Sang Penari: Ulasan Atasnya dan Ulasan Atas Dua Ulasan Tentangnya

ulasan-sang-penari_highlight

Sang Penari arahan sutradara muda Ifa Isfansyah kiranya memang patut diperhitungkan sebagai fenomena industri film Indonesia. Film ini berani mengambil tema cinta dengan bingkai yang lebih serius: kemiskinan dan tragedi politik Indonesia 1965. Namun, menebar pujian yang berlebihan pada Sang Penari tanpa konteks dan penjelasan yang memadai sepertinya bukan bombasme yang diharapkan para kreatornya. Mereka tentu lebih butuh rentetan kritik-konstruktif, yang berefek pada progresi dan rehabilitasi energi kreatif yang terkuras dalam proses pembuatan film Sang Penari. Mirip seperti yang ditulis oleh Ifa Isfansyah dalam sebuah blog tentang proses produksi Sang Penari: “…Yang saya perlukan saat ini adalah mengisi kembali energi saya dengan feedback dari penonton-penonton film ini (baca: Sang Penari), positif atau negatif…”[1]

Sebelum Sang Penari dirilis secara resmi, yakni 10 November 2011, saya menemukan dua feedback berupa dua ulasan tentang film Sang Penari. Dua ulasan yang saya maksud adalah tulisan JB Kristanto (Rasus-Srintil dan Tsunami Sosial-Politik 1965, Kompas: 30 Oktober 2011, hal. 20) dan Leila S. Chudori (Srintil Tak Ingin Berhenti Menari, Majalah Tempo: edisi 36 atau edisi 7-13 November 2011, hal. 54-55). Dalam konteks waktu objektif, dua ulasan tersebut muncul sebelum film tersebut resmi dirilis. Fenomena tersebut boleh kita baca sebagai strategi promosi dan sosialisasi melalui pembangunan wacana.

Dengan demikian, upaya tersebut bukan berarti bebas nilai. Sebab dalam konteks yang lebih luas, kemunculan ulasan JB dan Leila tentang Sang Penari di media massa yang terbilang sama-sama besar, sehingga bisa membuat wacana yang dibangunnya menjadi besar pula. Dalam konteks tersebut, secara langsung ataupun tidak, wacana JB dan Leila tentang Sang Penari sangat mungkin mempengaruhi opini masyarakat tentang film tersebut. Maka dari itu, fenomena tersebut tidak cukup dimaknai sebagai kelaziman yang berlangsung secara niscaya. Sebab, pada dasarnya, ada pola relasi tertentu yang terbentuk dari sistem dialektika, antara wacana tentang Sang Penari yang mendahului film itu sendiri dan opini masyarakat.

Dalam konteks lebih lanjut, wacana tentang Sang Penari yang mendahului rilis resmi film menyandang status istimewa, yakni sebagai kekuatan peggerak awal yang berdinamika dengan Sang Penari itu sendiri. Kemudian puncak dari dinamika keduanya adalah penyatuan (sintesis), yang wujud kongkretnya adalah bentuk opini masyarakat tentang Sang Penari. Sehingga, sampai sini kita bisa menarik dua implikasi yang mengemuka dari alur dialektik tersebut. Pertama, terbangunnya opini masyarakat tentang Sang Penari secara ideal. Kedua, terbangkitkannya hasrat masyarakat untuk menonton Sang Penari secara materialistik.

Lepas dari semua itu, saya menemukan beberapa kekeliruan pada level teknis-deskriptif tentang film Sang Penari. Kekeliruan tersebut saya temukan ketika membaca lagi tulisan JB dan Leila seusai menonton film tersebut. Maka dari itu, kekeliruan pada level teknis-deskriptif ulasan JB dan Leila tentang film tersebut perlu saya sampaikan lebih dulu. Sebelum saya masuk pada ulasan tersendiri tentang Sang Penari. Ada dua alasan kenapa dua tahap tersebut menarik untuk saya tempuh. Pertama, agar bentuk opini masyarakat tentang deskripsi film Sang Penari lebih objektif. Kedua, agar hasrat masyarakat untuk mengapresiasi film Sang Penari secara materialistik lebih proporsional.

***

JB Kristanto dalam tulisannya yang berjudul Rasus-Srintil dan Tsunami Sosial-Politik 1965 terbilang cukup kritis dalam mengulas film Sang Penari. Namun ada beberapa poin deskripsinya yang keliru. Misalnya pada bagian kalimat dalam paragrafnya yang kedua. JB menggunakan kata “adaptasi”—bukan “inspirasi” yang jelas-jelas tertulis dalam title akhir dan poster film tersebut—dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Awalnya saya mengira JB menggunakan kata “adaptasi” untuk menilai capaian film Sang Penari, yang lebih mirip sebagai film yang mengadaptasi novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, ketimbang film yang terinspirasi dari novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.

