A World Without: Film Distopia Tanpa Distopia

Nama Nia Dinata mengundang ekspektasi. Ia termasuk salah satu tokoh kunci generasi pembuat film Indonesia pasca-98. Dari tangannya, kita bisa menonton film-film penting seperti Ca-Bau-Kan (2001), Arisan! (2003), dan Berbagi Suami (2006). Ketiganya ambisius melabrak batas dengan mengangkat representasi yang jarang ditelusuri lebih jauh pada zamannya, dari LGBT hingga peranakan Tionghoa.

A World Without, film panjang pertama yang Nia Dinata sutradarai sejak 2016, juga tak kalah ambisius. Tayang daring di Netflix, film ini menyiratkan sebuah distopia. Alkisah Indonesia mengalami kerusakan lingkungan yang parah pasca-pandemi. Angka kelahiran lebih rendah daripada angka kematian dan usia legal untuk menikah adalah tujuh belas tahun. Kedengarannya mengerikan, tapi kritik sosial yang dihadirkan dalam film ini merupakan refleksi dari dunia yang kita hidupi saat ini.

Sayangnya, A World Without terlalu fokus ke banyak isu. Dari masalah lingkungan hidup, kekerasan seksual, pernikahan di bawah umur, sampai kritik sosial dalam bermedia sosial, semuanya disinggung. Masalah-masalah ini disinggung tanpa eksplorasi lebih lanjut. Soal pencemaran lingkungan karena sampah plastik, misalnya. Tidak jelas mengapa isu ini penting hadir di dalam film. Apa hubungannya pencemaran sampah plastik dan angka kelahiran lebih rendah daripada angka kematian? Pesan yang ingin disampaikan film jadinya terasa kosong, sebab ia ingin mengangani banyak sekali isu. Sederhananya, A World Without gagal menelusuri masalah utamanya: jodoh.

Cerita dimulai ketika tiga sahabat, Salina (Amanda Rawles), Tara (Asmara Abigail), dan Ulfah (Maizura), terpilih jadi anggota The Light. Penonton diberikan penjelasan tentang apa itu The Light secara sepotong-potong, sehingga sulit untuk mengerti tentang keberadaannya. Yang kita ketahui adalah The Light merupakan tempat pelatihan yang dipimpin Ali Khan (Chicco Jerikho), dipanggil Yang Istimewa dan pasangannya. Itu penjelasan pada awal film. Namun, menuju akhir film, diceritakan The Light memiliki investor. Apakah ini artinya ia sebuah bisnis? Kalau iya, milik siapa?

Proses perekrutan anggota The Light juga miskin detail. Pastinya, semua anggota The Light tampak setara. Mereka bisa datang dari keluarga yang miskin atau kaya. Kostum yang mereka kenakan berwarna hijau, merah muda, dan biru. Pewarnaan ini enak dipandang, tapi sayangnya, sampai akhir film, tidak memberi arti lebih. Tidak ada yang membedakan warna hijau, merah muda, dan biru. Padahal, bisa saja warna berbeda memberikan pangkat atau tugas berbeda pula. Seperti simbol dalam Squid Games, misalnya. Setiap petugas permainan mengenakan topeng dengan simbol berbeda, menandakan tugas dan pangkat mereka.

Setiap anggota The Light diajarkan untuk bekerja sesuai jenis kelamin mereka, laki-laki atau perempuan. Perempuan diajarkan untuk menjadi ibu rumah tangga dan berdandan, sedangkan laki-laki untuk menjadi tulang punggung keluarga. Mereka akan dijodohkan, tanpa pacaran terlebih dahulu, melalui algoritma komputer. Pada usia tujuh belas tahun, mereka dijodohkan, menikah, dan pindah ke sebuah apartemen yang difasilitasi The Light.

A World Without tampaknya ingin menulusuri masalah pernikahan paksa. Film ini ingin menyenggol gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, membumbuinya dengan elemen kultus dan futurisme. Kesannya, Nia Dinata mau menunjukkan berbagai konsekuensi yang bisa terjadi akibat pernikahan paksa di bawah umur, dari kekerasan dalam rumah tangga hingga kehamilan di bawah umur. Konsekuensi-konsekuensi dihadirkan melalui setiap karakter: Tara yang dipaksa untuk berhubungan seks dengan pria lain oleh suaminya, diperkosa; hubungan Ulfah dan Hafiz (Jerome Kurnia) yang tidak harmonis; dan Salina yang diajak menikah dan berpoligami oleh Ali Khan, orang yang jauh lebih tua darinya. Sederhananya, A World Without memberi gambaran apa yang akan terjadi apabila gerakan Indonesia Tanpa Pacaran diimplementasikan ke masyarakat luas.

