Seputar Nomine Festival Film Indonesia 2016

seputar-nomine-festival-film-indonesia-2016_hlghTahun ini malam anugerah Festival Film Indonesia (FFI) akan berlangsung pada 6 November. Ini lebih cepat dari perhelatan FFI sebelum-sebelumnya, yang diselenggarakan pada 23 November 2015, 6 Desember 2014, 7 Desember 2013, 8 Desember 2012, dan 10 Desember 2011. FFI kali ini, kalau tidak salah hitung, merupakan penyelenggaraan ke-36—termasuk Pekan Apresiasi Film Nasional 1960 dan 1967.

Sepanjang sejarahnya, FFI beberapa kali mengundang kontroversi. Dari perkara tampilan situs, tema dan acara kegiatan, hingga daftar nominasi dan pemenang, ajang penghargaan yang katanya tertinggi bagi dunia film di Indonesia ini tak pernah sepi bahasan. Daripada kita menghabiskan nafas panjang berharap agar FFI bisa lebih baik lagi meski keyakinan akan kandas juga sama besarnya, mari kita sejenak beralih ke bahasan-bahasan yang lebih positif.

Pada perhelatan terakhir FFI, beberapa pemenang mengucapkan berapa kali telah menang Piala Citra. Jadi menarik untuk mengulik sejarah lengkapnya, berangkat dari para nomine FFI 2016 ini. Banyak yang bisa kita temukan dari internet, dari data-data vital hingga trivia-trivia banal. Berikut sejumlah temuan saya.

Sutradara

Tahun ini Riri Riza, Timo Tjahjanto & Kimo Stamboel (alias Mo Brothers), Yosep Anggi Noen, Upi, dan Pritagita Arlanegara dinobatkan sebagai nomine Sutradara Terbaik. Belum ada satu pun yang pernah membawa pulang Piala Citra untuk kategori ini. Kemenangan pada FFI 2016 akan menjadi kali pertama bagi salah satu dari mereka.

Di antara para nomine Suttadara Terbaik tahun ini, hanya Riri Riza dan Upi yang pernah menjadi nomine pada perhelatan FFI sebelumnya. Riri Riza melalui Eliana, Eliana pada 2004, Gie pada 2005, dan Sokola Rimba pada 2013, sementara Upi melalui Radit dan Jani pada 2008 dan Belenggu pada 2013.

Di luar sutradara terbaik, Riri Riza pernah menjadi nomine untuk Skenario Terbaik lewat Gie. Pada FFI 2016, beliau menjadi nomine untuk Skenario Adaptasi Terbaik lewat Athirah. Upi juga sudah dua kali menjadi nomine untuk Skenario Terbaik, melalui Radit dan Jani dan Belenggu. Pada FFI 2016, ia menjadi nomine untuk Skenario Adaptasi Terbaik untuk My Stupid Boss.

Sepanjang sejarah FFI, sutradara yang paling banyak menjadi nomine untuk Sutradara Terbaik adalah Teguh Karya dan Hanung Bramantyo. Masing-masing mendapatkan nominasi lewat sembilan film.

Teguh Karya mendapatkan nominasi Sutradara Terbaik untuk Usia 18 pada 1981, serta Doea Tanda Mata dan Secangkir Kopi Pahit pada 1985. Sementara itu beliau membawa pulang Piala Citra untuk Cinta Pertama pada 1974, Ranjang Pengantin pada 1975, November 1828 pada 1979, Di Balik Kelambu pada 1983, Ibunda pada 1986, dan Pacar Ketinggalan Kereta pada 1989. Sampai saat ini enam Piala Citra milik Teguh Karya belum tertandingi oleh sutradara manapun.

Sepanjang kariernya, hanya empat film Teguh Karya yang tidak menjadi nomine untuk Sutradara Terbaik: Wadjah Seorang Laki-laki (1971), Kawin Lari (1974), Perkawinan dalam Semusim (1976), dan Badai Pasti Berlalu (1977). Teguh Karya juga tidak pernah meraih Piala Citra untuk Skenario Terbaik meski menjadi nomine sebanyak lima kali, melalui November 1828, Usia 18, Doea Tanda Mata, Ibunda, dan Pacar Ketinggalan Kereta.

Hanung Bramantyo menjadi nomine Sutradara Terbaik untuk Kamulah Satu-Satunya pada 2007, Perempuan Berkalung Sorban pada 2009, Tanda Tanya dan Tendangan dari Langit pada 2011, Perahu Kertas pada 2012, serta Cinta Tapi Beda dan Soekarno: Indonesia Merdeka pada 2013. Hanung sendiri sudah dua kali meraih Piala Citra untuk Sutradara Terbaik, melalui Brownies pada 2005 dan Get Married pada 2007.