Tapi, sejauh yang saya baca, JB tidak menjelaskan penggunaan kata “adaptasi” tersebut secara lebih lanjut. Dalam hal ini, kemudian JB menjadi kurang sadar, bahwa film Sang Penari bukanlah film adapatasi dari novel Ahmad Tohari. Maka dari itu, dalam paragrafnya yang ketiga, JB terbawa oleh deskripsi novel tentang usia Srintil yang masih bayi, ketika tragedi tempe bongkrek merenggut nyawa kedua orang tuanya (Suami-Istri Santayib). Namun dalam film Sang Penari, usia Srintil digambarkan sudah berusia di atas lima tahun. Sehingga wajar jika kemudian Srintil diadegankan menangis, ketika menemukan kedua orang tuanya mati tertelan atau menelan racun bongkrek hasil produksinya sendiri.

Lebih lanjut, dalam paragrafnya yang keenam, JB kembali melakukan kekeliruan deskripsi dengan jenis yang agak berbeda. Yakni, ketika JB berspekulasi bahwa mungkin Rasus (Oka Antara) yang membuat dan memberikan catatan berisi nama-nama orang Dukuh Paruk dalam secarik kertas. Catatan pada secarik kertas tersebut akhirnya digunakan sebagai daftar penangkapan orang Dukuh Paruk yang dicurigai terlibat gerakan komunis. Dari segi spekulasi sekalipun, deskripsi JB tetaplah keliru. Karena dalam film Sang Penari, tokoh Bakar (Lukman Sardi) yang melakukan pendataan warga Dukuh Paruk dalam secarik kertas. Atau lebih tepatnya dalam adegan pendataan untuk pembagian jatah makan.

Namun jika JB tetap mau berspekulasi, kepada Darsun (warga Dukuh Paruk yang berkomplot dengan tentara, diperankan oleh Teuku Rifnu) JB seharusnya layak menaruh curiga. Walaupun, di satu sisi, Ifa tidak secara eksplisit mengadegankan Darsun sedang mengambil secarik kertas tersebut dari tangan Bakar. Namun di sisi lain, JB bisa mencermati gerak-gerik tokoh Darsun yang mencurigakan dalam adegan-adegan tertentu yang melibatkannya. Dengan demikian, kita patut menyayangkan kekurangcermatan JB sebagai “penonton istimewa” film Sang Penari. Khususnya, kekurangcermatan untuk mengikuti gerak-gerik tokoh dan detail adegan yang dihadirkan Ifa Isfansyah dalam filmnya tersebut.

Selanjutnya, kita akan beranjak pada ulasan Leila S. Chudori tentang Sang Penari. Status beliau sebagai penonton sama istimewanya dengan JB Kristanto.[2]

***

Membaca ulang tulisan Leila tentang film Sang Penari yang berjudul Srintil Tak Ingin Berhenti Menari membuat saya seperti “tukang urut syaraf deskripsi Leila yang salah urat”. Ulasan Leila tentang film tersebut bukan hanya banyak mengandung kekeliruan pada level teknis-deskriptifnya, tapi juga secara keseluruhan juga kurang objektif. Sang Penari dipujinya habis-habisan, tanpa ada secuilpun catatan kritis. Film tersebut seolah menjadi film tanpa cacat sedikitpun. Mungkin dari cara baca seperti itulah, Leila akhirnya banyak melahirkan kekeliruan dalam deskripsi film Sang Penari.

Misalnya dalam paragraf pertamanya. Leila mendeskripsikan: “… Tahun 1965 dan untuk tahun-tahun berikutnya, Dukuh Paruk dan sekitarnya akan basah oleh aliran darah…” Kita memang tidak bisa memungkiri jika tahun 1965 dan tahun-tahun berikutnya merupakan sejarah kelam penuh darah yang pernah terjadi di Indonesia. Namun dalam film Sang Penari, sejauh yang saya cermati, Dukuh Paruk dan sekitarnya sama sekali tidak terlihat basah oleh aliran darah. Dengan kata lain, Ifa Isfansyah tidak terlalu tertarik untuk mengekspos darah 1965 sebagai yang membasahi dan mengaliri adegan penangkapan, pembersihan dan penginterogasian orang-orang Dukuh Paruk. Memang ada adegan pembunuhan dan dua mayat yang mengapung di sungai. Tapi merahnya darah yang membasah yang mengalirlah tidaklah seharafiah kalimat Leila pada paragraf pertama tersebut dan pada paragraf ketiganya berikut: “…peristiwa berdarah September 1965, yang ikut melukai Dukuh Paruk…”

Dengan demikian, dari penggunaan kata “darah” dan “berdarah” oleh Leila kemudian melahirkan beberapa tanya di kepala saya. Bagaimana cara Leila menonton Sang Penari? Apakah Leila menonton Sang Penari dengan cara sambil lalu? Atau Leila menonton Sang Penari dengan imaji pribadinya tentang “darah”? Jika iya, tentu saja dua cara menonton adalah kurang tepat dan salah tempat. Kekeliruan deskripsi lainnya terdapat dalam paragraf keempat, persisnya ketika Leila menganggap: “…Surti (Happy Salma),” sebagai, “ibu Srintil, yang lenggak-lenggok tubuhnya mengusap hasrat penduduk.” Padahal jika kita cermati film Sang Penari di awal-awal durasi secara sungguh-sungguh, kita akan segera tahu bahwa tokoh yang berperan sebagai ibu Srintil adalah seorang perempuan yang menempuh jalan Juliet ketika menemukan sang Romeo—Santayib (Ayah Srintil)—mati menelan racun bongkrek. Tokoh Surti lebih tepat dideskripsikan sebagai Ronggeng Dukuh Paruk sebelum Srintil, yang turut menjadi korban dalam tragedi racun bongkrek.

