Surabaya, Minikino Film Week, Kolektif Simamat, Sepuluh November Film Festival, Sewon Screening 2015, IFI Bandung, SEASREP 20th Anniversary Conference, Sinema Rabu, Sinema November, Movie Land Cinema Komunikasi UMY, Plaza Indonesia XXI: Festival Film Indonesia 2015, Kunjung Kampus Piala Maya 2015, Boemboe Dapur Night, dan Semarang Film Exhibition.[4]

Siti jugalah salah satu film dalam program Layar Tanjleb di Festival Film Purbalingga 2015. Bersama film-film produksi pelajar setempat, Siti berkeliling ke sembilan belas desa di kawasan Banyumas Raya. Jumlah penonton seluruh pemutaran Layar Tanjleb menurut perhitungan panita: 10.450 orang. Adapun kineforum menayangkan Siti pada dua kesempatan: program Mengalami Kemanusiaan (kerjasama dengan Kolektif) dan pemutaran reguler kineforum. Total penonton Siti di kineforum, baik dari penonton Mengalami Kemanusiaan maupun penonton reguler, adalah 685 orang. Sejauh ini, di Indonesia, Siti telah singgah di empat layar alternatif, lima festival film, dan dua belas program pemutaran independen.

Ifa Isfansyah, produser Siti, juga tumbuh dari dinamika di luar bioskop. Sebelum tenar sebagai sutradara Sang Penari dan Pendekar Tongkat Emas, Ifa Isfansyah banyak berproses bersama kawan-kawannya di Fourcolours Films. Film pendek pertamanya, Air Mata Surga, ia sutradarai bersama Eddie Cahyono pada 2002. Lalu ia lanjut menyutradarai lima film pendek—salah satunya, Harap Tenang, Ada Ujian, adalah film pendek terbaik FFI 2006. Begitu juga Ismail Basbeth, sutradara Mencari Hilal, yang pada FFI 2015 jadi nominasi untuk sutradara dan penulis skenario asli terbaik (bersama Salman Aristo dan Bagus Bramanti). Memproduksi dan menyutradarai film pendek sejak 2006, Ismail bersama kawan-kawannya di Hide Project tahun ini merilis Another Trip to the Moon. Film panjang yang dibuat sebelum Mencari Hilal tersebut sempat berkompetisi di International Film Festival Rotterdam, dan di Indonesia hanya beredar di layar-layar alternatif.

Kalau kita mau repot-repot meneliti kembali nominasi dan pemenang FFI terdahulu, kita akan mendapati nama-nama yang kita puja sekarang tidak hadir serta-merta begitu saja. Banyak dari mereka yang berproses melalui dinamika di luar bioskop. Riri Riza, misalnya, pada 1994 juara tiga di Oberhausen—festival film eksperimental kelas dunia—dengan film pendeknya yang berjudul Sonata Kampung Bata. Atau Hanung Bramantyo yang sejak 1998 menyutradarai film-film pendek macam Tlutur dan Topeng Kekasih, sebelum berkarier sebagai sutradara dan produser film bioksop.

Bertahun-tahun nanti, Siti akan tercatat sebagai film non-bioskop pertama yang menang film terbaik FFI. Semoga selama bertahun-tahun itu juga FFI, sebagai perhelatan negara yang diselenggarakan dengan dana publik, ikut tumbuh bersama publik nusantara. Kegiatan perfilman yang berlangsung di publik kian beragam, begitu juga film-film yang dihasilkan dan disaksikan publik Indonesia. Dunia film tak melulu soal bioskop, tak juga selalu glamor. Sudah saatnya FFI memperluas perspektifnya—kemenangan Siti adalah momentum yang tepat.

CATATAN

[1] Situs resmi Festival Film Indonesia 2015 salah mencantumkan nama sutradara untuk Tino Sidin Sang Guru Gambar—setidaknya sampai dengan 30 November 2015 ketika penulis terakhir mengakses situs tersebut. Tertulis sutradara film dokumenter pendek itu adalah Fazhila Anandya, yang sebenarnya adalah sutradara Nostalgia Senja.

[2] Rekaman pidato BW Purbanegara di FFI 2012 selengkapnya dapat disaksikan di kanal YouTube milik Yosep Anggi Noen.

[3] Herianto Batubara. “Semoga FFI Tak Lagi Mendiskriminasi Film Pendek”. Detik.com, 13 Desember 2011 (diakses pada 24 November 2015).

[4] Catatan Alexander Matius perihal riwayat penayangan Siti di Indonesia ditulis di akun Facebook pribadinya pada 25 November 2015.