Dari Insan Film untuk Bapak Presiden

Pada 5 Maret 2021, beredar surat terbuka atas nama Insan Film Indonesia untuk Presiden Joko Widodo. Disertai tagar #FilmIndonesiaFilmKita, surat itu diunggah melalui akun media sosial sejumlah sineas dan selebriti film, kemudian ikut disebarkan berbagai akun dari khalayak umum. Isu utama yang disuarakan: tiarapnya bisnis bioskop akibat dibabat habis oleh pandemi. Laju kencang empat tahun terakhir, yang menempatkan Indonesia sebagai “pasar film nomor sepuluh terbesar di dunia”, direm paksa oleh pandemi dan dampaknya merembet ke penghidupan banyak pelaku film. Sebab, suka tidak suka, bioskop masih menjadi hilir dengan pemasukan terbesar.

Setelah masa pelonggaran, bioskop dan ruang tayang film memang diizinkan beroperasi seiring kebijakan provinsi. DKI Jakarta, contohnya, sempat dengan semperempat kapasitas ke setengah kapasitas. Namun, meski sudah diizinkan beroperasi, bioskop masih jauh dari kata pulih. Awal tahun ini, Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia menyebut hanya 55% bioskop yang beroperasi. Omzet harian yang diperoleh tak lebih dari 15% saat kondisi normal.

Produksi film juga bisa kembali berlangsung setelah sempat vakum. Kelangsungan produksi audiovisual termasuk salah satu isu yang direspons penyelenggara negara pada awal pandemi. Berkonsultasi dengan berbagai pelaku industri kreatif, termasuk film, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menerbitkan Panduan Pelaksanaan Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan Kelestarian Lingkungan untuk Sektor Ekonomi Kreatif pada Juli 2020. Tak lama setelahnya, sejumlah sineas seperti Gina S Noer (Cinta Pertama, Kedua, dan Ketiga), Jason Iskandar (Akhirat: A Love Story), Fajar Nugros (Balada Si Roy), Hanung Bramantyo (Satria Dewa: Gatotkaca), Riri Riza (Paranoia), dan Ismail Fahmi Lubis (Ta Thung) dikabarkan melakoni produksi—tentunya dengan menerapkan protokol masa pandemi.

Beberapa produksi bahkan sudah selesai dan tayang di platform digital, seperti Story of Kale dan Quarantine Tales di Bioskop Online. Sejumlah film bioskop yang gagal tayang akibat pandemi turut mencari rumah baru di Netflix, Disney+, Viu, Mola TV, dan kawanannya. Ini adalah respons yang tepat zaman, ketika sinema virtual kian mapan sebagai keseharian baru.

Seperti yang terjadi di berbagai belahan dunia, layanan streaming tumbuh pesat di Indonesia selama pandemi. Kuratorial yang ditawarkan merentang dari tontonan niche hingga favorit massa. Penyelenggara festival serta layar mandiri turut mengadopsi penayangan daring, baik menumpang pada platform video-on-demand maupun memanfaatkan sarana lainnya. Meski sinema virtual belum bisa menghidupi penyelenggara festival dan layar mandiri secara finansial, isu menahun jauh sebelum pandemi, situasi serba daring ini justru membuka berbagai festival dan layar mandiri ke khalayak yang lebih luas. Dengan begitu, publik bisa lebih terpapar pada keragaman film Indonesia, termasuk jenis karya yang umumnya tidak beredar di bioskop seperti film pendek, animasi, dokumenter, hingga eksperimental.

Dalam kondisi seperti inilah surat Insan Film Indonesia itu tadi hadir. Tertulis di dalamnya permintaan yang tidak terperinci: “berbagai paket stimulus, subsidi, serta perlindungan hukum dan kesehatan”. Penulisan suratnya sendiri begitu berbelit, berputar-putar mengutip wacana besar seperti film sebagai “identitas dan strategi budaya” hingga “bakti untuk negeri”, lalu mengerucut pada agenda yang dalam konteks hari ini terbaca rancu dan bisa jadi salah alamat (“bisa terus bekerja membuat film, menayangkannya, dan memberikan rasa aman ke penonton untuk kembali ke bioskop”). Mengatasnamakan segenap pelaku perfilman, tuntutan surat ini perlu kita tempatkan dalam telaah yang lebih luas dan terukur.

Menjawab Kebutuhan

Kelesuan bioskop selama pandemi berakar pada masalah yang lebih besar dari perfilman. Setidaknya ada dua faktor pemicu yang bisa ditelaah. Faktor pertama disebut dalam surat: “rasa aman”. Sampai dengan tulisan ini dibuat, vaksinasi di Indonesia baru menjangkau 1% dari target 181,5 juta masyarakat. Selain itu, sampai akhir Maret dan semoga tepat waktu, prioritasnya adalah tenaga kesehatan, petugas publik, lansia, dan masyarakat rentan—keempatnya bukanlah kalangan yang dikenal akrab menyambangi bioskop, setidaknya bukan pada masa pandemi. Target pasar bioskop sendiri, remaja dan dewasa muda, masih banyak yang merasa takut dan ketakutan ini sama sekali tak bisa disalahkan.

