Program Festival Film: Antara Penemuan dan Pertemuan

festival-film-lulu-ratna_hlghBagaimana program film menyuarakan misi dan visi festival film sangat bergantung pada posisi apa yang diinginkan festival film dalam dunia perfilman negara atau kawasannya. Pada tulisan ini, saya membahasnya melalui dua festival film terakhir yang saya ikuti. Pada Freedom Film Festival 2015, saya diundang hadir sebagai juri kategori shorts dan international features. Sebelumnya, di Festival Film Dokumenter Asia Tenggara ChopShots 2012 dan 2014, saya bekerja sebagai managing director serta menjadi salah satu juru programnya.

Freedom Film Festival 2015 “Unseen, Unheard, Untold” 

Itulah tema yang diusung Freedom Film Festival (FFF) di Petaling Jaya, Malaysia September lalu. FFF yang fokus pada film dokumenter, diantaranya memutar peraih Best Short Film, Living in the Drains (Marcel Simok, 2014) tentang imigran gelap Filipina yang sudah lebih dari 2 generasi tinggal di Malaysia. Serta peraih Best International Features, I Will Not be Silenced (Judy Rymer, 2014) yang mengikuti seorang perempuan Australia selama tujuh tahun proses pengadilan para pemerkosanya di Nairobi.

FFF juga mengundang Hanung Bramantyo untuk hadir di pemutaran film ? (versi director’s cut, 2015) dan memberikan master class mengenai bagaimana mengangkat tema sensitif ke dalam film populer. Di negara Malaysia, topik mengenai hubungan antar agama dan ras masih merupakan tema yang sangat sensitif untuk dibicarakan secara terbuka, apalagi diangkat menjadi sebuah film populer. Panitia FFF bahkan mengatakan adalah sebuah keberuntungan bahwa acara tanya-jawab usai pemutaran ? berlangsung hingga selesai, mengingat polisi Malaysia dapat sewaktu-waktu datang menghentikan acara.

Turut diputar lima film peraih FFF Film Grants dari empat pembuat film Malaysia dan satu pembuat film Singapura. Salah satunya Viral, Sial! (David Buri & Mayang Al-Mokhdar, Malaysia, 2015) mengenai fenomena bullying di media sosial terhadap seorang pembawa acara radio satir saat ia mempertanyakan kebijakan pemerintah wilayah Kelantan, yang memilih menjalankan undang-undang Syariah daripada mengurus korban banjir yang sudah berbulan-bulan terlantar. Menurut film peraih Most Outstanding Human Rights Film (FFF Film Grant Winners) ini, kecaman dan ancaman terhadap si pembawa acara terjadi semata karena ia seorang perempuan.

Melalui film peraih Best Southeast Asian Feature, 1987: Untracing The Conspiracy (Jason Soo, Singapura, 2015), FFF menegaskan posisi festivalnya di kawasan Asia Tenggara sebagai festival yang memberikan suara pada berbagai isu melalui perspektif yang berbeda dan telah terpinggirkan dari standar konvensional. Film yang juga merupakan peraih FFF Film Grant ini fokus kepada kejadian penangkapan para aktivis muda yang dituduh menjadi aktivis Marxis pada 1987. Jason Soo menceritakannya melalui serangkaian wawancara saat para mantan aktivis saling bertemu kembali dalam situasi yang santai. Usai FFF, kelima film peraih FFF Film Grant dipertunjukkan kembali oleh FFF bersama beberapa film lain di Singapura, selain tujuh kota lain di Malaysia.

Sejak proyek DocNet Southeast Asia (penyelenggara workshop, seminar, dan ChopShots) berakhir pada pertengahan 2014, program tatap muka untuk berjejaring, saling belajar antar pembuat film dan aktivis film dokumenter se-Asia Tenggara dilanjutkan oleh FFF dengan mengadakan SEA Video Activist Forum. Ambisinya ingin memperkokoh jaringan kerja yang sudah terbentuk di kawasan Asia Tenggara tanpa bantuan lembaga donor.

