Susan Sontag dalam Regarding The Pain of Others (2003) pernah bilang bahwa kita sedang hidup pada masa ketika realitas dibentuk oleh tontonan. Kamera yang memotret atau merekam memberi akses bagi penonton untuk menyaksikan apa yang tanpanya tak akan dapat menjangkau penonton.
Tapi, bagaimana etika menonton the pain of others? Apa yang membedakan produk yang bertujuan untuk memunculkan empati dengan yang hanya mencari sensasi? Merekam, dalam bahasa Sontag, juga adalah untuk membingkai. Dan, untuk membingkai adalah untuk mengecualikan.
Dalam film Like & Share (2022) arahan Gina S Noer, praktik merekam dan membingkai diperlihatkan lekat dengan keseharian karakter-karakternya, terutama kedua subjek utamanya, Lisa (Aurora Ribero) dan Sarah (Arawinda Kirana). Praktik ini juga jadi pintu masuk untuk membicarakan soal kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang dialami oleh Sarah dan Fita (Aulia Sarah).
Like & Share memang adalah film fiksi. Sementara Sontag dalam Regarding The Pain of Others sedang mengkritik soal etika memotret pengalaman traumatis orang lain di dunia nyata. Tapi, melalui fenomena KBGO, Like & Share sesungghunya turut mengandaikan apa yang Sontag pertanyakan: apa situasi yang telah dikecualikan dari frame sebuah video intim yang telah diambil dan/atau disebarkan secara non-konsensual? Untuk menjawab itu, pembuat filmmengikuti secara dekat kehidupan pihak yang jadi korban kekerasan tersebut.
Membingkai dan Dibingkai
Lisa dan Sarah adalah remaja SMA yang sehari-hari aktif mengakses dan berinteraksi dengan media sosial. Mereka menggunakan ponsel mereka untuk merekam diri dan sekeliling mereka, lalu mereka unggah di berbagai platform media sosial. Mereka juga berambisi untuk menjadi content creator di platform semacam Youtube dengan membuat video-video autonomous sensory meridian response (ASMR).
Di luar Sarah dan Lisa, Like & Share ikut memperlihatkan anak-anak seumuran mereka, di sekolah ataupun di tempat umum, melakukan hal serupa. Ada yang seperti sedang membuat konten joget ala TikTok, ada yang merekam diri mereka bermain di wahana ice skating untuk mereka unggah di media sosial.
Aktivitas-aktivitas ini membuat mereka seolah seperti sedang hidup dalam bingkai. Di sebagian besar momen, bingkai itu mereka ciptakan sendiri. Namun, Like & Share juga menambah lapisan baru: bagaimana jika orang lain membingkai mereka di luar kendali mereka?
Untuk menyorot soal itu, Like & Share melakukan pendekatan dengan lebih banyak menyorot karakter-karakternya di balik kamera. Di satu sisi, film ini memberikan kesan bahwa karakter-karakternya sedang ditonton. Banyak adegan film yang membingkai Lisa dan Sarah dengan benda-benda di sekelilingnya, seperti cermin, jendela, pintu, atau yang lainnya. Ada kalanya Sarah menyadari dirinya bisa jadi subjek tontonan. Ia beberapa kali bertanya ke Devan (Jerome Kurnia), apakah orang-orang di luar jendela atau di jalan raya bisa melihat mereka berdua yang sedang berada di dalam kamar atau di atas gedung.
Tapi, film ini tidak menyorot mereka dari kacamata device atau kamera yang sedang membingkai mereka. Tidak seperti, misalnya, Searching (2018) atau Profile (2018) yang semua adegannya diambil dari perspektif layar komputer.
Kamera di film ini banyak mengambil over-shoulder shot yang memberi kesan bahwa penonton ada di ruang sama dengan karakter-karakter ini. Bahkan, meski adegan awal film ini memperlihatkan video-video ASMR buatan Lisa dan Sarah, kamera lebih sering mengambil shot di balik layar ketika Lisa dan Sarah sedang merekam video mereka.
