Deromantisasi Film Romantis dalam Posesif

Film romantis seringkali disebut sebagai “film perempuan”. Cara pandang ini salah satunya tercantum dalam hasil riset Wuhr (2017). Dalam riset tersebut, para responden menempatkan film roman dan drama sebagai film perempuan. Sementara film laga, horor, dan thriller dianggap sebagai film laki-laki.

Film romantis memang kerap bicara soal perempuan. Malah tak jarang dalam setengah durasinya, sebuah film berkutat di kehidupan perempuan, sebelum nantinya dipertemukan dengan seorang laki-laki. Besarnya porsi kehidupan perempuan seakan menunjukkan bahwa perempuan tengah terwakili oleh film. Padahal, belum tentu begitu kenyataannya.

Film-film romantis mempunyai formulasi yang jamak kita temui, di antaranya adalah pakem damsel in distress dan manic pixie dream girl. Pakem damsel in distress terjadi ketika perempuan dibuat tidak berdaya karena jeratan kuasa jahat. Sementara pakem manic pixie dream girl menjadikan karakter perempuan sebagai pemenuhan konsep perfect girl dan pembawa semangat baru bagi karakter laki-laki.

Dalam film yang menggunakan formula damsel in distress, perempuan diberikan porsi narasi yang lumayan banyak. Perempuan digambarkan dari kesehariannya yang baik-baik saja, hingga ketakutannya saat petaka tiba. Sementara dalam pakem manic pixie dream girl, karakter utama perempuan juga dibuat begitu mencolok. Dengan segala keunikannya, ia dibuat tampil lebih spesial dari perempuan-perempuan lain di sekitarnya.

Porsi durasi dan karakterisasi boleh banyak. Namun, kehadiran perempuan dengan porsi besar dan ciri khas yang kuat tidak menjamin sebuah film lepas dari nilai-nilai patriarkis. Malahan, kedua pakem yang dilanggengkan dan diromantisasi ini merepsentasikan perempuan sebagai sosok yang pasif. Dalam damsel in distress, sebagai sosok yang butuh diselamatkan; sementara dalam manic pixie dream girl, sebagai wujud fantasi laki-laki.

Pada titik inilah penting untuk membahas Posesif. Film karya Edwin itu menunjukkan betapa problematiknya mengusung penokohan perempuan yang serta-merta. Dalam Posesif, karakter Lala tidak dibangun oleh penilaian dari mata laki-laki. Tanpa Yudhis, Lala sudah menjadi sosok yang membuat kawan-kawannya kagum. Malahan, ketika Yudhis datang untuk mengubah pribadi Lala sesuai dengan yang ia inginkan, laku cinta laki-laki jadi menakutkan.

Kekerasan Tidak Romantis

Posesif menyoroti bahwa tindakan-tindakan yang seringkali diperlihatkan sebagai aksi romantis pada film sesungguhnya merupakan bagian dari kekerasan, mulai dari pemaksaan, pengancaman, hingga perilaku serupa penguntit (stalker). Consent atau kesepakatan masih belum dianggap serius, sementara pernyataan “no means no” yang sedang gencar dikampanyekan masih belum menemukan tempatnya di beberapa film Indonesia.

Pada London Love Story, misalnya, karakter laki-laki yang bernama Bima memaksa Caramel untuk mau pergi bersamanya. Ia kemudian mengancam akan melakukan hal yang tidak mengenakkan jika Caramel menolak. Pemaksaan ini berlanjut ke adegan wrist-grabbing dan kejar-kejaran oleh karakter laki-laki lain bernama Dave. Caramel berupaya melarikan diri dari Dave yang mengejarnya ke penjuru kota London.

Dalam film, adegan tersebut menjadi adegan yang dramatis nan penting. Tanpa adegan itu, Dave dan Caramel akan gagal menjadi sepasang kekasih. Penonton seperti diajak untuk mendukung niatan Dave mengejar Caramel, demi beresnya kesalahpahaman di antara mereka. Film tidak menganggap tindakan si karakter laki-laki sebagai sebuah perilaku yang berlebihan. Dalam film, hal itu adalah sebuah inisiatif yang perlu dilakukan seorang laki-laki.

Pada Posesif, penonton justru telah diperingatkan sedari awal bahwa Yudhis adalah karakter dengan potensi kekerasan. Hal-hal yang terlihat sederhana, seperti menuntut waktu lebih untuk berpacaran dan cemburu terhadap teman laki-laki Lala menjadi tidak terasa romantis. Film ini pun menunjukkan dengan menyeluruh rentetan kejadian yang dapat terjadi, bahwa hal yang bersifat sederhana tersebut lama kelamaan bisa mengarah ke kekerasan.