Dalam forum ini saya mengusulkan agar forum yang sama terus diadakan pada setiap festival film hak asasi manusia di kawasan ini. Usulan ini saya adaptasi dari jaringan kerja komunitas film di Indonesia pada kurun waktu 2000an, ketika festival film lokal di berbagai kota di Pulau Jawa sempat mengadakan Temu Komunitas Film dalam program festivalnya. Pertemuan langsung tetap merupakan jalan terbaik dalam membuka kemungkinan-kemungkinan kerja sama baru bagi aktivis film dari kawasan yang sama.

festival-film-lulu-ratna_02Pertemuan dan Penemuan dalam Festival Film

Bagi saya ada banyak pertemuan terjadi saat festival film berlangsung. Dalam waktu yang singkat (biasanya antara tiga sampai empat belas hari), terdapat pemutaran film-film dalam tema, genre, durasi tertentu serta berbagai acara non-pemutaran atau fringe events, seperti lokakarya dan Pitching Forum. Pada saat itulah terjadi pertemuan ide, gagasan dan pengetahuan. Sementara itu juga terjadi pertemuan langsung antar berbagai pihak dari dunia film yang difasilitasi oleh penyelenggara festival film melalui berbagai acara seperti makan malam bersama dan After Party.

Pertemuan-pertemuan yang terjadi dalam sebuah festival film, tidak hanya menyebabkan seorang pembuat film yang hadir dikenal karyanya oleh penonton festival, tapi juga terjadi interaksi langsung dengan juru program festival film lain. Pentingnya interaksi ini saya rasakan sendiri, pada suatu masa saat saya masih aktif membuat film pendek dokumenter (2003-2005) sekaligus menjalankan organisasi Boemboe yang baru berdiri.

Berbagai juru program festival film yang saya kenal lebih tergerak menyeleksi film saya karena mereka mengenal saya secara pribadi. Ketika itu film-film saya merupakan dokumenter pendek mengenai momen perjalanan saya ke berbagai negara yang rata-rata dalam rangka mempromosikan dan mendistribusikan film pendek Indonesia. Mereka sadar bahwa kesempatan ini akan saya manfaatkan dengan mengikutsertakan berbagai film pendek Indonesia terbaik yang saya distribusikan ketika mengirim film karya saya.

Gertjan Zuilhof dari International Rotterdam Film Festival mengakui, mengenal secara pribadi seorang pembuat film memudahkannya untuk lebih memahami konteks film yang dihasilkan dalam perjalanan kekaryaan si pembuat film. Konteks ini menjadi sangat penting saat pembuatan program festival film. Apalagi juru program festival bertugas memberikan konteks mengapa film tersebut penting untuk menjadi bagian dari program festival.

Seiring berjalannya waktu, keahlian pembuat film akan menjadi semakin matang, sehingga wajar jika juru program festival film akan mengutamakan film karya pembuat film yang sudah ia kenal. Menemukan film baru yang sangat menarik bagi juru program festival film bagaikan penemuan berlian di antara tumpukan bata. Mengikuti perjalanan kekaryaan seorang pembuat film dapat mempermudah proses penemuan tersebut.

festival-film-lulu-ratna_03

ChopShots: Asia Tenggara yang Utama

Selain berupaya menampilkan film dokumenter mutakhir dari dalam dan luar Asia Tenggara, ChopShots bertujuan menjadi ajang pertunjukkan pencapaian estetika pembuat film dokumenter Asia Tenggara. Pada saat yang sama ChopShots menampilkan film dari luar kawasan Asia Tenggara yang memiliki kedekatan tema dan isu agar dapat menjadi referensi bagi pembuat film di Asia Tenggara. Saat menjadi salah satu juru program ChopShots, saya menelusuri kembali jaringan kerja saya di negara-negara Asia Tenggara, terutama di Indonesia, untuk membantu kerja saya.

Salah satu kesulitan ChopShots terletak pada representasi negara-negara Asia Tenggara dalam program Best SEA Shorts, sesi kompetisi film dokumenter pendek yang khusus diikuti pembuat film Asia Tenggara. Walau festival film berlangsung dua tahun sekali, bukan perkara mudah menemukan ‘berlian’ dari kawasan ini. Selain standar teknis dan non teknis, kami mencari film yang menampilkan tema dan isu yang penting untuk dibicarakan bagi kawasan Asia Tenggara. Maka dukungan mitra kerja DocNet SEA di enam negara Asia Tenggara sangat membantu proses ini. Selain mempromosikan ChopShots, mereka mendaftarkan film-film pilihan karena mereka dapat mengidentifikasi film terbaru maupun mengenal pembuat film yang aktif berkarya di negaranya.

