Esensi alat kelamin tidak selalu terbatas pada fungsinya, baik sebagai organ reproduksi maupun ekskresi. Makna alat kelamin, sebagai materi atau benda, turut dipengaruhi oleh kehadiran hal-hal di sekitarnya. Kurang lebih ada relasi yang terdiri dari: si pemilik, hal-hal di sekitarnya—baik yang abstrak seperti nilai-nilai, maupun yang tampak seperti kehadiran orang atau objek lain—dan alat kelamin itu sendiri.
Berbagai contoh bisa dibuat dengan mengotak-atik ketiga elemen tersebut. Misal, alat kelamin milik seorang penjahat berbeda dengan alat kelamin milik orang baik-baik. Alat kelamin milik anak kecil di hadapan orangtuanya, berbeda dengan alat kelamin milik anak kecil di hadapan orang tak dikenal. Alat kelamin di depan jamban, berbeda dengan alat kelamin di dekat dildo, berbeda juga dengan alat kelamin di angkot.
Singkat kata, pemaknaan alat kelamin amatlah kontekstual. Oleh karenanya, wajar bila kemudian alat kelamin memantik banyak wacana. Entah itu terkait identitas diri, gender, seksualitas, moralitas, ataupun pembicaraan tentang sumber nafkah. Kemungkinan-kemungkinan tentang kelamin itulah yang Wregas Bhanuteja telusuri dalam Prenjak, film pendek teranyarnya.
Prenjak bercerita tentang Diah, seorang pekerja restoran yang sedang butuh uang secepat mungkin. Saat jam istirahat, ia mengajak Jarwo, rekan kerjanya, ke sebuah ruangan. Tanpa menjelaskan apapun, Diah segera menata ruangan tersebut dengan komposisi sebuah meja bertaplakan kain putih lusuh, di antara dua kursi yang berhadapan. Di tempat itulah, ia menyingkapkan alat kelaminnya kepada Jarwo. Sebaliknya, Jarwo menunjukkan alat kelaminnya kepada Diah.
Pertunjukan
Keharusan Diah mengatur sendiri meja dan tempat duduk dalam Prenjak merupakan sebuah detail yang menarik. Melalui pengungkapan tersebut, penonton menyaksikan sebuah latar peristiwa yang tak terberi, melainkan sebuah latar yang diprakarsai oleh protagonisnya sendiri—tak ubahnya sebuah panggung pertunjukan. Kursi dan meja itu pun hadir dengan cara yang relatif masuk akal, setidaknya jauh lebih masuk akal ketimbang kursi dan meja itu ada dari sananya.
Komposisi detil-detil visual Prenjak juga jadi terangkai rapi. Dua kursi yang saling berhadapan dengan meja di tengahnya, panci-panci di atas, dan segala perkakas dapur yang sudah usang, mengelilingi dua pekerja restoran dengan pakaian apa adanya. Pencahayaan minim, dan warna-warna yang nampak di layar tidak ada yang meriah apalagi mencolok. Teranglah bahwa tempat tersebut bukan restoran besar, bukan pula ladang penghasilan yang menjanjikan. Tersiratlah kondisi ekonomi keduanya.
Latar memang apik. Meski begitu, visual paling berpengaruh terhadap penceritaan dalam Prenjak sejatinya adalah penampakan alat kelamin para tokoh dalam film. Vagina dan penis—yang begitu ditakuti oleh lembaga sensor negeri ini—ditampilkan tanpa tedeng aling-aling. Gamblang, terpampang jelas di tengah layar. Semakin apik ketika alat kelamin tersebut dilihat dengan nyala korek api dalam gelap.
Mengingat konteks ceritanya, penampakan alat kelamin dalam Prenjak tentunya tidak diniatkan untuk merangsang birahi penonton. Tak ada suasana eksotis setitikpun, dalam wujud scoring maupun pengadeganan.
Yang ada hanyalah alat kelamin sebagai bagian dari penentu cerita—paling kentara pada rangkaian adegan terakhir, ketika Diah tengah memandikan anaknya dan melihat penis untuk kedua kalinya pada hari itu. Seperti ketika dengan Jarwo, pertanyaan ihwal keberadaan suami Diah kembali muncul. Arah pertanyaannya jelas berbeda. Satu menanyakan ayah, satunya lagi menanyakan suami dari orang yang tengah ia lihat vaginanya.
Kemaluan
Awalnya, alat kelamin mungkin sebatas sumber penghasilan sampingan Diah. Akan tetapi, Wregas secara jeli membuka ruang bahasan lebih jauh lewat pengembangan cerita dan karakter tokoh-tokohnya. Dari sana, setidaknya tiga hal yang patut diperhatikan: kehadiran uang, percakapan, serta gelagat setiap tokoh saat memandang dan dipandang.
