Banyak media menyebut film Indonesia begitu-begitu saja. Tidak jauh-jauh dari parade demit, komedi dewasa, roman remaja, dan melodrama religi. Tak ada yang berani berbeda, yang ada hanya tiruan dari film-film yang pernah laris atau populer.
Awal Juli kemarin merupakan waktu yang baik untuk menepis mitos mengganjal tersebut. Pada 10 Juli, beredar Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya karya Yosep Anggi Noen di sejumlah layar bioskop. Film ini tidak mengikuti pakem tiga babak. Penonton tidak digiring melalui satu konflik ke konflik lainnya, hingga berujung pada suatu titik klimaks. Dalam Vakansi, ketiadaan konflik itulah yang menjadi konflik. Melalui serangkaian shot berdurasi panjang, penonton diajak untuk merasakan kakunya kehidupan pernikahan Ning, sang protagonis, dengan suaminya yang setiap hari hanya nonton televisi dan makan mie instan. Juga gejolak asmara singkat Ning dengan Mur, koleganya di toko mebel, saat mengantarkan sofa pesanan ke sebuah desa terpencil.
Seminggu sebelumnya, yakni 3 Juli, beredar Toilet Blues karya Dirmawan Hatta. Film ini juga tidak mengikuti pakem tiga babak. Penuturan lebih dibangun lewat simbol-simbol geografis dalam adegan: pendopo pinggir pantai, pegunungan dan bebukitan, hotel esek-esek, jalan berkelok, rel kereta. Kisahnya sendiri berpusat pada persahabatan Anggalih, calon pastur yang kabur dari seminari, dengan Anjani, perempuan yang cabut dari rumah setelah dituduh berbuat asusila dengan seorang pria. Melalui pertemuan sejumlah tokoh, perjalanan ini menjadi pendewasaan bagi kedua protagonis—Anggalih dengan seorang pelacur, Anjani dengan seorang penyidik bayaran.
Tayangnya Vakansi dan Toilet Blues seharusnya bisa jadi momentum baru bagi keberpihakan bioskop terhadap film Indonesia. Keduanya dihasilkan oleh produsen yang jauh dari industri, juga diciptakan dengan hasrat untuk lepas dari pakem-pakem film nasional selama ini. Nyatanya, Vakansi dan Toilet Blues tidaklah sendiri. Masih ada entah berapa ratus film independen Indonesia yang selama ini luput dari pantauan khalayak. Sebagaimana yang pernah dijelaskan panjang lebar pada situs ini, budaya sinema Indonesia tidaklah bergerak naik turun saja di tangga boxoffice, tapi juga meluas ke seantero nusantara, ke desa-desa, kecamatan-kecamatan, kampus-kampus, komunitas-komunitas. Film-film yang diproduksi kebanyakan film pendek dan dokumenter—beberapa kali ada film panjang macam Vakansi dan Toilet Blues ini. Masalahnya, kebanyakan bergantung pada persebaran lewat jaringan festival lokal dan pemutaran gerilya, yang notabene minim jangkauannya dan tidak selalu berkelanjutan. Hampir tidak ada yang mendapat tempat dalam tata edar bioskop.
Tentu ada sineas yang tidak memperhitungkan bioskop sebagai pencapaian berkarya maupun strategi peredaran—dan jumlahnya tidak sedikit. Tapi, apabila kita ingin sinema kita bisa menjadi bagian dari pertumbuhan industri kreatif (seperti yang disuarakan sejumlah institusi pemerintah dan capres-capres kita), bioskop jelas menjadi pos strategis yang harus diberdayakan sepenuh-penuhnya dan sebijak-bijaknya. Nyatanya bioskop masihlah pasar paling riil dan paling bisa diandalkan bagi produk film di nusantara. Model-model peredaran komersil lainnya, macam home video dan online streaming, terhitung masih kembang kempis. Juga bioskop masih menjadi imajinasi populer masyarakat terkait kegiatan menonton film; anggapan umum di khalayak tetaplah nonton film ya nonton di bioskop. Meski ruang-ruang menonton alternatif tumbuh cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir, belum ada satupun yang bisa bertanggungjawab atas keberlanjutan ekonominya. Artinya satu-satunya tempat di mana film Indonesia punya nilai ekonomi saat ini hanyalah bioskop.
