The Flower and the Bee: Ketika Anak-anak Bertanya Soal Seks

the-flower-and-the-bee_hlgh

Peran anak-anak dalam film terkadang hadir hanya sebagai penggenap karakter lain. Kehadirannya diperuntukkan sebagai penggerak cerita seputar keluarga, baik di dalam keluarga itu sendiri maupun antara keluarga dengan lingkungan sosial. Anak-anak sendiri mendapat perlakuan khusus ketika dihadapkan dengan topik orang dewasa—selalu dipotretkan polos, tidak tahu-menahu, dan dilindungi orang dewasa dari hal-hal yang dirasa belum pantas. Dalam film, posisi anak-anak praktis lebih ‘kosong’ dibanding tokoh-tokoh dewasa, yang kerap dimanfaatkan sebagai pusat mengalirnya konflik oleh beberapa pencerita.

Monica Vanesa Tedja salah satunya. Dalam The Flower and the Bee, ia mengangkat tema seksualitas dari kacamata anak perempuan berumur sepuluh tahun. Pembuat film turut memanfaatkan beberapa sikap dasar anak-anak, yaitu cenderung ingin tahu, giat bertanya, pintar menirukan apa yang pernah ia lihat dan dengar, dan punya potensi berprasangka macam-macam.

The Flower and the Bee bercerita tentang Callie—seorang anak perempuan yang heran dengan beberapa gerakan tangan, yang jadi bahan tertawaan dua anak laki-laki berseragam SMP, yang kebetulan satu mobil jemputan dengan Callie. Gerakan tangan itu berupa jempol di antara telunjuk dan jari tengah, serta telunjuk yang masuk ke dalam lingkaran yang terbentuk jari tangan sebelahnya—yang kita semua tahu merujuk pada kegiatan senggama alias seks.

Gerakan-gerakan tangan tersebut dipertanyakan Callie di sepanjang film, baik kepada Pak Edu—sopir yang menjemputnya, Mbak Iyah—asisten rumah tangganya, ibunya, Bian si teman SD-nya dan akhirnya juga kepada kedua anak laki-laki SMP. Alih-alih mendapat pencerahan, semua orang yang Callie tanyai menolak untuk menjawab—mereka bahkan menghilang, secara harafiah, dari pandangan kamera.

Callie tidak melulu bertanya. Seringkali ia harus puas bergumul dengan prasangka-prasangkanya sendiri—yang entah benar entah tidak. Tanpa suara apapun, kita melihat Callie di kamarnya, memainkan jari-jarinya membentuk gerakan tangan yang ia pertanyakan. Kemudian terdengarlah Mbak Iyah, pembantu rumahnya, bernyanyi di halaman rumah. Callie menghampirinya, bertanya tentang gerakan tangan yang sedang ia mainkan. Untuk kesekian kalinya, orang yang Callie tanyai menghilang dari film.

Pendidikan Seks

Menarik cara pembuat film menggambarkan penolakan yang Callie terima dari orang-orang dewasa sekitarnya. Hilangnya mereka dari pandangan kamera bisa diartikan sebagai penolakan dengan tidak mau menjawab sama sekali, atau menjawab dengan tidak jelas atau sengaja tidak dibuat jelas.

Menarik juga melihat cara pembuat film menghadirkan penolakan para orang dewasa dalam The Flower and the Bee secara kontradiktif, bahkan ironis. Anak-anak tidak dibukakan pengetahuan tentang seksualitas manusia, tapi di sisi lain diharuskan tahu seksualitas dalam konteks yang berbeda: seksualitas pada tanaman, melalui pelajaran biologi di sekolah, dengan bunga sebagai alat kelamin dan organ reproduksi pada tanaman. Belum lagi lagu yang dinyanyikan Mbak Iyah, yang sarat kiasan mesum, yang diperdengarkan dan diterima Callie dengan segala kepolosannya.

Monica Vanesa Tedja dengan cermat memainkan persepsi penonton perihal anggapan-anggapan orang dewasa terhadap anak, terhadap hal-hal yang pantas dan tidak pantas ia ketahui pada usianya. Pembuat film tidak mencoba meluruskannya, tidak juga memberi pembenaran—dan itu keputusan yang tepat, setidaknya bagi keutuhan karya The Flower and the Bee. Karena pada kenyataannya, setidaknya di budaya kita sendiri, pilihan-pilihan para orang tua tersebut tidak bisa dipersalahkan, selalu akan ada pembenaran yang mungkin.

