Sineas dan Layar Alternatif

sineas-dan-layar-alternatif_01
Jelang sebuah pemutaran di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara

Tak bisa dipungkiri lagi, kehadiran moda pemutaran-pemutaran alternatif film—pemutaran film di tempat selain bioskop—semakin menjamur akhir-akhir ini. Ada yang terikat dengan ruang tertentu, misalnya kineforum di Jakarta, Kineruku di Bandung, Minikino di Denpasar, kineklub kampus-kampus, serta kafe-kafe yang semakin banyak mengadakan acara-acara kesenian dan kebudayaan, termasuk pemutaran film. Ada festival film, misalnya XXI Short Film Festival, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, Festival Film Dokumenter, Q! Film Festival, ARKIPEL International Documentary & Experimental Film Festival, Festival Film Purbalingga, dan masih banyak lagi. Ada program ekshibisi, seperti Kolektif, Indonesia Raja, Sinema Rabu, dan Bioskop Keliling. Ada juga penyuplai film alias distributor, seperti buttonijo, yang mulai dimanfaatkan para penyelenggara kegiatan pemutaran. Terakhir adalah moda dalam jaringan atau online, seperti Kineria dan Viddsee, serta platform yang sifatnya lebih umum macam YouTube, Vimeo, bahkan Vine dan Instagram.

Layar-layar alternatif membuka kesempatan untuk masyarakat agar bisa menikmati beragam film yang tidak melulu hanya standar bioskop. Sudah jadi rahasia umum kalau tidak semua film bisa tayang di jaringan bioskop komersil. Kurasi bioskop memiliki standarnya sendiri, yang umumnya berfokus pada dari sisi teknis, estetis, dan ekonomi. Tentu saja, bioskop mau film-film yang diputarkannya ‘menjual’—yang sebenarnya sah-sah saja—tapi imbasnya adalah film-film alternatif, seperti dokumenter, film pendek, bahkan animasi, otomatis sulit menembus bioskop. Tingginya keinginan dan kebutuhan untuk mengakses film-film non-bioskop tersebut yang akhirnya membuat keberadaan layar alternatif bisa menjamur seperti sekarang ini.

Tulisan ini mencoba menggali peluang dan tantangan apa saja yang diberikan dan dihadapi layar-layar alternatif dari kacamata sineas film alternatif. Sembilan sineas dengan latar belakang berbeda-beda—profesional, sekolah film, komunitas—berbagi soal apa-apa saja yang mereka lihat dari keberadaan layar-layar alternatif.

sineas-dan-layar-alternatif_02
Pemutaran Layar Kemisan bersama buttonijo di Universitas Jember (dokumentasi buttonijo)

Kebaruan

“Perkembangan layar alternatif semakin berkembang dalam lima tahun terakhir. Belum ada banyak layar, namun saya bisa melihat perkembangannya,” ujar Wregas Bhanuteja, sutradara film lulusan Institut Kesenian Jakarta. “Mulai banyak kemunculan festival-festival film di kota Solo, Purbalingga, Malang, dan kota-kota kecil di Jawa. Layar alternatif juga berkembang di luar Jawa seperti Ubud, Makassar, Ambon, dan Aceh.” Wregas, sutradara Lemantun yang menang di XXI Short Film Festival 2015, memandang perkembangan ini sebagai suatu hal yang baik. “Hanya tinggal bagaimana kita merangkul penonton untuk bergabung dalam layar-layar alternatif ini,” sambungnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Erdy Suryadarma, sutradara film pendek dari komunitas Lembaga Film Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (LFM-ITB). “Saya baru ‘menyelupkan’ diri ke dunia perfilman sekitar tiga tahun,” cerita Erdy yang filmnya, Love Paper, menang di Festival Film Creabo Pekan Komunikasi UI 2013. “Tapi, dari sepengetahuan saya, makin ke sini layar alternatif semakin banyak dan menyuguhkan berbagai konsep yang berbeda. Semoga sih ke depannya terus bertambah dan bervariasi ya.”

