Identitas agama, rasial, gender, dan orientasi seksual seharusnya bukan hal yang relevan dalam pergaulan sehari-hari. Mereka menjadi terus dibicarakan karena ketidakadilan struktural dalam masyarakat.
Sayangnya aparat negara sendiri ikut serta dalam melestarikan ketidakadilan tersebut. Akhir Januari lalu, Menteri Riset dan Teknologi mengeluarkan penyataan diskriminatif terhadap kalangan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Pernyataan ini disusul oleh ucapan senada dari Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Nasional, kemudian beramai-ramai oleh para pejabat negara lainnya. Dapat diduga rangkaian kekerasan verbal ini segera merasuk ke seluruh lapisan masyarakat.
Kita semua tahu, diskriminasi di Indonesia panjang sejarahnya. Selama Orde Baru, targetnya adalah warga Tionghoa dan siapapun yang dituduh komunis. Sepuluh tahun belakangan, kalangan Ahmadiyah, Syiah, dan banyak minoritas agama lainnya giliran menjadi tumbal. Lazimnya kasus diskriminasi di negeri ini, negara mengeluarkan solusi keblinger: produk undang-undang yang semakin meminggirkan korban, serta aturan-aturan teknis di lapangan untuk memisahkan korban dengan masyarakat sekitarnya. Alasannya juga tak kalah mengada-ada: melindungi korban dari potensi kekerasan yang lebih besar.
Demikian pula reaksi para politisi untuk isu LGBT. Sebuah produk hukum baru tengah dipersiapkan parlemen untuk menangkal apa yang diyakini DPR sebagai penyebaran propaganda LGBT. Tiap usaha menyensor masyarakat niscaya melibatkan pengetatan terhadap mekanisme sensor yang sudah ada terhadap medium-medium pengetahuan lainnya, tak terkecuali sinema.
Di titik inilah kami menolak upaya persekusi aparat negara atas warga dan warga atas warga, baik yang berkedok agama, patriotisme palsu, maupun sains jadi-jadian. Bagi kami, sudah menjadi tanggungjawab bersama untuk membela subjek hukum yang rentan dari praktik-praktik persekusi.
Film-film pilihan berikut ini sekaligus menjadi pernyataan sikap Cinema Poetica terhadap arus kebencian terhadap LGBT akhir-akhir ini. Film-film ini kami pilih sebagai bagian dari upaya edukasi publik, di saat lembaga-lembaga negara ingkar dari kewajiban menjamin hak universal atas pendidikan yang layak, bahkan berpartisipasi aktif dalam tindak pembodohan terhadap warga negara.
Kami percaya edukasi populer seperti ini masih punya peran, sekecil apapun itu, untuk menggempur sesat pikir, distorsi, penyimpangan informasi, dan berbagai propaganda saudagar-saudagar kebencian di pemerintahan serta para kolaboratornya di jalanan.
The Way He Looks
2014 / Daniel Ribeiro / Lacuna Filmes & Polana Filmes
The Way He Looks adalah film drama romantis remaja besutan sutradara Brazil yang disadur dari film pendek terdahulunya yang bertajuk I Don’t Want to Go Back Alone (2010). Film ini bercerita tentang remaja pria tuna netra bernama Leo yang sedang gelisah dengan masa remajanya. Layaknya remaja, Leo ingin segera mandiri dari orangtua dan mengalami ciuman pertamanya.
Terbiasa dengan perlindungan teman dan keluarga, Leo pun merasa terkekang, hingga akhirnya ia jatuh cinta pada Gabriel, seorang kenalan baru yang membawanya keluar dari zona nyaman. Gabriel tidak terbiasa berteman dengan tuna netra, namun malah membuat Leo merasakan pengalaman-pengalaman asing yang tak pernah dialaminya—dari nonton bioskop, menyaksikan gerhana bulan, bahkan belajar mengendarai sepeda dan menarikan musik yang tidak ia sukai sebelumnya.