Pada penyelenggaraan pertama pada 2012, ChopShots kesulitan menemukan film dokumenter pendek Indonesia. Film Bukit Bernyawa karya Steve Pillar, saya dapatkan di luar jalur pendaftaran festival. Steve sendiri sudah saya kenal sejak awal karirnya sebagai editor lewat film Mass Grave (Lexy JR, 2003), namun kami jarang bertemu sejak ia pindah dari Jakarta ke Solo. Pada pertemuan tak disengaja di Goethe-Institut, Pillar memberikan preview copy film ini kepada saya. Tidak hanya mendapatkan satu lagi representasi film dokumenter Indonesia, film ini berhasil meraih Best SEA Shorts ChopShots 2012. Bukit Bernyawa merupakan film puitik mengenai kondisi di kawasan Gunung Merapi sebelum dan sesudah meletus.

Asia Tenggara sebagai wilayah yang rawan bencana, baik akibat alam maupun keserakahan manusia, selalu menyimpan cerita bagaimana manusia hidup berdampingan dengan lingkungan alamnya. Film Myanmar Nargis – When Time Stop Breathing (The Maw Naing, Pe Maung Same, 2008-2012) yang menyoroti kondisi akibat dari badai Nargis yang berlangsung berjam-jam pada 2008 ini terpilih sebagai Film Pembuka ChopShots 2012. Dibuat secara diam-diam (pada masa itu pemerintah melarang pembuatan film) hanya tujuh hari setelah badai berlangsung di desa-desa yang hancur, Nargis merupakan film dokumenter panjang pertama yang dibuat oleh pembuat film Myanmar. Pencapaian bersejarah seperti inilah yang ingin diangkat ChopShots.

Program film ChopShots selalu mengangkat tema lingkungan, keluarga, isu sosial-politik, ‘dosa’ masa lalu yang kembali menghantui masa kini, serta isu gender, karena hal-hal ini masih relevan bagi kawasan Asia Tenggara. Pada ChopShots 2014, isu-isu ini tampil melalui film panjang By the River (Nontawat Numbenchapol, Thailand, 2013), War Is a Tender Thing (Adjani Arumpac, Filipina, 2014), dan Madam Phung’s Last Journey (Nguyen Thi Tham, Vietnam, 2014) yang bersaing di sesi International Competition. Film terbaik sesi ini dimenangkan oleh Wukan: The Flame of Democracy yang mengangkat kisah perlawanan penduduk sebuah desa terhadap pemerintahan korup di Tiongkok, disutradarai oleh Lynn Lee dan James Leong asal Singapura.

festival-film-lulu-ratna_04

Juru Program ChopShots: Sebuah Kerja Tim

Hal yang saya pelajari dari ChopShots sebagai salah satu juru program festival adalah penyusunan program festival berdasarkan call for entries serta bekerja sama dalam sebuah tim juru program. Dengan adanya begitu banyak film mendaftar, penting untuk selalu membuat catatan tentang film yang telah ditonton. Catatan ini yang selalu dibagi kepada panel tim juru program ChopShots. Mengingat juru program ChopShots tinggal di negara yang berbeda-beda di Asia Tenggara, maka salah satu juru program bertugas membuat kompilasi catatan-catatan ini menjadi menjadi sebuah daftar film pilihan yang lebih mengerucut.

Daftar dan catatan film pilihan dari para juru program ChopShots ini kemudian dibicarakan (baca: diperdebatkan) kembali bersama-sama untuk pertimbangan program seperti apa yang menjadi gambaran umum isu film-film yang mendaftar. Gambaran ini akan membantu tim juru program mengambil keputusan mengenai kemungkinan film yang lolos seleksi serta program yang membingkainya. Begitu seterusnya proses berlangsung hingga program festival akhirnya menjadi final. Banyak yang terjadi dalam proses yang berlangsung cukup lama ini. Misalnya film terseleksi yang memilih mengundurkan diri karena masuk sesi Out of Competition, hingga belum selesainya editing online karya terseleksi. Maka catatan daftar film pilihan menjadi penting untuk penggantian film lolos seleksi, jika dibutuhkan.