Dalam pargraf keduabelas. Leila malah membuat pernyataan yang cenderung subjektif, memiliki konsekuensi etis yang serius. Leila mendeskripsikan: “…Kamera Yadi Sugandi,” relatif berhasil, “merekam kemiskinan sekaligus kecabulan dengan asyik…” Penggunaan kata “asyik” dalam konteks kemiskinan dan kecabulan menjadi kurang etis. Sebab menyiratkan ambiguitas konteks yang tanpa nilai dan perasaan terhadap peristiwa kemiskinan dan kecabulan. Walaupun kemiskinan dan kecabulan tersebut statusnya sebagai capaian sinematografi Yadi Sugandi.

Namun, jika Leila semata-mata hendak memuji hasil sinematografi Yadi Sugandi. Bukankah masih banyak kata dalam bahasa Indoneisa yang terasa lebih tepat dan lebih “asyik”. Misalnya, kata “efektif” yang dipilih JB Kristanto untuk menilai—kebetulan dalam konteks yang sama—hasil sinematografi Yadi Sugandi sebagai sesuatu “…yang mungkin saja tidak indah tapi efektif…” Dengan demikian, kekeliruan-kekeliruan deskripsi Leila tentang film Sang Penari menjadikan pujian-pujiannya terhadap film tersebut patut kita curigai sebagai pujian yang tidak objektif. Sebab, representasi pada level yang lebih permukaan saja sudah tidak sesuai dengan presentasi objek, apalagi representasinya pada level yang lebih dalam dari presentasi objek.

Sampai sini, ulasan atas dua ulasan tentang film Sang Penari saya cukupkan. Selanjutnya, saya akan beranjak pada ulasan tersendiri tentang film tersebut.

***

Sang Penari”, demikian tertulis, “terinspirasi dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari”. Kata “terinspirasi” dengan kata dasar “inspirasi”. Memiliki perbedaan literer dengan kata “diadaptasi” yang kata dasarnya adalah “adaptasi”. Dalam konteks film Indonesia, kata “diadaptasi” umum digunakan sebagai penjelas: bahwa film A “diadaptasi” dari novel B. Dengan berdasar pada KBBI, kata “adaptasi” memiliki arti “sesuai” atau “penyesuaian”. Sedangkan kata “inspirasi” diidentikkan dengan kata “ilham”. Kata “ilham” memiliki beberapa arti. Salah satu arti untuk kata “ilham” yang paling dekat dengan konteks penggunaan kata “terinspirasi” dalam film Sang Penari adalah “sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta”.[3] Dengan demikian, sampai sini kurang lebih bisa kita simpulkan, bahwa “novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari menjadi sesuatu yang menggerakkan hati sutradara bernama Ifa Isfansyah, untuk menciptakan film yang kemudian ia beri judul Sang Penari.”

Maka dari itu, jika kemudian pembaca novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk merasa cerita dalam Sang Penari tidak terlalu bersesuaian dengan cerita dalam novel. Bukan lagi menjadi masalah yang krusial dan internal dalam film Sang Penari. Film tersebut telah memilih untuk tidak menyesuaikan ceritanya dengan cerita dalam novel yang menginspirasinya. Bahkan, dengan merujuk sumber-sumber lain, hal tersebut sudah banyak dijelaskan oleh Ifa Isfansyah dan tim. Keputusan tersebut bersumber dari saran Ahmad Tohari untuk menempatkan novelnya sebagai “inspirasi” saja. Sehingga Ifa dan tim tidak terlalu terkekang untuk mengejar imaji Ahmad Tohari dalam novelnya tersebut.[4] Atas inklusivitas dan kebebasan yang diberikan Ahmad Tohari tersebut, otomatis Ifa Isfansyah dan tim lebih berani membuka ruang tafsir novel secara lebih luas dan memilih cara tafsir yang bisa lebih bebas.

Sebagai pilihan strategis, pembukaan ruang tafsir lebih luas dan cara tafsir yang lebih bebas terhadap sebuah teks sastra, selain boleh-boleh saja, memang perlu dilakukan oleh seorang sutradara dan penulis skenario yang hendak mengangkat sebuah teks sastra menjadi sebuah teks film. Bahasa novel (baca: media tulis) dan bahasa film (baca: media gambar dan suara) memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Transformasi peristiwa dalam novel menjadi adegan dalam film—demikian sebaliknya—selalu membawa reduksi tersendiri. Namun, yang namanya reduksi tetaplah problem dan fenomena pemiyuhan tersendiri. Artinya, sebagai efek transformasi, reduksi harus dengan jeli disiasati, agar hasil dari transformasi teks, tidak terlalu menghasilkan bentuk yang banyak mereduksi isi.

