Jatuh Cinta Seperti di Film-film: Memilih Mawas, Menolak Malas

Film tentang proses pembuatan film butuh benang merah yang membuatnya tidak tampak seperti sekadar dokumentasi balik layar. Romantisasi dan eksplorasi visual juga penting, sebagaimana Federico Fellini mengejawantahkan keresahan dan alam pikir sutradara lewat momen-momen surreal dalam (1963). Bisa juga lewat pemisahan sederhana, seperti yang dilakukan Shinichiro Ueda dalam One Cut of the Dead (2016). Usai credit title film-dalam-film, One Cut of the Dead bergerak mundur dan mengulang semuanya secara kronologis lewat pantauan meta yang berjarak.

Di Jatuh Cinta Seperti di Film-film, Yandy Laurens memilih untuk menggunakan format warna yang berbeda. Bercerita tentang Bagus (Ringgo Agus), yang menggarap skenario tentang kisah pribadinya dengan Hana (Nirina Zubir), Jatuh Cinta berisikan dua semesta: (1) semesta nyata yang dibuat berwarna dan (2) semesta film-dalam-film yang dibuat hitam-putih. Menariknya, format hitam-putih tak hanya berfungsi sebagai distingsi akan keduanya. Format hitam-putih juga menciptakan suasana duka untuk karakter Hana, dan menjadi penekanan bahwa yang hitam-putih adalah film-dalam-film.

Pada era modern, ketika warna dalam film bukan lagi kemewahan, penggunaan format hitam-putih merupakan pilihan kreatif yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keutuhan film. Di Jatuh Cinta, sentuhan estetis yang meminjam format klasik ini penting untuk memfilmiskan skrip Bagus yang mengangkat keseharian. Skrip Bagus banyak berisikan percakapan di ruang-ruang yang warnanya berserakan—dari toko bunga, supermarket, hingga rumah makan Padang. Penggunaan format hitam-putih mampu meredam warna-warna tersebut dan menjadikannya filmis. Tidak ada distraksi yang mungkin muncul dari warna gulai tunjang atau pucatnya warna ayam pop. Fokus penonton terarah sepenuhnya ke subjek film, yakni Bagus dan Hana beserta emosi dan interaksi antara keduanya.

Yang Romantis Itu Sinema, Jatuh Cinta Biasa Saja

William Siska dalam buku Metacinema: A Modern Necessity menyebutkan bahwa penulisan yang mawas bekerja setidaknya lewat dua cara: (1) pembuat merefleksikan medium ekspresinya; dan (2) pembuat merefleksikan dirinya. Dalam Jatuh Cinta, refleksi terhadap medium salah satunya berkaitan dengan pakem film romansa. Di awal, Hana mengkritik La La Land (2016) yang disebutnya meromantisasi perpisahan yang sebenarnya bisa diselesaikan lewat obrolan. Sementara di bagian akhir, Hana juga lebih menganggap romantis obrolan dengan Bagus ketimbang film yang dibuat untuknya—final kiss dalam kondisi patah kaki dikomentarinya sebagai sesuatu yang tak masuk akal.

Pada mulanya, film garapan Bagus diniatkan menjadi gestur romantis untuk meluluhkan hati Hana yang tengah berduka ditinggal suaminya. Namun, penciptaan karya yang awalnya dikira linear ternyata penuh dengan kerikil momen reflektif. Dibantu oleh karakter lain, seperti Cheline (Sheila Dara), Dion (Dion Wiyoko), dan Julie (Julie Estelle), Bagus melihat kisahnya secara lebih berjarak. Dia mempertimbangkan pentingnya consent dari Hana sebagai subjek film; mulai berempati dengan kondisi Hana yang berduka; dan meninjau signifikansi film dalam hidupnya.

Film, bagi karakter Bagus, disebut bisa membuat seseorang memahami orang lain. Pernyataan ini, walaupun kemudian tersanggah oleh berbagai pengecualian, sesungguhnya tervalidasi oleh Jatuh Cinta. Film-film yang mengeksploitasi subjeknya secara berlebihan demi cuan memang sulit menjadi instrumen berempati. Namun, film buatan Bagus, yang mana karakter Hana di sana meledak memarahi Bagus yang tidak meminta consent, menunjukkan konsekuensi hasil empatinya. Ternyata tidak semua hal bisa dibikin romantis, apalagi jika caranya tidak konsensual dan nirempati.