Di sini perlu ditekankan bahwa perfilman bukanlah ekosistem yang berdiri sendiri. Kelangsungannya merupakan bagian dari ekosistem public welfare yang lebih luas. Ketika hak dasar masyarakat untuk beraktivitas dengan rasa aman belum terpenuhi, subsidi atau stimulus apa pun takkan membuat bioskop kembali ramai. Tidak semua orang mau ambil risiko berbagi udara kala pandemi dalam ruang bioskop yang tertutup.

Perkara rasa aman semakin dirumitkan dengan faktor pemicu kedua: keterjangkauan. Film mungkin digemari lintas kalangan, tapi menonton di bioskop bukanlah bagian dari kebutuhan primer, sehingga selama pandemi hanya kalangan ekonomi tertentu yang masih bisa memusingkan konsumsi film dalam tatanan optimal. Sialnya, sebagian besar kalangan ini tinggal di kawasan persebaran COVID-19 tertinggi.

Sebelum pandemi, Jabodetabek diperkirakan menyuplai 70-80% penonton bioskop di Indonesia. Jumlah bioskopnya paling banyak, sementara harga tiketnya tergolong terjangkau untuk upah minimum setempat. Saat pandemi, ketika jaringan bioskop di Jabodetabek dipasung program pembatasan sosial, penonton di daerah yang relatif lebih longgar tak bisa berkontribusi banyak. Bisa jadi karena mereka menganggap bioskop sebagai kemewahan yang tak penting-penting amat, bisa juga karena mereka tak mengutamakan bioskop untuk asupan tontonan, atau malah di tempatnya tak ada bioskop sama sekali.

Di sisi lain, opsi yang ditawarkan layanan streaming kian hari kian menggiurkan. Pada Januari 2021, jumlah pelanggan video-on-demand di Indonesia telah mencapai tujuh juta lebih, naik hampir empat juta sejak September 2020. Puncak klasmen ditempati layanan paling baru, Disney+ Hotstar, dengan 2,5 juta pelanggan, disusul oleh Viu (1,5 juta), Vidio (1,1 juta), dan Netflix (850 ribu). Disney sukses membangun basis massa dalam waktu singkat melalui rekanan dengan Telkomsel, operator seluler terbesar di Indonesia, serta kebijakan harga yang ramah kantong—paling mahal Rp39 ribu per bulan. Rivalnya pun menawarkan harga yang kompetitif, di kisaran Rp30-50 ribu per bulan. Sebagai perbandingan, berikut rata-rata harga tiket bioskop: Rp35 ribu untuk Senin sampai Kamis, Rp41 ribu untuk Jumat, Rp51 ribu untuk akhir pekan dan tanggal merah.

Perihal rasa aman, hal paling konkret yang bisa dilakukan adalah menuntut pemerintah lebih cergas menangani pandemi. Bukan semata atas kebutuhan pengusaha film, melainkan atas hak kita sebagai warga negara terhadap rasa aman. Sementara perihal keterjangkauan, permasalahannya sudah menahun dan butuh solusi yang lebih sistemik. Karena situasi keduanya sama-sama pelik, setiap rencana mitigasi selama pandemi perlu dipikirkan masak-masak supaya tepat guna dan tidak menambah beban kehidupan publik.

Mengizinkan bioskop beroperasi dengan kapasitas penuh, seperti yang dilakukan India sejak Februari, tidak serta-merta membuat masyarakat lebih yakin atau merasa aman untuk berkunjung. Sementara itu, penyaluran dana subsidi maupun stimulus bagi pengusaha bioskop perlu bercermin dengan prioritas publik. Kebijakan serupa di Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok mengutamakan kelangsungan bioskop kecil dan independen, yang secara kuantitas terhitung signifikan, dengan pertimbangan bioskop jaringan besar punya ketahanan lebih dan akses pendanaan yang lebih luas.

Bagaimana halnya dengan perbioskopan di Indonesia yang didominasi segelintir konglomerat? Kita perlu meninjau ketahanan masing-masing pelaku. Raksasa macam Cinema XXI, CGV, dan Cinepolis jelas memiliki ketangguhan yang berbeda dengan jaringan lokal macam New Star atau Kota Cinema Mall, apalagi dibanding layar mandiri macam Kinosaurus.

Apabila ingin terlibat dalam penyelamatan bioskop, negara perlu bertindak dalam skala prioritas yang jelas. Penghidupan petugas lapangan dan pegawai harian bioskop, baik dari jaringan nasional maupun lokal, bisa menjadi prioritas utama untuk ditunjang, sementara dukungan untuk operasional gedung dan pemeliharaan sarana bisa dikhususkan untuk bioskop kecil dan independen.

Skala prioritas serupa juga berlaku apabila bantuannya diperluas ke pekerja film secara umum. Program dana bantuan seni di Jerman, contohnya, menargetkan pekerja lepas dan bisnis skala kecil, sehingga mereka setidaknya bisa menanggung ongkos hidup atau operasional selama enam bulan. Di Indonesia, pekerja film umumnya adalah pekerja rentan, namun beberapa lebih rentan dari lainnya. Tunjangan bisa dikhususkan bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, tidak memiliki penghasilan tetap, dan/atau hanya bergantung pada panggilan syuting.