Dalam proses membuat program festival final, banyak hal yang menjadi pertimbangan. Mengingat film dokumenter harus berhasil secara mendalam, utuh dan tuntas membicarakan subyek utamanya, maka bagaimana pembuat film menceritakannya menjadi penting. Wawasan dan pengetahuan juru program yang luas dibutuhkan untuk dapat menangkap hal ini, terutama terkait dengan tren yang sedang terjadi di dunia film dokumenter. Inilah mengapa dalam festival film membutuhkan sebuah tim juru program dengan berbagai latar belakang dan minat agar dapat saling melengkapi satu sama lain.

Apalagi dengan adanya program khusus yang ingin ditampilkan, seperti program Music Docs Rock! pada ChopShots 2012 dan program Docs Animated pada ChopShots 2014. Musik memegang peranan yang cukup penting bagi masyarakat Asia Tenggara sehingga menjadi tema yang representatif untuk dihadirkan. Sebaliknya dokumenter animasi, yang dikompetisikan pada Dok Leipzig 2013 untuk pertama kalinya, masih merupakan sesuatu yang baru dan ingin diperkenalkan ChopShots di wilayah Asia Tenggara.

Untuk mempersiapkan program khusus, jaringan kerja juru program festival dibutuhkan untuk menemukan film yang sesuai. Tidak hanya mencari film dokumenter terbaru, namun juga film dokumenter dengan standar tinggi agar dapat menjadi referensi terbaik. Pada ChopShots 2012 diputar 5 Broken Cameras (Emad Burnat, Guy Davidi, 2011) yang masuk nominasi Oscar 2013. Pada ChopShots 2014 ada film pemenang kategori Dokumenter Animasi Dok Leipzig 2013, Casa (Daniela De Felice, Prancis, 2013). Saya beruntung karena berhasil mendapatkan preview copy film Casa langsung dari Daniela sesaat setelah pemutaran filmnya di Dok Leipzig, sebelum film ini akhirnya diumumkan sebagai pemenang.

Terlepas dari pembagian tugas dan tanggung jawab antar juru program ChopShots, semua keputusan diambil bersama. Misalnya di luar film-film kompetisi dan program khusus, selalu ada film sesi Out of Competition yang ingin ditampilkan masing-masing juru program. Pada ChopShots 2012, film-film itu dibingkai dalam program The Filmmaker’s Journey, diantaranya film Children of Srikandi (various directors, Indonesia, 2012), Iran in Transit (Ghazaleh Gobalkhsh, New Zealand, 2012), dan HHH: A Portrait of Hou Hsiao-hsien (Oliver Assayas, Prancis, 1986). Perjalanan antara dunia Barat dan Timur, perjalanan pembuat film menemukan jati dirinya, hingga perjalanan sebuah negara hingga terlibat krisis ekonomi akut, menjadi kurasi saya dalam membingkai film-film dalam program ini.

Anggapan umum bahwa tugas juru program festival lebih mudah dari pada tugas organiser festival karena kerjanya hanya ‘nonton film melulu’ tidak benar. Juru program festival harus menyiapkan energi dan waktu yang besar agar dapat fokus melakukan seleksi serta kurasi, selain aktif mencari film, demi menghasilkan program festival terbaik. Kerja sama tim juga mutlak diperlukan, baik antar sesama anggota tim juru program, maupun dengan organiser festival. Bahkan sebagian besar kerja juru program festival sebenarnya memerlukan keahlian organisasi yang baik. Proses kerja kurasi program festival membutuhkan komunikasi yang intensif, manajemen arsip yang baik dan disiplin waktu pada jadwal kerja yang telah disepakati bersama.

festival-film-lulu-ratna_05

Programasi Festival Film: Sebuah Proses Tiada Henti

Menonton film dalam sebuah festival film bagi saya selalu berarti dua hal. Pertama, seberapa yakin saya terhadap film tersebut. Keyakinan ini menjadi penting karena dapat memberikan energi kepada saya dalam memperjuangkan film tersebut untuk kembali diputar di arena yang berbeda. Kedua, festival film apa di Indonesia yang sekiranya cocok bagi film ini. Padahal sejak ChopShots 2014, saya tidak bekerja sebagai juru program festival film mana pun. Langkah berikutnya, saya melakukan kontak langsung kepada pembuat dan atau pemilik film, menanyakan (baca: membuka) kemungkinan ini.

