Lewat Djam Malam: Bulan Madu Panjang Militer dan Birokrasi

lewat-djam-malam-02_highlight

1

Bagaimana membaca Lewat Djam Malam sebagai dokumentasi era pasca-perang dan sebagai kritik sosial yang masih bersuara di zaman kita?

Ingatan orang biasanya langsung tertuju pada sutradaranya, Usmar Ismail. Ia dikenang karena tiga alasan: tiga film pertamanya bertema seputar revolusi fisik, keterlibatannya dalam prahara kebudayaan pada dekade 1960-an, dan keberadaan dia di kubu Kanan. Ketiganya sahih.

Namun tidak relevan rasanya membaca Lewat Djam Malam hanya dengan mengandalkan rujukan ke sang sutradara beserta afiliasi politiknya. Rujukan sebatas itu bisa berujung pada kesimpulan sembrono.  Analisis yang baik tidak mengandalkan kecurigaan belaka yang disamarkan sebagai konteks historis. Terlebih lagi ketika kita menyadari fakta bahwa tiga film pertama Usmar Ismail diproduksi ketika polarisasi politik belum meruncing. Pun, tidak seharusnya pula konteks mengurung teks dalam fakta-fakta keras masa lampau. Karya seni yang baik selalu bisa bicara dalam konteks zaman yang berbeda.

2

Seandainya esai ini ditulis pada 1998 hingga awal 2000-an, mungkin isu yang akan diangkat tidak akan jauh-jauh dari hubungan sipil-militer. Terlebih lagi jika kita ingat bahwa pada 1952 tank-tank diarahkan ke Istana Negara. Peristiwa ini adalah salah satu momentum penting dalam relasi sipil-militer di zamannya. AH Nasution dan TB Simatupang, dua pimpinan TNI tertinggi, menuntut restrukturisasi dan reorganisasi militer. Dalam rencana mereka, hanya para prajurit yang berlatar belakang pendidikan kemiliteran Belanda (baca: KNIL) yang boleh masuk struktur. Artinya, para prajurit bekas PETA, laskar, atau relawan akan tersingkir. Rencana tersebut gagal oleh campur tangan DPR, dan affair Oktober 1952 itu pun sekadar mengingatkan sipil untuk tidak mengutak-atik urusan militer.

Sejarah mencatatnya sebagai kudeta yang gagal. Nasution dan Simatupang memang tersingkir, namun militer, terutama pada paruh kedua dekade 1950-an, semakin kokoh posisinya. Rujukan konflik sipil-militer yang lain tentunya adalah klaim kedua pihak tentang siapa yang berhak memegang kepemimpinan politik—sebuah sengketa yang telah berlangsung bahkan pada periode Revolusi Fisik.

Namun, apakah masalah sipil-militer dalam Lewat Djam Malam hanya terkait klaim kepemimpinan? Rasa-rasanya tidak. Melalui cerita Iskandar, bekas pejuang yang dihantui rasa bersalah, Lewat Djam Malam menuntun pembacaan yang berbeda mengenai konflik tersebut. Salah satunya menyangkut munculnya kelas-kelas baru pasca-Revolusi Fisik, yakni birokrasi dan militer. Karakter-karakter Lewat Djam Malam adalah representasi kelas yang sangat gamblang. Sebagai mahasiswa teknik yang terjun ke kancah perang, Iskandar tergolong bagian dari kelas menengah era kolonial. Keluarga pacar Iskandar adalah keluarga birokrat yang hobi menggelar pesta akhir pekan semalam suntuk. Kita pun menyaksikan dua sosok bekas tentara (eks-komandan Iskandar) yang setelah perang menduduki pucuk pimpinan perusahaan negara. Di luar itu masih ada Puja, rekan seperjuangan Iskandar yang kini menjadi penjudi merangkap germo.

Periode Revolusi Fisik sendiri sedikit banyak mengubah konfigurasi kelas-kelas sosial di Indonesia. Dalam skema umum revolusi di negara-negara Dunia Ketiga pasca-Perang Dunia II, Indonesia menempati posisi unik semenjak absennya kelas borjuasi dalam perjuangan nasional. Berbeda dari revolusi-revolusi serupa di negara-negara lain, tidak ada kekuatan borjuasi nasional yang terbilang kokoh untuk menopang proyek-proyek pembangunan pasca-revolusi. Sebagian besar perusahaan di Indonesia pada 1950 adalah milik Belanda, sementara elit non-Belanda cenderung bergerak dalam usaha dagang. Kondisi ini menuntut negara menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang puncaknya terjadi pada 1958. Upaya ini didukung oleh sebagian besar partai politik, militer, dan nasionalis radikal.[1]