Garin Nugroho, salah satu sutradara besar dalam sejarah film Indonesia, belum pernah terpilih sebagai Sutradara Terbaik. Ia dua kali menjadi nomine, melalui Cinta dalam Sepotong Roti pada 1991 dan Under the Tree pada 2008.

Penulis Skenario

Untuk kategori Skenario Terbaik, dua nama yang menonjol adalah Arifin C Noer dan Asrul Sani. Masing-masing sembilan kali menjadi nomine.

Arifin C Noer mendapat nominasi melalui Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa pada 1980, Serangan Fajar pada 1982, Matahari-Matahari pada 1986, Biarkan Bulan Itu pada 1987, dan Bibir Mer pada 1992. Sementara itu beliau meraih empat Piala Citra untuk Rio Anakku pada 1974, Melawan Badai pada 1975, Pengkhianatan G30S/PKI pada 1984, dan Taksi pada 1990.

Asrul Sani mendapatkan nominasi Penulisan Skenario lewat film Para Perintis Kemerdekaan pada 1981, Istana Kecantikan pada 1988, Noesa Penida (Pelangi Kasih Pandansari) pada 1989, dan Kuberikan Segalanya pada 1992. Asrul Sani sendiri merupakan penulis skenario yang paling banyak memenangkan Piala Citra. Ada lima film: Kemelut Hidup pada 1979, Bawalah Aku Pergi pada 1982, Titian Serambut Dibelah Tujuh pada 1983, Kejarlah Daku Kau Kutangkap pada 1986, dan Nagabonar pada 1987.

Mengikuti dua nama besar di atas, ada Salman Aristo yang sudah delapan kali menjadi nomine. Pada FFI 2016, beliau menjadi nomine Penulis Skenario Adaptasi Terbaik lewat Athirah. Sebelumnya ada Brownies pada 2005, Garuda di Dadaku pada 2009, Hari untuk Amanda pada 2010, Jakarta Maghrib dan Sang Penari pada 2011, dan Mencari Hilal pada 2015. Salman Aristo belum sekali pun mendapat Piala Citra.

Pemeran Pria

Untuk pemeran pria, Reza Rahadian memiliki banyak fakta menarik. Pada FFI 2016, ia menjadi nomine untuk Pemeran Utama Pria Terbaik melalui My Stupid Boss dan Rudy Habibie. Sebelumnya ia lima kali menjadi nomine, melalui Emak Ingin Naik Haji pada 2009, Alangkah Lucunya (Negeri Ini) pada 2010, Test Pack: You’re My Baby pada 2012, Guru Bangsa Tjokroaminoto dan Kapan Kawin? pada 2015, serta My Stupid Boss dan Rudy Habibie pada 2016. Reza Rahadian sendiri sudah dua kali membawa pulang Piala Citra sebagai aktor utama, melalui 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta pada 2010 dan Habibie & Ainun pada 2013.

Tahun ini merupakan kali ketiga ada dua film Reza Rahadian yang menjadi nomine Pemeran Utama Pria Terbaik pada tahun yang sama. Prestasi serupa juga pernah dicatat oleh Deddy Mizwar melalui Arie Hanggara dan Kejarlah Daku Kau Kutangkap pada 1986, serta Nicholas Saputra melalui Gie dan Janji Joni pada 2005.

Peran BJ Habibie, yang dilakoni Reza Rahadian, sudah dua kali singgah sebagai nominasi FFI melalui Habibie & Ainun dan Rudy Habibie. Ada tiga peran lainnya yang mencatat prestasi serupa, yakni Nagabonar yang diperankan Deddy Mizwar melalui Nagabonar pada 1987 dan Nagabonar Jadi 2 pada 2007, Nick yang diperankan Rano Karno melalui Arini (Masih Ada Kereta yang Akan Lewat) pada 1987 dan Arini II (Biarkan Kereta Api Itu Lewat) pada 1989, serta Bayu yang diperankan Emir Mahira melalui Garuda di Dadaku pada 2009 dan Garuda di Dadaku II pada 2012.

Reza Rahadian juga pernah menang Piala Citra untuk Pemeran Pendukung Pria Terbaik melalui Perempuan Berkalung Sorban pada 2009 dan menjadi nomine melalui Tenggelamnya Kapal Van der Wijck pada 2014. Total ada sebelas film yang melibatkan Reza Rahadian, baik sebagai pemeran utama maupun pendukung, yang berprestasi di FFI, sebagai nomine maupun pemenang. Jumlah tersebut hanya kalah oleh Deddy Mizwar. Ada tujuh belas film yang beliau perankan yang singgah di FFI.

Sebagai pemeran utama, Deddy Mizwar telah meraih Piala Citra untuk Arie Hanggara, Nagabonar, dan Nagabonar Jadi 2. Ia tujuh kali menjadi nomine, melalui Bukan Impian Semusim pada 1982, Sunan Kalijaga pada 1984, Saat-saat Kau Berbaring di Dadaku pada 1985, Kejarlah Daku Kau Kutangkap pada 1986, Ayahku pada 1988, 2 dari 3 Laki-laki pada 1990, dan Ketika pada 2005.

