Sepanjang 2015 lalu, kita menemukan setidaknya tiga film yang produksinya melibatkan militer Indonesia: Di Balik 98, Jenderal Soedirman, dan Doea Tanda Cinta. Dua film pertama menyuguhkan narasi sejarah Indonesia dari perspektif tentara, sementara Doea Tanda Cinta adalah romansa kehidupan barak militer—sesuatu yang jarang kita temukan dalam film-film tentara setelah 1998. Di Balik 98 dan Jenderal Soedirman menjadi buah bibir karena paparan tentang sejarah di dalamnya dinilai bermasalah, sementara Doea Tanda Cinta jarang dibicarakan secara serius.
Pertanyaan-pertanyaan seputar representasi sejarah dalam Di Balik 98 dan Jenderal Soedirman sepertinya tak lepas dari suasana politik kebudayaan pada tahun edarnya. 2015 adalah tahun peringatan yang istimewa, karena bertepatan dengan tujuh puluh tahun proklamasi kemerdekaan, lima puluh tahun pembantaian massal 1965, empat puluh tahun invasi dan pendudukan Indonesia di Timor Leste, dan tujuh belas tahun kejatuhan Suharto. Wajar jika dua film ini lantas dalam kaitannya dengan kecenderungan film-film militer khas Orde Baru, yang dibuat untuk mendukung sejarah versi rezim militer.
Patut dicermati juga bagaimana tiga film di atas bisa hadir ke tengah publik. Doea Tanda Cinta diproduksi oleh Inkopad (Induk Koperasi Angkatan Darat) dan Jenderal Soedirman oleh Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP). Inkopad dan YKEP adalah dua dari sekian sayap bisnis tentara dengan banyak anak perusahaan, yang dalam praktiknya menyediakan sumber-sumber non-anggaran negara. Baru pada 2015 inilah, Inkopad dan YKEP secara resmi memproduksi film. Sebelumnya, pada era Orde Baru, film-film (propaganda) tentara diproduksi oleh Perusahaan Film Negara. Adapun Di Balik 98 diproduksi oleh Media Nusantara Citra, raksasa media milik Harry Tanoe, yang sempat satu kubu dengan Wiranto, purnawirawan Angkatan Darat, jelang pemilihan presiden tempo hari.
Terlepas dari produksi Inkopad dan YKEP, hubungan sipil-militer dalam produksi film-film tentara pasca-Orde Baru tidaklah unik. Meski begitu, bukan berarti antara 1998 (tahun ketika peran politik praktis tentara mulai luntur) dan 2015 tidak ada film tentara. Sebaliknya, penulis menemukan beberapa judul seperti Merah Putih (2009), Darah Garuda (2010), Hati Merdeka (2011), dan Tiga Nafas Likas (2014). Tiga film pertama tergabung dalam trilogi Merah Putih yang diproduksi Media Desa Indonesia, rumah produksi milik Hashim Djodjohadikusumo, adik dari Prabowo Subijanto. Adapun Tiga Nafas Likas mengisahkan kehidupan Likas Tarigan bersama suaminya Letjen (Purn) Djamin Gintings dan diproduksi oleh Oreima Films, serta didanai oleh keluarga Gintings. Dari segi kuantitas, film-film tentara yang dibuat oleh swasta-perorangan (dan terhubung dengan pensiunan militer) justru lebih banyak ketimbang yang diproduksi institusi tentara—salah satunya Di Balik 98.
Lantas, bagaimana sebaiknya kita mendedah ciri khas film-film tentara pasca-1998 ini? Cukupkah hanya berdasarkan jejaring dan corak produksinya? Bisakah kita membacanya dalam konteks relasi sipil-militer yang sudah terbangun secara historis semenjak Orde Baru? Bagaimana dengan kepentingan-kepentingan politik praktis (jika ada) yang berusaha dipenuhi oleh produksi film-film ini?
Polemik-polemik
Sebelumnya, sudah ada sejumlah tulisan yang beredar di publik tentang peran tentara dalam perfilman Indonesia era Orde Baru—beberapa yang cukup menonjol adalah studi Krishna Sen (1994), Budi Irawanto (1999), dan Katinka van Heeren (2012). Secara umum, ada tiga hal yang jadi fokus bahasan tulisan-tulisan ini:. produksi film-film propaganda negara, keterlibatan militer dalam regulasi tontonan (dari sensor hingga pemberlakuan syarat-syarat produksi film), dan rekonstruksi sejarah bangsa sesuai dengan historiografi “resmi” Orde Baru (sebagai konsekuensi dari dua hal pertama). Sementara itu, bahasan tentang militer dan sinema dalam konteks rezim Sukarno lebih banyak berkutat dengan kolaborasi antara unit-unit militer lokal dan para pembuat film, yang kemudian dikaitkan dengan keberlangsungan praktik-praktik militer dalam perfilman di bawah Orde Baru.