Jatuh Cinta pada akhirnya menawarkan bentuk romantis yang lebih dewasa, sesuai dengan latar belakang usia karakter di dalamnya. Yang romantis adalah yang didiskusikan, bukan yang sok-sok disembunyikan. Romantis bukan lagi gestur-gestur megah ala film-film remaja yang populer belakangan ini, seperti muncul di depan rumah gebetan dengan hadiah segede gaban atau aksi teritorial yang mengekang pasangan. Romantis adalah bercerita secara terbuka, menemani belanja, mendampingi saat kerja, dan berbagai tindakan sederhana lainnya—hal-hal kecil yang sejatinya membentuk porsi terbesar dalam setiap hubungan.

Bukan Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Horor

Disebutkan sebelumnya, selain merefleksikan medium ekspresinya, pembuat film juga dapat merefleksikan dirinya dalam narasi meta. Yandy Laurens dalam Jatuh Cinta melakukan ini. Tentu bukan berarti bahwa Jatuh Cinta bersifat otobiografis atau Bagus adalah Yandy Laurens. Kemiripan mungkin ada, semisal film panjang Bagus dan Yandy Laurens sebelumnya sama-sama adaptasi serial televisi. Namun, itu hanyalah detail kecil yang dipinjam sebagai latar belakang karakter. Refleksi yang dimaksud lebih pada bagaimana pembuat merespons kondisi diri dan sekitarnya. Dengan memfilmkan pembuatan film, dunia personal seorang filmmaker dapat terpotret.

Film-dalam-film One Cut of the Dead, misalnya, sekilas terlihat seperti film zombie asal jadi. Namun, lewat tangkapan proses pembuatan di baliknya, tersingkap siasat-siasat dan kritik terhadap kondisi syuting yang tak ideal. Metode serupa tak eksklusif untuk mengomentari industri film yang relatif ajeg. Rimba film independen juga bisa turut dikritisi, seperti yang dilakukan film pendek Indie Bung! (2014). Film-dalam-film Indie Bung adalah karya tak tuntas. Namun, tangkapan di baliknya menyiratkan kritik terhadap imaji ‘indie’ di benak pelajar yang masih awam akan perkara teknis.

Dalam Jatuh Cinta, kritik tampak mengarah ke industri yang hanya ‘main aman’ dan memandang film yang eksploratif sebagai beban. Tokoh yang memegang peran besar di sini adalah Pak Yoram (Alex Abbad). Lewat sosok Pak Yoram, kritik Jatuh Cinta terimplementasi dalam cerita dan tak sekadar menjadi tempelan. Cara pandang Pak Yoram punya pengaruh langsung terhadap nasib Bagus sebagai protagonis. Gagasan keberadaan gimmick pernyataan cinta Bagus kepada Hana, serta tenggat draft skenario yang tidak manusiawi, sukses memberi urgensi yang mendorong eskalasi cerita.

Kita lantas dapat membayangkan ada berbagai manifestasi Pak Yoram dalam diri sejumlah pelaku industri film. Pak Yoram, sebagai epitome produser toksik, tampak kurang memperhatikan nasib pekerja film dan malas bereksplorasi. Menurutnya, film-film olahan dari IP (intellectual property) sinetronnya jauh lebih menarik diproduksi ketimbang skrip Bagus. Melalui serangkaian celetukan kocak, Pak Yoram bahkan mengusulkan skrip Bagus dirombak ulang jadi Jatuh Cinta Seperti di Film-Film Horor. Keadaan hari ini, yang mana layar tengah didominasi film horor dan olahan IP, tampak sedang dikritik. Kritik ini datang bukan dari esai pengamat ataupun twit netizen, melainkan dari medium film itu sendiri.

Kemawasan mungkin teramat sederhana sebagai keseluruhan tawaran Jatuh Cinta. Namun, ini hal minimal yang bisa dilakukan ‘insan perfilman’. Bukan hanya pada diri penulis seperti Bagus, kemawasan juga bisa hadir pada aktor seperti Dion dan Julie. Dalam Jatuh Cinta, mereka tak hanya menelan mentah-mentah skrip di depannya, tapi justru mempertanyakan apakah karakternya layak ditampilkan demikian. Kita tentu berharap sosok-sosok mawas seperti ini berlipat ganda dan menandingi sosok-sosok seperti Pak Yoram. Harapan yang utopis, memang. Namun, di tengah kemalasan hari ini, kemawasan pelaku industri adalah kemewahan yang layak untuk dinanti.

Jatuh Cinta Seperti di Film-film | 2023 | Durasi: 118 menit | Sutradara: Yandy Laurens | Penulis: Yandy Laurens | Produksi: Imajinari, Jagartha, Trinity Entertainment, Cerita Film | Negara: Indonesia | Pemeran: Ringgo Agus Rahman, Nirina Zubir, Alex Abbad, Sheila Dara Aisha, Dion Wiyoko, Julie Estelle