Menurut saya itulah tugas mendasar seorang juru program festival film. Tidak hanya mencari film yang cocok bagi festivalnya, namun selalu dalam ‘in the moment’ membangun jaringan kerja yang memungkinkan seorang juru program festival mempunyai ‘rumah’-nya sendiri, mirip dengan laba-laba membangun jaring rumahnya. Nah untuk membangun ‘rumah jaringan’ inilah butuh waktu yang lama, seperti halnya waktu yang dibutuhkan festival film mencari posisinya dalam dunia perfilman.

Memang tidak banyak festival film di Indonesia yang berusia lebih dari lima tahun, usia minimal festival film untuk mulai diperhitungkan, menemukan karakter dan menjadi sebuah poros ‘rumah jaringan’ bagi sang juru program festival. Namun bukan berarti semua pembuat film kompeten di Indonesia mengenal semua festival film yang ada. ‘Mengenal’ di sini berarti si pembuat film pernah terlibat, baik sebagai penonton maupun sebagai pembuat film yang mengirimkan karyanya ke festival tersebut.

Ada berapa banyak pembuat film kompeten lahir setiap tahunnya? Walaupun hanya ada satu orang pembuat film kompeten yang lahir setiap tahun, adalah tugas juru program festival untuk menemukannya. Mengingat belum ajegnya sistem pengorganisasian festival film di Indonesia, selalu ada kemungkinan pembuat film (baru) tidak mengetahui festival film mana yang cocok bagi karyanya.

Selain promosi festival yang baik, teknik jemput bola menjadi sangat penting bagi juru program festival untuk terus mengukuhkan (baca: menjaga) posisi festival filmnya dalam dunia perfilman. Misalnya dengan hadir dan menonton di festival film lain, serta memantau perkembangan pembuat film yang dikenalnya: film baru yang sedang dikerjakan, datang menonton di pemutaran perdana atau bahkan mendapatkan preview copy film, dan seterusnya. Artinya kerja festival film, termasuk juru programnya, sebenarnya adalah sebuah proses kerja tiada henti. Jika proses ini tidak dilakukan dengan maksimal dan sepenuh hati, maka hasilnya akan terlihat pada festival filmnya.

festival-film-lulu-ratna_06

Pendanaan Film: Siasat Festival Film atau Pembuat Film?

Persaingan antara begitu banyak festival film telah membuat penyelenggara festival film bersiasat memastikan program film maupun jaringan pembuat film bagi masa depan festivalnya. Berlinale mulai mengadakan Talent Campus sebagai upaya menjaring bakat-bakat baru di bidang film. Pembuat film peserta Talent Campus ini tidak hanya diundang mengikuti lokakarya bersama pembuat film terkenal dan menonton film Berlinale, namun mereka juga mendapat kesempatan untuk mengajukan proposal filmnya. Proposal terpilih mendapatkan pendanaan film dan tentu berkesempatan untuk melakukan pemutaran perdana film tersebut di Berlinale.

Di Indonesia pendanaan film oleh festival film masih belum terlalu berkembang. Festival Film Solo 2014 berupaya melakukannya dengan mengadakan pitching forum, namun pada 2015 festival ini terhenti. XXI Short Film Festival 2015 memutar film hasil pendanaan yang diberikan melalui pitching forum di festival itu tahun sebelumnya. Sementara film Die Before Blossom (Ariani Djalal, 2014) yang awalnya didanai oleh Goethe-Institut Indonesia, berhasil mendapat pendanaan dari International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2013.

Sementara pendanaan film ini sudah jamak dilakukan banyak festival film di Filipina. Quezon City International Film Festival (QCIFF) salah satunya, memastikan film hasil pendanaan QCIFF diputar perdana di festivalnya. Nick & Chay karya Wena Sancez secara mengejutkan menang sebagai Film Terbaik di QCIFF 2014, padahal film panjang ini adalah film dokumenter di sesi kompetisi utama bersama film fiksi. Alhasil, mulai tahun ini, QCIFF membuka kompetisi dokumenter terbaik.