Terkait uang, Diah memang membuat aturan main sendiri. Tapi aturan main itu sama sekali tidak membuatnya memegang kuasa apalagi kontrol. Nyatanya, Jarwo berhak menentukan intensitas praktik tersebut dengan uangnya. Berapa kali pun ia mau melihat kelamin Diah, selama ada uangnya, ia bisa. Batasannya hanyalah durasi jam istirahat.
Beda halnya ketika Diah melihat kelamin Jarwo. Dengan melihat penisnya Jarwo, Diah justru mendapatkan uang. Durasi melihat penis Jarwo juga bukan menurut kehendak Diah ataupun nyala korek. Kontrol ada di tangan Jarwo, si pemilik uang sekaligus penis. Dari relasi demikian, perempuan seakan terlihat bisa menaklukan laki-laki dengan alat kelaminnya. Tapi, pada saat bersamaan, terkesan juga bahwa laki-laki bisa menaklukkan perempuan dengan uangnya.
Wacana patriarkis lantas muncul ke permukaan. Untungnya, Wregas mampu mengolah perkara tersebut secara cerdik, dengan mementahkan nasihat Jarwo kepada Diah tentang perlunya memiliki suami. Ceramah Jarwo kurang lebih mengatakan bahwa memiliki suami bisa memenuhi kebutuhan finansial. Nyatanya, Diah mengalami kesulitan finansial justru karena mempunyai suami yang tak bertanggung jawab.
Prenjak kemudian terkesan tampil berpihak pada perempuan. Walaupun begitu, masih ada celah yang membuat film ini luput menajamkan wacana keberdayaan perempuan. Salah satunya ketika Diah melihat penis Jarwo. Saat itu, Diah sebetulnya bisa untuk tidak melihat penisnya Jarwo—karena semua terjadi di balik meja. Terlihat bagaimana awalnya Diah memilih untuk memejamkan matanya—dan itu pengembangan cerita yang menarik. Nyatanya, Diah memiliki kehendak untuk menolak aturan main yang membelenggunya. Sayangnya, itu tidak terjadi sampai habis. Diah membuka matanya pada detik-detik terakhir.
Tak jelas kenapa Diah membuka matanya. Satu-satunya sebab (dalam film) yang mungkin memicu hal tersebut adalah hitungan detik yang diucapkan oleh Jarwo keras-keras. Dugaan naifnya: Diah jadi terpancing untuk membuka matanya. Tapi bila itu alasannya, apakah lantas “membuka mata” adalah keinginan Diah? Bisa saja, tapi itu terasa dilematis. Sebab, Diah terlebih dahulu menutup matanya, yang artinya: Diah terlebih dulu enggan.
Menekankan keengganan Diah sebetulnya lebih berharga daripada menekankan rasa penasarannya. Tapi Prenjak melewatkan kesempatan itu. Konsekuensinya, Prenjak bisa saja dikaitkan dengan cara pandang para misoginis—bahwasanya saat perempuan dilecehkan, perempuan menikmati pelecehan yang terjadi padanya. Di sisi lain, mungkin tidak tepat juga menuding Prenjak misoginis. Sebab, pada dasarnya, “Diah terbawa suasana lalu membuka matanya” pun adalah satu dari sekian banyak kemungkinkan yang ada.
Prenjak memang memihak pada Diah, akan tetapi cara film memihak Diah terlalu menguntungkan Jarwo. Satu yang pasti: penonton bisa melihat perjuangan seorang ibu menghidupi anaknya. Dan terkait cara perjuangan ibu tersebut, ada wacana-wacana lain, yang menarik untuk disimak. Entah itu terkait wacana keberdayaannya, etika, norma, maupun praktik riilnya yang sempat terjadi di Yogyakarta.
Prenjak, dari segi teknis, merupakan sebuah pencapaian visual yang luar biasa bagi Wregas dan kawan-kawan. Ceritanya tertuturkan lewat gambar secara ringkas, dan tepat guna dalam mendukung logika cerita. Dari ketangkasannya itu, Prenjak mampu mengajak kita mengalami kelamin secara terbuka, tanpa prasangka, tapi juga tetap mendalam. Kita bisa melihat perjuangan ibu, sekaligus juga mempertanyakan tanggung jawab laki-laki terhadap penis dan anak yang (mungkin) dihasilkan. Penjelajahan akan makna kelamin dalam Prenjak terhitung langka dalam film-film Indonesia, yang umumnya masih mengeksploitasi—ataupun takut setengah mati untuk menampilkan—penis dan vagina.
Prenjak (In the Year of Monkey) | 2016 | Durasi: 13 menit | Sutradara: Wregas Bhanuteja | Penulis: Wregas Bhanuteja | Produksi: Studio Batu | Negara: Indonesia | Pemeran: Rosa Winnegar, Yohanes Budyambara, Hosea Hatmaji, Banyu Bening