Kembali menatap film Sang Penari. Secara bentuk, film tersebut sudah pasti berbeda dengan novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Namun secara isi, Sang Penari bukanlah film yang unsur-unsurnya benar-benar berdiri sendiri diluar unsur-unsur novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Unsur-unsur seperti nama dan konstruksi tokoh juga nama setting yang notabennya menjadi isi novel secara umum masih dipertahankan. Sang Penari masih mempertahankan nama-nama tokoh yang ada dalam novel seperti Rasus (Oka Antara) dan Srintil (Prisilia Nasution) sebagai tokoh utama, Sakarya (Landung Simatupang) sebagai kakek Srintil dan sesepuh Dukuh Paruk. Kartareja (Slamet Rahardjo) sebagai dukun Ronggeng Dukuh Paruk, Nyai Kartareja (Dewi Irawan) sebagai istri dukun Dukuh Paruk sekaligus makelar Srintil, Sakum (Hendro Djarot) sebagai pemusik buta dalam kelompok Ronggeng Dukuh Paruk, serta Bakar (Lukman Sardi) sebagai orang partai komunis. Untuk nama latar tempat, Sang Penari masih mempertahankan Dukuh Paruk dan Pasar Dawuan sebagai latar berlangsungnya peristiwa-peristiwa krusial. Meski begitu, pada bagian tertentu, ada beberapa unsur novel yang diubah dan ditambah dalam Sang Penari.

Contoh elemen novel yang diubah adalah usia Srintil ketika tragedi racun bongkrek melanda Dukuh Paruk. Dalam novel, Srintil masih bayi, sedangkan dalam film Srintil sudah berusia di atas lima tahun. Sersan Binsar (Tio Pakusadewo) sebagai tentara—berasal dari Medan—seseorang merekrut Rasus menjadi tentara. Nama dan karakter Sersan Binsar tersebut, menggantikan nama dan karakter Sersan Slamet (dalam novel, berasal dari Jawa) yang ceritanya juga sebagai seseorang yang merekrut Rasus menjadi tentara. Kemudian alur linear dalam novel diubah menjadi alur linear yang sedikit meloncat dan sedikit maju mundur dalam film. Selain itu, adegan pembuka dan penutup dalam Sang Penari juga jauh berbeda dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk. Contoh elemen novel yang ditambah adalah tokoh Surti yang berperan sebagai ronggeng Dukuh Paruk sebelum Srintilm yang notabene tidak ada dalam novel. Kemudian, munculnya adegan pembantaian orang komunis dan adegan mayat yang mengapung di sungai.

Revisi-revisi tersebut tidak terasa krusial, sebab hanya sampai pada tataran bentuk yang tidak terlalu memberi kejutan pada tataran isi—kecuali adegan pembantaian dan dua mayat yang mengapung di sungai. Dengan demikian, ibarat dua buah lingkaran, film Sang Penari adalah lingkaran kecil dari lingkaran novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, dimana unsur-unsur yang menjadi isiannya mengalami irisan secara “hampir penuh”. Atau perumpamaan lain yang lebih lugas: film Sang Penari adalah embrio yang belum lepas benar dari induknya. Dengan demikian, upaya pembacaan terhadap Sang Penari secara menyeluruh pada dasarnya memang tidak bisa benar-benar dipisahkan dari pembacaan terhadap novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sejauh unsur-unsur yang menjadi isian film di satu sisi dan isian novel di sisi lain, irisan dan hubungan jelas tak terhindarkan.

***

Sejak awal Ifa Isfansyah memang memutuskan “cinta” sebagai tema besar. Inilah yang menjadi tema besar untuk film Sang Penari. Berarti, “cinta” jugalah menjadi cara pembuat film untuk menafsir novel. Dengan demikan, menjadi tidak mengherankan jika kemudian unsur cinta lebih kental menjadi isi-an film Sang Penari. Namun di sisi lain, kita juga perlu ingat dan melihat lebih jauh lagi unsur-unsur lain dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Selain unsur cinta, novel tersebut juga memiliki unsur-unsur lain, seperti kemiskinan, kekeringan, sejarah sosial-politik Indonesia 1965, relativitas nilai-nilai kultural dan moral, modernitas, tradisionalitas dan unsur-unsur lain yang lebih kecil yang ikut menyatu dan memadatkan isi novel.

Bisa jadi film Sang Penari, yang skenarionya ditulis dan dieksekusi oleh Ifa Isfansyah dan tim, tampak terlalu kebablasan menempatkan cinta sebagai unsur yang mendominasi isi film. Sehingga unsur-unsur lain seperti yang telah tersebut di atas akhirnya hanya berfungsi sebagai bingkai tipis dan kurang proporsional. Dengan demikian, mengkontekskan kembali pada cara dan pendekatan Ifa untuk menafsir novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk akhirnya membuahkan reduksi yang menjulang dari paradoks kebebasan tafsir.