Dukungan militer untuk menasionalisasikan perusahaan asing di sini harus dibaca dalam kaitannya dengan tindakan pendudukan jabatan-jabatan bisnis perkebunan dan politik lokal oleh tentara reguler, laskar-laskar, dan bandit selama Revolusi Fisik.[2] Artinya, langkah-langkah yang kemudian diambil negara telah diantisipasi jauh lebih dulu oleh angkatan bersenjata. Adapun kelompok elit lainnya duduk di jajaran birokrasi, yang strukturnya semakin mapan semenjak akhir masa kolonial Belanda. Sepanjang Revolusi Fisik, keberadaan mereka sangat dibutuhkan untuk mengukuhkan legalitas republik di mata dunia. Selain itu, berbeda dari elit Belanda dan Tionghoa yang menjadi sasaran kemarahan massa pada 1945 dan 1946, posisi mereka relatif tidak terusik oleh revolusi. Pada perkembangannya terdapat banyak perusahaan negara yang berada di bawah kendali militer, sementara awak birokrasi, yang telah menjadi lahan usaha tersendiri, membengkak hingga dua kali lipat di masa Orde Baru.[3]

Kita pun mendapati borjuasi yang tidak berada di luar aparatus negara melainkan sudah ada sejak awal pendirian republik dalam tubuh birokrasi dan militer sendiri. Relasi-relasi kelas dalam Lewat Djam Malam dapat dipahami sejauh dua kelas elit tersebut melahirkan pariahnya masing-masing: para sukarelawan yang harus kembali ke masyarakat dan bekerja (atau menganggur), laskar-laskar sipil, serta bekas bandit yang kembali ke dunia hitam. Iskandar sendiri tidak akan mendapatkan pekerjaan seandainya keluarga sang pacar bukan birokrat (sekalipun ia hanya betah duduk di meja kerja satu hari). Sementara pekerjaan kedua yang segera ditampiknya berasal dari Gunawan, bekas komandannya yang kini menjabat direktur. Sewaktu perang, Gunawan pernah memerintahkannya mengeksekusi satu keluarga yang dicurigai mata-mata. Namun tentu saja Iskandar dijamin oleh statusnya yang pernah kuliah sebelum perang[4]. Tanpa status dan jaringan sosial tersebut, nasibnya tidak akan berbeda jauh dari Puja, teman seperjuangannya dulu.

3

Melalui karakter Iskandar dan Puja inilah Usmar Ismail meletakkan dimensi kritik Lewat Djam Malam. Iskandar adalah kelas menengah yang gagal mengidentifikasi diri dengan kelasnya sendiri, sementara Puja mewakili sosok prajurit yang dibuang dari kastanya sendiri dan akhirnya menjadi prototip sempurna lumpenproletarian yang serba pragmatis. Peranan Puja tidak hanya sampai di situ. Kedudukannya dalam Lewat Djam Malam adalah sebagai pembanding posisi Gunawan. Singkatnya, seolah hanya ada dua macam kehidupan yang menanti seorang veteran setelah perang berakhir: kaya luar biasa atau melarat. Dua-duanya ditentukan oleh pangkat kemiliteran semasa perang serta kejelian mengail di air keruh. Tidak heran jika stigma melekat adalah “bekas pejuang jadi bandit” atau “bekas pejuang hidup enak”.

Bagi Iskandar, status tersebut tentu sangat menyulitkan. Hari pertama kerjanya sudah diusik oleh cibiran “bekas pejuang” yang terlontar dari rekan-rekan sekantor. Ia merasa mirip dengan Gunawan yang cepat kaya dengan bermodalkan reputasi perang. Ia jijik ketika menyaksikan mantan komandannya itu mulai memakai retorika revolusioner untuk menjustifikasi diri sebagai “penguasa pribumi”. Sialnya lagi, dua lingkungan elit yang ditampik Iskandar pun senantiasa berkumpul di rumah kekasihnya, dalam pesta semalam suntuk yang dihadiri sosialita dan para hero revolusi pujaan para gadis. Bulan madu panjang antara militer dan birokrasi tidak pernah tergambar seintim ini.

Tanpa membaca relasi kelas yang melatarbelakangi kisah tokoh-tokoh Lewat Djam Malam, sengketa sipil-militer hanya akan selesai pada pembacaan klise soal “dendam sejarah”, pada pertanyaan “siapa yang layak memegang kepemimpinan politik? Mereka yang berdiplomasi atau yang angkat senjata?” Tanpa membaca konteks ekonomi politik ini pula, ekspresi kekecewaan Iskandar hanya akan nampak sebagai kritik moral biasa yang lahir dari, misalnya, pilihan sutradara untuk menampilkan “pesimisme Barat limapuluhan” yang dipindahkan ke konteks lokal. Bisa juga terlihat seperti kritik legalistik-liberal yang menyerang korupsi dan ekses-ekses penyelewengan kekuasaan lainnya tanpa mempertanyakan asal-usul dan cara beroperasi kekuasan itu sendiri. Dua-duanya terlalu simplisistis.