Dalam The Way He Looks, kita mendapat gambaran bagaimana cinta muncul tidak saja dari pandangan pertama, tapi juga dari pendengaran atau aroma. Mengamati Leo memberi kita kesempatan untuk memahami, bahwa cinta terkadang hanya urusan kedekatan, rasa nyaman, dan orang yang sengaja atau tidak mampu membawa kita ke dimensi-dimensi kebahagian baru yang tak pernah kita sangka sebelumnya. Tentu rasa yang satu ini melampaui gender, kelas sosial, apalagi konvensi sosial masyarakat banyak.
Seperti sebuah dialog di film Sepet karya Yasmin Ahmad, “Kita menyukai siapapun yang kita sukai. Dan kenapa kita khawatir dengan orang yang saling mencintai, kita harusnya khawatir dengan orang yang saling berperang.” (Corry Elyda)
A Jihad for Love
2007 / Parvez Sharma / Halal Films
A Jihad for Love menghadapkan kita dengan cerita-cerita muslimin dan muslimah LGBT, yang tersebar di Arab Saudi, Pakistan, Turki, Mesir, Prancis, hingga Afrika Selatan. Satu hal yang kentara: pembuat film lebih menekankan pada testimoni para narasumbernya, ketimbang konteks yang lebih luas terkait Islam dan homoseksualitas—yang terhitung panjang sejarahnya.
Cara bertutur yang terfokus ini justru tepat guna. Karena diskriminasi dan ketidakadilan, sama halnya dengan perbedaan, akan selalu ada—terutama sekarang, ketika media begitu dangkal dalam memotret keragaman seksual di tengah kita. Yang kerap luput dalam percakapan publik: bagaimana sebenarnya “mereka yang berbeda” itu menjalani hidupnya—yang seringkali ogah kita coba pahami, karena keburu terbutakan prasangka. Dan bukankah penzaliman terhadap LGBT selama ini berakar pada ketidaktahuan dan ketidakmautahuan?
Satu detail yang menarik: para narasumber dalam A Jihad for Love tidak ditampilkan sebagai penganut Islam yang coming out sebagai gay, lesbian, dan sebagainya. Tapi sebagai kaum LGBT yang coming out sebagai Islam—di tengah tekanan sosial yang mereka hadapi di lingkungan mereka, khususnya dari sesama muslimin dan muslimah. Nyatanya, tubuh memang bukan pilihan hidup. Ketika kita dilahirkan, kita tidak bisa memilih tubuh macam apa yang akan kita kenakan, termasuk di dalamnya orientasi seksual. Beda halnya dengan kepercayaan. Kita selalu bisa memilih nilai dan tuhan mana yang mau kita percayai, dan bagaimana kita mewujudkan pilihan kita melalui penyikapan terhadap sesama—terutama terhadap mereka yang berbeda dengan kita. (Adrian Jonathan Pasaribu)
Betty Bencong Slebor
1978 / Benyamin S / PT Sapta Yanuar Film
“Seport tuan? Ngencengin urat?” Dengan kenesnya Betty (Benyamin S) menyapa majikan barunya. Entah bagaimana awal mulanya, Betty diterima kerja sebagai pembantu di keluarga Bokir, seorang pengusaha sukses.
Si Nyonya (Aminah Cendrakasih) tampak tidak punya masalah dengan status jender Betty. Mereka malah menjadi akrab. Si Nyonya memberikan kebebasan kepada Betty yang suka keluyuran malam untuk mencari hiburan. Suatu ketika, Betty terjaring razia KTP. Si Tuan dan Nyonya menjemputnya di kantor polisi, membawa KTP Betty untuk membuktikan bahwa Betty adalah warga yang sah, dan tersingkap bila nama asli Betty adalah Ma’un.
