Nasionalisme Layar Lebar Kita

nasionalisme-layar-lebar-kita_hlgh

19 Juli 2013, salah satu editor kami, Windu Jusuf, berkunjung ke kantor filmindonesia.or.id. Dalam kunjungan singkat itu, terjadi perbincangan lepas nan menarik seputar maraknya film-film bertema nasionalisme belakangan ini, yang dimulai dari Hasduk Berpola (Februari 2013), setelah beberapa tahun bioskop-bioskop Indonesia digempur oleh ‘film-film Islami’. Apa yang sebetulnya diproblematisir dalam film-film ini? Bagaimana pergeseran tren tersebut merefleksikan apa yang terjadi dalam masyarakat? Obrolan ini melibatkan Windu Jusuf (Cinema Poetica), JB Kristanto (kritikus film senior, Kompas), Adrian Jonathan Pasaribu (Cinema Poetica, wartawan filmindonesia.or.id), Makbul Mubarak (Cinema Poetica), dan Khelmy K Pribadi (Maarif Institute, produser film Mata Tertutup). Berikut petikannya:

Windu Jusuf (WJ): Oke, gue berangkat dari klaim lo sebagai penulis kritik. Lo belakang sempet nulis tentang pergeseran tren sinema Indonesia, dari tema Islam ke nasionalisme dalam film Hasduk Berpola (2013) dan film-film sejenis. Yang sering kita obrolin nih: booming film-film bertema Islam, pasca-Orde Baru, dimulai sejak film Ayat-Ayat Cinta (2008), dan cenderung stabil setelanya. Belakangan muncul, katakanlah, film-film nasionalis. Nah, gue mau tanya dasar dari klaim itu apa?

Adrian Jonathan Pasaribu (AJP): Wah gue malah baru inget tuh. Tapi perlu dicatat juga nih: gue nggak ngomong ‘pergeseran’ secara persis, lho. Merujuk pada ‘film Islami’, kita bisa mulai dari Ayat-Ayat Cinta (2008), sampai Cinta Suci Zahrana (2012), yang rilis menjelang Lebaran tahun lalu. Polanya nggak beranjak jauh dari Ayat-Ayat Cinta.

Eric [Sasono] sempet nulis begini: setelah Ayat-Ayat Cinta, pesan dari film-film Islami di Indonesia intinya adalah: ‘Kalau lo taat beragama, reward yang lo dapat adalah jodoh atau kekayaan.’ Kecenderungan kayak gini masih kelihatan jelas di Cinta Suci Zahrana.

Nah, klaim gue tentang ‘pergeseran’ itu berasal dari pengamatan atas film Hasduk Berpola. Gue bilang gini waktu itu: film-film anak-anak di Indonesia selalu membawa pesan nasionalisme, setidaknya dua-tiga tahun terakhir. Kecenderungan itu sudah kelihatan waktu saya menonton Brandal-brandal Ciliwung.

Makbul Mubarak (MM): Beranak dalam Ciliwung?

AJP: Bukan Bul. Brandal-brandal Ciliwung. [tertawa] Ini film ‘nasionalis’ yang paling vulgar. Ada anak-anak, semuanya beda ras, etnis, dan digambarkan dengan stereotip masing-masing, bahkan sampai di tingkatan kostum. Misalnya cewek Cina pasti pakai baju Cheongsam. Konfliknya sekitar perbedaan yang selesai ketika mereka menyingkirkan perbedaan-perbedaan identitas tersebut. Ini bisa ditarik ke isu kebangsaan. Standar lah.

MM: Nggak ada isu agama di situ?

AJP: Nggak ada cuy. Tapi pola-pola seperti ini yang berulang dalam film anak-anak lainnya. Filmnya Harry Dagoe, Jenderal Kancil The Movie (2012), juga kayak gitu kalau tidak salah ingat. Film itu tentang konflik-konflik biasa yang dialami anak-anak sekolahan, entah kenapa tiba-tiba muncul bendera merah putih, muncul adegan-adegan ‘persatuan sebagai kelompok’. Brandal-Brandal Ciliwung ini yang lebih vulgar. Kemudian muncul Hasduk Berpola yang sudah vulgar, tidak berasalan pula. Masalah yang mau diangkat adalah kemiskinan, tapi tiba-tiba di akhir film muncul bendera. Terus masalah pokoknya gimana dong? Padahal isu kemiskinan itu muncul di awal sebagai premis cerita. Poin gue sebenernya dari sana—tapi gue sendiri harus baca lagi sih bagaimana pergeseran itu benar-benar terjadi.

