Selamat Ulang Tahun, Jean-Luc Godard!

CLH1.CA.0e.0524.godard.O.1

Setiap hari pasti ada orang yang lahir, berarti pasti ada yang ulang tahun. Tapi ulang tahun Jean-Luc Godard sudah menghantui saya sejak sepekan yang lalu. Ia adalah sosok tempat saya menabik hormat. Menonton filmnya adalah keresahan konstan yang menekan sekaligus melenakan. Karya-karyanya padat dan sulit ditembus. Ia seperti sedang bicara pada dirinya sendiri lewat medium yang ia buat sendiri dan dengan gambar yang ia bentuk sendiri. 55 tahun berlalu sejak film pertamanya dan lebih dari seratus film lahir darinya semenjak itu. Kenyinyirannya atas sinema tetap bertahan hingga kini. Kesuburannya dalam menelurkan karya tak jarang mengundang bahaya, ia datang menggebrak batas-batas sinema lalu mencengangkan kerubungan massa. Hari ini ia genap berusia 80 tahun. Selamat ulang tahun, Monsieur Godard!

Esai pendek ini saya maksudkan sebagai kilasan ulang tentang beberapa karyanya dan merenungkan kembali mengapa ia bisa menjadi begitu strategis dalam dunia sinema dan sinema dunia. Ia mempelajari film dari kecil dan sempat menjadi penulis juga. Ia berkeliling ke Inggris, Cekoslowakia, hingga Palestina untuk merekam kejadian lalu memercikkannya ke haribaan kanvas karyanya. Godard, bersama Francois Truffaut, dikenal sebagai duet-maut yang mengolah konsepsi gerakan Nouvelle Vague (The New Wave) yang mekar di Perancis akhir dekade 1950-an. Bersama tiga orang lain: Claude Chabrol, Jacques Rivette, dan Eric Rohmer, mereka merintis gerakan ini menjadi salah satu gerakan sinema paling berpengaruh sepanjang sejarah. Sebabnya, gerakan ini berani tampil mendobrak kebiasaan bersinema secara klasik, terutama dari segi bahasa dan narasi. Mereka meragukan hubungan gambar-suara, isi-bentuk, dan komponen-komponen sinema lain yang dianggap biasa oleh masyarakat waktu itu. Dan gerakan ini berhasil. Lihat kan? Godard terlalu penting untuk dilewatkan.

Jean-Luc Godard lahir di Paris tanggal 3 Desember 1930. Ia masih keturunan langsung dari Adolphe Monod, seorang teolog protestan terkemuka abad 19. Ia lahir dari keluarga borjuis dan belakangan mengemukakan bahwa kecintaannya pada sinema sejatinya adalah wujud eskapistik pribadi dari keluarga borjuisnya tersebut. Umurnya belum lagi 20 tahun ketika direkrut menjadi penulis di Cahiers du Cinema, majalah film bentukan Andre Bazin. Di sanalah ia bertemu Truffaut, Chabrol, Rohmer, dan Rivette yang kelak menggalang Nouvelle Vague bersamanya. Perhatian orang sudah tertuju padanya sejak film panjang pertamnya, Breathless (A Bout de Souffle, 1959). Film yang mengadopsi gaya bercerita a la Hollywood (kriminal, gangster) yang disampaikan dengan cara Godard. Lewat Breathless, Godard mengandalkan teknik jump cut, yakni teknik memotong gambar sebelum “waktu seharusnya”. Bukan sekedar gaya-gayaan. Lewat teknik itu, ia tengah berusaha keras memperhadapkan dirinya dengan karyanya sendiri. Bahwa Breathless tidaklah patut dilihat sebagai kehidupan (yang lumrahnya direpresentasikan lewat cutting konvensional), melainkan tetap dilihat sebagai sinema. Godard telah memperpanjang tangan Bazin, dari entitas teoritis ke kancah praksis.