Sementara itu, Chairun Nissa, sutradara lulusan Institut Kesenian Jakarta yang memang mengedarkan film-filmnya melalui moda-moda alternatif, merasakan sendiri bagaimana layar alternatif berkembang sepanjang karier perfilmannya. “Saya ingat pada 2010 pernah melakukan roadshow film pendek saya yang berjudul Purnama di Pesisir, yang saya urus sendiri dengan melibatkan komunitas film di Jawa dan Bali secara gerilya. Saat itu, pemutaran film oleh komunitas masih minim, festival film juga masih terpusat di Jakarta,” katanya, “jadi, tahun ini, pemutaran alternatif sudah semakin meluas dan terorganisir. Antara masyarakat, komunitas dan sineas juga sudah semakin kenal dan saling membutuhkan.” Chairun Nissa, kemudian menyutradarai film yang masuk ke festival maupun pemutaran non-kompetisi tingkat nasional dan internasional, di antaranya Payung Hitam, Chocolate Comedy dan Masa Sih?

Para sineas melihat kehadiran layar-layar alternatif ini sebagai suatu hal yang positif, karena pada akhirnya ada kebaruan yang bisa ditawarkan kepada masyarakat. “Kehadiran layar alternatif ini tentunya memungkinkan adanya tontonan alternatif. Apapun yang alternatif selalu memunculkan kemungkinan baru, baik gagasan baru, sudut pandang baru, maupun bentuk baru yang berbeda dengan arus utama. Jadi, menurut saya, baik layar arus utama maupun layar alternatif ini perlu seimbang, supaya penonton punya opsi,” ungkap Jason Iskandar, sineas film pendek yang dikenal untuk karya-karyanya yang masuk ke berbagai festival dan pemutaran nasional dan internasional, di antaranya Indonesia Bukan Negara Islam, Tanya Jawab, Territorial Pissing, Parkir, dan Seserahan.

“Mas BW Purbanegara [sutradara film asal Yogyakarta] tempo hari pernah membuat analogi dan saya setuju sekali: kalau mau melihat lukisan-lukisan yang dibuat seabrek, bisa datang ke Pasar Beringharjo, tapi kalau mau lihat lukisan yang penuh eksplorasi seperti karya Affandi, datanglah ke galeri. Tidak bisa dibolak-balik,” tambah Jason. Ia yakin hal yang sama juga berlaku bagi film.

Sementara itu, Albertus Wida, sineas dari komunitas LFM-ITB yang karyanya Tiny Jakarta diputar di Indonesia Raja, juga menganggap bahwa layar alternatif merupakan tempat timbulnya interaksi antara penonton dan sineas filmnya. Ia melihat bahwa perbedaan jenis layar alternatif fisik antara festival film dan pemutaran berlanjut menghadirkan jenis-jenis penonton film yang berbeda, yang pada akhirnya akan memberikan dampak yang berbeda bagi para sineas.

“Saya melihat ada dua jenis penonton: yang awam film dan yang tidak awam film. Film festival yang megah mempunyai potensi untuk memercikkan rasa ingin tahu terhadap film pendek untuk yang awam. Pemutaran berseri seperti kineforum dan Sinema Rabu juga bisa menjadi persinggahan penonton yang awam ini untuk selanjut-lanjutnya,” tuturnya, “lalu, bagi sineas dan yang tidak awam—komunitas, pegiat dan lain sebagainya—baik festival film maupun pemutaran mingguan menjadi wadah berdiskusi dan ngobrol-ngobrol yang intens. Terjadilah pertukaran gagasan, feedback yang mungkin lebih kritis, atau malahan wacana untuk membuat sesuatu bersama-sama. Belum lagi kalau ada pertemuan dengan sineas yang sudah lebih senior atau lebih mapan dan juga kritikus film. Perkembangan ini akan makin memeriahkan kehidupan perfilman Indonesia secara keseluruhan.”

sineas-dan-layar-alternatif_03
Jelang salah satu pemutaran Festival Film Purbalingga 2015

Motivasi

Kehadiran layar-layar alternatif ini memberikan motivasi bagi para sineas ini untuk mengirimkan film mereka ke sana. Ada banyak alasan beragam yang dilontarkan oleh para sineas, tergantung tujuan mereka masing-masing. “Tujuan menyebarkan film melalui festival dan layar alternatif adalah supaya masyarakat lebih mengetahui hasil karya film kami dan juga bisa mengambil hal yang positif dari situ,” kata Laurelita Gita Prischa, sutradara film pendek dari Purbalingga, Jawa Tengah. Filmnya, Gugat Pegat, menang di Festival Film Purbalingga 2015.