Jika pendanaan film diperlakukan sebagai siasat pembuat film untuk dapat memproduksi karyanya sejujur mungkin, tentu ini jauh lebih menyenangkan dari pada sekedar ingin filmnya diputar di festival film pemberi dana tersebut. Sebenarnya baik pembuat film maupun festival film sama-sama diuntungkan dengan adanya program pendanaan film ini. Selain mendapatkan dana untuk mewujudkan karyanya, pembuat film membangun reputasi bagi karirnya. Sementara festival film mendapatkan film yang terjamin eksklusif bagi festivalnya, selain ‘menanamkan modal’ dalam perjalanan kekaryaan si pembuat film

Sebaliknya ajang pendanaan film ini menjadi tidak menguntungkan jika ada satu pihak yang dirugikan. Misalnya jika film tidak selesai tepat waktu (atau tidak selesai sama sekali) sehingga tidak berhasil diputar di festival film pemberi dana. Atau film selesai diproduksi namun festival film pemberi dana tidak dilanjutkan lagi. Dibutuhkan niat dan usaha yang kuat bagi kedua belah pihak agar kerja sama ini sampai di garis finis.

festival-film-lulu-ratna_07

Tawaran Festival Film Internasional kepada Pembuat Film Lokal

Ketika memulai Boemboe pada 2003, saya melihat ketiadaan film Indonesia, terutama dalam sesi kompetisi pada program film pendek di festival film internasional. Padahal film pendek Indonesia termasuk yang dicari-cari untuk ditampilkan karena masih jarang beredar di festival film internasional. Maka Boemboe berkomitmen mengirimkan film pendek Indonesia ke berbagai festival film internasional. Program ini berjalan hanya sampai 2008, karena sudah semakin banyak pembuat film Indonesia yang berinisiatif mengirimkan sendiri karyanya ke berbagai festival film internasional.

Ketika pembuat film mendaftarkan film ke festival, khususnya festival film internasional yang memiliki sesi film market, terbuka peluang film tersebut dilirik oleh juru program festival film lain atau bahkan film buyer dari distributor film atau stasiun TV. Mereka biasanya hadir di festival film dengan waktu terbatas, karenanya organiser festival memberikan ID badge khusus sehingga mereka bisa mendapatkan akses ke database film terdaftar tahun itu dilengkapi fasilitas booth khusus untuk menontonnya. Jadi ketika sebuah film tidak lolos seleksi, masih ada kesempatan bagi film tersebut terdistribusi lebih jauh lagi di tingkat internasional.

Menurut pengamatan saya, biasanya film yang lolos festival film internasional mempunyai nilai kemanusiaan yang tinggi. Bagaimana nilai ini dibungkus dengan muatan sosial-budaya khas dari negara asal pembuat film, ini yang membuat film tersebut menarik untuk ditonton. Misalnya, hubungan antara ayah dengan anak laki-lakinya adalah kisah yang universal. Bagaimana hubungan ini dalam keluarga Amerika akan berbeda dengan keluarga Indonesia.

Namun apa sebenarnya pengaruh festival film internasional kepada pembuat film lokal? Pembuat film lokal dapat mengukur kemampuan dalam berkarya dengan menonton film-film lain yang diputar pada sesi yang sama dengan film karyanya. Pengetahuan mengenai film-film seperti apa yang menang di festival film tingkat internasional juga dapat memberi referensi bagi pembuat film lokal. Terutama jika si pembuat film berambisi membuat film karyanya beredar di festival film internasional.

Pengaruh negatif yang saya temukan kemudian adalah kecenderungan film-film yang menang di festival film internasional menjadi sebentuk pola tertentu yang dikejar oleh pembuat film lokal. Mereka yakin bahwa membuat film dengan bentuk serta ‘bahasa visual’ yang sama dapat menjamin karyanya lolos atau bahkan menang di festival film internasional. Padahal selain merupakan sebuah ajang pencapaian prestasi, festival film adalah ajang penemuan ‘sesuatu yang baru’ atau ’segar’ (mengingat tidak ada lagi hal yang baru di dunia ini). Sesuatu yang hanya dapat diraih jika pembuat film terus melakukan proses pencarian terhadap kebaruan tersebut.

Bagi saya, film yang bagus adalah ketika film itu menjadi bentuk ekspresi jujur dan liar pembuat film yang merdeka dari segala beban. Bukan film yang dibuat dengan tujuan menang di festival film (manapun). Setidaknya, itulah yang selalu saya cari saat menjadi juru program festival film.