Dalam banyak hal, A World Without berbagi sejumlah pakem dengan The Lobster, dari latar futuristik hingga kultus nirafeksi. Film karya Yorgos Lanthimos itu mengkritisi pilihan manusia untuk hidup berpasangan atau tanpa pasangan. Ia mempertanyakan soal ‘jodoh’ dan cinta. Setiap manusia harus hidup berpasangan, apabila tidak, mereka akan diubah menjadi hewan. Mereka tinggal di sebuah fasilitas dan harus mendapat pasangan selama 45 hari.

David (Colin Farrell), tokoh utama The Lobster, tak dapat mencari pasangan hidupnya. Ia pun kabur ke hutan dan jadi penyendiri bersama orang-orang yang berkeputusan serupa dengannya. Tapi, cinta bisa datang kapan saja, dan David menemukan pasangan hidupnya di hutan. Sialnya, peraturan bagi komunitas penyendiri adalah tak boleh berpasangan. The Lobster menciptakan sebuah pertanyaan besar bagi penontonnya: apakah setiap manusia punya pilihan untuk hidup berpasangan atau tanpa pasangan?

A World Without memperlakukan pertanyaan ini sedikit berbeda. Tidak ada pilihan untuk tidak berpasangan. Ia memberikan pertanyaan yang berbeda, apakah ‘jodoh’ kita sudah tepat? Setiap karakter tidak diberikan pilihan untuk hidup tanpa pasangan. Film ini memberi jawaban bahwa setiap manusia harus hidup berpasangan, tapi soal siapa pasangannya adalah sebuah pilihan. Tentu saja, ini menggambarkan situasi yang lumrah di Indonesia. “Sudah punya pacar?” atau “Kapan menikah?” selalu jadi pertanyaan. Ketabuan untuk tidak hidup berpasangan tidak didobrak oleh A World Without.

Konflik yang disuguhkan juga terlalu banyak dan tidak berarti. Konflik utamanya bukan soal Salina dan kawan-kawannya melawan Yang Istimewa. Itu hanya sebagai pelengkap. Malahan, konflik utamanya adalah cinta segitiga antara Salina, Hafiz, dan Ulfah. Salina diam-diam berpacaran dengan Hafiz, tetapi algoritma The Light mengatakan bahwa Ulfah berjodoh dengan Hafiz. Sisanya pelengkap belaka.

Sejak awal film, Salina diberi petunjuk kalau The Light adalah tempat yang berbahaya, tapi ia sama sekali tak ingin mencari tahu lebih lanjut. Barulah, pada akhir, ia ingin kabur dari The Light karena ingin diajak menikah oleh Yang Istimewa.

Salina tidak memberi perlawanan berarti. Ia gagal menjadi martir yang menjatuhkan kekuasaan Yang Istimewa. Padahal, Yang Istimewa di sini adalah tokoh otoriter, abusif, narsistik, dan manipulatif. Tidak ada perlawanan berarti terhadapnya. Hanya pada penghujung film kita bisa melihat Salina dan kawan-kawannya menyebarkan rekaman-rekaman Yang Istimewa yang manipulatif dan abusif. Klise.

Pengembangan karakter di film A World Without juga nihil. Salina masih sama seperti Salina pada awal film. Begitu juga dengan tokoh pembantu lainnya, seperti Tara dan Ulfah. Mereka tidak berubah, bagaikan tokoh yang hanya bergerak karena dipaksa untuk bergerak.

Masalah-masalah ini muncul akibat fondasi penyampaian cerita yang belum kuat. A World Without kesulitan untuk menjelaskan gagasan utamanya. Pengantar ceritanya tidak memberi banyak informasi tentang apa yang akan kita tonton. Konflik yang dihadirkan juga terlalu banyak sehingga sulit fokus ke konflik utamanya. Kemudian, akhir cerita dibuat terburu-buru dan memaksa menjadikannya sebuah twist tanpa dibangun sejak awal. Pengembangan karakter jadi tersendat. Mereka seolah-olah bersikap tanpa motif.

A World Without mengingatkan akan cerita drama sinetron, dengan konflik percintaan dan berbagai hal klise. Film ini penuh dengan kritik sosial, tapi tanpa jiwa.

A World Without | 2021 | Sutradara: Nia Dinata | Penulis: Nia Dinata, Lucky Kuswandi | Produksi: Kalyana Shira Films | Negara: Indonesia | Pemeran: Amanda Rawles, Maizura, Asmara Abigail, Chicco Jerikho, Ayushita, Jerome Kurnia, Dira Sugandi, Richard Kyle, Dimas Danang, Joko Anwar, Willem Bevers, Santosa Amin