4

Hubungan antarkelas sosial adalah satu ihwal yang absen dari film-film propaganda bertema “kembali ke masyarakat” yang marak pada dekade 1950-an. Namun jika soal antagonisme kelas ini dibawa ke bingkai politik pasca-revolusi yang lebih besar, persoalan yang diangkat dalam Lewat Djam Malam adalah bagaimana dinamika revolusi menentukan kondisi-kondisi sosial dan politik setelahnya, serta bagaimana pemerintahan baru harus mengkonfrontir berbagai macam masalah yang muncul sebagai ekses-ekses kekerasan revolusi maupun sisa-sisa kolonialisme (baca: menyelamatkan capaian-capaian revolusi itu sendiri). Maka ketika kita di zaman sekarang menyaksikan Lewat Djam Malam, pertanyaaan yang harus diajukan bukanlah “seperti apa wajah korupsi di zaman itu?”, melainkan “mengapa korupsi lahir bersama Republik dan terus langgeng secara struktural hingga kini?

Tidak heran jika nyaris tidak ada film tentang Indonesia pasca-revolusi fisik semenjak Orde Baru sampai sekarang. Apa yang terjadi sepanjang dekade 1950-an (perpecahan politik, kebingungan menentukan arah pembangunan, marjinalisasi para veteran) adalah cermin terdekat dari apa yang terjadi selama pendirian Republik lima tahun sebelumnya. Proses-proses yang harus dilewati untuk menyebut diri sebagai sebuah bangsa ternyata mirip dengan apa yang harus dialami seorang anak dalam fase pertumbuhannya: sama-sama traumatis dan memalukan.

Dalam sinema Orde Baru dan setelahnya, Revolusi Fisik adalah proses yang padu dan beradab, dengan prajurit-prajurit Republikan bermoral luhur melawan Belanda yang bejat. Di antara kedua kubu tidak ada yang lain, kecuali wartawan Belanda yang simpatik, mata-mata pribumi, atau pemberontak yang menggembosi kekuatan Republik (DI/TII, PKI, dan sebagainya). Tugas revolusi pun direduksi sebagai upaya mengusir Belanda yang ingin kembali bercokol setelah kemerdekaan diproklamasikan. Lewat Djam Malam menunjukan yang sebaliknya: Revolusi Fisik ternyata adalah proses yang brutal dan jauh dari tertib. Banyak eksekusi ilegal di sana-sini oleh kubu Republikan serta kerusuhan yang menyasar warga kulit putih/indo dan Tionghoa. Terdapat berbagai macam pihak yang ambil bagian dalam revolusi dan tak jarang saling bersengketa karena perbedaan-perbedaan kepentingan dan ideologi politik. Tugas-tugas sejati revolusi untuk membentuk masyarakat baru pun tidak banyak diceritakan. Dengan kata lain, dalam rezim representasi Orde Baru, revolusi pun mengalami depolitisasi. Ia tidak beda jauh dari jamuan makan malam yang rapi dan santun.

5

Jika Lewat Djam Malam masih punya sesuatu yang ingin disampaikan hari ini, itu artinya peristiwa sejarah yang melatarbelakangi ceritanya harus dibuang. Hanya dengan itu ia masih tetap relevan sebagai sebuah bingkai, dengan segala potensi dan keterbatasannya, dalam mana epos di zaman kita diuturkan. Kita pun bisa berandai-andai momentum sejarah mana yang bisa dibincangkan lewat film ini—dengan kata lain, membayangkan sebuah remake Lewat Djam Malam.

Yang pertama kali harus dilakukan adalah menempatkannya ke dalam jajaran tradisi film disiden alih-alih sekadar film perang. Subjek veteran tidak harus dipersempit ke dalam karakter eks-prajurit yang bernasib buruk, melainkan para pembaharu rezim atau pemberontak yang kecewa setelah perubahan politik yang disongsongnya gagal menepati janji. Adapun momentum historis yang dipilih tentunya, disadari atau tidak, mengandaikan sikap partisan. Sebagai contoh, film-film Sjuman Djaya, sang sutradara disiden, banyak mengkritik korupsi dan penyelewenangan kekuasaan Orde Baru. Namun di satu sisi, kritik-kritiknya masih berada dalam wacana kepolitikan Orde Baru. Dalam film Si Mamad, misalnya, kemiskinan digambarkan sebagai ekses buruk pembangunan sementara penderitaan orang kecil disuarakan oleh kelas menengah.[5] Film ini seolah menuntut agar birokrat lebih jujur dan teknorat bersikap lebih populis, sekalipun telah diketahui bahwa Orde Baru sudah korup semenjak pendiriannya. Ketika menyaksikan Si Mamad, orang bisa tahu betapa kritik yang paling radikal terhadap rezim pada waktu itu mungkin hanya mendambakan semacam “Orde Baru yang berwajah manusia.” Maka, boleh jadi pertaruhan film-film disiden periode 1970-an adalah perubahan sistem dari dalam tanpa mengubah ruling ideology-nya.