Sayangnya, penulis belum menemukan satu pun tulisan yang membahas film-film tentara pasca-Orde Baru. Pertanyaannya, ada apa dengan kekosongan amatan ini? Apakah ada semacam kebingungan untuk meletakkan peran tentara dalam lanskap perfilman Indonesia pasca 1998? Apakah diam-diam muncul asumsi bahwa, setelah kejatuhan Orde Baru, sinema otomatis berhenti menjadi alat propaganda militer? Atau militer tidak lagi dipandang sebagai pemain utama dalam politik Indonesia? Jika benar asumsi terakhir yang berlaku, boleh jadi selama ini hubungan antara militer dan politik nasional pasca 1998 teramat kurang diperhatikan dalam studi-studi kebudayaan.
Sekilas, militer nampak tidak lagi mendominasi pemandangan keseharian di kota-kota. Begitu juga di kancah politik praktis. Nyatanya, sejak akhir 1990-an, militer lebih banyak terlihat di daerah-daerah konflik. Perwakilan tentara di parlemen perlahan-lahan dipangkas, dan jalan masuk tentara ke pemerintahan kian diperketat. Sekarang, apabila seorang tentara ingin terjun dalam kancah politik praktis, ia harus meletakkan jabatan militernya terlebih dahulu. Upaya-upaya ini ditempuh, khususnya pada era Gus Dur, untuk menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara dan melucutinya dari peran-peran politik praktis.
Terlepas dari reformasi yang dilakukan TNI sejak 1999, posisi militer dalam beberapa hal masih terhitung signifikan dalam lapangan ekonomi dan politik nasional. Seperti yang dikemukakan dalam studi terpisah Marcus Mietzner (2006) dan Daniel Kingsbury (2010), reformasi di tubuh TNI hanya berlangsung secara formal, hanya mengacu pada undang-undang pertahanan negara (yang belum mengakui supremasi sipil). Dalam internal lembaganya sendiri, TNI gagal (atau enggan) melakukan pembaruan. TNI belum mau melepas kerajaan bisnisnya (yang menjadi sumber pendapatan non-anggaran negara) yang ditopang oleh struktur komando teritorial (hingga di tingkat kecamatan).
Di samping itu, perlu diingat pula bahwa para politisi sipil kerap mengikutsertakan dukungan militer (nasional atau lokal) untuk kebutuhan-kebutuhan taktis jangka pendek. Misalnya, pada pemilu lalu, faksi-faksi militer (yang terpecah ke dalam kubu-kubu berbasis agama, geografis, suku, angkatan, politik, dan sebagainya) mendukung dua calon presiden yang berbeda. Di bawah pemerintahan Jokowi baru-baru ini, militer bahkan diberi ruang untuk ikut campur dalam pelaksanaan kebijakan publik. Di luar itu, masih terdapat setumpuk berkas kasus kejahatan kemanusiaan di masa lalu yang melibatkan TNI secara institusional. Tidak sedikit juga keterlibatan TNI dalam kasus-kasus kekerasan terhadap warga sipil, di dalam maupun luar daerah konflik—meskipun dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, jumlahnya kalah banyak dengan kasus kekerasan yang melibatkan kepolisian.
Seri tulisan ini berangkat dari polemik tentang posisi militer dalam ranah kebudayaan pasca-Orde Baru, khususnya film. Setidaknya ada tiga lingkup bahasan yang saling terkait untuk membicarakan film-film tentara kontemporer dalam konteks yang lebih luas. Pertama, corak produksi yang polanya hari ini bisa dibandingkan dengan produksi “film-film pejuang” pada era 1950-an. Kedua, model naratif yang digunakan. Film-film tentara ini, secara umum, terwujud dalam genre drama. Tidak sedikit di antaranya yang memindahkan tradisi penulisan biografis ke layar, atau cerita-cerita gerakan bersenjata pada era Revolusi Fisik atau pendudukan Jepang. Terakhir, konsekuensinya terhadap kesadaran publik akan sejarah, khususnya setelah publik dibanjiri versi sejarah alternatif yang menggugat kedudukan militer dalam penulisan historiografi sepanjang orde Baru.