Pendekatan ini, menariknya, membantu penonton untuk memahami konteks yang memungkinkan fenomena KBGO dapat terjadi. Film tidak lagi berbicara soal bahaya internet bagi anak muda, misalnya. Atau memberikan argumen bahwa media sosial menjadi dalang atas meningkatnya risiko kekerasan di kalangan remaja. Like & Share justru menekankan kaitan erat antara KBGO dengan budaya patriarki yang mengakar kuat di dunia nyata. Bahwa apa yang terjadi di dunia digital hanyalah perpanjangan dari apa yang telah terjadi dunia nyata.
Paralel dengan Lisa yang menyaksikan lewat layar ponselnya sebuah rekaman seorang perempuan diperkosa, Lisa juga digambarkan hidup di dunia yang menanamkan dan memelihara bibit patriarki, yang kemudian berkembang menjadi budaya perkosaan (rape culture). Untuk menunjukkan ini, Like & Share menyorot berbagai ruang hidup Lisa, mulai dari di rumah tempatnya berinteraksi dengan keluarga, di sekolah, di restoran seafood milik suami ibunya, atau di tempatnya bermain seperti di gelanggang ice skating.
Budaya patriarki itu misalnya terlihat dari nasihat ibunya yang mengharapkan Lisa menjadi anak yang patuh dan penurut. Juga dari Lisa yang menyaksikan relasi hierarkis antara ibu dan suaminya yang baru, yang membuat ibunya mesti patuh terhadap suami untuk mengamankan situasi finansialnya. Budaya perkosaan, misalnya, film ini tunjukkan dari guru olahraga yang tanpa seizin Lisa mempertontonkan videonya berenang mengenakan pakaian terbuka ke seluruh isi kelas. Untuk membicarakan fenomena KBGO, Like & Share menyorot terlebih dahulu bagaimana kekerasan terhadap perempuan dinormalisasi di tengah masyarakat.
Dengan menyorot hal-hal yang dikecualikan dari bingkai, penonton diajak untuk ikut berada di posisi Lisa—yang tadinya terangsang ketika menonton sebuah video intim, jadi mempertanyakan perbuatannya. Bukan karena persoalan “dosa”, “takut masuk neraka”, atau malu karena tertangkap basah ibunya, tapi karena perlahan ia memahami bahwa: subjek di dalam video mengalami perkosaan. Dan bahwa video disebarkan di luar kemauan subjek. Video intim yang ternyata merupakan non-consensual distribution of intimate images (NCDII) membuat Lisa mempertanyakan etika menonton video tersebut.
Tak sampai di situ, penyorotan yang ada di luar bingkai itu kembali ditekankan film ketika sahabat Lisa sendiri, Sarah, menjadi korban NCDII.
Mitos The Perfect Victim
Like & Share memberikan batas yang tegas antara yang consensual dan yang tidak tanpa menggambarkan Lisa dan Sarah sebagai the perfect victim. Keduanya, sebagaimana sempat disinggung di awal, pernah membingkai diri mereka secara sukarela dan antusias, lalu menyebarkannya. Mereka secara sadar merekam diri mereka untuk video-video ASMR yang mereka unggah ke Youtube. Mereka sadar video mereka bisa dianggap sensual oleh penonton-penontonnya.
Selain itu, Lisa dan Sarah juga digambarkan sebagai remaja yang berhasrat seksual–seperti Sarah yang mengomentari laki-laki yang ia suka “berpantat seksi”, atau Lisa yang sedang gandrung menonton video-video porno dan masturbasi.