Jean-Paul Belmondo & Jean Seberg dalam Breathless (1959)

Sejak Breathless, karyanya selalu ditunggu-tunggu. Setelah kerja bersama dengan Truffaut dalam The History of Water (Une Histoire d’eau, 1960), Godard kembali dengan A Woman is a Woman (Une Femme est Une Femme, 1961), sebuah film yang mendaulat unsur musikal sebagai korban eksperimentasinya. Ceritanya simpel, Angela, seorang penari striptease (diperankan Anna Karina, yang kelak menikah dengan Godard) berkeras mengajak suaminya ke jenjang pernikahan. Godard, yang terinspirasi oleh Che Guevara, telah mengenali dirinya sebagai pendobrak bahasa, dan seperti Guevara, ia ingin melengkapi dirinya dengan semacam ironi misterius. A Woman is a Woman adalah karya dengan niat semacam ini disamping tetap saja membawa misi sinematik yang penting. Menilik percobaan Eisenstein atas dialektika gambar, Godard menjadikan A Woman is Woman sebagai rabaan awal atas ketertarikannya pada dialektika gambar dengan suara, sementara cara dan wewangian melodramanya adalah penghormatan tersendiri terhadap tren Hollywood era 1930-an, terutama Ernst Lubitsch (rasakan betapa kongruennya A Woman is a Woman dan Design for Living karya Lubitsch). Sementara suara (sound) dalam film tersebut adalah bentuk penghormatan Godard pada karya Jacques Demy (The Umbrella of Cherbourg) dan Claude Lelouch (A Man and a Woman), pembuat film yang hampir segenerasi dengannya. Sebenarnya masalahnya tidak persis terletak di situ. Lewat film ini, Godard tengah memilah-milah mana yang gambar dan mana yang suara lalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan selanjutnya. Dalam A Woman is a Woman, komposisi musik dan scoring terasa sangat asing, walaupun tetap berperan penting mendukung benang cerita yang komikal namun tragis.

Godard melanjutkan kolaborasinya dengan Karina di My Life to Live (Vivre sa Vie, 1962), sebuah film hitam-putih yang banyak dicap orang sebagai film feminis. Entah karena ia memandang subtil kedalam meditasi personal seorang perempuan, atau karena ia turut mempermasalahkan betapa perempuan memperlakukan diri dan mendapat reaksi dari ruang sosial yang beragam sekitarnya. Tidak hanya lewat cerita, Godard menggunakan banyak sekali adegan simbolis penanda keberjarakan protagonis dari kesekitaran yang seharusnya tak berjarak. Dalam sebuah adegan, diskusi Nana (Anna Karina) dengan seorang linguis strukturalis menyiratkan makna ganda: bahwa filsafat bahasa memang tengah bergelora, dan mengisyaratkan bahwa Godard masih konsisten dengan topik utama dalam karirnya, perkara bahasa. Film yang menyenangkan itu kemudian berlanjut ke kolaborasi mereka berikutnya, The Small Soldier (La Petit Soldat, 1963), pengalaman pertama Godard dalam mengangkat tema politik.

Dengan gaya mirip Breathless, ia menceritakan polemik keberpihakan politik penjajahan Perancis atas Aljazair. Ditengah-tengahnya, Godard membubuhi “cinta” untuk membantu jalannya cerita. La Petit Soldat jadi menarik karena bukan “politik” atau “cinta” yang dijadikan fokus. Bukan pula keduanya, melainkan Godard sendiri.  Jalan cerita yang tidak terlalu mudah diikuti membuat kita mau tak mau pasti memikirkan “Kenapa film ini dibuat? Apa tujuannya?” Tanpa sadar, kita telah memenuhi undangan Godard untuk berpartisipasi aktif didalam film-filmnya. The Small Soldier menandai masa-masa awal dimana Godard asyik masyuk mengadopsi berbagai konsep Bertolt Brecht, seorang dramawan Marxis berkebangsaan Jerman. Menurut Brecht, karya seni haruslah melibatkan audiensnya untuk masuk dan mengambil tempat didalamnya. Sehingga alih-alih melihat seni sebagai kesatuan yang utuh, penonton akan melihat seni sebagai seni yang tak akan lengkap bila tak mereka lengkapi.