Kesialan Betty tidak berhenti di situ. Suatu hari, ia diganggu oleh sekelompok pemuda yang menghinanya sebagai bencong. Berkelahilah mereka. Pada saat genting, tetiba datanglah seorang Pak Haji dan melerai perkelahian tersebut. Pak Haji membela Betty sebagai orang yang tertindas bahkan dengan sukarela mengantarkan Betty pulang. Ketika masuk mobil si Pak Haji, Betty memilih untuk duduk di bangku belakang, ketimbang di depan, dengan alasan bukan muhrimnya. Kalau nanti senggolan dengan Pak Haji, bisa dosa.
Film ini penuh dengan adegan slapstick bertabur one liner ajaib a la Benyamin. (Dimas Jayasrana)
Happy Together
1997 / Wong Kar-wai / Jet Tone & Block 2 Pictures
“Let’s start over!” demikianlah kata-kata yang selalu digunakan oleh Ho Po Wing (Leslie Cheung) untuk kembali menjalin hubungan dengan Lai Yiu Fai (Tony Leung). Dengan melakukan perjalanan ke antipoda Hongkong, yakni Argentina, mereka berharap bisa mendapatkan hubungan yang lebih baik dan membahagiakan. Sayangnya, awal baru dalam hubungan mereka sebenarnya tidak lebih dari pengulangan apa yang terjadi di masa lalu. Emotional blackmail yang kerap dilakukan Ho, dan perasaan terluka yang selalu dipendam Lai, menjelma bom waktu dalam hubungan mereka.
Happy Together adalah kisah sepasang lelaki dengan jalinan percintaan yang manusiawi dan amat sehari-hari, lengkap dengan pasang-surutnya. Jenis kelamin, pada kisah ini, tidak lebih penting dari perjalanan (sekaligus pula pengalaman) cinta Ho dan Lai. Dalam hubungan cinta, kita semua bisa menjadi seperti Po, yang tidak ingin berjuang dan memaksa orang lain untuk membahagiakan kita. Atau bisa juga menjadi seperti Lai, yang tidak tegas dan membiarkan dirinya dimanipulasi atas nama pengorbanan cinta.
Happy Together seolah ingin mengajak kita memikirkan ulang mengenai cinta, mencintai, dan kebahagiaan. Cinta bisa tumbuh dalam hati siapa pun, namun untuk mencintai, sudah mampukah kita? Bagaimana kita hendak membahagiakan orang lain, jika kita sendiri belum berbahagia. Ketika dalam sebuah hubungan, kebahagiaan-bersama belum tercapai, jangan tergesa-gesa menyalahkan pasangan. Jangan-jangan itu karena kita sendiri yang belum tahu bagaimana menjadi manusia yang berbahagia—apapun kelamin dan preferensi seksual kita. (Gorivana Ageza)
Milk
2008 / Gus van Sant / Focus Features
Harvey Milk, politisi gay Amerika Serikat yang pertama kali terbuka soal seksualitasnya, digambarkan sebagai sosok yang getol, tidak pantang menyerah, tidak ciut ketika gagal dalam mencoba, dan terus berusaha—meski ada risiko-risiko besar yang menghantuinya, termasuk soal keselamatan hidupnya sendiri. Milk menjadi penting karena berhasil menunjukkan esensi dari perjuangan protagonisnya: bahwa ia sebenarnya berjuang atas nama hak asasi manusia, demi kemanusiaan, dengan cara yang manusiawi.
Van Sant menyorot bagaimana cara Milk memimpin kaum LGBT Castro District, San Francisco, dalam memperjuangkan hak-hak mereka melalui penyampaian suara rakyat dalam bentuk parade, kampanye, dan unjuk rasa—tanda bahwa Milk didukung banyak orang. Disorot juga bagaimana ketegangan hubungan Milk dengan Dan White, senator lain yang konservatif. Milk menolak ide Dan soal penanganan kesehatan mental—yang berseberangan dengan visinya akan hak hidup masyarakat.