Sementara itu, bagi Charlotte Cynthia Wijaya, sutradara film pendek dari program film Binus University International, pemutaran-pemutaran alternatif dilihatnya sebagai suatu kesempatan emas bagi para sineas untuk mencitrakan diri mereka di industri film, sekaligus juga sebagai tempat dirinya bertanggungjawab atas hasil filmnya.

“Ketika saya membuat film, itu sama seperti halnya menjalani hidup: saya harus berpikir tentang masa depan. Saya akan jadi gelandangan kalau pada akhirnya film itu hanya berakhir di hard disk saya, tanpa masa depan,” ungkap Cynthia, yang film dokumenter pendeknya, Boys on Boys, diputar di Q! Film Festival 2014 dan masuk nominasi di Malang Film Festival 2013. “Saya banyak berinvestasi secara waktu dan finansial untuk setiap film saya, dan bukan hanya saya saja, tapi juga kru yang membantu saya. Sehingga sangat penting bagi film tersebut untuk berada di luar sana.”

Hal senada juga diungkapkan Jason. Ia setuju bahwa produksi film memang bisa menguras habis energi sineasnya. “Tujuan saya pastinya agar filmnya diputar. Kalau tidak di layar alternatif, di mana lagi?” katanya sambil tertawa, “motivasi utamanya adalah untuk mengembalikan energi yang habis ketika membuat film. Dengan pemutaran alternatif, saya bisa mengukur film saya ditonton sebanyak apa. Lalu, pemutaran juga menjadi titik temu dengan penonton. Penonton itu macam-macam latar belakangnya, jadi cara mereka mencerna film juga macam-macam. Kebutuhan mereka atas gagasan, bentuk, dan sudut pandang baru juga macam-macam. Ini yang membuat pemutaran menjadi seru dan menyenangkan. Setelah senang, energi tadi bisa kembali dan jadi modal utama untuk produksi berikutnya.”

Layar alternatif juga menjembatani para sineas yang berkarya dengan genre atau medium tertentu, yang sulit tembus ke pemutaran standar. “Saya bergerak di bidang produksi film animasi. Untuk menembus layar lebar atau kaca tentu bukan hal yang mudah. Sifat produksi layar lebar membutuhkan dana raksasa, sedangkan sifat produksi layar kaca Indonesia masih belum bersahabat dengan kemampuan saya dan teman-teman saya, karena banyak produser TV yang masih memperlakukan animasi seperti sinetron kejar tayang. Apalagi, masuk layar kaca sendiri bukanlah jaminan untuk ‘hidup’,” ujar Made Dimas Wirawan, sineas dari Studio Kasatmata, yang filmnya A Week with Heru merupakan Film Pendek Animasi Pilihan Juri Media di XXI Short Film Festival 2015. Dari sini Made Dimas menganggap layar-layar alternatif yang kemudian bisa menyediakan ruang yang lebih luas dan bebas bagi para sineas—wadah untuk berekspresi tanpa harus takut terbebani pembatasan dan pemotongan, sehingga mereka bisa menjaring segmen penonton yang lebih luas.

Lain halnya bagi Aris Prasetyo, produser film pendek yang juga berasal dari Purbalingga. Ia melihat layar alternatif sebagai tempat untuk melakoni misi sosialnya. “Melalui layar alternatif, maka kami bisa berbicara dengan orang yang tidak bisa kami temui secara langsung. Kasihan penonton harus menonton program atau film yang tidak punya realitas dan miskin pendidikan budi pekerti karena menomorsatukan uang dan rating. Bagi kami uang dan rating adalah akibat, tidak boleh jadi tujuan,” ujar Aris yang sehari-hari berprofesi sebagai guru.