Tidak berhenti di tema politik, Les Carabiniers (The Carabineers, 1963) dibuat sebagai film mengenai perang. Les Carabiniers mungkin adalah film Godard yang paling lucu setelah Weekend (1967). Ia menamai karakternya dengan nama-nama orang terkenal, Michelangelo, Ulyssess, dan Cleopatra. Meskipun tentang perang, Les Carabiniers bukanlah film perang, ia adalah film tentang image perang. Perang dalam film Godard adalah bagian dari memori dan intelegensia yang pedas namun humoris. Mengapa membatasi diri pada image? Sebab menurut Godard, perang pada pengertiannya yang paling faktual, terlalu berat untuk diterjemahkan kedalam sinema. Maka bukan perang yang kita lihat, tetap aksi-reaksi para tokoh dengan peperangan. Dalam sebuah adegan, Michelangelo bertanya pada letnan yang hendak merekrutnya jadi prajurit,  “Kalau kita perang, kita bisa menikam orang kan? Kita bisa membakar para wanita kan?” Si Letnan mengiyakan. Godard mempertemukan adegan rekaannya dan footage aktual perang dengan cara yang kasar untuk menjelaskan bahwa perang berbeda dengan Les Carabiniers. Perang adalah panggung, dan Les Carabineers hanyalah dramanya. Terdapat adegan jenius dimana ketika pulang perang, Michelangelo membawakan sekoper penuh foto untuk keluarganya dirumah, foto-foto itu adalah penegasan telak bahwa Godard tidak melihat perang sebagai sesuatu yang khusus, melainkan setara dengan gambar yang ada didalam koper itu, Jembatan Westminster, bangunan era Renaissance, atau Pantheon. Itu hakikat image kan? Di situ Godard menghindari cap aktivis politik sebab ia memang bukan, ia murni aktivis sinema.

Di film ini pula Godard menegaskan posisi dalam sejarah estetisnya, bahwa ia adalah pengikut Lumiere yang terkena angin Brechtian di tengah jalan. Di sebuah adegan bioskop, Michelangelo tengah menonton film yang menyerupai Arrival of the Train-nya Lumiere dengan penuh kekaguman sebagaimana ketika pertunjukan pertamanya puluhan tahun lalu di Le Grand Caffee. Lalu di adegan berikutnya, Michelangelo yang dungu nekat memanjat layar untuk mencari tahu kemana wanita yang tadi muncul di layar. Michelangelo mewakili penonton yang disentil Godard, bahwa film tetaplah film dan kamu masuk kedalamnya bukan untuk melihat kehidupan, melainkan (hanya) untuk melihat film.

Rasa penasarannya yang konstan pada sinema, dan dedikasi untuk mengajak lebih banyak penonton ikut serta. Godard membuat Contempt (Le Mepris, 1963), sebuah film yang sangat dekat dengan Hollywood yang ia persembahkan sebagai pertanyaan mendasar “Siapa sebenarnya yang tengah menonton? Ada apa sebenarnya dengan realitas? Apakah manusia adalah bagian dari realitas? Atau justru bagian dari sinema?” Di awal Contempt, kamera Raoul Coutard turut juga mengarah pada kita seolah bertanya “Penonton, lalu dimana sebenarnya kalian?” Selain secara konsep, narasi Contempt memanglah alegori pembuatan film. Fritz Lang memerankan dirinya sendiri sebagai sutradara, Brigitte Bardot memerankan seseorang menurut hakikatnya sebagai seorang aktris, dan Raoul Coutard tetap masuk kedalam film sebagai juru kamera. Selepas Contempt, Godard kembali pada aroma gangster dalam Band of Outsiders (Bande a Part, 1964) yang mencoba menangkap dinamika remaja di kota Paris pada saat itu. Band of Outsiders berakhir sebagai film kriminal yang manis dengan pendekatan yang hampir sama dengan film-film awal Nouvelle Vague, seperti The 400 Blows (Truffaut, 1959) dan La Beau Sarge (Chabrol, 1958).