Catatan kali ini akan berfokus pada lingkup bahasan pertama—dua lainnya akan dibahas dalam terbitan-terbitan selanjutnya.
Lanskap produksi dan politik
Sulit untuk tidak membahas film-film tentara kontemporer tanpa merujuk ke akarnya, yakni “film-film pejuang” era 1950-an, yang digarap rumah-rumah produksi swasta maupun Perusahaan Film Negara (PFN). Jenis cerita dan gaya bertutur, model karakter, serta pola-pola produksi yang hingga kini bertahan (dengan segala modifikasinya) bisa ditarik ke periode ini.
Film-film pejuang sepanjang Orde Lama tidak kelihatan memiliki visi yang jelas untuk memonopoli tafsir sejarah era Revolusi Fisik—suatu kecenderungan yang baru kentara pada film-film sejenis semasa Orde Baru. Penggambaran karakter pejuang pada masa perang dan setelahnya seringkali merupakan cerminan dari kenyataan sosial—kehidupan masyarakat pada era itu belum cukup berjarak dari Revolusi Fisik (1945-50). Ingatan khalayak tentang perjuangan bersenjata selama periode tersebut masih segar, sementara veteran yang menganggur (setelah upaya perampingan tubuh militer pada 1948 dan 1952) juga banyak dan dipandang sebagai problem sosial di masanya. Pada masa-masa tersebut pula, militer Indonesia masih mencari identitasnya sebagai alat negara atau aktor politik yang mandiri, mengacu pada doktrin Jalan Tengah yang dirumuskan AH Nasution.Doktrin tersebut mendorong militer agar tidak ikut dalam politik praktis, namun melancarkan pengaruh dalam jarak tertentu. Doktrin inilah yang kemudian diradikalkan menjadi Dwifungsi ABRI pada era Orde Baru, berusaha dikikis dalam reformasi TNI sejak 1999, namun dalam praktiknya tidak pernah benar-benar hilang hingga detik ini.
Dari sembilan belas belas film produksi PFN antara 1950-1958, tiga belas di antaranya adalah tentang pejuang dan/atau operasi militer: Sajap Memanggil (1952), Rakjat Memilih (1951), Si Pintjang (1951), Djiwa Pemuda (1951), Penjelundup (1952), Sekuntum Bunga Ditepi Danau (1952), Sajap Memanggil (1952), Penjelundup (1952), Meratjun Sukma (1953), Kopral Djono (1954), Kembali ke Masjarakat (1954), Antara Tugas dan Tjinta (1954), Peristiwa Didanau Toba (1955).
Dua perusahaan film terbesar saat itu Perfini dan Persari masing-masing menghasilkan enam dan lima film, dan satu film ko-produksi. Dari Perfini, ada Enam Djam Di Djogdja (1951), Kafedo (1953), Krisis (1953), Gerombolan Liar (1957), Toha, Pahlawan Bandung Selatan (1961), Teror di Sulawesi Selatan (1964). Dari Persari, ada Pahlawan (1951), Marunda (1951), Hidup Baru (1951), Bunga Bangsa (1951), Sepandjang Malioboro (1951). Sementara itu, Lewat Djam Malam adalah ko-produksi Perfini dan Persari. Total dua belas film.
Selain itu, terdapat sekurang-kurangnya 31 judul film pejuang yang diproduksi swasta di luar Perfini dan Persari: Djembatan Merah (1950), Harumanis (1950), Terang Boelan (1950), Embun (1951), Selamat Berdjuang, Masku! (1951), Pulang (1952), Soerga Terakhir (1952), Air Mata Pengantin (1952), Antara Tugas dan Tjinta (1954), Ajati (1954), Gelora Semarang (1955), Manusia Sutji (1955), Putri Revolusi (1955), Tjorak Dunia (1955), Turang (1957), Sesudah Subuh (1958), Gending Sriwijaya (1958), Detik-Detik Revolusi (1959), Holokuba (1959), Mawar Merah di Lereng Merapi (1960), Istana Jang Hilang (1960), Aksi Kalimantan (1961), Dilereng Gunung Kawi (1961), Detik-Detik Berbahaja (1961), Penjeberangan (1963) Di Balik Awan (1963), Daerah Tak Bertuan (1963), Antara Timur dan Barat (1963), Anak-Anak Revolusi (1964), Belaian Kasih (1966), dan Suzie (1966).
