Intan Berduri: Omong Kosong Besar dan Kerlip Kilaunya

intan-berduri_highlight

Sekali waktu, dalam tulisannya tentang film Tuan Tanah Kedawung (1971), Salim Said pernah berujar lebih kurang begini “Salah satu penyakit film Indonesia itu ialah suka memperjelas apa yang sudah jelas”. Memang benar, film buatan dalam negeri seringkali memperlakukan penontonnya bak benda yang tak mampu berfikir, pengulangan dialog, reverse-shot yang berlebihan, flashback terus-terusan, sampai pada keseluruhan cerita yang terlalu jelas. Tidak saja memangkas efek dramatis, kadang juga sampai menghina kemampuan penonton.

Pesan itu yang saya jadikan bekal menonton film Intan Berduri, karya produser-sutradara Turino Djunaidy, bikinan tahun 1972. Katanya, Benyamin S dan Rima Melati akan berduet dalam sebuah film yang beda dari peran mereka biasanya. Benar saja, cablakan betawi khas Benyamin S tak deras keluar seperti ia di film-film lain. Langsung ketahuan bahwa Intan Berduri adalah film sindiran yang sangat tajam dan parah, sebab ia rela mengorbankan banyak sekali hal demi agar sindiran itu tersampaikan pada penonton. Dan sedihnya, usaha itu tampak berhasil.

Ceritanya, si Jamal pengangguran miskin tengah berjuang minta beras ke tetangganya buat bubur si Atang, anaknya yang lagi sakit. Tapi tetangganya yang pelit tak mau beri dengan dalih beras itu lebih baik buat ayam. Entah bagaimana si Jamal ahirnya dapat beras, tapi si Atang yang sudah dua hari tidak makan tak mau makan bubur, ia mau makan nasi. Dua ironi satir yang sangat menarik menyembul di awal film. Tonjokannya mengena ketika suatu malam, Jamal menemukan intan sebesar kepalan tangan dalam bubunya. Jamal kaya mendadak.

Sindiran kemudian meluas ketika duet penulis naskah Turino Djunaidy dan Abdullah Husein unjuk kebolehan. Sebenarnya, Jamal tidak siap naik kelas begitu cepat, demikian pula para tetangganya. Kondisi domestik keluarga Jamal, Saleha istrinya, dan Tatang anaknya tak pernah merasa butuh dengan semua itu. Tapi apalah daya, berita telah tersyiar dan orang sekampung sudah tahu kalau si Jamal menjadi kaya karena intan sekepal tangan. Dalam khalayak itu, ada pujian, ada iri hati, ada rasa tak percaya, tapi yang kelihatan oleh penonton adalah semua orang berbondong pergi pasang bubu di sungai. Sungai-sungai itu sudah dikapling, siapa mau pasang, bayar dulu lima ribu. Beredar juga kabar bahwa bubu si Jamal adalah bubu keramat. Cerdas sekali, Intan Berduri menceritakan kisah dimana si Jamal dan orang sekampungnya, sama-sama belum siap naik kelas, tapi sudah bosan miskin.

Tak cukup rasanya menyindir bila tak melibatkan pemerintah. Tak tahu dari mana datangnya, tiba-tiba Opsir Polisi menyatroni rumah si Jamal, “Mau lihat intan, sebaiknya barang penemuan itu dilaporkan”, kata Opsir itu. Jamal meradang “Saya saban hari menemukan ikan dalam bubu, tak pernah dilaporkan”. Polisi, secara struktural, mencoba memasukkan pengaruhnya yang secara de jure memang ada dalam masyarakat, tapi secara de facto tak pernah dirasakan apalagi berpengaruh.

Dalam Intan Berduri, jujur saya merasakan angin film hitam Amerika yang kelam keciap itu. Semua karakter salah menurut aturan yang berbeda-beda. Jamal dan Saleha bermasalah dengan aturan hukum negara, mengenai tetek bengek benda penemuan sehingga keberadaan polisi yang meskipun sangat menyebalkan, tak jua kuasa diusik. Sementara karakter pembantu semuanya berkutat dengan perihal moral, mereka yang dulu memandang si Jamal seperempat mata sekarang balik berlaku sopan. Pak Mun yang dulu pelit beras sekarang datang merunduk-runduk. Si Dukun yang dulu tak sedia mengobati si Tatang, sekarang datang bawa jampi. Apakah si Jamal membalas? Disinilah lukanya, Jamal tetap berlaku sopan. Bukan saja sekedar seturut standar akhlak, tapi juga secara sosiologis. Interaksi ini berlaku karena Jamal dan para tetangganya bertindak menurut acuan hukum moral yang berbeda.

Polanya menjadi jelas, debat halus keberpihakan moral yang terjadi antara si Jamal dan tetangganya tiba-tiba mendapat intrusi dari hukum negara via institusi polisi. Di tengah kebingungan Jamal (sebagai pihak oposisi dari institusi), Opsir Polisi juga mengikut-sertakan Pak Pengacara, sebuah karakter profesional yang bisa dinilai dari dua sisi. Pertama, sebagai penolong si Jamal, karena katanya Pak Pengacara akan menyediakan segala keperluan si Jamal. Kedua, sebagai komponen yang melampaui institusi itu sendiri. Disini si Jamal akan bingung menengarai pertanyaan kenapa polisi datang untuk merampas intannya sementara mereka juga membawa pengacara untuk menolongnya mendapatkan intan itu kembali? Dari dalam kepala si Jamal, konstelasi problema ini lebih dari sekedar ‘ada orang datang mau ambil intannya dan ia tak mau kasih’. Permasalahan semakin mencekik.

Umumnya, film Indonesia menjadikan keluarga sebagai titik tolak untuk bertobat dari masalah-masalah. Bila seorang pemabuk insyaf, itu besar kemungkinan karena anaknya. Bila seorang ibu yang kelamaan merantau pulang ke rumah, itu juga mungkin sekali karena anaknya. Bila seorang anak tersedu, mungkin juga itu karena ibunya. Nah, Intan Berduri kabur dari konvensi (semu) naratif ini, di mana musibah keluarga tidak memindahkan maksud cerita yakni satir. Musibah yang menimpa keluarga si Jamal tidak membawa mereka balik lagi melainkan semakin menjadi-jadi.

“Tuan Jamal dan Nyonya Saleha harus pindah ke kota”, saran Pak Pengacara. Sebuah saran yang membawa Jamal dan Saleha hidup terkatung-katung dalam istana dan protokol acara yang diatur Pak Pengacara. Sebuah sindiran terminologis yang sangat mendasar terhadap istilah “Pengacara” itu sendiri. Dalam pada itu, Intan Berduri memotret Pak Pengacara sebagai institusi baru bagi si Jamal dan Saleha, di mana kekayaan sebenarnya memenjarakan tidak hanya dari segi kecemasan akan segala yang sudah diraih, melainkan remeh temeh normatif dan stereotip asosiatif yang kelihatannya wajib dilakukan untuk tetap bertahan. Intan Berduri, selain pembuktian naratif bahwa si Jamal dan Saleha memang belum siap naik kelas, juga mendemonstrasikan dirinya sebagai sebongkah omong kosong besar yang tajam dan bernas, persis seperti intan yang ditemukan si Jamal itu.

Intan Berduri | 1972 | Sutradara: Turino Djunaidy | Negara: Indonesia | Pemain: Benyamin Sueb, Rima Melati, Farouk Afero, Rachmat Kartolo, Mansjur Sjah.

Tulisan ini merupakan retrospektif dari salah satu film yang diputar selama Bulan Film Nasional 2011 di Kineforum.