MM: Tapi dalam tulisan lo, agama nggak muncul sebagai isu? Cuma nasionalisme dan anak-anak?

AJP: Ya, anak-anak.

MM: Soal agama dalam film, gue inget satu film tuh. Tapi di tahun 1980-an sih. Filmnya Sisworo Gautama, judulnya Ratu Sakti Calon Arang (1985). Yang diangkat bukan Islam, tapi Hindu. Setting-nya di Bali abad ke-11. Filmnya dibuka dengan praktik ilmu hitam dan baru selesai ketika ahli agama didatangkan. Ahli agama ini diakomodir kerajaan. Metafor negara banget kan? Di situ agama, negara, dan pertentangan sosial kelihatan jelas banget. Tapi gue ngomong ini dengan meniadakan variabel Orde Baru yang mengontrol produksi film, ya. Dengan masuknya Orde Baru, pastinya ada pertimbangan lain.

AJP: Pola-pola itu muncul di tahun 1980an dan polanya terus diulang hingga tahun 1990an.

MM: Tapi waktu itu, ceritanya masih dibungkus genre, jadi ada konvensi yang gampang dikenali.

AJP: Memang selalu begitu.

MM: Oke, balik ke Ratu Sakti Calon Arang. Karakter protagonis dan antagonisnya sama-sama mempraktikkan agama. Si Rangda ini orang Hindu, demikian juga tokoh yang datang menyelesaikan masalah. Bedanya, si penyelesai masalah adalah orang Hindu yang diakomodasi negara. Ini juga terulang dalam film-film sekarang yang mengawinkan nasionalisme dan agama. Kalau ini poinnya, gue belum melihat ada pergeseran.

WJ: Kalau saya sendiri membatasi pertanyaan tentang pergeseran itu dalam lanskap pasca-1998. Perlu diingat, sebelum ramai-ramai tema nasionalisme sekarang ini, sebetulnya di tahun 2008 sudah muncul film-film seperti King (2009), Garuda di Dadaku (2009), dan seterusnya. Sempat jadi tren dan nyaris berbarengan dengan film-film Islam, tapi waktunya singkat. Penggambarannya tipikal: anak-anak, nasionalisme, dan olahraga.

AJP: Bergeser mungkin nggak. Tapi yang selalu menjadi pertanyaan buat gue adalah: mengapa artikulasi kita, ketika bercerita tentang satu kelompok, selalu dikaitkan dengan nasionalisme? Bisa jadi memang artikulasi sinema kita nggak kaya.

MM: Sebentar-sebentar…jangan-jangan seperti yang pernah kita obrolin dulu-dulu, bahwa orang menganggap nasionalisme sendiri tidak bisa menyelesaikan masalah. Dia harus diasosiasikan dengan hal-hal lain.

WJ: Nah, begini, gue ambil ambil contoh di film-film sekarang. Perkawinan nasionalisme dan agama di film sepertinya punya latar belakang dan tujuan yang berbeda untuk sekarang ini. Coba deh lihat film-film drama sejarah seperti Soegija (2012) atau Sang Kiai (2013). Yang satu Katolik, yang satu lagi Islam. Dua-duanya pro-Republik, dua-duanya ditampilkan tidak sektarian. Kebutuhannya jelas: menampilkan sikap keagamaan yang ‘toleran’ dan ‘Indonesia’, sebagai lawan dari ideologi agama yang sektarian. Plus, dalam film Soegija, kontribusi besar minoritas Kristen dalam revolusi fisik juga ditunjukkan.

Buat gue ini juga nggak baru. Di tahun 1970-80an, ada banyak film-film ‘perjuangan bangsa’ yang melibatkan penggambaran kelompok Islam, mulai dari pasukan Diponegoro di November 1828 (1978) sampai prajurit-prajurit Muslim di Mereka Kembali (1972). Film Diponegoro itu pesannya jelas: Muslim berperang melawan Belanda untuk kemerdekaan Indonesia, yang bahkan waktu itu belum ada secara konseptual. Di Mereka Kembali lebih unik lagi. Di sini dikisahkan pasukan Siliwangi yang Muslim menumpas DI/TII. Sehingga, mengulangi poin di awal, Muslim yang baik sama adalah yang pro-pemerintah, sedangkan sisanya yang dukung Kartosoewiryo itu sama dengan pengkhianat.

Kalau kita kembali merujuk tesisnya Eric: Islam, dalam sinema Indonesia era Orde Baru, nggak boleh tampil sebagai kekuatan politik yang berdiri sendiri. Islam harus didudukkan di bawah negara.