Sebagian film pejuang dibuat dengan sokongan dana dan bantuan teknis unit-unit militer setempat. Di sini, jadi penting untuk mengamati afiliasi politik dan dinamika faksi-faksi dalam tubuh militer di tingkatan komando-komando lokal. Faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah keberadaan sentra-sentra perfilman nasional di luar Jakarta dan di luar Jawa. Kedua faktor ini bisa menjelaskan kemunculan film-film seperti Turang dari Sumatera Utara, produksi Darah dan Doa (yang tanggal pengambilan gambar perdananya diabadikan sebagai Hari Film Nasional) yang melibatkan Kodam Siliwangi, Tangan-tangan Kotor oleh Kodam IX Mulawarman, dan Teror di Sulawesi Selatan oleh Kodam XIV Hasanuddin.
Di samping hal-hal yang disebutkan di atas, perlu juga sebetulnya melihat perkembangan di kesatuan selain Angkatan Darat. Pada 1961, Angkatan Udara Republik Indonesia merilis film Aksi Kalimantan, yang merupakan ko-produksi dengan Cekoslovakia. Pada 1990, angkatan yang sama bekolaborasi dengan PT. Angkasapuri dan Studio 41 dalam produksi film Perwira Ksatria. Pada 1952, Angkatan Laut dan PFN memproduksi Penjelundup, dan empat puluh tahun setelahnya Angkatan Laut merilis Pelangi di Nusa Laut yang diproduksi oleh PFN, PT Lamtoro Gung Persada, dan Yayasan Sosial Bhumyamca—lembaga milik Angkatan Laut yang membawahi lima belas perusahaan.
Aksi Kalimantan dan Penjelundup bercerita tentang operasi militer, sementara dua film lainnya tentang kehidupan di barak, serta konflik-konflik seputar keluarga, karir, dan percintaan. Perwira Ksatria dan Pelangi di Nusa Laut adalah saksi dari sedikitnya film yang diproduksi kedua angkatan, dibandingkan dengan berlimpahnya jumlah film yang dihasilkan orang-orang Angkatan Darat. Kelihatannya hal tersebut sejurus dengan lebih sedikitnya anggaran, personil, dan unit-unit usaha yang dimiliki Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Promosi kesatuan kelihatan menonjol dalam dua film tersebut.
Sepanjang era Orde Baru, kebanyakan film-film tentara adalah film perang—beberapa yang dikenal merupakan film-film yang secara eksplisit dibuat untuk tujuan propaganda, seperti Janur Kuning (1979) atau Serangan Fajar (1981). Film-film tentara dengan latar kehidupan sehari-hari saat perang atau pasca-perang jauh lebih sedikit jumlahnya. Dalam hal ini, di luar promosi kesatuan yang secara politis tak nampak eksplisit—juga tanpa memanfaatkan narasi sejarah—Perwira Ksatria dan Pelangi di Nusa Laut adalah pengecualian (dengan cara yang sama, ciri serupa sesungguhnya juga bisa ditemukan dalam Doea Tanda Cinta).
Langkah selanjutnya
Dibutuhkan studi arsip yang lebih mendalam untuk melacak kepemilikan rumah-rumah produksi, serta kaitannya dengan militer aktif maupun pensiunan. Sejumlah rumah produksi tercatat hanya menghasilkan satu-dua film—sehingga tidak jelas apakah beberapa dari mereka sekadar bikinan tentara atau bukan. Kesulitan juga muncul mengingat bisnis-bisnis militer sendiri bersifat resmi kelembagaan maupun non-kelembagaan—personal dan umumnya dimiliki pensiunan perwira tinggi. Kabarnya, bisnis-bisnis ini jauh lebih luas dan menguntungkan ketimbang bisnis resmi (Rabasa dan Haseman, 2002: 76).
Produksi film-film tentara kontemporer masih menunjukkan sebagian ciri lamanya. Bantuan teknis dari unit-unit militer lokal jelas ada (karena kebutuhan cerita). Namun bagaimana dengan pembuat dan tujuan pembuatannya? Tiga Nafas Likas, Di Balik 98, dan trilogi Merah Putih didanai oleh purnawirawan terpandang, kerabat, atau rekanan dari kalangan sipil. Namun tiga film ini dibuat untuk alasan yang berbeda-beda.