Ia berharap bahwa jikalau pemutarannya memang dikomersilkan, maka hasilnya dapat membantu anak-anak di sekolahnya. “Banyak anak yang terancam tidak bisa mendaftar ke SMA karena biaya pendaftarannya mahal, minimal tiga juta rupiah di Purbalingga. Nah, bisakah film pendek menyekolahkan sineasnya ke SMA? Beberapa siswa saya ada yang bersekolah gratis karena bisa membuat film,” sambung Aris, produser Sugeng Rawuh Pak Bupati, salah satu film yang diputar di Indonesia Raja 2015.

sineas-dan-layar-alternatif_04
Jelang salah satu layar tancap Festival Film Purbalingga 2015

Timbal Balik

Menyinggung apa yang Aris bilang, timbal balik kemudian menjadi satu hal yang cukup hangat dibicarakan para sineas. Ada perbedaan yang cukup jelas di antara para sineas terkait timbal balik seperti apa yang mereka harapkan. Wregas adalah yang termasuk tidak mengharapkan timbal balik finansial. “Saya memandang layar alternatif adalah sebagai sebuah galeri pameran atau sebuah ruang seminar. Penonton dapat masuk dan menikmati tanpa harus membayar. Maka para sineas memang sebaiknya memiliki kesadaran bahwa film yang dibuat untuk diputar di layar alternatif, dan bukan di bioskop, adalah film yang murni dibuat sebagai medium ekspresi dan sebagai sumbangsih untuk perkembangan sinema itu sendiri,” kata Wregas.

Dibanding finansial, Wregas lebih mengharapkan agar layar alternatif dapat memberikan pandangan baru bagi para penonton Indonesia mengenai keragaman sinema. “Ibaratnya seperti kopi. Kopi tidak hanya kopi instan sachet yang biasa diseduh dan dinikmati oleh masyarakat kebanyakan, tapi kopi memiliki beragam asal daerah serta cara membuat. Begitu juga sinema. Dengan semakin banyaknya pengetahuan masyarakat tentang keberagaman sinema, semakin berkembang pola pikir dan semakin terbuka juga hati masyarakat dalam menerima ide atau gagasan yang disampaikan para sineas.”

Bagi Clara Agnesia Herlambang, produser film pendek lulusan program film Binus University International, timbal balik finansial juga bukanlah harapan utamanya. “Saya tidak mengharapkan uang, karena sudah bisa lolos sampai jadi nominasi saja sudah membuat saya senang,” ungkapnya.

Clara lebih berharap bisa meraih reputasi—ia menggambarkannya dengan trofi dan sertifikat. “Karena pada akhirnya ini yang akan menjadi wujud nyata bahwa seorang sineas pernah menang festival film. Semua sineas pasti mau filmnya menang di festival. Karena dengan menang, itu menunjukan kalau filmnya bukan cuma sekadar film saja, tapi merupakan film yang bisa memberikan sesuatu ke masyarakat. Ini adalah nilai plus untuk filmnya dan sineasnya,” jelas Clara. Salah satu film pendek yang pernah ia produseri, Pending, menang di Festival Film Creabo Pekan Komunikasi UI 2014. Ia juga menyamakan pandangan ini untuk pemutaran non-kompetisi. “Kalau mereka mengajak saya untuk memutarkan film saya di pemutaran mereka, pasti karena film saya dianggap layak dan sudah mencapai batasan-batasan mereka. Bukan asal cap cip cup pilih film.”