MM: Nah, yang bikin gue penasaran selama ini, setelah Orde Baru Islam didudukkan di mana? Yang gue lihat dalam film-film seperti Ayat-Ayat Cinta, yang muncul adalah semangat individualisme. Nggak ada urusannya dengan nasionalisme.

WJ: Itu juga pertanyaan gue. Setelah negara [Orde Baru] apa? Setelah Orde Baru, yang gue lihat malah drama-drama biasa yang dikasih bumbu Islam, dan mungkin juga dibuat untuk merespon keresahan kelas menengah Muslim di Indonesia, misalnya dalam hal poligami, kesalehan di muka publik, dan banyak lagi.

Kalau dibandingin dengan film-film di atas, guemalah lihat beberapa film Hanung agak berbeda. Perempuan Berkalung Sorban (2009) atau Tanda Tanya (2011), misalnya, angkat isu kekerasan, ketimpangan gender yang ditopang tafsiran agama. Tapi ini terlepas dari beberapa problem representasi sosial Hanung yang nggak akurat ya.

MM: Jangan-jangan justru itu pun keresahan sebagian kelas menengah kita? Apa yang orang bilang ‘Kelas menengah progresif’ di daerah urban, misalnya. Kalau Oom Kris [JB Kristanto] sendiri melihat perubahan ini bagaimana?

JB Kristanto (JBK): Saya ingat film zaman dulu. Judulnya Para Perintis Kemerdekaan (1977). Menurut saya itu film yang paling gambalng bicara tentang nasionalisme dan Islam. Tapi saya mau ngomong tentang Soegija, karena saya terlibat dalam proses produksinya sejak awal.

Buat saya, Soegija itu dibuat bukan karena nasionalismenya. Film ini sekadar mau mengingatkan bahwa Soegijapranata penting perannya dalam perubahan gereja, pribumisasi Katolik sehingga bisa berbaur dengan Jawa, dengan Islam, dan lain-lain. Tahun 1942, dia diangkat jadi Uskup. Dalam kaitannya dengan ‘film Islami’, ada juga film yang senada dengan Soegija, misalnya Sunan Kalijaga.

Nasionalisme muncul karena kebetulan saja, karena periode di mana Soegija hidup saja. Praktis saja, tidak intentional. Tapi karena periode tersebut yang diangkat, dan arena peran dia juga, isu nasionalisme kemudian muncul. Keberpihakan dia kan jelas untuk republik.

Buat saya pribadi, beberapa hal perlu dicatat berkaitan dengan soal-soal nasionalisme dan Islam dalam film maupun di luar film. Kita tidak pernah bisa merumuskan ulang nasionalisme dengan baik. Sehingga nasionalisme dalam kesadaran bersama kita tetap nasionalisme ’45. Tidak pernah dirumuskan lagi dalam peta politik global masa kini, termasuk dalam globalisasi ekonomi. Atau malah, kalau tidak bisa dirumuskan lagi, jangan-jangan kita tidak membutuhkan nasionalisme lagi. Mungkin kita butuh rumusan lain yang bisa mewadahi kepentingan negara dalam kancah global.

Hal yang sama juga terjadi pada Islam. Saya khusus bicara tentang Islam Politik. Contohnya sudah banyak, dari Afghanistan, Iran, hingga Saudi. Saya ambil contoh Morsi di Mesir. Lihat bagaimana dia jatuh. Dia memaksakan konstitusi Islamis begitu naik ke tampuk kekuasaan. Mesir berbeda dengan Turki, yang konstitusinya masih sekuler, bahkan ketika partai Islamis naik. Mereka [AKP, partai Islamis turki yang kini berkuasa] sudah berkompromi dengan sekularisme, mungkin karena Erdogan berkeinginan agar Turki diterima oleh Uni Eropa, sehingga parameter masyarakat Eropa yang dipakai. Kepentingannya apa sih kalau bukan ekonomi?

Kalau kita lihat peristiwa Arab Spring di Tunisia, Mesir, Libya, semuanya kan berangkat dari ketimpangan ekonomi, bukan dari keresahan agama. Tapi seringnya, keresahan itu diartikulasikan sebagai problem agama atau nasionalisme.

Para Perintis Kemerdekaan (1977)
Para Perintis Kemerdekaan (1977)

WJ: Tapi begini Oom, saya pengen tanya lebih jauh tentang nasionalisme ’45 yang Oom sebut tadi. Saya pikir pasti setiap generasi tetap memiliki pemahaman berbeda sampai level tertentu. Contohlah, generasi Usmar Ismail dan Bachtiar Siagian, dengan generasi Ifa Isfansyah [sutradara Garuda di Dadaku]. Generasi yang hidup di zaman itu mungkin tidak memahami nasionalisme dalam artian yang militeristik seperti sesudah 1965.