Trilogi Merah Putih didanai oleh Media Desa Indonesia milik konglomerat Hashim Djojohadikusumo. Ketiga film ini ditengarai diproduksi untuk kepentingan kampanye politik kakaknya, Prabowo Subijanto, pada pemilu 2009. Dana untuk pembuatan trilogi tersebut sangat besar, yakni Rp 60 milyar. Bahkan di lapangan, Hashim melibatkan sejumlah kru Hollywood yang sebelumnya mengurusi Black Hawk Down, Saving Private Ryan, The Pacific, Australia, dan The Matrix. Materi historis yang diangkat dalam film pertama dalam trilogi tersebut adalah pertempuran Lengkong yang menewaskan dua paman Hashim; Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Kadet (Taruna) R.M. Soejono Djojohadikoesoemo pada 1947. Sekitar momentum pemilu 2014 lalu, rumah produksi yang sama merilis dua film dokumenter Sang Patriot dan Hungry is the Tiger, yang diedarkan ke publik via YouTube namun tidak di bioskop. Dalam Sang Patriot, narasi asal-usul keluarga Hashim dan Prabowo juga ditonjolkan.
Di Balik 98 didanai oleh MNC Group milik taipan media Harry Tanoe. Serupa dengan trilogi Merah Putih, film ini dibuat sebagai alat kampanye untuk mendukung pencalonan Wiranto sebagai presiden pada pemilu 2014. Namun, berkebalikan dari kabar yang beredar, Di Balik 98 justru sedikit sekali mengisahkan Wiranto, yang berperan sebagai Panglima TNI yang bertugas menjaga keamanan Jakarta di tengah kerusuhan sosial. Pada saat bersamaan, perpecahan kongsi antara Wiranto (yang sejak April 2014 mendukung Jokowi) dan Harry Tanoe (yang mendukung Prabowo) lantas menimbulkan pertanyaan lebih lanjut: perubahan-perubahan apa saja yang terjadi di sekeliling situasi produksi dan (mungkin) mempengaruhi isi film sepanjang kurun waktu antara masa produksi dan tanggal edar?
Tiga Nafas Likas beredar pada 16 Oktober 2014, kurang lebih sebulan sebelum pemberian penghargaan Pahlawan Nasional kepada Letjen Djamin Gintings di Istana Negara. Namun Tiga Nafas Likas sebetulnya bukan film tentang sang jenderal. Alih-alih, nampaknya film ini dibuat untuk mempromosikan keluarga Gintings ketimbang lembaga tempat Djamin Gintings bernaung. Konteks nama besar keluarga dan relasi-relasi berbasis marga (juga kaitannya dengan politik lokal, sipil maupun militer) perlu diperhitungkan di sini.
Djamin Gintings sendiri bukan orang asing dalam perfilman nasional. Krishna Sen (1994: 43) mencatat, semasa masih menjabat kolonel di region Sumatra Utara, Djamin Gintings turut menggalang dana untuk pembuatan film Turang (Bachtiar Siagian, 1957) sebagai upaya mempromosikan peran revolusioner kalangan Batak Karo. Dukungan dari komunitas Batak Karo serta organisasi buruh dan tani terhadap Gingtings disebut-sebut pula berperan dalam penunjukkannya pada 1956 menggantikan Perwira Simbolon (dari Batak Toba) yang menentang pemerintah pusat.
Dari ketiga film tersebut, kemudian menjadi penting untuk mengamati relasi sipil-militer di atas layar dalam ranah politik sehari-hari yang lebih mikro dan kompleks, berjangka pendek, kadang melibatkan promosi keluarga dan komunitas setempat. Peliknya, tapi juga menariknya, kepentingan film-film ini tidak melulu bisa didefinisikan dalam kerangka politik nasional atau penyebaran ideologi militeris.
REFERENSI
Angel Rabasa dan John Haseman. The Military and Democracy in Indonesia: Challenges, Politics, and Power, Rand, Pittsburgh, 2002.
Budi Irawanto. Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia, Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta, 1999.
Daniel Kingsbury. Power Politics and the Indonesian Military, Routledge, London, 2003.
Katinka van Heeren. Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and ghosts from the past, KITLV Press, Leiden, 2012.
Krishna Sen. Indonesian Cinema: Framing the New Order, Zed Books, London and New Jersey, 1994.
Marcus Mietzner. The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance, Washington DC, East-West Center Washington, 2006.