Maksudnya: di satu sisi, Ifa seolah berani membuka banyak pintu yang menutupi interior (baca: ruang-dalam) novel. Di sisi lain, sejak awal Ifa telah menetapkan diri untuk memasuki interior novel dan mengambil unsur cintanya saja. Sedang unsur-unsur lain seperti sejarah sosial-politik Indonesia 1965 dan lain-lain hanya dilihat Ifa sebagai hiasan dinding yang sebelumnya memang sudah terpaku dalam interior novel.[5] Analisis saya tersebut kemudian secara eksplisit dan implisit malah semakin mendapatkan fondasi empiris dari pernyataan Ifa Isfansyah dan Santy Harmayn (produser sekaligus penulis skenario film Sang Penari) berikut. Ifa Isfansyah: “Saya 100% concern ke tema cinta. Film ini menggambarkan dari sudut pandang Rasus tentang kisah cintanya dengan Srintil yang terjadi pada jaman yang salah. Politik menjadi background dari film ini, saya tidak concern ke politik, saya tidak tertarik politik dan sudut pandang saya disini 100% adalah cinta.”[6] Kemudian Santy Harmayn: “…Isinya (baca: Sang Penari) memang lebih berat pada kisah percintaan. Kami tak mau terjebak dalam tema yang berat dari sejarah.”[7]

Lebih lanjut, pernyataan Ifa Isfansyah dan Santy Harmayn tersebut juga dicokoli problem lain tentang cara tafsir atas novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sebab ketika berhadapan dengan unsur seperti politik dan sejarah, atau dalam konteks yang lebih spesifik adalah sejarah politik Indonesia 1965, kebebasan tafsir yang digadang-gadang sontak berubah menjadi kebebasan untuk menghindari cara tafsir terhadap unsur sejarah dalam novel. Dengan demikian, film Sang Penari yang terinspirasi dari novel sekelas Ronggeng Dukuh Paruk hanya secara bulat berhasil menjadi film terbaik FFI 2011. Film tersebut belum bisa secara bulat berhasil menjadi film terbaik tentang sejarah sosial-politik Indonesia 1965 dengan sudut pandang yang berbeda dari film Pengkhianatan G30S-PKI.

Namun dalam konteks logika dagang, kita harus mengakui kalau “jalan cinta” yang dipilih film Sang Penari memang masih terbilang cukup manjur untuk menarik minat sebagian besar penonton Indonesia. Keputusan tersebut turut memperingan beban pencernaan sebagian besar penonton Indonesia untuk menelan unsur cerita tentang sejarah sosial-politik 1965. Dalam konteks ini, kita harus mengakui kepiawaian Ifa Isfansyah dan tim dalam menyederhanakan unsur tersebut dalam film Sang Penari. Namun lagi-lagi, implikasi dari penyederhanaan unsur tersebut juga patut kita sayangkan. Sebab dalam irisan tertentu, ternyata lumayan banyak mereduksi unsur-unsur novel yang memiliki potensi visual. Nah, unsur-unsur semacam itu yang seharusnya masih bisa diperas lagi dan ditampung menjadi “inspirasi” tersendiri untuk film. Malah terkesan disia-siakan begitu saja. Misalnya, deskripsi Ahmad Tohari tentang peristiwa perjuangan Rasus, Darsun dan Warta di tengah kondisi kekeringan, kemiskinan dan kelaparan yang terjadi di Dukuh Paruk di bagian awal novel. Berikut cuplikannya:

Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah-payah mencabut sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalahkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah-engah, namun batang singkong itu tetap tegak di tempatnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang anak di antara mereka tidak menemukan akal. “Cari sebatang cungkil,” kata Rasus kepada dua temannya. “Tanpa cungkil mustahil kita dapat mencabut singkong sialan ini.” “Percuma. Hanya sebatang linggis dapat menembus tanah sekeras ini,” ujar Warta. “Atau lebih baik kita mencari air. Kita siram pangkal batang singkong kurang ajar ini. Pasti nanti kita mudah mencabutnya.” “Air?” ejek Darsun, anak yang ketiga. “Di mana kau dapat menemukan air?” “Sudah, sudah. Kalian tolol,” ujar Rasus tak sabar. “Kita kencingi beramai-ramai pangkal batang singkong ini. Kalau gagal juga, sungguh bajingan.” Tiga ujung kulup terarah pada titik yang sama. Currrr. Kemudian Rasus, Warta dan Darsun berpandangan. Ketiganya mengusap telapak tangan masing-masing. Dengan tekad terakhir mereka mencoba mencabut batang singkong itu kembali. Urat-urat kecil di tangan dan di punggung menegang. Ditolaknya bumi dengan hentakkan kaki sekuat mungkin. Serabut-serabut halus terputus. Perlahan tanah merekkah. Ketika akar terakhir putus ketiga anak Dukuh Paruk itu jatuh terduduk. Tetapi sorak-sorai segera terhambur. Singkong dengan umbi-umbinya yang hanya sebesar jari tercabut. Adat Dukuh Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga anak laki-laki itu harus berhenti di sini. Rasus, Warta dan Darsun kini harus saling adu tenaga memperebutkan umbi singkong yang baru mereka cabut. Rasus dan Warta mendapat dua buah, Darsun hanya satu. Tak ada protes. Ketiganya kemudian sibuk mengupasi bagiannya dengan gigi masing-masing, dan langsung mengunyahnya. Asinnya tanah. Sengaknya kencing sendiri.[8]