JBK: Kita tunda dulu obrolan tentang Bachtiar [Bachtiar Siagian, sutradara Lekra]. Saya ambil Usmar saja. Saya belum pernah nontoh Bachtiar karena film-filmnya sendiri dihilangkan. Hanya Usmar dengan filmnya, Lewat Djam Malam, yang pada waktu itu kritis terhadap nasionalisme ’45, yang dimaknai sekadar perang melawan Belanda atau pihak asing. Di sastra kita bisa lihat Idrus. Juga Pram, dengan Keluarga Gerilya, Perburuan, Bukan Pasar Malam. Mereka semua pengecualian. Itu sebabnya saya melihat Garuda di Dadaku, Brandal-Brandal Ciliwung, dan film-filnya Ari Sihasale tentang Papua masih berada dalam paham nasionalisme yang arkais.

MM: Oke, dulu agama dikontrol oleh negara. Sekarang, dalam film-film itu ada kesejajaran posisi antara agama dan negara, misalnya dalam film Sang Pencerah (2010) atau Sang Kiai, yang memperkenalkan kembali Hasyim Ashari ke penonton sekarang. Di sisi lain, ada kelompok-kelompok seperti Hizbut Tahrir dan sebagainya yang ingin ‘go beyond democracy’, yang pake slogan-slogan ‘Khilafah solusinya!’ itu lah. Pembacaan gue: penggambaran nasionalisme yang kawin dengan agama adalah jalan tengah. Ah gila ya, banyak amat sih nih perkawinan nasionalisme. Gilka [gila kawin] juga nih.

AJP: Eh tunggu-tunggu, Bul, yang hilang dari obrolan kita dari tadi tadi adalah lanskap sosialnya. Coba lihat fenomena-fenomena yang berkembang di kalangan anak muda beberapa tahun ini: muncul kampanye-kampanye nasionalis yang dibikin anak-anak muda. Orang-orangnya kayak Daniel Mananta atau stand-up comedian Panji Pragiwaksono lah. Produknya sempet kita omongin: Damn I Love Indonesia atau Indonesia Unite. Bunyi kampanye itu kira-kira: kalau kamu nasionalis, kamu cool!’

JBK: Ah, nasionalisme yang dibawa Panji itu kan masih sama saja. Nasionalisme arkais yang tadi saya bilang tadi.

MM: Eit, tunggu dulu Oom. Saya malah melihat ada yang berbeda di sini. Dulu, di zaman Orde Baru, nasionalisme itu identik dengan promosi ideologi negara. Posisinya pro-pemerintah. Sekarang, yang muncul di anak-anak muda ini berbeda. Mereka sudah pesimis duluan dengan negara, sehingga kampanye nasionalis yang tadi kita bicarakan sebatas ‘kearifan lokal’, daerah wisata di pulau antah-berantah….

JBK: Lah, kalau begitu, kenapa harus pakai embel-embel nasionalis? Atau lebih sempit lagi, kenapa harus dikaitkan dengan ‘cinta negara’? Ini yang jadi pertanyaan saya.

WJ: Ini terkait dengan konflik-konflik sektarian ya Oom, yang sering diangkat oleh kampanye anak-anak muda itu. Misalnya, ketika muncul konflik-konflik yang melibatkan FPI atau ormas garis keras, pasti muncul omongan: ‘Ah, kelompok-kelompok ini pasti mau pecah-belah negara nih, adu domba nih!’ Orde Baru banget.

AJP: Betul itu. Bahkan ini yang saya lihat dari tulisannya Panji. Tolong koreksi kalau saya salah, tapi dia sering membandingkan kondisi kita sekarang dengan Orde Baru. Nostalgianya selalu ke sana, bahwa ‘Indonesia selalu lebih utuh pada zaman Orde Baru’, dan semacamnya. Ketika bicara nasionalisme, dia bisa ‘sefasis’ itu.