Menciptakan Kemungkinan

Sebelum meminta bantuan, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab: di tengah krisis yang meluas, apa posisi tawar industri film sehingga perlu diutamakan?

Perfilman tidak tergolong sektor esensial. Ia bahkan tidak termasuk tiga besar subsektor industri kreatif, yang ditempati oleh kuliner, fesyen, dan kriya. Tentu, remah di bidang ekonomi bukan berarti remah juga secara kultural. Justru karena kontribusinya besar bagi budaya, kita perlu melihat isu yang lebih mendasar dari pemulihan kegiatan perfilman yang disuarakan dalam surat.

Di tengah segala percakapan tentang film sebagai identitas budaya dan wibawa bangsa, fakta bahwa mayoritas ekonomi perfilman bertumpu pada segelintir konglomerat bioskop menyiratkan ketimpangan akut dalam ekosistemnya. Pasar film di Indonesia telah sekian lama dikondisikan terbatas, sehingga hanya sebagian produk yang bisa memiliki nilai ekonomi dan segelintir pelaku yang bisa memiliki ketahanan finansial. Sementara itu, kondisi dunia sudah dan masih terus bergerak melampaui jangkauan industri film yang bioskop-sentris. Pemulihan bisnis bioskop akibat pandemi sepatutnya diupayakan bukan untuk kembali ke status quo yang sudah-sudah, melainkan untuk membuka jalan bagi perfilman yang lebih ramah terhadap keragaman pasar dan lebih tangguh terhadap perkembangan zaman.

Sudah saatnya kita memetakan ulang perfilman nasional. Kita perlu melihat populasi perfilman yang terdampak pandemi lebih dari hidup-mati bioskop semata. Dengan begitu, kita bisa melakoni strategi pemulihan yang tepat sasaran dan, setelah darurat hari ini terlewati, bisa memupuk ekosistem secara menyeluruh.

Bioskop lokal dan independen perlu didukung dengan suplai film dan skema pendanaan khusus, misal melalui subsidi dari perolehan pajak hiburan atau tarif sensor, sehingga mereka bisa secara berkelanjutan mengembangkan basis penonton di luar Jabodetabek. Penayangan film Indonesia bisa didorong dengan sejenis insentif fiskal, alih-alih dengan kuota jam tayang. Pelindungan dan pengelolaan properti intelektual juga perlu diperluas sehingga turut mencakup beragam jenis dan bentuk film selain yang lumrah beredar di jaringan bioskop. Dengan begitu, sineas dari berbagai jenjang dan lingkar produksi bisa sama-sama berdaya, dan dalam jangka panjang bisa turut mendorong pengembangan platform dengan kuratorial spesifik. Idealnya, platform niche sejenis Viddsee, MUBI, DAFilms, atau Shudder dapat tumbuh di Indonesia seiring dengan konglomerasi macam Netflix dan Disney+.

Agenda jangka panjang yang perlu diseriusi segenap insan perfilman adalah revisi Undang-undang Film. Regulasi yang berlaku saat ini begitu didominasi oleh pasal-pasal larangan, sehingga tak jelas apa keberpihakannya terhadap sineas nasional, dan masih secara sempit mendefinisikan insan perfilman sebagai pelaku produksi, ketika ekosistemnya sendiri hidup dari pertautan berbagai bidang.

Undang-undang Film juga sudah ketinggalan zaman. Ia disusun berdasarkan realitas pada 2009, ketika seluloid masih jadi standar industri nasional dan layanan streaming masih klangenan kalangan terbatas di belahan dunia lain. Regulasi perfilman nasional perlu diperbaharui dengan situasi terkini, disusun ulang dengan semangat penciptaan kemungkinan, dan diperkuat dengan insentif fiskal maupun nonfiskal melalui koordinasi lintas kementerian dan badan negara. Tidak hanya antara yang menangani kebudayaan dan ekonomi kreatif, tapi juga yang terkait urusan penanaman modal, pengarsipan, ekonomi negara, tata industri, politik luar negeri, pendataan statistik, hingga pemberantasan korupsi.

Tentu kita berharap yang terbaik. Semoga pandemi bisa segera reda, sehingga kita bisa kembali menonton bersama di bawah pancaran sinar proyektor. Krisis yang dialami bioskop sungguh benar adanya, dan penghidupan puluhan ribu orang turut terancam karenanya, tapi bukan berarti sama sekali tak ada harapan. Sebelumnya, kita bisa melahirkan generasi, industri, serta budaya sinema baru dari puing-puing yang berserakkan sepanjang 1990-an. Kebangkitan kedua, ketiga, keempat bukanlah hal baru bagi sinema Indonesia. Di tengah lilitan pandemi sekalipun, kita punya lebih banyak modal serta daya lenting yang lebih tinggi dibanding generasi terdahulu. Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana kita bisa melahirkan kembali sinema Indonesia dengan pijakan yang lebih kokoh.