Film ini mencoba membuka percakapan sulit: bahwa seorang remaja perempuan bisa punya hasrat seksual dan berkeinginan untuk menjadi subjek tontonan. Dan, kedua faktor itu bukan menjadi alasan mereka patut dilecehkan. Batasannya bukan pada moral—pantas atau tidak pantas seseorang mengalami kekerasan seksual—tapi pada agency subjek: apakah subjek punya ruang untuk memilih? Apakah subjek berkeinginan, atau dengan kata lain consent, melakukan aktivitas seksual?
Pilihan dan hak untuk memilih berkali-kali ditekankan oleh film ini. Ada kalanya jendela kamar Lisa dan Sarah terbuka. Lisa dan Sarah membiarkan diri mereka dibingkai dan ditonton, dengan film menggunakan wide shot untuk merekammereka yang sedang bersandar di jendela. Tapi, ada kalanya, kedua karakter ini menutup tirai jendela kamar mereka.
Perihal pilihan ini juga film angkat secara gamblang melalui percakapan antar karakter-karakternya. Lisa beberapa kali protes ke ibunya tentang dirinya yang selalu mesti mengikuti keputusan-keputusan ibunya, dan tidak diberikan ruang untuk memilih. Begitu pula percakapan antara Sarah dengan kakaknya tentang keinginannya untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
Ketika Devan memaksa berhubungan seks dengan Sarah meski Sarah telah berkali-kali berkata tidak, Like & Share juga secara tegas menunjukkan bahwa Devan telah secara sadar merampas agency yang Sarah miliki.
Sebab, di beberapa adegan sebelumnya, Devan ditunjukkan punya pemahaman tentang consent. Ia sempat bilang ke Sarah yang tidak tahan pedasnya makanan di restoran seafood Lisa dengan bilang, “Kalau kamu nggak suka, bilang.” Pada awal perkenalan, Devan juga menghormati pilihan-pilihan Sarah–seperti menawarkan diri terlebih dahulu sebelum merekam Sarah, atau menghormati jawaban “tidak” Sarah ketika Devan mengajaknya untuk ikut kelas gym-nya untuk pertama kali.
Untuk Tidak Menyembunyikan
Dengan pendekatan-pendekatan itu, Like & Share jadi sebuah film yang powerful bukan karena ia banyak menggunakan pendekatan simbolis, tapi justru karena ia lugas dalam mengangkat contoh kasus kekerasan seksual.
Ini berkaitan dengan etika mengangkat isu kekerasan seksual di budaya populer. Kekerasan seksual bukanlah isu yang tabu lagi jika dibanding lima sampai sepuluh tahun lalu. Dukungan bagi korban kekerasan seksual untuk bersuara telah meningkat, meski tak dimungkiri kasus victim blaming dan intimidasi terhadap korban kekerasan seksual masih umum terjadi. Dengan semakin populernya isu ini, sebuah produk budaya seperti sedang berjalan di sebuah benang tipis: apakah ia membawa percakapan baru, atau sekadar mengeksploitasi isu?
Persoalannya bukan tentang tanggung jawab untuk memasukkan pesan moral, tapi etika untuk menjadi peka pada pengalaman korban kekerasan di dunia nyata, dan pada saat yang sama tidak menyamarkan faktor sistemik yang menyebabkan kekerasan itu terus berlangsung.
Penyamaran ini, pada zaman tertentu, bisa dianggap wajar, bahkan cerdik, untuk menyiasati situasi politik saat itu, seperti iklim negara yang otoriter. Sebutlah Sundelbolong (1981) yang, untuk dapat menyorot soal mustahilnya korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan pada zaman Orde Baru, mesti mengandaikan korban mati dan menjadi hantu lebih dulu baru dapat memburu pelaku-pelakunya.
Film-film yang lebih baru, seperti 27 Steps of May (2018) dan Penyalin Cahaya (2022) bisa jadi telah lebih lugas dalam menggambarkan peristiwa kekerasan seksual, tapi masih mengambil pendekatan abstrak dalam menggambarkan proses pemulihan korban dan motif pelaku kekerasan seksual. 27 Steps of May di satu sisi menunjukkan dengan sangat kentara self-harming akibat trauma yang dialami korban kekerasan seksual, tapi di sisi lain mesti menghadirkan tokoh pesulap beserta trik-triknya untuk menggambarkan proses tak mudah korban kekerasan seksual pulih dari traumanya.