Kalau kita rasakan dan bayangkan, bukankah sesungguhnya peristiwa dalam novel tersebut mengandung potensi visual yang padat dan impresif? Ifa malah membongkar konteks dan motivasi peristiwa novel tersebut untuk membangun salah satu adegan film Sang Penari yang menggambarkan peristiwa serupa tapi tak sama. Singkong yang sedang dicuri beberapa bocah Dukuh Paruk menjadi mudah sekali dicabut, soalnya singkong tersebut tertanam pada tanah yang basah habis terguyur hujan. Dengan demikian, wajar jika kemudian Ahmad Tohari merasa kekeringan Dukuh Paruk kurang terwakili dalam film Sang Penari.[9] Peristiwa kekeringan yang dibangun dalam novel elah dibongkar paksa oleh Ifa Isfansyah, tanpa merasa harus melakukan rekonstruksi motivasi dan konteks unsur kekeringan dalam film, yang impresinya sepadan dengan deskripsi peristiwa kekeringan dalam novel.

Namun, di sisi lain, Ahmad Tohari juga melontarkan pujian untuk film Sang Penari. “Saya kira roh novel cukup terwakili. Ada empati terhadap masyarakat kecil. Di beberapa bagian, saya salut terhadap film ini. Dramatisasi aspek politik, yang saya malah tidak terlalu berani, di film ini ada. Seperti adegan mayat mengapung, di novel saya tak ada.”[10] Pujian tersebut, selain sebagai respon atau pengakuan positif terhadap capaian estetik film Sang Penari, bisa juga sebagai poin plus untuk promosi film Sang Penari. Dengan demikian, pujian dari Ahmad Tohari tersebut, menjadi perlu kita tempatkan dalam konteks yang lebih objektif.

Poin pujian pertama adalah ketika Ahmad Tohari menilai film Sang Penari cukup mewakili roh novelnya. Dalam hal ini kita harus ingat, bahwa sebelum film Sang Penari sudah ada film berjudul Darah dan Mahkota Ronggeng (1983), garapan Yazman Yazid dengan bintang Eny Beatrice dan Ray Sahetapy, yang juga berangkat dari novel Ahmad Tohari. Dengan demikian, bisa jadi pujian Ahmad Tohari tersebut, berada dalam konteks usaha komparasinya terhadap capaian estetik dua film tersebut dengan novelnya, yang hasilnya bisa kita simak sebagai berikut:

Dibanding yang dulu (baca: film Darah dan Mahkota Ronggeng), ini (baca: film Sang Penari) yang paling serius. Cukup mendekati novel […], meski saya sadar pencapaian bahasa akan berbeda dengan pencapaian kamera. Tapi jika dibandingkan dengan yang lama (baca: film Darah dan Mahkota Ronggeng), ini (baca: film Sang Penari) lebih mengena. Yang dulu (baca: film Darah dan Mahkota Ronggeng) kurang menghayati kebudayaan lokal. Pada akhirnya hanya keseksian yang diumbar. Kemungkinan lain, film itu (baca: film Darah dan Mahkota Ronggeng) dibuat sebelum terbitnya buku kedua dan ketiga. Jadi hanya membaca buku pertama.”[11]

Poin pujian kedua adalah ketika Ahmad Tohari menilai film Sang Penari lebih berani menampilkan dramatisasi aspek politik—secara spesifik merujuk pada adegan pembunuhan dan mayat yang mengapung—ketimbang dirinya yang kurang berani menuliskan peristiwa tersebut dalam novel. Tentu saja harus kita tempatkan dalam konteks ancaman kekuasaan di masa yang berbeda. Ahmad Tohari tentu saja berpikir ulang untuk berani membubuhkan peristiwa pembunuhan orang-orang PKI oleh tentara, karena dia menulis pada masa kekuasaan Soeharto yang represif terhadap upaya penyingkapan kejahatan politik tahun 1965 dan tahun-tahun setelahnya. Wajar jika kemudian Ahmad Tohari memilih untuk tidak terlalu berani mengekspresikan peristiwa pembantaian orang-orang komunis secara vulgar dan eksplisit dalam novelnya.

Sedangkan, Ifa Isfansyah melahirkan Sang Penari dalam konteks kondisi kekuasaan yang berbeda. “Berbeda” di sini dalam pengertian represi kekuasaan tetaplah masih ada dan terasa, tapi tidak dilakukan dengan pola yang “banal” seperti pada era Soeharto. Alhasil, “keberanian” yang tidak bisa dioposisikan dengan “ketidakberanian” Ahmad Tohari untuk menuliskan peristiwa mengerikan tersebut dalam novelnya. Sebab, “keberanian” Ifa Isfansyah dan “ketidakberanian” Ahmad Tohari notabene lahir dalam pola represi kekuasaan yang berbeda. Malah, di beberapa adegan yang lain, Ifa Isfansyah terlihat tidak seberani Ahmad Tohari dalam memainkan simbol-simbol politik dan ideologi. Misalnya, dalam novel kita akan menemukan keberadaan “caping hijau” yang muncul ditengah peristiwa perusakan makam Ki Secamenggala. Untuk lebih jelasnya, simak deskripsi Ahmad Tohari berikut:

[…] Suatu hari Sakarya menangis keras karena mendapati cungkup makam Ki Secamenggala poranda dirobohkan orang. Dukuh Paruk terluka parah tepat pada sisinya yang paling peka. […] “Ini pasti ulah Bakar. Asu buntung dia. Bajingan!” umpat Sakarya dengan suara parau. “Monyet munyuk itu jengkel karena kita tidak mau lagi bekerja sama dengan mereka. Asu buntung!” […] “He, Darkim! Cabut dan bakar lambang partai di mulut jalan itu. Cabut juga papan nama di depan rumah Kartareja.” Seorang muda yang disebut Darkim lari menuruni bukit pekuburan Dukuh Paruk, siap menjalankan perintah Sakarya. Tetapi seorang laki-laki lain menghentikannya. Yang terakhir ini muncul dari balik semak membawa sebuah caping bambu bercat hijau, bertuliskan sesuatu yang tak seorang pun bisa membunyikannya. “Caping ini kutemukan di balik semak. Kita tak pernah mempunyai barang seperti demikian. Ini pasti milik bajingan-bajingan yang telah merusak cungkup makam. Suasana menjadi hening tetapi tetap tegang. Semua mata memandang caping hijau itu. Dan meski mereka tak bisa membaca tetapi mereka telah mengerti sesuatu. Caping hijau. Orang-orang Bakar tak pernah memakai caping seperti itu. […] Pada tahun 1965, siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu.[12]

Dalam konteks tafsir yang lebih luas dan bebas, munculnya “caping hijau” bisa kita maknai sebagai atraksi simbolis dari Ahmad Tohari yang berani dan cerdas. Saya sebut berani, sebab pada masa 1965 bahkan sampai sekarang, warna hijau merupakan latar simbolis yang secara sensitif merujuk pada atribut politik dan ideologi kelompok tertentu. Kelompok tertentu yang saya maksud adalah kelompok masyarakat NU (Nahdlatul Ulama). Dalam konteks  geger politik Indonesia 1965, NU adalah kelompok agama terbesar yang berhasil diperalat oleh militer, untuk menjadi ujung tombak pembersihan orang-orang PKI sampai ke akar-karnya. Tentu saja kita tidak bisa memukul rata bahwa semua subjek dalam kelompok tersebut berstatus sebagai pelaku. Bahkan dalam perspektif yang lebih jernih, kelompok tersebut sejatinya juga menjadi korban. Spesifiknya, korban dari propaganda militer.[13] Selanjutnya, Ahmad Tohari saya katakan cerdas, karena atraksi simbolisnya tentang “caping hijau” secara implisit telah membentangkan peta politik dan ideologi lain—selain militer dan komunis—yang ikut mewarnai sejarah sosial-politik Indonesia 1965.

Ifa Isfansyah kembali melakukan pembongkaran motivasi dan konteks peristiwa novel dalam Sang Penari. Manifestasi dari pembongkaran tersebut bisa kita cermati dalam sebuah adegan yang berlangsung malam hari, dimana Bakar (Lukman Sardi) terlihat berdiri di samping runtuhan makam Ki Secamenggala. Lalu, Bakar menunjukkan sebuah caping dengan warna yang samar dan cenderung hitam. Sehingga disamarkannya atau dirubahnya warna caping pada adegan tersebut bisa jadi bersumber dari ketakutan Ifa Isfansyah dan tim terhadap reaksi kelompok masyarakat NU (Nahdlatul Ulama).

Sikap kreatif Ifa Isfansyah dan tim terlihat ambivalen. Di satu sisi Ifa berani mengkonstruksi “caping merah” sebagai permainan simbol politik dan ideologi komunis.[14] Di sisi lain, Ifa tidak berani menampilkan secara jelas “caping hijau” sebagai permainan simbol politik dan ideologi kelompok NU (Nahdlatul Ulama). Ambivalensi tersebut entah disadari atau tidak oleh Ifa dan timnya secara umum membuat film Sang Penari mengaburkan peta ideologi dan fakta sejarah sosial-politik Indonesia 1965.

***

Menurut saya, problem internal film Sang Penari yang paling kentara adalah problem adegan akhir dan menuju akhir. Alih-alih hendak menyelesaikan anti-klimaks dengan optimisme, rangkaian adegan yang mengantarkan filmnya malah tampak berlepasan satu sama lain. Konteks dan motivasi menjadi kurang jelas. Akibatnya, aspek psikis tokoh utamanya (Rasus dan Srintil) terasa meloncat tanpa alasan dan penjelasan. Misalnya, Srintil terlihat tegang dan tercekam, ketika Srintil diinterogasi kemudian dibawa ke tempat antah berantah oleh tentara. Di adegan selanjutnya, yang berlangsung beberapa tahun kemudian, Srintil muncul kembali bersama Sakum (pemain gendang) sebagai ronggeng pengamen. Pada adegan tersebut, jiwa Srintil cenderung senang. Pertanyaannya, kenapa Srintil bisa meronggeng dengan jiwa yang demikian? Padahal Srintil mengamen hanya dengan Sakum seorang? Kemana kelompok ronggeng Dukuh Paruk yang lain seperti Sakarya, Kartareja? Kenapa mereka tidak ikut meronggeng? Bagaimana kondisi mereka dan warga Dukuh Paruk lainnya? Apakah mereka semua masih hidup setelah diciduk tentara? Apa yang terjadi di Dukuh Paruk beberapa tahun belakangan setelah pencidukan? Sebenarnya, Srintil itu meronggeng lagi untuk apa dan siapa?