Sebagai pemeran pendukung, Deddy Mizwar telah dua kali meraih Piala Citra, lewat Opera Jakarta pada 1986 dan Kuberikan Segalanya pada 1992. Beliau lima kali menjadi nomine, melalui Kerikil-kerikil Tajam pada 1985, Putihnya Duka Kelabunya Bahagia pada 1989, Jangan Renggut Cintaku pada 1990, Ketika Cinta Bertasbih 2 pada 2009, dan Cinta 2 Hati pada 2010.

Selain Deddy Mizwar, hanya Sukarno M Noor yang berhasil menang tiga Piala Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik. Beliau meraihnya lewat Anakku Sajang pada 1960, Dibalik Tjahaja Gemerlapan pada 1967, dan Kemelut Hidup pada 1979.

Pemeran Wanita

Dari lima nomine Pemeran Utama Wanita Terbaik, hanya Cut Mini dan Sha Ine Febriyanti yang belum pernah mendapat nominasi. Atiqah Hasiholan sudah tiga kali, melalui Ruma Maida pada 2009, Hello Goodbye pada 2012, dan 3 Nafas Likas pada 2014. Chelsea Islan baru sekali, yakni pada 2015 melalui Di Balik 98. Baik Atiqah maupun Chelsea belum pernah menang Piala Citra.

Christine Hakim, jangan tanya. Beliau sudah enam kali menang Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik: Cinta Pertama pada 1974, Sesuatu yang Indah pada 1977, Pengemis dan Tukang Becak pada 1979, Di Balik Kelambu pada 1983, Kerikil-kerikil Tajam pada 1985, dan Tjoet Nja Dhien pada 1988. Tahun ini beliau menjadi nomine melalui Ibu Maafkan Aku. Sebelumnya beliau mendapat nominasi untuk Ponirah Terpidana pada 1984, Bila Saatnya Tiba pada 1986, dan Pasir Berbisik pada 2004.

Penyunting Gambar

Pada FFI 2016, Wawan I Wibowo menjadi nomine Penyunting Gambar Terbaik untuk My Stupid Boss dan Rudy Habibie. Ia sudah pernah menang dua Piala Citra, melalui Pintu Terlarang pada 2009 dan Soekarno: Indonesia Merdeka pada 2014. Sebelumnya ia menjadi nomine melalui Virgin pada 2005, Heart pada 2006, Kala pada 2007, May pada 2008, Mereka Bilang Saya Monyet! pada 2009, Red CobeX pada 2010, Pengejar Angin pada 2011, Soegija pada 2012, Habibie & Ainun dan Belenggu pada 2013, serta Hijab dan Mencari Hilal pada 2015. Total ada enam belas film beliau yang berprestasi di FFI sebagai nomine maupun pemenang. Sejauh ini belum ada yang bisa menyamai pencapaian tersebut.

Apabila menang, Wawan I Wibowo akan mendekati pencapaian Cesa David Luckmansyah dan Wim Umboh. Keduanya merupakan pemenang Piala Citra terbanyak untuk Penyunting Gambar Terbaik. Empat Piala Citra telah Cesa David Luckmansyah dapatkan melalui Get Married pada 2007, Rumah di Seribu Ombak pada 2012, Rectoverso pada 2013, dan Soekarno: Indonesia Merdeka pada 2014. Sedangkan Wim Umboh mendapatkannya lewat Perkawinan pada 1973, Cinta pada 1976, Sesuatu yang Indah pada 1977, dan Pengemis dan Tukang Becak pada 1979.

Aline Jusria juga berpeluang melakukan pencapaian serupa. Tahun ini ia menjadi nomine melalui Ini Kisah Tiga Dara. Sebelumnya ia telah meraih dua Piala Citra melalui Minggu Pagi di Victoria Park pada 2010 dan Catatan Harian Si Boy pada 2011. Aline juga menjadi nomine pada 2013 melalui Laura & Marsha.

Di antara nomine tahun ini, hanya Wahyu Ichwandiardono yang belum pernah menang Piala Citra. Ia sudah empat kali jadi nomine melalui Ruang pada 2006, Ruma Maida pada 2009, Lovely Man pada 2012, dan Sokola Rimba pada 2014.

Ahsan Andrian merupakan pemenang tahun lalu melalui Filosofi Kopi. Tahun ini ia kembali menjadi nomine lewat Surat dari Praha.