Lain lagi halnya bagi Made Dimas, yang lebih banyak mengedarkan filmnya di internet. Pada medan persebaran film yang satu ini, timbal balik finansial adalah sesuatu yang tidak mustahil dicapai—seberapa besarnya itu—dan memang seharusnya dipertimbangkan. “Saat ini cara paling sederhana untuk mendapatkan timbal balik finansial dari penayangan alternatif di internet adalah melalui monetisasi iklan. Beberapa situs penayangan gratis semacam YouTube sudah lama menyediakan layanan ini. Namun untuk mendapatkan timbal balik finansial melalui cara ini, perlu dibutuhkan pula beberapa strategi dan upaya pemasaran tambahan supaya film kita dikunjungi banyak penonton,” cerita Made Dimas.

Ia memberi contoh Frederator Studios, yang merupakan wadah independen bagi para animator independen untuk berpromosi dan mendatangkan banyak penonton yang telah dimanfaatkan oleh para animator independen yang berhasil menelurkan serial animasi terkenal seperti Fairy Odd Parents, Adventure Time, dan Simon’s Cat. Ia menjelaskan bahwa para pegiat animasi independen bisa bergabung dalam wadah tersebut dengan cuma-cuma: berkolaborasi dengan animator lain, dubber, penata suara, maupun komposer musik dengan bebas. Di saat-saat tertentu, Frederator Studios akan mempromosikan karya sang sineas kepada jutaan pengikutnya.

Hasil pendapatan iklan dari penayangan-penayangan akan dibagi rata ke pihak-pihak yang terlibat. Made Dimas menambahkan, bahwa berbagai kemudahan yang bisa didapatkan dari perkembangan teknologi pada akhirnya membawa tantangan dan hambatan tersendiri.Hal ini memicu maraknya pembajakan.

“Hendaknya kemudian kemudahan ini diimbangi dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya hak cipta dan etika berinternet. Anggapan masyarakat tentang apa yang mereka dapat melalui internet adalah gratis harus dibuang jauh-jauh. Banyak saya temui orang-orang yang mengekspresikan rasa bahagia dan bangga ketika selesai mengunduh sebuah film secara ilegal melalui Torrent, YouTube Downloader, atau alat unduh lain. Ini membuat saya sebagai pelaku produksi film menjadi merasa sedih,” sambung Made Dimas.

Chairun Nissa memang tidak terlalu banyak bermain di online, meski begitu ia turut mengharapkan timbal balik finansial dari layar-layar alternatif offline—sekecil apapun itu jumlahnya. “Kalau ditanya seberapa besar harapannya, ya saya berharap besar. Namun, memang belum semua komunitas atau festival film mengapresiasi dalam bentuk itu. Meskipun demikian, sudah ada sedikit banyak sineas dan komunitas yang mencoba membuat standar agar ada screening fee atau setidaknya donasi dari penonton. Meskipun hasilnya belum besar, namun perubahan dan penerimaan sikap masyarakat bisa mengarah ke sana tentunya,” tuturnya.

Sementara itu, Jason memberikan pandangan yang lebih netral. “Motivasi sineas membuat film itu macam-macam, ada yang untuk senang-senang saja, ada pula yang mempertimbangkan timbal balik finansial. Keduanya sah-sah saja. Yang pasti, pembuat film selalu ingin balik modal. ‘Modal’ itu tak harus selalu berurusan dengan uang, bisa juga energi dan kesenangan. Bagus kalau semuanya bisa balik,” kata Jason.

sineas-dan-layar-alternatif_05
Pemutaran film pendek Kremi karya Mahesa Desaga di Taman Kota Merjosari, Malang

Sosialisasi

Isu layar-layar alternatif tidak berhenti sampai di situ. Masalah penyebaran informasi yang dianggap belum maksimal disayangkan oleh beberapa sineas. Pemutaran alternatif masih terlihat sebagai suatu ruang yang sulit dijangkau oleh para sineas, akibat kurangnya akses para penonton film untuk bisa mengetahui keberadaan layar-layar alternatif. Tujuan sang sineas untuk bisa memutarkan film ke khalayak ramai terkadang sulit dicapai.