Keberpihakan bioskop pada film nasional jelas tak bisa ditawar lagi. Konkritnya, di tengah derasnya arus masuk film-film impor, bioskop perlu merumuskan sebuah skema penayangan yang menjamin tempat bagi film nasional. Kuota film nasional di bioskop yang tercantum pada pasal 32 UU Perfilman harus terus ditegakkan. Nyatanya dalam beberapa tahun ini, masa tayang film Indonesia jarang sekali melewati dua minggu; film impor bisa sampai satu bulan sendiri. Pada tingkatan yang lebih sederhana, bioskop juga perlu merangkul film Indonesia seluas-luasnya, membuka pintu bagi keragaman hasil karya sineas-sineas nasional. Mungkin terdengar remeh, tapi seleksi film di bioskop punya andil dalam membentuk persepsi publik terhadap laju tumbuh perfilman nasional. Apabila yang diberi tempat hanya film roman-romanan, demit-demitan, dan mesum-mesuman, maka bersiaplah menghadapi apati dan antipati masyarakat terhadap film bangsanya sendiri sebagaimana yang terjadi sekarang.
Pertanyaannya: film Indonesia macam apa yang diberi tempat oleh bioskop kita? Selama ini Grup 21 selaku jaringan bioskop terbesar di nusantara selalu berkilah jumlah layar mereka terbatas. Tidak semua film Indonesia bisa tayang dan harus mengantre, yang itupun masih harus berbagi dengan film impor. Namun, apabila kita tilik dari film-film Indonesia yang diedarkan, seleksi Grup 21 seperti mementingkan beberapa jenis film dan produsen saja. Pasalnya, di tengah kilahan akan sesaknya ruang tayang untuk film lokal, ada segelintir produsen yang bisa merilis lebih dari dua bahkan tiga film dalam setahun di layar-layar Grup 21.
Mari bicara data. Pada 2012, ada sepuluh film Starvision yang diedarkan Grup 21: Malaikat Tanpa Sayap, Hi5teria, Broken Hearts, Cinta di Saku Celana, 18++ Forever Love, Perahu Kertas, Test Pack, Perahu Kertas 2, Sang Martir, dan Bidadari-bidadari Surga. Prestasi ini diikuti BIC Production-Mitra Pictures. Tujuh film mereka dapat layar di bioskop milik 21: Love is Brondong, Enak Sama Enak, Bangkit dari Kubur, Falling in Love, Dendam dari Kuburan, Perempuan di Rumah Angker, dan Kuntilanak-kuntilanak. Falcon Pictures dapat kesempatan mengedarkan lima film: Xia Aimei, Ambilkan Bulan, Mama Cake, Hello Goodbye¸ dan Potong Bebek Angsa. Rapi Films juga lima film: Seandainya, 3 Pocong Idiot, Mama Minta Pulsa, Radio Galau FM, dan I Love You Masbro. Sementara itu Sentra Pictures, Multivision, dan Movie Eight-Unlimited Production masing-masing berhasil mengedarkan tiga film. Beberapa judul unggulan mereka: Nenek Gayung, Kakek Cangkul, Rumah Bekas Kuburan, Kutukan Arwah Santet, Rumah Hantu Pasar Malam, Pulau Hantu 3. Total ada 36 film atau hampir setengah dari 84 film Indonesia yang beredar tahun itu.
Tahun berikutnya kurang lebih sama. Ada enam film Starvision: Operation Wedding, Cinta Brontosaurus, Honeymoon, Get M4rried, Manusia Setengah Salmon, dan Slank Nggak Ada Matinya. Maxima Pictures dapat lima kali kesempatan tayang: Air Terjun Pengantin Phuket, Tampan Tailor, Refrain, Crazy Love, dan 99 Cahaya di Langit Eropa. BIC Productions-Mitra Pictures dapat empat: Di Sini Ada yang Mati, Kerasukan, 3 Cewek Petualang, dan Mengejar Setan. Falcon Pictures juga empat: Belenggu, Coboy Junior The Movie, La Tahzan, dan Laskar Pelangi 2: Edensor. Sementara itu Sentra Pictures, K2K Production, Rumah Kreatif 23, Studio Sembilan masing-masing mendapat tiga kali kesempatan tayang. Beberapa dari hasil produksi mereka: Pokun Roxy, Jeritan Danau Terlarang, Sule Detektif Tokek, Rumah Angker Pondok Indah, Bangkit dari Lumpur, Dendam Arwah Rel Bintaro.