WJ: Oke, balik lagi ke poin tentang keterbatasan artikulasi ya. Kita punya masalah riil, ekonomi, konflik komunal, militerisme, dan banyak lagi. Tapi, dalam narasi nasionalis populer, kayaknya kok instant banget: seakan-akan semuanya bisa selesai kalau kita bersatu. Dalam film juga begitu. Tapi bersatunya untuk apa, kita nggak tahu? Kalau bersatunya untuk mengganyang ‘Tujuh Setan Desa’ kan lebih konkret tuh. [tertawa]

AJP: Gue juga punya bayangan begitu tuh, Ndu. [tertawa] Soal ‘Tujuh Setan Desa’ tadi, gue bayangin film dengan cerita yang masalahnya ada di level paling lokal, di Desa, misalnya. Nah pertanyaannya, kalau film seperti itu dibuat sekarang, pasti persoalannya nggak bakal terartikulasikan dalam lingkup yang juga lokal. Maksudnya begini. Ambil contoh film-filmnya Ari Sihasale yang paling vulgar—kecuali Di Timur Matahari (2012), yang tentang konflik antarklan. Di film-film dia, tiap masalah kecil di pelosok negeri sana selalu dibawa ke solusi nasionalisme. Seringnya nggak relevan!

MM: Iya, di film-film Ale [Ari Sihasale], setting ceritanya selalu di luar Jawa. Tapi di tengah cerita biasanya ada orang-orang Jakarta yang kira-kira mau bilang: ‘Eh, elo tuh bagian dari gue lho!’ Tanah Air Beta (2010) begitu juga kan? Filmnya Dedi Mizwar, Tanah Surga…Katanya (2012), juga begitu. Di level retorik pun sevulgar itu.

Tanah Surga...Katanya (2012)
Tanah Surga…Katanya (2012)

AJP: Ya kembali ke omongan Oom tadi. Ketidakmampuan untuk merumuskan ulang ‘proyek kebersamaan’ di luar nasionalisme?

JBK: Sebetulnya, Islamis-Islamis itu ya sama saja. Seperti yang saya bilang tadi, masalahnya ekonomi, tapi mereka mengartikulasinyannya sebagai masalah moral, kemaksiatan, dan lain sebagainya. Mereka menciptakan musuh yang kelihatan, yang gampang di-handle. Kalau musuh yang mereka ciptakan kemiskinan kan jatuhnya lebih abstrak. Ya, mereka cari gampangnya aja. Logikanya sama persis dengan nasionalisme arkais tadi.

WJ: Menurut saya ada pemahaman yang sangat spesifik tentang ‘nasionalisme ‘45’ itu, Oom. Dalam sejarah resmi kita, 1945 itu tidak dipahami sebagai revolusi sosial, tapi sekadar ‘orang Indonesia perang melawan Belanda’. Ini direproduksi selama Orde Baru. Nasionalisme yang militeristik. Di film-film Indonesia kita bisa lihat, problem apa yang berusaha dipecahkan oleh nasionalisme kalau bukan Belanda, atau siapapun yang dianggap ‘pihak asing.’

MM: Iya, di film-film era Orde Baru, musuhnya jelas: Belanda. Sekarang siapa siapa coba? Malaysia?

AJP: Eh, tapi nggak semua film lho begitu.

MM: Nah lo liat aja film Tanah Surga…Katanya, yang tentang penduduk Kalimantan di wilayah perbatasan itu lho. Film ini bahkan sudah main-main dengan reverse psychology, seolah-olah ngomong ‘okelah, Malaysia lebih baik secara ekonomi, dst.’ Jatuh-jatuhnya self-mockery. Tapi di akhir film tetap aja pesannya: ‘Ah, bodo amat. Biar hidup di Malaysia menjanjikan kemakmuran, gue tetap nasionalis.’ Tahapnya sudah denial banget kan? [tertawa].

JBK: Barangkali yang mendesak bukan ‘merumuskan ulang’, baik nasionalisme ataupun Islam. Seingat saya, setelah Orde Baru tumbang, tidak ada lagi orang yang mampu merumuskan arah baru. Kita ambil perbandingan Obama. Dia kan membawa harapan baru, meskipun tidak semua programnya tercapai atau sedikit yang berhasil. Tapi waktu dia kampanye, dia merumuskan ulang apa itu ‘Amerika’ yang baru. Ini yang tidak terjadi di di Indonesia.

MM: Kalau perbandingannya Jokowi, gimana tuh, Oom? Dia kan ‘Jakarta Baru’.