Sejauh Band of Outsiders Godard berkarir, kita bisa menangkap keseriusannya dalam mengangkat perempuan. Perempuan selalu mendapat tempat istimewa dan perlakuan baik dalam film-film Godard meskipun akhirnya mereka selalu berakhir membenci lelaki-nya. Ia menawarkan sentimen yang stabil dan bisa jadi merupakan bagian dari pandangan pribadinya. Dalam Contempt misalnya, prahara cinta/tidak (lagi) cinta disampaikan lewat banyak sekali tanda dan akhirnya berakhir begitu juga, demikian juga dengan permasalahan asmara di Breathless, dan banyak film-film Godard sebelumnya, meskipun lewat cara-cara penangkapan gambar yang berbeda. Jump cut yang kasar mengabadikan kekosongan afeksi dari Patricia terhadap Michel, sementara tracking kamera yang begitu lembut diperagakan untuk membongkar disfungsi hubungan di Contempt. Terlepas dari variasai teknis, Godard konstan dengan sentimen pribadi via visi sinematiknya.

Band of Outsiders mungkin menjadi karya akhir Godard yang fokus pada narasi cerita. Sejak saat itu, Godard mulai menggelar percobaan membuat film berbasis esai. Masculine-Feminine (1966), Made in U.S.A (1967), dan 2 or 3 Things I Know about Her (1967) menjadi semacam trilogi esai meskipun dengan pendekatan yang bervariasi.  Masculine-Feminine menasbihkan Godard sebagai pembaca filsafat Marx yang berdedikasi, Made in U.S.A dibuat sebagai eksperimen  komik-strip keatas mise-en-scene film, dimana Godard menggambarkannya sebagai “Film Disney yang disirami darah.” Pun karakter dalam Made in U.S.A dibuat berdasarkan karikatur orang-orang terkenal, ada karakter yang mewakili Richard Nixon dan Robert McNamara. Film-film ini setingkat lebih runyam dipahami sebab ia mengesampingkan faktor cerita dan berfokus pada relasi gambar dengan gambar, gambar dengan suara, dan suara dengan suara. Beberapa orang juga mungkin mengkategorikan Weekend (1967) kedalam jumputan karya film-esai awal Godard (yang nantinya berlanjut hingga tahun 2010). Weekend, tidak berlebihan bila saya katakan sebagai semacam komik seluloid yang jenaka tanpa meninggalkan niat Godard untuk menggali medium sinema sedalam-dalamnya.

La Chinoise (1967) seperti membalik anggapan orang tentang Godard sebagai dia-yang-tak-mau-berpolitik. Sebab secara terang-terangan, La Chinoise berangkat dari Engels dan Mao yang tengah diperdebatkan sekelompok mahasiswa diruang belajar mereka. Para mahasiswa ini menyayangkan kenapa Perancis tidak mengikuti langkah Cina yang telah maju mendekati sosialisme yang diidam-idamkan. Tetapi sebagian pertama La Chinoise adalah gerak tipu, Godard hadir lewat Francis Jeanson (filsuf yang diundang main di La Chinoise) yang membalikkan utopia para mahasiswa itu. Bahwa revolusi dalam kamus mereka bukanlah revolusi ideal, melainkan hanya bagian dari gejolak kaum muda. Godard kembali pada posisi arbitrernya, bahwa ia bukan aktivis politik, melainkan pembaca politik yang update. Godard tidak pernah membuat film politik, melainkan membuat film secara politis. Ia tak mau tahu-menahu mengenai sinema politik, yang membuatnya mati penasaran adalan politik sinema. Cina dan Vietnam dalam La Chinoise digunakan hanya sebagai tamparan awal sebelum ia balik lagi membedah sinemanya, karakter Guillaume (diperankan Jean-Pierre Leaud) didesain untuk menyokong peran ganda. Kadang sebagai Guillume dihadapan penonton, namun kadang juga sebagai Leaud dihadapan Godard dan Coutard. Kita sering mendengar suara Coutard yang menanyakan sesuatu pada Leaud sebagai Leaud, sebelum tiba-tiba kawan-kawannya masuk ruangan dan mengenalinya sebagai Guillaume. Taktik yang sangat jenius, bukan?