Hal ini diungkapkan oleh Clara, yang merasakan sendiri akibatnya. “Sebenarnya, layar-layar alternatif itu sangat membantu seorang sineas untuk mengenalkan filmnya ke dunia luar. Tapi, menurut saya, untuk pemutaran-pemutaran film, terutama di Jakarta, masih banyak yang kurang disosialisasikan. Karena, dari pengalaman saya memutarkan film-film saya di pemutaran-pemutaran alternatif, yang datang sedikit. Saya sendiri juga awalnya tidak tahu kalau yang datang ternyata akan sedikit, karena pihak panitia sendiri suka meyakinkan saya bahwa acara yang mereka adakan akan ramai penonton.”

Albertus Wida juga turut mengungkapkan permasalahan yang sama. “Saya melihat eksklusivitas layar alternatif masih terlalu kuat. Publikasinya tidak menyeluruh, terkadang juga isi program mungkin terlalu ‘nyeni’. Tidak masalah kalau pernyataan festival filmnya—yang menginisiasi proses tersebut—memang begitu, tapi kalau semua festival film begitu, bagaimana? Isi film festival yang sama ini ‘kan akan ditanggapi berbeda pula oleh masyarakat setempatnya. Rasanya baru Purbalingga yang mampu mencerminkan selera atau kemampuan sineas-sineas lokalnya dengan jujur,” ungkapnya.

Memang harus diakui, strategi komunikasi layar-layar alternatif banyak yang seringkali serba mepet dan terburu-buru, sehingga jadi terkesan tidak informatif. Hal ini cukup umum terjadi di layar-layar alternatif skala kecil, seperti kineklub kampus-kampus, yang baru mengabarkan pemutaran mereka pada H-2 bahkan H-1, meski ini bisa dimaklumi dan ditoleransi mengingat target penonton yang dikejar seringkali hanya sekitar kampus yang relatif mudah dijangkau. Hanya saja, masih banyak juga layar-layar alternatif skala besar, seperti festival film dan pemutaran umum, yang melakukan hal serupa. Ditambah lagi dengan terbatasnya jangkauan informasi mereka, hal ini menyulitkan penonton untuk tahu soal pemutaran film tersebut, juga menyulitkan pembuat film karena tidak bisa mencapai tujuan mereka memutarkan film demi khalayak luas.

Hal ini sebenarnya bisa diatasi ketika layar-layar alternatif menghindari kerja serba mepet. Bisa dimaklumi, khususnya pada pemutaran atau festival film tingkat kampus, persiapan acara yang menguras energi dan SDM yang terbatas memang bisa membuat panitia luput soal hal menyebarkan informasi acara, terutama apabila dana penyelenggaraan minim. Meski demikian, publikasi acara tetap perlu diperhatikan dan digalakkan. Bagaimanapun juga, sebuah festival film atau pemutaran tetap butuh penonton.

sineas-dan-layar-alternatif_06
Pemutaran Kolektif di Ruang Artspace, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.

Keberlangsungan, Keberlanjutan

Masalah finansial juga masih hangat diperdebatkan. Memang harus juga diakui bahwa masih banyak pemutaran film di layar-layar alternatif di Indonesia yang tidak membawa keuntungan finansial bagi para sineasnya. Asumsi terburuknya, hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa para sineas kurang diapreasiasi untuk kerja kerasnya melahirkan film-film tersebut. Terkadang perkara ini memicu keengganan para sineas untuk memutarkan film-film mereka ke lebih banyak layar alternatif, apalagi jika biaya pengiriman film harus ditanggung oleh mereka sendiri.

Ini menjadi tantangan sendiri baik bagi para penyelenggara layar-layar alternatif, terutama yang memiliki dana terbatas,  maupun bagi para sineas untuk juga bisa memperjuangkan hak mereka. Di titik ini, sangat penting untuk mengembangkan dua jenis pemutaran, yakni yang berbayar—yang menyasar sineas yang mengharapkan timbal balik finansial—maupun yang tidak berbayar—yang menyasar sineas yang lebih mementingkan timbal balik lain selain finansial.

“Dibedakan antara sineas pro dan newbie pun mungkin adil,” ungkap Albertus Wida, sembari menyinggung pentingnya tingkatan hierarki sineas ketika karyanya dimunculkan untuk umum. Baginya, layar-layar alternatif juga perlu mencerdaskan penonton dengan memberi pengertian soal hierarki tersebut. “Sehingga tidak bisa semata-mata layar alternatif di acara pertamanya langsung pasang harga,” sambungnya.