JBK: Nah kalau Jokowi, saya melihatnya dengan lebih sederhana saja. Dia hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan, tidak merumuskan sesuatu yang baru. Dia hanya melakukan apa yang dalam kehidupan bersama harus dilakukan: pengadaan transportasi publik, misalnya. Semua orang tahu itu, tapi kan nggak ada yang mengusahakannya. Jadi belum ada yang merumuskan arah baru, masalah-masalah baru. Belum ada yang seperti Sukarno, atau lebih jauh bahkan Tan Malaka yang merumuskan Republik Indonesia di tahun 1920-an. Itu yang sekarang dibutuhkan. Rumusan itu bisa datang dari siapa saja, dari filsuf, sastrawan, pembuat film, dan seterusnya. Yang paling praktis tentunya dari pemimpin politik. Sekarang, kita nggak punya rumusan besar.

MM: Mungkin nggak sih Oom, kalau film-film tadi sebetulnya sedang memberi rumusan yang Oom bilang?

JBK: Mereka malah belum merumuskannya. Yang dibawa masih nasionalisme arkais begitu kok. Sekadar mengulang artikulasi lama.

MM: Well, gue kok jadi ingat kata-kata Ben Anderson dalam kuliahnya waktu pertama kali datang ke sini semenjak Orde Baru: nasionalisme Indonesia selalu ngomongin Nenek Moyang. Nasionalisme yang—kalau kata seorang penulis–‘diinjak raja-raja, dihantui dewa-dewa.’

WJ: Wuih, yang terakhir cadas tuh, Bul. Gue pake!

JBK: Sekarang coba aja lihat Prabowo. Dia kemarin pasang iklan di koran-koran. Isinya tentang program-program Gerindra. Tapi menurut saya itu pun sekadar mengulang GBHN pada masa Orde Baru. Nggak jelas kebaruannya dimana.

AJP: Ya, kalau kita tarik lagi ke film, tema nasionalisme yang diproduksi akhirnya nasionalisme nenek moyang itu. Ada tuh, satu film baru, Gending Sriwijaya (2013), yang menggunakan mitos…bahkan mengkolasekan mitos-mitos nenek moyang tadi.

WJ: Oke, ini kesimpulan sementara saja ya, dari dari film-film seperti Soegija atau Sang Kiai, juga film-film bertema nasionalis lain: film-film ini berusaha menuturkan keresahan di zaman kita dengan menggunakan sejarah; tapi pemahaman tentang sejarah itu sendiri tidak pernah diperbaharui. Akhirnya, sejarah hanya hadir sebagai proyeksi dari masa kini saja.

MM: Gimana pendapat bung Khelmy?

Khelmy Pribadi (KP): Pertanyaannya apa sih? Sorry sorry… gue telat.

MM: Gini, masbro, kita awalnya tadi ngobrol tentang pergeseran tren dari film-film bertema Islami ke film-film ‘nasionalis’. Tapi ternyata setelah agak lama, sebetulnya tidak ada perubahan tren. Hanya berputar di situ-situ saja. Bahkan perkawinan nasionalisme dan Islam dalam layar bioskop kita tidak baru-baru amat. Kita sempat singgung juga tadi kasus Dedi Mizwar, sutradara Tanah Surga…Katanya. Dia itu contoh paling sempurna dari perkawinan nasionalisme dan Islam. Sebetulnya apa sih yang mau direspon oleh film-film ini? Pandangan bung, sebagai praktisi, bagaimana?

KP: Oke, sebenarnya saya sengaja datang ke sini karena topik ini sendiri menarik bagi Maarif [Institute], nasionalisme dan, lebih khususnya, Islamisme. Misalnya ketika kami memutuskan untuk membuat film Mata Tertutup (2011). Kami berangkat dari kasus di sebuah sekolah publik yang seharusnya menjadi ruang persemaian ide-ide kewarganegaraan, namun malah menjadi ruang untuk persebaran ideologi Islamis radikal. Bahkan trennya adalah sekolah publik, bukan pesantren atau sekolah agama. Sekarang, orang kalau mau riset tentang gerakan Islamis di kalangan anak muda, mereka tidak pergi ke Ngruki. Kalau mereka ke Ngruki malah bisa ditertawakan.

Di sekolah publik, gesekan antara, katakanlah, nasionalisme dan formalisme Islam itu kenceng banget. Kok bisa-bisanya sebuah sekolah publik memaksakan pemakaian jilbab? Bagi kami di Maarif Institute, ini persoalan. Namun dalam film-film produksi Maarif, tidak ada tujuan menghadap-hadapkan Islam—termasuk Islamisme—dengan negara. Itu terlalu konyol.

MM: Maarif masih melihat nasionalisme dan negara sebagai satu hal yang tak terpisah?

KP: Hmmmm, nggak. Meskipun dua-duanya di Indonesia saling berkelindan, dan nggak bisa disangkal, negara pun menjadi agennya.