Di sisi lain, dengan adanya gambaran kelas menengah urban yang sadar politik dan mengartikulasikan kepentingan kelas bawah, film Sjuman Djaya justru menyiratkan relasi kelas yang timpang, yang penggambarannya diharamkan dalam rezim representasi Orde Baru. Si Mamad pun menjadi counterpoint dari gerakan massa kelas bawah pra-1965, ketika isu-isu politik progresif yang (sayangnya) di zaman kita terlanjur diidentifikasi sebagai wacana elit liberal urban seperti gerakan perempuan dan anti-kekerasan yang justru diartikulasikan dalam nama kelas pekerja. Dari situasi yang terbalik ini orang pun terpancing untuk bertanya lebih lanjut: mengapa gerakan massa yang otentik dan terorganisir hilang dalam lanskap politik setelah 1965 dan digantikan oleh bentuk-bentuk perjuangan yang serba legalistik? Inilah potensi yang layak diselamatkan.

Apa kabar Indonesia pasca-1998? Ketika semua langkah-langkah legal untuk mengubah rezim relatif berhasil namun dalam praktiknya amburadul, bagaimana film serupa Lewat Djam Malam bisa mengekspresikan kekecewaan politik mereka yang berperan dalam perubahan tersebut? Lagi-lagi yang bisa diambil dari Lewat Djam Malam adalah representasi sosial karakter-karakter di dalamnya: Iskandar sebagai borjuis kecil yang kecewa, Puja si penjudi dan germo, dan Gunawan yang oportunis namun tetap memakai slogan-slogan revolusioner? Orang bisa melakukan klasifikasi serupa di zaman ini: Tokoh A, mantan mahasiswa radikal yang kecewa dan memilih tidak berpolitik; tokoh B, rekan tokoh A, yang sekarang jadi bos preman; dan tokoh C, juga mantan mahasiswa, yang kini masuk dalam nomenklatura partai dan masih memakai slogan-slogan aktivis.

Lewat Djam Malam berakhir pesimis. Kita tahu Iskandar mati ditembak patroli polisi—bukan kematian yang heroik. Kita juga tahu bahwa kemarahan Iskandar adalah ledakan biasa dan tidak politis. Dia tidak seperti karakter Johan, mantan pejuang yang segera menggalang gerakan perdamaian begitu revolusi selesai dalam film Tjorak Dunia (Bachtiar Siagian, 1956)[6]—sebuah “sekuel” Lewat Djam Malam, jika ada. Sosok Iskandar—ini juga yang menjadi keterbatasan Lewat Djam Malam—sekadar terpuruk dalam melankoli berkepanjangan. Tapi dari pesimisme itu kita pun senantiasa dituntut mengoreksi kegagalan-kegagalan perubahan politik yang pernah terjadi seraya membayangkan kemungkinan lain. Sebuah posisi yang tidak nyaman, tentunya.


[1] Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, Allen and Unwin, 1986.

[2] Lihat catatan Robert Cribb dalam The Jakarta People’s Militia and The Indonesian Revolution, 1945-1949, Asian Studies of Australia, 1991.

[3] Benedict Anderson, “Exit Soeharto, Obituary for A Mediocre Tyrant”, New-Left Review 50, Maret- April 2008.

[4] Dan status mahasiswa ini nampaknya juga menandakan latar belakang elit Iskandar.

[5] Krishna Sen, Indonesian Cinema: Framing the New Order, Zed Books, New York, 1994.

[6] Salim Said, “Revolusi Indonesia dalam Film-film Indonesia”, dalam Pantulan Layar Putih, Sinar Harapan, Jakarta, 1991.

Artikel ini merupakan bagian dari buku Lewat Djam Malam Diselamatkan, sebuah buku referensi yang diedarkan bersamaan dengan peluncuran hasil restorasi Lewat Djam Malam, 18 Juni 2012, di Jakarta. Buku ini sudah tersedia online dan dapat diunduh gratis melalui laman filmindonesia.or.id.