Khusus pada adegan akhir film Sang Penar, memang menjadi tidak adil jika kemudian saya membaca dengan cara membawa serta novel yang menginspirasinya. Sebab seperti halnya adegan pembuka film Sang Penari, adegan akhir film tersebut adalah murni hasil tafsir bebas dari Ifa Isfansyah. Dengan kata lain, pembuat film tidak hendak menyesuaikan adegan akhir film dengan peristiwa akhir novel. Tapi jika lagi-lagi masalahnya adalah cara tafsir novel yang manifestasinya adalah adegan pamungkas yang janggal, novel Ahmad Tohari sebagai inspirasi menjadi perlu saya toleh kembali secara proporsional.

Dalam novelnya, Ahmad Tohari menceritakan Srintil ditangkap dan dipenjara selama kurang lebih dua tahun. Setelah bebas, Srintil memutuskan untuk tidak meronggeng lagi, sebab pasca tragedi 1965 yang memporak-porandakan Dukuh Paruk. Stigma masyarakat tentang Dukuh Paruk secara umum dan kelompok ronggeng Dukuh Paruk secara khusus tidak hanya sekedar cabul, tapi juga komunis yang aktivitasnya harus terus diawasi. Maka dari itu, Srintil lebih memilih meninggalkan semua atribut yang bisa mengembalikannnya pada situasi dan kondisi jahiliyah. Dengan kata lain, Srintil memilih untuk tidak meronggeng lagi atas beberapa alasan yang salah satunya adalah stigma tersebut. Kemudian, singkat cerita, Srintil diceritakan gila oleh Ahmad Tohari di akhir novelnya. Kegialaan Srintil tersebut dikonstruksi oleh Ahmad Tohari melalui beberapa tahapan peristiwa yang runtut dan masuk akal. Dengan demikian, corak yang menandai akhir novel bisa kita sebut realis-tragis, dan corak yang menandai akhir film bisa kita sebut romantis-optimis.

Corak yang menandai akhir film Sang Penari tersebut. Akhirnya seperti memperlihatkan tragedi sosial-politik Indonesia 1965 sebagai peristiwa yang seolah tidak menyisakkan luka bagi para korbannya. Singkatnya, sebagai tragedi kemanusiaan yang berlalu begitu saja. romantisme dan optimisme film Sang Penari tampak lebih mirip dengan antipati terhadap realisme daripada simpati dan empati terhadap kemanusiaan. Sebab di satu sisi, di tengah peristiwa pembunuhan dan pemenjaraan manusia tanpa pengadilan, romantisme yang ditempuh film Sang Penari gagal menemukan universalitasnya. Di sisi lain, romantisme film Sang Penaridi akhir ceritanya terlihat lebih memilih berpaling pada optimisme daripada realisme, seperti sisa luka 1965 dan REPELITA-ORBA yang menyambutnya.


[1] Lih. http://sang-penari.tumblr.com/

[2] Istilah “penonton istimewa” saya sematkan pada JB Kristanto dan Leila S. Chudori dalam dua pengertian. Pertama, JB dan Leila adalah dua orang yang bisa mengakses film Sang Penari sebelum film tersebut resmi rilis. Kedua, JB dan Leila saya nilai istimewa karena mereka berdua mau membuat ulasan tertulis tentang film Sang Penari setelah menonton film tersebut.

[3] Lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi II), (Jakarta: Balai Pustaka), 1994. Kata kunci adaptasi, inspirasi dan ilham.

[4] Lih. Majalah Tempo edisi 7-13 November 2011 atau edisi Sarwo Edhie Wibowo dan Misteri 1965, hal. 56. Yakni, sebuah laporan wawancara dengan Ahmad Tohari tentang novelnya yang menginspirasi film Sang Penari.

[6] Lih. Ibid.

[7] Lih. Majalah Tempo, op.cit., hal. 51.

[8] Lih. Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, (Jakarta: Kompas Gramedia), 2011, hal. 10-11.

[9] Lih. http://www.kapanlagi.com/ahmad-tohari-kritik-film-sang-penari.html

[10] Lih. Majalah Tempo, op.cit., hal. 56.

[11] Lih. ibid.

[12] Lih. Ahmad Tohari, op.cit., hal. 235-236.

[13] Lih. Majalah Tempo, op.cit., hal. 59.

[14] “Caping merah” tersebut, notabennya malah tidak ada di dalam novel. Dengan kata lain, “caping merah” adalah hasil konstruksi Ifa Isfansyah sendiri atau hasil tafsir bebas atas novel.

.