Penyalin Cahaya, di satu sisi, secara spesifik menyorot kasus kekerasan seksual beserta budaya perkosaan di level perguruan tinggi, tapi di sisi lain mesti membawa gimmick mesin fotokopi, plus adegan teatrikal dan aksi fogging di babak terakhir film. Adegan itu bisa jadi berintensi menggambarkan praktik power abuse yang memungkinkan pihak berkuasa menutup-nutupi kasus kekerasan seksual, tapi juga jadi berjarak dari konteks perguruan tinggi yang telah mereka sepakati di awal.
Pada zaman yang telah lebih terbuka dengan percakapan tentang kekerasan seksual, estetika tersebut bisa malah berakhir menjadi self-censorship yang tidak memberi nilai tambah apapun kepada narasi film–bahkan berisiko menjadi eufemisme yang mengaburkan pengalaman korban.
Dalam situasi berbeda tapi serupa, praktik pink-washing, green-washing, hingga queer-baiting umum terjadi di budaya populer atas nama “representasi”. Hanya saja, representasi yang setengah-setengah hingga tidak tepat sasaran bisa jadi malah berakhir mendistraksi dan semakin merugikan kelompok-kelompok yang telah dalam posisi marginal.
Dalam konteks Like & Share, film ini rilis bukan saja ketika isu kekerasan seksual telah lebih ramai dibincangkan, tapi juga setelah Indonesia telah mengesahkan instrumen hukum yang membela korban kekerasan seksual. Ada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang tidak hanya berfokus pada menghukum pelaku kekerasan seksual, tapi lebih penting lagi: mengamini asas mempercayai korban hingga terbukti sebaliknya–dengan birokrasi yang memudahkan pembuktian kasus, dan memberikan akses bagi korban untuk melakukan pemulihan.
Dengan situasi ini, butuh alasan yang sangat kuat untuk tetap bersembunyi di balik metafora-metafora. Dan Like & Share memilih untuk tidak melakukannya. Bukannya film ini tidak menggunakan metafora sama sekali. Ada gestur-gestur kecil, seperti pembingkaian karakter, pemilihan warna dan jenis pakaian yang serasi dengan suasana hati karakter, hingga rambut Lisa yang kerap berantakan dan ibunya yang merasa perlu untuk mengaturnya—sebagaimana ibunya yang selalu berusaha untuk meluruskan hidup Lisa. Tapi semua itu berfungsi untuk kembali menekankan apa yang telah film ini sampaikan dengan gamblang.
Dan, terlepas dari isu yang telah populer, Like & Share tidak mengambil jalan aman, tapi justru membuka sebuah percakapan sulit. Lisa dan Sarah jadi paket lengkap karakter yang rentan kena stigma. Film ini membuka pertanyaan-pertanyaan—tentang pemahaman soal consent (apakah telah bersedia check-in kamar hotel berdua otomatis sudah bersedia berhubungan seks?), tentang grooming (apakah seorang yang telah masuk usia dewasa tetap bisa menjadi korban grooming?), dan sederetan percakapan lain. Dan, tak semua penonton mungkin siap menjawabnya.
Like & Share mengambil risiko itu. Dengan mengambil sikap yang tegas dan lugas.
Like & Share | 2022 | Durasi: 112 menit | Sutradara: Gina S Noer | Penulis: Gina S Noer | Produksi: StarVision Plus, Wahana Kreator | Negara: Indonesia | Pemeran: Aurora Ribeiro, Arawinda Kirana, Jerome Kurnia, Aulia Sarah, Omara N Esteghlal, Sahira Anjani, Kevin Julio