Pengarah Artistik

Eros Eflin merupakan pengarah artistik dengan jumlah film terbanyak sebagai nomine. Tahun ini ia menjadi nomine lewat Athirah. Sebelumnya ia sudah delapan kali jadi nomine melalui Petualangan Sherina pada 2004, Brownies pada 2005, May dan fiksi pada 2008, Sang Penari pada 2011, Laura & Marsha pada 2013, Sokola Rimba pada 2014, dan Pendekar Tongkat Emas pada 2015. Akan tetapi Eros Eflin belum pernah menang Piala Citra.

Pengarah artistik dengan Piala Citra terbanyak adalah Benny Benhardi. Dari tujuh filmnya yang masuk nomine, ada enam yang menang, yakni Ranjang Pengantin pada 1975, November 1828 pada 1979, Perempuan dalam Pasungan pada 1981, Ponirah Terpidana pada 1984, Doea Tanda Mata pada 1985, dan Tjoet Nja Dhien pada 1988. Hanya Di Balik Kelambu yang tidak mendapat Piala Citra, yang pada 1983 dikalahkan oleh A Abidin lewat Roro Mendut.

Pada dua tahun terakhir, Allan Sebastian telah meraih dua Piala Citra melalui Soekarno: Indonesia Merdeka pada 2014 dan Guru Bangsa Tjokroaminoto pada 2015. Tahun ini ia kembali menjadi nomine lewat Rudy Habibie.

Penata Busana

Kategori Penata Busana Terbaik baru diadakan pada 2013. Sejak itu, Piala Citra untuk kategori ini selalu dimenangkan oleh Retno Ratih Damayanti. Ia memenangkannya melalui Habibie & Ainun pada 2013, Soekarno: Indonesia Merdeka pada 2014, dan Guru Bangsa Tjokroaminoto pada 2015. Bisa dilihat apa kesamaan tiga film tersebut.

Penata Musik

Idris Sardi menjadi nomine Penata Musik Terbaik lewat dua puluh film—sebelas di antaranya menang Piala Citra. Rekor ini disusul oleh Thoersi Argeswara dengan tiga belas film. Dua di antaranya merupakan nomine FFI 2016, yaitu Surat dari Praha dan Salawaku.

Penata Suara

Khikmawan Santosa selalu muncul sebagai nomine Penata Suara Terbaik sejak 2007. Sedangkan Satrio Budiono selalu menjadi nomine sejak 2004, kecuali pada 2006. Meski begitu Satrio Budiono tahun ini memecahkan rekor sebagai nomine terbanyak untuk kategori Penata Suara sepanjang sejarah FFI. Ia telah 21 kali menjadi nomine, melampaui Idris Sardi yang sudah dua puluh kali menjadi nomine.

Khikmawan Santosa dan Satrio Budiono masing-masing sudah tiga kali menang Piala Citra. Khikmawan Santosa melalui Ruma Maida pada 2009, Sang Kiai pada 2013, dan A Copy of My Mind pada 2015. Sementara Satrio Budiono melalui Eliana, Eliana pada 2004, May pada 2008, dan Rumah di Seribu Ombak pada 2012.

Pemenang terbanyak masihlah dipegang oleh Adityawan Susanto dan Suparman Sidik. Masing-masing sudah empat kali menang Piala Citra. Adityawan Susanto melalui Eliana, Eliana pada 2004, Nagabonar Jadi 2 pada 2007, Alangkah Lucunya (Negeri Ini) pada 2010, dan Masih Bukan Cinta Biasa pada 2011. Sementara Suparman Sidik melalui Perkawinan pada 1973, Badai Pasti Berlalu pada 1978, Si Ronda Macan Betawi pada 1979, dan Kabut Sutra Ungu pada 1980.

Pengarah Sinematografi

Ipung Rachmat Syaiful sudah sembilan kali menjadi nomine Pengarah Sinematografi Terbaik, termasuk pada FFI tahun ini. Rekor yang sama turut dipegang oleh M Soleh Ruslani dan Yudi Datau. Ipung Rachmat Syaiful jugalah sinematografer dengan Piala Citra terbanyak. Ia empat kali menang Piala Citra melalui Mengejar Matahari pada 2004, Kala pada 2007, Pintu Terlarang pada 2009, dan Guru Bangsa Tjokroaminoto pada 2015. Jumlah Piala Citra yang sama turut dimenangkan oleh Lukman Hakim Nain, Sjamsuddin Jusuf, dan Yudi Datau.

Prestasi unik dipegang oleh George Kamarullah. Sebelum dikenal sebagai sinematografer, beliau berprofesi sebagai penyunting gambar. Menariknya setiap kali jadi nomine, baik sebagai Penyunting Gambar maupun Pengarah Sinematografi, George Kamarullah hampir selalu membawa pulang Piala Citra. Satu-satunya film beliau yang tidak menang hanyalah Selamat Tinggal Jeanette pada 1988, itu juga karena kalah oleh filmnya sendiri, Tjoet Nja Dhien.