WJ: Gue coba baca Mata Tertutup ya. Oke, lebih sempitnya tentang Garin [Garin Nugroho, sutradara Mata Tertutup]. Saya lihat Garin sejak awal punya preoccupation dengan isu nasionalisme. Coba inget-inget film-film dia. Yang terakhir-terakhir ini diproduksi: Soegija, Mata Tertutup. Terus film-film dia yang rada lawas, Surat untuk Bidadari (1992), Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002). Satu lagi film seri dia yang diputar di TV sekitar pertengahan 1990-an: Anak Seribu Pulau. Di era Orde Baru, dia banyak bicara tentang pergesekan antara Negara dan masyarakat di luar Jawa. Problemnya pusat-daerah.

AJP: Untuk Mata Tertutup bagaimana?

WJ: Waktu gue nulis kritik tentang film ini, gue ngeliat nggak ada masalah. Ada sih, tapi nggak signifikan. Tapi setelah gue lihat film-film tentang terorisme di Eropa, atau beberapa film Indonesia lama tentang kekerasan politik, gue mulai koreksi diri tuh. Mata Tertutup belum beranjak jauh dari, misalnya, penggambaran pihak-pihak yang dianggap berlawanan dengan negara sebagai ‘hantu’. Pihak-pihak ini dianggap sumber masalah yang paling utama, direpresentasikan sebagai sesuatu yang omnipresent [ada di mana-mana], berkomplot, dan merasuki anak muda—ya ‘hantu’ itu tadi lah. Pola yang sama, di Indonesia, bisa didapatkan di film Pengkhianatan G-30S/PKI (1982). Belum lagi, NII dan si perekrut bom jihad dipukul rata. Padahal ideologi dan praktik mereka kan dalam banyak hal berbeda. Nah, penyamaan inilah yang bikin gue mikir bahwa sudut pandang yang dipakai oleh Mata Tertutup adalah sudut pandang negara. Mereka disamakan karena mereka mengancam negara. Apalagi dengan adegan-adegan menjelang ending yang diiringi lagu nasional.

Gue coba bandingin dengan beberapa film tentang terorisme sayap kiri Eropa yang diangkat dari kisah nyata: Baader Meinhof Complex, Good Morning Night, dan beberapa lainnya. Ada upaya memahami terorisme dari dalam, mengambil sudut pandang si teroris. Penuturannya pun nggak sebatas sekitar topik kekerasan, tetap juga melibatkan pemahaman sejarah gerakan teror itu sendiri, mulai dari masa lalu mereka dalam protes-protes anti-Perang Vietnam, sampai ke perpecahan mereka dalam gerakan.

Dalam Mata Tertutup, pesan yang mau disampaikan adalah ketimpangan ekonomi memicu kekerasan. Paling nggak, itu yang paling kelihatan di awal, khususnya di tokoh Jabir. Tapi lama-lama setelah diikutin kok masalah utamanya kok bergeser, seolah-olah ‘Islam radikal’ itu menjadi masalah tersendiri yang lepas dari premis awal. Sehingga soal-soal ekonomi yang tadinya mau diangkat seakan menjadi pretext aja.

Mata Tertutup (2012)
Mata Tertutup (2011)

JBK: Menurut saya, ini sih soal ketrampilan saja. Soal memilih yang lebih mudah saja dan mungkin tidak intentional. Kedua, ada niatan yang jelas, bahwa film-film seperti Mata Tertutup ini kan dibuat untuk kampanye ke anak-anak SMA, sehingga harus bisa dipahami sesederhana mungkin. Saya sih melihatnya begitu saja.

MM: Kalau begitu caranya, berarti semua film Indonesia yang kita bicarakan tadi masalahnya seputar ketrampilan saja dong, Oom?

WJ: Pertanyaannya: kenapa pola representasi itu yang terus dominan, bahkan ketika Orde Baru sudah tumbang? Soal teknik dan ketrampilan saya rasa sih ada di wilayah lain, Oom. Ini pertanyaan tentatif ya: gimana kalo film yang sama dibuat oleh, katakanlah, Joko Anwar atau Mouly Surya? Jangan-jangan bakalan sama aja. Nasionalis-nasionalis ngehek juga.

JBK: Itu menarik. Kalau kita lihat filmnya Mouly yang terakhir [Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta], nasionalisme yang muncul tetap nasionalisme arkais juga.