Film ini akan jadi terlalu dangkal apabila Callie mendapat jawaban yang sebenarnya dari semua orang yang dia tanya. The Flower and the Bee bisa jadi malah tidak relevan dengan beragam kemungkinan relasi anak dengan orang tua dan lingkungannya, serta tingkat kesiapan mental si anak. Nyatanya memang tidak semua perkara orang dewasa boleh dibicarakan ke anak kecil. Belum lagi kita bicara pandangan-pandangan kultural, yang pastinya beragam di setiap kelompok warga, terhadap konten seks dan anak-anak.

Meski begitu, bukan berarti The Flower and the Bee memasrahkan saja perkara pendidikan seks ini sebagai kesia-siaan. Pendidikan itu tetap perlu, dengan cara komunikasi yang tepat tentunya. Kritik pembuat film cukup tegas, yang ia hadirkan lewat gambaran akan sebuah konsekuensi: bahwa pengabaian dunia sosial terhadap pendidikan seks untuk anak, bisa mendorong si anak untuk mencari tahu sendiri apa itu seks—yang bisa jadi luput dari pantauan orang tuanya sendiri.

Dalam The Flower and the Bee, peristiwa tersebut ditampilkan secara jenaka. Tapi apa risikonya ketika hal serupa terulang di dunia nyata?

Mobil Jemputan

Risiko tersebut tersirat lewat penggunaan mobil jemputan sebagai medium untuk mempertemukan Callie dengan orang-orang di luar keluarganya. Sebagai ruang publik yang kerap mengantarai hidup seorang anak di rumah dan sekolah, mobil jemputan memungkinkan anak-anak bebas membicarakan apa saja secara lebih personal, tanpa ada pantauan dan aturan orang tua. Tidak jarang anak-anak mengenal atau belajar hal baru, dari hal-hal remeh temeh sampai perkara seksualitas, dalam mobil jemputan.

Risiko lainnya adalah orang-orang yang hadir dalam mobil jemputan. Pembuat film menempatkan Callie bersama tiga orang: dua orang anak laki-laki SMP dan Bian teman SD-nya. Semua penumpang di mobil tersebut dibuat tidak seragam. Bian cenderung lebih cuek dan lebih tidak ingin tahu dibanding Callie. Dua anak laki-laki SMP tersebut, dari penampilannya, juga ditampilkan berbeda. Satu anak—dengan kancing paling atas terbuka—nampak lebih bengal dibanding temannya—yang berkacamata tebal. Kesamaan keduanya adalah sama-sama bisa senang berfantasi dari gerakan-gerakan tangan maksud senggama, dan inilah yang memantik keingintahuan Callie.

Penokohan kedua remaja laki-laki tersebut patut disorot lebih lanjut. Dengan menampilkan kontras antara keduanya, barangkali pembuat film ingin berpesan bahwa semua remaja sama saja ketika dihadapkan dengan seks, baik yang bengal maupun yang nampak alim. Jika memang demikian, lantas kenapa pembuat film memilih untuk menghadirkan dua sosok remaja laki-laki saja? Kenapa tidak ada sosok remaja perempuan?

Tak ada yang salah dengan kehadiran dua sosok remaja laki-laki, tidak juga dengan pembuat film yang memilih untuk demikian. Tapi hal ini bisa jadi keluputan apabila a) hanya digunakan untuk efek dramatis belaka, dengan menempatkan Callie sebagai sosok yang tak punya pilihan; dan b) diniatkan untuk membuat para penonton mengamini stereotype begitu saja, bahwasanya hanya remaja lelaki yang akan selalu lebih vulgar membicarakan seks.

Kecil memang, dan tidak terlalu berdampak pada keutuhan karya The Flower and the Bee, tapi keluputan ini tetap perlu dicermati. Karena memilih untuk tidak latah mengikuti stereotype, dan tidak menyembunyikan hal-hal yang harusnya hadir, bisa jadi adalah keputusan yang lebih bijak—terutama untuk film seperti The Flower and the Bee, yang sejatinya mengajak kita untuk memeriksa kembali hal-hal yang kita anggap pantas dan tidak pantas dalam keseharian kita.

The Flower and the Bee (Lebah dan Nektar) | 2015 | Durasi: 9 menit | Sutradara: Monica Vanesa Tedja | Produksi: Sodamachine Films, Antelope Films | Negara: Indonesia | Pemeran: Amanda Mirabelia, Jamesha Sasana Karnajaya, Marissa Anita, Trisa Triandesa, Atrey Moniaga, Ariel Gwyn, Pascalina Pasurnay