Sampai pertengahan tahun ini, Grup 21 telah mengedarkan lima film produksi My Dream Pictures dan empat film Starvision. BIC Production-Mitra Pictures, Falcon Pictures, dan Rapi Films masing-masing sudah dapat dua kali kesempatan tayang. Beberapa jadi film laris atau populer macam Marmut Merah Jambu dan 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2. Kebanyakan numpang lewat sebagai pengisi jam tayang, seperti After School Horror, Pocong Pasti Berlalu, dan 17 Tahun ke Atas.
Banyak dari judul di atas yang merupakan jenis-jenis film yang selama ini dikeluhkan terlampau membanjiri pasar film Indonesia. Sebagai lembaga berkiblat laba, Grup 21 jelas mengutamakan jenis-jenis film yang sebelumnya meraup banyak uang. Dua tahun lalu strategi macam ini masih masuk akal. Film horor macam Nenek Gayung, Kakek Cangkul, Rumah Bekas Kuburan, dan Pulau Hantu 3 masing-masing bisa menjual lebih dari dua ratus ribu tiket. Beberapa bahkan hampir menembus lima ratus ribu tiket. Juga halnya dengan film-film komedi dewasa dan roman remaja; kebanyakan sukses menjual lebih dari seratus ribu atau dua ratus ribu tiket.
Semakin ke sini, semakin sulit untuk menjustifikasi keputusan Grup 21. Masalahnya, sejak 2012, sudah bisa terbaca kalau penonton mulai jenuh dengan sajian film Indonesia di bioskop. Meski jumlah penonton naik dari tahun sebelumnya, dari 15 ke 18 juta, 46% di antaranya disumbangkan Habibie & Ainun, 5 cm, dan The Raid. Pada 2013, jumlah penonton turun ke 12 juta; angka yang sama merupakan jumlah penonton tahun sebelumnya tanpa penghasilan tiga film boxoffice tadi. Patut dicatat juga pada 2013 jumlah film nasional yang beredar di bioskop meningkat dari tahun sebelumnya, dari 84 ke 99 film. Penonton meninggalkan film Indonesia justru ketika jumlahnya makin banyak.
Pada titik ini para pengusaha bioskop jelas perlu memikirkan ulang keberpihakannya. Tidak saja Grup 21 yang sekarang bercokol sebagai pemimpin perbioskopan nasional, tapi juga pengusaha lain yang berambisi untuk berbisnis dalam skala massif, macam Cinemaxx buatan Lippo Group yang mengklaim bakal bangun seribu layar dalam lima tahun. Kebutuhan paling mendesak saat ini adalah mengembalikan kepercayaan khalayak terhadap film Indonesia, yang bisa ditempuh dengan menunjukkan bahwa perfilman kita tidak melulu soal hantu-hantuan, roman-romanan, atau mesum-mesuman. Satu skema penayangan yang bisa diadaptasi dan dikembangkan adalah Kinekita, program pemutaran dan apresiasi yang berkolaborasi dengan Platinum Cineplex Solo. Bioskop yang berlokasi di Mall Hartono ini setiap akhir pekan memberi slot tayang bagi film lokal, baik pendek maupun dokumenter, plus diskusi dengan pembuat film. Pemutaran berbayar Rp 15.000 (lima ribu lebih murah dari pemutaran reguler), dengan pembagian hasil penjualan tiket: 40% pembuat film, 40% bioskop, dan 20% Kinekita selaku distributor.
Film Indonesia sesungguhnya kaya, tapi belum banyak mendapat ruang temu dengan khalayaknya. Ketimbang bioskop memaksakan produk itu-itu saja untuk mengisi ruang tayangnya, sekarang adalah saat yang tepat bagi bioskop untuk mulai berpikir lebih luas, untuk memperhitungkan film-film lokal yang selama ini terpinggirkan. Beranikah bioskop kita?