AJP: Oh, saya paham itu Oom. Yang Oom sebut ‘nasionalisme arkais’ itu ada di bagian upacara bendera. Ketika anak-anak di Sekolah Luar Biasa [film ini memang tentang drama percintaan remaja di SLB] ikut upacara bendera. Tapi saya sepakat ini masalah ketrampilan atau artikulasi. Karena waktu saya tanya Mouly, dia cuma bilang bahwa dia tidak punya agenda yang bagaimana begitu di adegan itu. Spontan saja.

WJ: Eh, Beh, itu dia yang dari tadi gue permasalahkan. Hal-hal yang spontan, yang ‘yaudah deh gue pilih gambar ini aja’ itu yang sebetulnya sangat ideologis. Taken for granted.

JBK: Kalau saya ini tetap soal ketrampilan saja.

AJP: Ndu, tapi kita juga belum mempertimbangkan pengaruh sensor, lho. Bagaimana sosok teroris yang ‘dimanusiawikan’ dalam film-film Eropa yang bung bilang, bisa diterima sensor di Indonesia? Sementara cara kerja sensor sekarang masih misterius bagi kita semua.

WJ: Hmmm, sebetulnya menurut gue sih bukan ‘dimanusiawikan’ ya. Yang mau gue bilang begini: di film-film teroris Eropa itu, nggak ada solusi yang ditawarkan secara jelas, misalnya nggak ada ajakan semacam ‘mari kembali ke Identitas Jerman atau Italia’—wah, fasis banget kan kalo sampe begitu? [tertawa] Tapi yang jelas, alih-alih menawarkan solusi, kontribusi yang paling penting dari film-film ini untuk memahami kekerasan politik dan trauma kolektif adalah ketika mereka mendeskripsikan akar persoalan teror di Eropa, bukan lewat kacamata negara, melainkan lewat sudut pandang pelaku-pelakunya. Sama sekali tidak ada solusi yang ditawarkan.

AJP: Nah, bisa jadi mendeskripsikan suatu masalah seperti itu justru sangat subversif…buat LSF [Lembaga Sensor Film].

WJ: Eh cuy, lo kan pernah wawancara Ifa tentang pengalaman dia di LSF, kalau nggak salah. Soal kenapa sekarang mereka mempersepsikan agama sebagai ancaman, bukan PKI lagi.

AJP: Oh iya, ceritanya begini. Dulu gue wawancara Ifa tentang film Sang Penari (2011). Dia cerita ada perwira militer yang duduk di lembaga sensor yang bilang ke dia: ‘Kalau simbol seperti palu arit nggak apa-apa lah sekarang. Masalah kita sekarang itu bukan komunisme, tapi kelompok-kelompok agama.’

WJ: Ah, masak sih? Oke, mungkin itu sekarang. Tapi gue pernah baca satu wawancara yang nunjukkin sebaliknya. Wawancara Mira Lesmana. Tahun 2005 sih, rada lawas. Di situ Mira ngomong kalau dia harus izin TNI supaya lambang palu arit bisa masuk ke film Gie (2004).

AJP: Eh gue malah belom baca tuh. Di mana lo baca?

WJ: Rumah Film kayaknya. Udah lama banget juga sih.

AJP: Mungkin bener juga si, Ndu. Toh, kita juga nggak betul-betul paham cara kerja sensor. Dulu ada orang bikin film Petrus [penembak misterius], lalu dilarang. Ini gue dengar dari Hikmat [Darmawan] sih.

KP: Oh ya? Belum dibikin udah dilarang?

AJP: Iya, dulu begitu. Untuk bikin film kan skenarionya aja harus disetujui negara. Nah, kalau mau ngomong tentang Ifa Isfansyah di film Sang Penari, dan bagaimana PKI tetap jadi ‘hantu’ di film itu, pertimbangkan juga bahwa Ifa tidak terlalu ambil pusing soal politik di film itu. Tim penulis naskahnya pun katanya juga nggak banyak riset tentang PKI. Dari kabar yang gue dapat, sumber utama Ifa dalam menulis tentang PKI hanya buku Tahun-Tahun yang Tak Pernah Berakhir (John Roosa)—meskipun ini harus diverifikasi lagi ke pembuat filmnya. Di sisi lain, Shanty Harmayn, yang juga ikut menulis skenario, punya fokus yang beda waktu nulis; dia memilih menguatkan karakter perempuannya.

Kalau begitu kasusnya, gue yakin 90 persen film sejarah kita ditulis dengan cara yang kurang lebih sama juga. Film-film yang berpretensi punya kesadaran sosial bisa jadi juga sama saja. Suka nggak suka, film-film kita masih dibuat dengan artikulasi yang itu-itu. Pembuat film kita kebanyakan masih tukang.