Yudhis awalnya hanya mempengaruhi Lala dengan pendapatnya: mengenai perasaan Lala terhadap ayahnya, perasaan Lala terhadap aktivitas loncat indahnya, hingga pilihan universitas Lala. Kemudian, Yudhis naik ke level manipulatif: ia membuat Lala percaya bahwa ayahnya telah menuduh Yudhis sembarangan dan hanya peduli pada loncat indah. Ketika situasi tidak bergerak sesuai keinginan Yudhis, ia naik level lagi menjadi otoriter dan mencelakai Lala dan orang-orang di sekitarnya.

Yudhis berupaya mengonstruksi Lala sesuai dengan bayangannya. Ia berharap Lala akan selalu bersamanya, kemudian menghalalkan segala cara agar hal tersebut terjadi. Lala pun dihasut agar menjadi bergantung terhadap Yudhis. Di sini Posesif memperlihatkan bahwa kondisi damsel in distress bukanlah sebuah representasi realitas, melainkan sebuah fantasi maskulin yang beracun. Pertolongan Yudhis bukanlah pernyataan cinta, tapi penegasan akan kuasa.

Posesif kemudian menawarkan tafsiran lain: bahwasanya tindakan-tindakan dominasi laki-laki merupakan pertanda dari hubungan sarat kekerasan. Ada garis tipis antara inisiatif dan paksaan, dan pembuat film Posesif paham di mana garis itu berada. Posesif penting, karena ia gamblang berkata bahwa toxic relationship bukan suatu hal yang bisa diromantisasi.

Representasi Perempuan

Lingkungan sosial Indonesia masih tidak lepas dari sistem patriarki, yang seringkali membuat opini dan keputusan perempuan di ranah kehidupannya sendiri diabaikan, bahkan diambil perannya oleh laki-laki. Perempuan pun bisa ikut terinfiltrasi dan menerapkan budaya ini, sehingga juga turut sepakat terhadap pernyataan perempuan hadir di dunia semata sebagai pendamping laki-laki.

Pendidikan mengenai feminisme dianggap masih berjarak dan eksklusif untuk perempuan, bahkan muncul pula stigma ‘feminis galak’. Akibatnya, patriarki menjangkit tidak hanya pada orang-orang dengan pendidikan rendah, tetapi juga kalangan-kalangan atas, seperti pejabat maupun public figure.

Ridwan Kamil, contohnya, seringkali membuat lelucon yang sarat seksisme, yang ternyata terefleksi pula pada pandangannya mengenai rumah tangga. Jika seorang pejabat bisa memberikan pernyataan-pernyataan semacam ini, maka tidak heran TNI merasa relevan untuk melakukan tes keperawanan, dan pewawancara beasiswa LPDP merasa pantas menelanjangi kandidat perempuan dengan pertanyaan-pertanyaan di ranah personal.

Hal ini pun secara sadar maupun tidak sadar terefleksi di dalam film: menurut studi yang dilakukan oleh Lauzen (2015), karakter perempuan pada film lebih sering diperlihatkan kehidupan personalnya (58% dibandingkan laki-laki) daripada perannya yang berhubungan dengan pekerjaan (34% dibandingkan laki-laki). Selain itu, porsi perempuan yang diposisikan sebagai pemimpin—organisasi maupun pemerintahan—hanya sebesar 13%.

Penelitian ini mengindikasikan bahwa: (1) perempuan tidak mendapatkan peran utama sebanyak laki-laki dalam film, atau, (2) sekali pun sama banyak, tidak banyak karakter perempuan yang identitasnya dibentuk dari motivasi, pekerjaan, atau pendidikannya, melainkan dari hubungannya terhadap laki-laki, entah sebagai kekasih, istri, atau ibu.

Posesif memang membuat Lala dikelilingi oleh laki-laki. Namun, alih-alih bergantung kepada mereka, Lala justru mempertanyakan dan memerangi kontrol dari laki-laki di sekitarnya. Ia tidak serta merta menerima dirinya diatur oleh Yudhis maupun ayahnya. Rino pun, sahabatnya yang siap menolong bila terjadi apa-apa pada Lala, tidak juga menjadi pangeran berkuda putih. Lala sudah tangguh, saat ada maupun tidak ada laki-laki di sekitarnya.

Posesif menghadirkan Lala dan polemik hidupnya sebagai seorang kekasih dan anak. Namun, film ini tidak terjebak pada stereotip karakter perempuan yang teramat dependen. Ia juga tidak mengidentifikasi karakter perempuan melalui kehidupan personalnya semata. Pembuat film tidak membentuk karakter Lala sesuai dengan fantasi seksual maupun moral dari karakter laki-laki dalam film. Ia justru memperlihatkan bagaimana problematiknya ketika karakter laki-laki berupaya membentuk karakter perempuan sesuai imaji yang diinginkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Lauzen, Martha M. 2014. “It’s a Man’s (Celluloid) World: On-Screen Representations of Female Characters in the Top 100 Films of 2014”. Diakses pada 29 November 2017.

Wuhr, Peter., dkk. 2017. “Tears or Fears? Comparing Gender Stereotypes about Movie Preferences to Actual Preferences”. Diakses pada 29 November 2017.