(kiri ke kanan) Anne Wiazemsky, Jean-Pierre Léaud, dan Juliet Berto dalam La Chinoise (1967)

Apakah dengan kesibukannya pada hal-hal ini lantas mengorbankan Nouvelle Vague yang dirintisanya dahulu? Sepertinya tidak juga. Sebab selalu terjadi kemiripan antara karya-karya Godard dengan auteur Nouvelle Vague yang lain, terutama Francois Truffaut. Coba amati betapa miripnya Fahrenheit 451 (1966) dan Alphaville (1966), Shoot the Piano Player (1960) dan Breathless (1959), Contempt (1963) dan Day for Night (1973), Pierrot Le Fou (1965) dan Mississippi Mermaid (1969), serta Masculine-Feminine (1966) dan Saga Antoine Doinel (1959 – 1979). Meskipun Godard dinilai terlalu politis dan Truffaut terlalu setia pada genre, tapi Nouvelle Vague tetapi setia pada karakter-karakter dasar yang terus bisa dikenali hingga kini meskipun gerakan itu sudah tiada. Truffaut meninggal tahun 1984 dan Rohmer mangkat pada awal tahun 2010.

Setelah ribut-ribut mahasiswa Paris pada Mei 1968 berakhir, Godard diilhami sebuah ide baru. Ide yang tetap berdasar pada kecintaannya pada sinema, ia ingin mereduksi status auteur-nya dengan membuat gerakan film kolektif untuk kepentingan kolektif. ia akhirnya merekrut Jean-Pierre Gorin, seorang kritikus sastra yang baru saja dipecat dari majalah Le Monde, sebagai kompatriot. Bersama mereka membentuk The Dziga Vertov Group, kolektif film yang fokus pada film-film politik (kali ini Godard benar-benar bersemangat masuk ke politik) yang dibuat secara politis. Meminjam istilah kritikus James Monaco, making political films politically.

Nama Dziga Vertov diambil dari seorang pembuat film Rusia awal-awal yang dianggap memiliki sama visi dan misinya dengan gerakan ini. Landasan politiknya tentu saja adalah filsafat Marx. Sejak Weekend (1967) Godard memang masuk lebih jauh kedalam konsep-konsep Marx dibanding sebelumnya ketika hanya berkeliaran di sekitarnya (Contoh: Konsumerisme borjuis dalam 2 or 3 Things I Know About Her, ketidaksabaran mahasiswa dalam La Chinoise). Belum lagi Gorin, yang memang seorang kritikus sastra beraliran Marxis. Maka The Dziga Vertov Group diharapkan bisa membuat film yang membela proletar dan secara aktif mengejawantahkan wacana-wacana politik secara etika maupun estetika.