Hal senada juga dilontarkan oleh Erdy. “Menurut saya timbal balik berupa finansial cukup penting bagi pembuat film, sebab hal ini dapat terus memacu sineas untuk bertahan dan terus membuat karya yang baik,” katanya.

Pada skala terkecil, layar alternatif menjadi tempat bagi para sineas untuk berjejaring, terutama dengan penontonnya. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, layar bentuknya tidak harus selalu fisik. Ada potensi lain yang menunggu di persebaran dunia maya.

Hal ini diungkapkan oleh Made Dimas, yang berhasil memanfaatkan media online sebagai layar alternatifnya. Ia mengakui, internet yang kini bahkan bisa diakses hanya dalam genggaman tangan saja telah membuka kesempatan-kesempatan baru baginya untuk menemukan penontonnya. “Sebagai contoh, kebetulan saya dan teman-teman saya sedang memproduksi sebuah miniseri animasi pendek yang rata-rata hanya berdurasi 15 detik setiap serinya,” cerita Made Dimas, “karena durasinya yang pendek, saya bahkan bisa menayangkannya melalui situs jejaring sosial yang sifatnya lebih dekat dan personal dengan penonton seperti Instagram.”

Sementara itu, kehadiran layar alternatif pun penting seiring dengan berkembangnya pendidikan film formal di Indonesia, karena dua hal ini bisa berjalan beriringan. Cynthia mengakui dan merasakan sendiri hal ini. “Karena sekarang lebih banyak sekolah film khususnya di Jakarta, jadi minat terhadap film alternatif juga lebih banyak. Makin banyak juga yang mulai minat dengan perfilman Indonesia,” ungkap Cynthia.

Baginya, sekolah film juga mendorong pengenalan mahasiswa-mahasiswanya terhadap film-film alternatif dari berbagai belahan dunia yang tidak bisa menembus layar standar bioskop Indonesia. “Contohnya, sebelum masuk sekolah film, saya tidak tahu siapa itu Krzysztof Kieslowski [sutradara film asal Polandia] berikut karya-karyanya. Saya yakin kampus-kampus lain juga begitu, di mana sekolah film membuka wawasan mahasiwa-mahasiswanya,” sambungnya. Keuntungan ini tentunya dapat memberi referensi, bahkan pengaruh bagi film-film karya mereka yang juga tergolong alternatif.

Bahkan, dalam skala yang lebih besar, layar alternatif bisa menjadi roda penggerak ekonomi untuk masyarakat sekitar. Hal ini diungkapkan oleh Aris, yang menyaksikan sendiri hal ini terjadi di Purbalingga, daerahnya. Di sana, layar alternatif dalam rupa layar tancap, yang menurut Aris bertujuan sebagai ruang apresiasi dan mendekatkan film dengan penontonnya, memiliki tempat tersendiri di hati masyarakatnya. “Penonton tidak perlu datang ke kota untuk bisa menyaksikan film, juga tidak perlu membayar,” jelas Aris, “justru kami meningkatkan perekonomian warga dengan memberi ruang kepada para pedagang kacang rebus, pecel, jagung bakar dan kopi lokal sehingga bisa berjualan di situ.”

Layar alternatif, dalam skala apapun, tetap dibutuhkan. Memang ada hal-hal yang perlu dibenahi demi kemajuan dan hasil yang lebih baik lagi, tapi pada umumnya, perkembangan sinema Indonesia banyak berhutang kepada layar-layar alternatif. Layar-layar ini membuka banyak kesempatan yang tidak mungkin dijangkau oleh sineas-sineas yang keberkaryaannya berada di luar skema distribusi bioskop. Selain itu, layar alternatif memberi pilihan bagi para penonton serta pendidikan film melalui penawaran-penawaran film yang juga tidak akan mereka dapatkan dari layar standar di bioskop.