Dalam film ini, Milk dengan jelas menunjukkan bahwa gay bukanlah antagonis masyarakat. Milk percaya bahwa kaum LGBT tidak pantas direbut hak-hak dan pekerjaannya karena preferensi seksual tidak menentukan bagaimana mereka bermasyarakat. Milk percaya bahwa orang-orang yang butuh bantuan kesehatan mental tidak boleh dikesampingkan—hanya karena ia seorang gay, bukan berarti Milk tidak peduli dengan masyarakat, termasuk orang-orang yang berbeda dengannya. LGBT tidak serta-merta menentukan akhlak seseorang, bahkan tidak ada hubungannya sama sekali. Dalam perjuangan Milk, ada suara yang mengingatkan kita: bahwa LGBT juga manusia, tidak berbeda dari kita semua, dan manusia tidak pantas ditidakmanusiawikan. (Shadia Pradsmadji)
I Feel Like Disco
2013 / Axel Ranisch / Kordes & Kordes Film GmbH, Das kleine Fernsehspiel, ARTE
Sang ayah awalnya ingin anaknya menjadi lelaki sejati. Klaim tersebut nampak saat film dibuka dengan adegan dia mengajari anaknya mengendarai motor. Sayangnya upaya itu gagal, lantaran si anak tidak mau, dan lebih ingin belajar piano. Dalam kisruh perseteruan keduanya, sang ibu masuk menengahi dan memihak anak laki-lakinya. Tawarannya sederhana: kalau sang anak tidak mau, buat apa dipaksakan?
Ketika sang ibu tidak ada, dirawat di rumah sakit karena koma, sang ayah tinggalah sendirian. Menariknya, alih-alih menjadi dikatator, sang ayah justru makin terbuka hatinya. Ia membelikan piano, minum bir, dan rebahan menatap langit-langit bareng. Singkatnya, ia mencoba memahami anaknya–begitupun saat sang anak tertangkap basah sedang tidur dengan anak didiknya yang sesama jenis.
Sekilas, kisah yang diajukan film ini terkesan pelik. Sebuah keluarga dengan sosok ibu yang mendadak koma, meninggalkan ayah dengan seorang anak gay. Kalau dibuat di Indonesia, mungkin kisah tersebut kelar menjadi sebuah drama religi pesakitan. Tapi justru sebaliknya, film ini amat hangat dan menghibur. Terkait LGBT, sikap akhirnya pun jelas. Sekalipun di masyarayat ada stigma, atau bila pasangan sang anak juga masih denial, setidaknya orangtua, sebagai garda terdepan, sudah paham dan mengayomi anaknya. Sebab kata film, “Hidup kadang hanyalah segelas bir.” (Raksa Santana)
Blue is the Warmest Color
2013 / Abdellatif Kechiche / Quat’sous Films, Wild Bunch, France 2 Cinéma
Kisah cinta antara dua wanita bukan hal baru, tapi Blue Is The Warmest Color sungguh spesial. Alih-alih sekedar eksploitasi tubuh, film menghadirkan hubungan emosional antara dua “manusia”—adegan-adegan seks yang panjang dan eksplisit tidak jatuh jadi parade erotis belaka. Kechiche memfokuskan kameranya pada hal-hal detil—gerak kamera handheld dan close-up membuat adegan selama tiga jam terasa intim.
Blue is the Warmest Color berkutat seputar dinamika hubungan Adele (Adèle Exarchopoulos)—dari seorang remaja SMA hingga dewasa, dengan Emma (Lèa Seydoux) yang mendampingi setiap langkah hidupnya. Kechiche telah mengarahkan para pemerannya sedemikian kuat. Kita akan lupa soal siapa subjeknya yang lesbian. Cinta itu universal, dan kita dapat merasakan kejujuran dari jalinan tiap shot. Meski secara tersirat, Kechiche turut menyelipkan bahwa ketidaknyamanan menjadi seorang lesbian ada di manapun—Prancis maupun lingkungan sosial lainnya. (Syifanie Alexander)
Tokyo Godfather
2003 / Satoshi Kon & Shôgo Furuya / Madhouse
Dari berbagai film animasi yang mencoba mengemukakan kompleksitas isu LGBT selama dua-tiga dekade terakhir, hanya sedikit yang benar-benar mengupasnya secara mendalam. Satoshi Kon merupakan satu dari sedikit itu. Animator asal Jepang itu mengemas wacana LGBT lewat metode penokohan multi-faceted, sehingga lepas dari pandangan-pandangan konservatif maupun stigma-stigma sosial yang kerap dialami kelompok ini.