Banyak kritikus yang menganggap gerakan ini akhirnya gagal karena, pertama, Godard selalu membaca politik lewat kacamata sinema, yang berarti  ia tengah  mengamati etika dari teropong estetika. Godard membaca perkataan Lenin “Ethics will be the esthetics of the future” lalu membaliknya. Hingga ketika ia turun gunung memfilmkan politik yang berangkat dari realitas, ia gagal. Kedua, film tidak hanya harus ideal, melainkan juga kongkret. Bahasa lain, ia tidak boleh idealis tanpa mengacu pada realitas. Sementara latar belakang pengetahuan politik Godard tidaklah berasal dari realita, melainkan (hanya) dari buku yang ia baca. Ketiga, film yang ingin bergerak secara politis dari dan kepada realitas harus mengajak penontonnya ikut serta, terutama kelas pekerja menilik landasan filosofis gerakan kolektif ini. Tapi kenyataanya, karya-karya The Dziga Vertov Group tak pernah membimbing diskusi dan arah tindak kelas pekerja. Menontonnya pun mereka tidak. Keempat, lewat The Dziga Vertov Group, Godard hendak mereduksi stardom dirinya dengan mengajak sebanyak orang untuk ikut serta. Namun nyatanya, sembilan film produk gerakan ini tak pernah dibuat oleh lebih dari dua orang, Godard dan Gorin. Bahkan Gorin mengakui, ketika mengerjakan Tout va Bien (1972), ia harus kembali menonton lagi karya-karya Godard sebelumnya agar bisa merajut Tout va Bien dengan jarum, benang, dan sulaman yang sama. Ia mencoba menjadi lebih Godardian daripada Godard sendiri. Gorin harus menyelesaikan Tout va Bien sebab Godard waktu itu baru saja mengalami kecelakaan sepeda motor yang hampir merenggut nyawanya. Bukannya Godard yang berupaya menjadi bukan Godard, justru orang lain yang terhisap menjadi Godard.

Walaupun begitu, menurut kritikus James Monaco, film-film kolektif ini masih bisa dikenali dari keberanian Godard yang terbaca jelas. Ia berusaha kabur dari keluarga borjuisnya kedalam sinema, sebelum akhirnya menyadari bahwa dunia (pertunjukan) sinema adalah dunia borjuis dan ia harus kabur lagi dari sana, ia masuk ke The Dziga Vertov Group sebagai bentuk pelariannya sebelum ditertawai oleh para penonton karena film-film gerakan ini tetaplah dijual oleh distributor kapitalis. Kita bisa membaca stabilitas kegelisahan Godard dan keberaniannya untuk terus berlari. Secara estetis, film-film gerakan ini lebih dingin dan berjarak dibanding film-film Godard sebelumnya.

Setelah The Dziga Vertov Group, Godard melewati tahun-tahunnya dengan terus mencoba hubungan-hubungan gambar dan suara, film terhadap realita, realita terhadap film, film terhadap film, dan realita terhadap realita. Dalam JLG/JLG (1994), Godard kembali mempertanyakan auteurism-nya. Lewat sebuah film-esai yang cemerlang, ia membuat adegan dimana pembantunya mengkritik dirinya yang tengah menonton La Chinoise, dan bahwa Godard akan terus mereduksi kebintangannya demi sinema yang dicintainya. Romantis sekali bukan?

Kini, 38 tahun setelah The Dziga Vertov berakhir, Godard masih konstan dengan kecintaannya pada medium sinema. Film esai menjadi sarana andalannya dalam menyampaikan gagasan, hingga film terbarunya yang baru saja rilis, Socialisme. Lewat film esai, Godard memberikan ruang lebih pada gagasannya untuk sampai kepada penonton tanpa harus diwakili oleh adegan-adegan konvensional. Banyak gambar yang tak koheren dengan suara dan sebaliknya, namun di balik itu terdapat gagasan yang melatari. Film esai menjadi sebentuk bukti komitmen pribadi Godard. Ia menolak disebut sebagai filmmaker. “Saya adalah kritikus yang bekerja lewat film saya”, ujarnya. Dan lihatlah, fase panjang film esai dalam karier Godard selalu mengarah ke sana: kritik sinema. Tentu saja ini beresiko, sebab film-film esai karyanya begitu rapat dan sering terlihat gila sehingga penontonnya tak begitu banyak. Tapi itulah Godard. Semua orang menaruh hormat padanya. “Godard is Hegel meets Rock n Roll”, ujar kritikus Susan Sontag suatu ketika.

Selamat ulang tahun, Monsieur Godard!

Referensi

Sontag, Susan (1969) “Style of Radical Will”, Picador: New York

Monaco, James (1976) “The New Wave: Truffaut, Godard, Chabrol, Rohmer, Rivette”, Oxford University Press: New York.