Dalam Tokyo Godfathers, Kon menghadirkan Hana—sosok transgender tuna wisma yang secara tidak sengaja menemukan bayi perempuan di antara timbunan kantung sampah. Alih-alih hanya berdiri sebagai karakter antitesis terhadap segala bentuk argumen anti-LGBT, Hana hadir dengan muatan konteks beragam: mulai dari dampak keluarga disfungsional terhadap pertumbuhan psikologis seorang anak, diskriminasi sosial pada kaum transgender, gejolak eksplorasi seksual seturut pergantian gender, hingga naluri maternal yang justru tumbuh dalam diri laki-laki akibat pengalaman traumatik dengan figur ibu. Ia tidak sekadar mempertanyakan orientasi seksual, seperti yang biasa ditemukan dalam bentuk tokoh sejenis di banyak animasi lain.
Melihat kuatnya represi terhadap golongan LGBT untuk bersuara dewasa ini, Tokyo Godfathers ialah kolase potret realita mengerikan yang sekiranya terlalu tragis. Bahkan untuk animasi sekalipun. (Pandji Putranda)
Pride
2014 / Matthew Warchus / Pathé, BBC Films, Proud Films, British Film Institute
Gerakan buruh dan LGBT adalah korban eksperimen awal neoliberalisme di bawah pemerintahan Perdana Menteri Thatcher. Tapi, bukan berarti keduanya bisa bersatu begitu saja. Proses yang harus dilalui untuk saling mengenal sangat panjang. Apalagi saat itu gerakan penambang Inggris cenderung homofobik sementara gerakan LGBT elitis. Mark Ashton, gay dan kader Partai Komunis Britania Raya, berusaha meruntuhkan sekat-sekat tersebut dengan mengorganisir aksi fundraising bertajuk LGSM (Lesbians and Gay Men Support the Miners), demi menghidupi keluarga para buruh yang tambangnya terancam ditutup. Anda kira LGBT meludahi institusi sosial bernama keluarga? Tontonlah Pride.
Film ini menunjukkan bahwa hilangnya pekerjaan dan diskriminasi seksual bukan soal takdir, kurang ibadah, atau azhab illahi. Tidak, sodara-sodara. Keduanya adalah masalah politik yang harus dipecahkan melalui perjuangan kolektif. Ketika dua atau lebih kaum tertindas bergabung dalam satu front yang (kedengarannya) mustahil, lahir pula kemungkinan-kemungkinan baru. Si buruh udik mengajari si homo akan pentingnya organisasi massa. Si homo kota mengajari perlunya menggerus prasangka-prasangka seksis dan homofobik, yang juga berguna untuk memperluas solidaritas. Hasilnya, seperti ditekankan Pride, manis betul: para penambang memperoleh simpati dari kalangan pemuda-pemudi kota yang disisihkan cuma gara-gara suka sesama jenis. Sebaliknya, kaum LGBT Britania lambat laun memperoleh pengakuan dari gerakan buruh.
Update dari dunia nyata: puluhan tahun setelahnya gerakan ini berkembang luas. Pada 2015 lalu, di tengah krisis pengungsi dan maraknya kebencian atas imigran asal Timur Tengah, LGSM berkampanye memerangi Islamofobia. Lalu kata siapa LGBT itu cuma soal esek-esek dan “batang demen batang”?
Kalau kamu alergi gerakan buruh, anti-komunis, sekaligus yakin bahwa LGBT masuk neraka: aha, akhirnya ada mainan baru untuk dilarang-larang, ‘kan! (Windu Jusuf)